• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Satwaliar merupakan makhluk hidup yang memiliki peranan sebagai penyeimbang berjalannya siklus ekologi. Satwaliar pada dasarnya berkaitan sangat erat dengan kehidupan manusia. Namun tidak sedikit manusia yang belum mengetahui dan menyadari pentingnya satwaliar. Hal ini terlihat dari aktivitas manusia yang kerap tidak memperhatikan keberadaan satwaliar, seperti eksploitasi satwa itu sendiri maupun habitatnya. Salah satu satwa yang memiliki peranan penting dan mendapatkan ancaman dari berbagai aktivitas manusia ialah jenis-jenis primata Hylobatidae.

Hylobatidae memiliki habitat asli hanya di Asia Tenggara dan sekitarnya termasuk sebagian wilayah Indonesia (Geissmann 1995). Terdapat 3 jenis di Pulau Sumatera yaitu Hylobates agilis, Hylobates lar dan Symphalangus syndactylus. Ketiganya merupakan primata dengan habitat dan perilaku sosial yang mirip. Beberapa wilayah di selatan Danau Toba Hylobates agilis dan Symphalangus syndactylus hidup dalam satu tempat yang sama (simpatrik). Kedua merupakan satwa teritorial, sebagian besar monogami dan memiliki perilaku bersuara yang unik yaitu bersuara sangat keras (Chivers 1974).

Keduanya satwa ini sudah diteliti sejak puluhan tahun yang lalu namun

tidak banyak data serta informasi mengenai populasi dan demografi (O‟Brien et

al. 2004). Padahal dalam upaya konservasi satwaliar, data dan informasi ini menjadi sangat penting, sehingga pembuat kebijakan dan pelaku konservasi dapat mengembangkan upaya strategis dalam pengelolaan dan perkiraan perkembangan populasi satwa ini.

(2)

siamang masuk kedalam status Endangered (ED) IUCN (Whitaker 2009) dan Apendik I CITES.

Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) merupakan salah satu habitat alami simpatrik Hylobatidae ini. Hasil penelitian ilmiah diharapkan menjadi informasi dan bahan pertimbangan masyarakat luas dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya menyangkut kawasan hutan beserta ekosistemnya.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara adalah:

1. Memetakan dan mempelajari distribusi simpatrik Hylobatidae di KHBT 2. Menghitung dan mempelajari kepadatan populasi simpatrik

Hylobatidae di KHBT

3. Mengidentifikasi dan mempelajari pemilihan waktu bersuara pagi pada simpatrik Hylobatidae di KHBT

1.3 Manfaat

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi

Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi ungko dan siamang pada Tabel 1.:

Tabel 1 Klasifikasi Hylobates agilis dan Symphalangus syndactylus (Napier et al. 1985)

Klasifikasi Ungko Siamang

Kingdom Animalia Animalia

Filum Chordata Chordata

Kelas Mammalia Mammalia

Ordo Primates Primates

Famili Hylobatidae Hylobatidae

Genus Hylobates Symphalangus

Spesies Hylobates agilis F. Cuvier 1821

Symphalangus syndactylus Gloger 1841

Nama lokal Ungko Siamang

Hylobates agilis memiliki tiga sub-spesies, yaitu Hylobates agilis ungko, Hylobates agilis agilis dan Hylobates agilis albibarbis (Supriatna et al. 2000).

2.2 Morfologi

Hylobates memiliki ciri-ciri umum yaitu kera kecil tak berekor dengan kepala bulat kecil, hidung tidak menonjol serta rambut tebal dan halus (Chivers 1977 dalam Sultan 2009). Tubuh ungko ditutupi rambut dengan warna yang bervariasi dari terang (coklat keemasan) hingga gelap. Ungko jantan dewasa memiliki rambut berwarna putih di bagian alis dan pipi yang, berbeda dengan betina dewasa yang memiliki rambut putih hanya di bagian alis. Ungko memiliki warna kulit pada pergelangan tangan dan kaki berwarna gelap (hitam), lebih gelap daripada bagian tubuh yang lainnya. Siamang sendiri hanya memiliki satu warna rambut yaitu hitam dan sedikit warna abu-abu gelap di bagian antara dagu dan mulutnya, tidak seperti ungko yang memiliki beberapa variasi warna rambut.

(4)

panjang dibandingkan kakinya dan satwa ini tidak dapat berenang (Bismark 1984). Struktur tangan, kaki dan jari-jarinya panjang sehingga memungkinkannya untuk menjangkau dahan-dahan di sekitarnya sehingga efektif untuk melakukan pergerakan berayun di tajuk-tajuk pohon dalam hutan (Napier dan Napier 1967).

Siamang memiliki ukuran tubuh paling berbeda dengan Hylobatidae lainnya. Siamang jauh lebih besar dan memiliki berat tubuh mencapai 10-15 kg (Palombit 1997). Siamang memiliki ciri khas yaitu kantung suara (gular sacs) serta memiliki selaput diantara jari-jari tangan dan kakinya.

2.3 Habitat dan Penyebaran

Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar populasi, yaitu tempat berlindung, pakan dan air (Alikodra 2002). Ungko dapat hidup di hutan primer, hutan hujan dataran rendah, hutan sekunder dan hutan rawa (Supriatna et al. 2000). Menurut Curtin et al. (1979 dalam Bangun 2007), satwa ini dapat beradaptasi terhadap beberapa perubahan lingkungan habitat. Hutan primer memiliki peranan penting sebagai habitat jenis Hylobatidae karena kondisinya lebih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ungko dan siamang jarang sekali turun ke lantai hutan dan pergerakannya berayun dari pohon ke pohon lain (brakhiasi), sehingga habitat dengan vegetasi yang memiliki tajuk kontinyu antar pohon memiliki peranan penting (Sultan 2009).

Makanan ungko dan siamang relatif sama dengan pakan satwa primata lainnya. Pakan ungko yaitu buah, daun, bunga dan beberapa jenis serangga kecil. Keduanya merupakan satwa yang cenderung frugivorous, namun dilaporkan siamang lebih folivorous dibandingkan ungko di Semenanjung Malaysia (Chivers 1974; Palombit 1997).

Kebutuhan air ungko dan siamang dipenuhi dari buah-buahan yang dimakan, dari sisa-sisa air hujan yang ada di daun dan kulit pohon serta terkadang meminum langsung dari mata air (Napier et al. 1976). Keduanya memanfaatkan tajuk pohon untuk istirahat dan tempat tidur.

Geissmann (2006) melaporkan ada tiga subspesies H. agilis yang memiliki distribusi masing-masing, yaitu:

(5)

b. H. a. ungko, tersebar di bagian timur Sumatera, khususnya di daerah dataran rendah. Subspesies ini pun tersebar di Semenanjung Malaysia c. H. a. albibarbis, tersebar di bagian barat Kalimantan dan Kalimantan

Tengah, di bagian utara dibatasi oleh Sungai Kapuas sementara ke arah timur dibatasi oleh Sungai Barito hingga ke utara di hulu Sungai Barito; Hylobatidae dapat ditemukan di wilayah hutan hujan tropis Asia Tenggara (Gambar 1). Ada lima jenis Hylobates yang tersebar di Indonesia yaitu H. agilis, H. lar, H. klosii, H. moloch dan H. muelleri. Ungko memiliki sebaran di Indonesia (Sumatera), Semenanjung Malaysia dan Thailand. Ada 2 spesies Hylobates yang hidup simpatrik dengan siamang yaitu H. agilis dan H. lar. H. agilis simpatrik di Pulau Sumatera dari Danau Toba ke selatan hingga Lampung dan di Semenanjung Malaysia di utara Sungai Muda. H. lar simpatrik dengan siamang di Pulau Sumatera bagian utara tepatnya di utara Danau Toba dan di Malaysia tepatnya di selatan Sungai Muda.

(6)

Gambar 1 Peta sebaran Hylobatidae di Asia Tenggara (Geissmann 1995).

2.4 Populasi

(7)

Tabel 2 Kepadatan Ungko dan Siamang di Indonesia dan Malaysia (ind/km2)

No Lokasi Ungko Siamang Sumber

1 TN Bukit Barisan Selatan, Sumatera

1,4 – 2,8 4.2 – 10,3 O'Brien et al. (2004)

2 TN Way Kambas,

Sumatera

1,9 2,8 Yanuar & Sugardjito

(1993) 3 TN Kerinci Seblat,

Sumatera

0 – 11,4 7,2 – 24,6 Yanuar (2001)

4 TN Batang Gadis, Sumatera

8,82 - Bangun 2007

5 TN Batang Gadis, Sumatera

12,9 - Sultan 2009

6 Riau, Sumatera 17,45±5,61 - Apriadi 2001

7 Ketambe, Sumatera - 5 – 7 MacKinnon &

MacKinnon (1980); West (1981)

8 Sumatera 8,6 9 Wilson & Wilson (1977)

9 TN Bukit Barisan Selatan, Sumatera

1,7 – 4,3 2,1 – 5,7 Yanuar (2009)

10 LAHG, Kalimantan 3.5 – 13.9 - Buckley et al. (2006);

Hamard et al. (2010) 11 Gunung Palung,

Kalimantan

13,5 – 15,6 - Mitani (1990)

12 TN Tanjung Puting, Kalimantan

8,7 - Mather (1992)

13 Sabangau, Kalimantan 10,38 - Cheyne et al. (2008)

14 Stasiun Riset Barito Ulu, Kalimantan

8,2 – 18 - Mather (1992);

McConkey et al. (2002)

15 Sebangau, Kalimantan 10,75±2,99 - Duma (2007)

16 Sungai Dal, Malaysia 18,92 2,4 Gittins & Raemaekers,

1980

17 Ulu Sempan, Malaysia - 6 Chivers (1974)

18 Kulala Lompot, Malaysia - 5 Chivers (1974)

19 Ulu Gombak, Malaysia - 2,4 Chivers (1974)

20 Malaysia 6,12 - Chivers (1974)

Kepadatan populasi merupakan ukuran populasi yang dapat dinyatakan sebagai jumlah atau biomasa per satuan luas atau per satuan volume (Suin 2003). Harianto (1988) menyebutkan, kepadatan populasi primata tergantung kepada tipe habitat, bentuk sosial kelompok, daerah jelajah dan teritorialnya.

(8)

Kepadatan populasi ungko cenderung meningkat dari selatan ke garis lintang utara di Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaysia. Sedangkan kepadatan siamang cenderung menurun dari selatan ke utara sementara variabilitas dalam ukuran kelompok tidak menunjukkan tren (O‟ Brien et al. 2004).

2.5 Distribusi

Distribusi ungko merupakan lokasi-lokasi yang ditinggali ungko. Sultan (2009) menyebutkan bahwa ada beberapa ciri kawasan yang menjadi sebaran ungko, yaitu memiliki kerapatan tajuk yang baik sehingga memungkinkan ungko dapat bergerak secara brakhiasi karena umumnya pohon tergolong stratum B, memiliki ketersediaan sumber pakan yang besar (rerata 180 pohon/ha) dan kawasan yang minim interaksi atara ungko dengan manusia atau jauh dari pemukiman penduduk (>4 km dari batas desa).

Ungko tersebar di wilayah yang memiliki ketinggian hingga 1500 m dpl. Ketinggian diatas 1500 m dpl bukan habitat yang baik bagi Hylobates karena memiliki jenis tumbuhan yang sedikit dan jenis tumbuhannya cenderung tidak sesuai untuk melakukan brakhiasi (Rowe 1996 dalam Sultan 2009). Iskandar (2007) juga menyebutkan, semakin tinggi kawasan, maka semakin sedikit kepadatan populasinya. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yaitu potensi sumber pakan yang semakin sulit dan kepadatan tajuk yang menyulitkan pergerakannya (brakhiasi). Sebaran ungko di TN Kerinci Sbelat berada pada habitat berbukit dengan ketinggian 500-800 m dpl. Habitat ungko di TN Batang Gadis meliputi hutan primer dan hutan sekunder pada ketinggian antara 637-967 m dpl. Sultan (2009) dalam penelitiannya mendapatkan persentase sebaran populasi ungko per ketinggian yaitu dari selang 600-1000 m dpl. Hasilnya menunjukan lebih dari separuh sebaran populasi (57,1%) berada pada ketinggian 701-800 m dpl.

(9)

secara monokultur menyebabkan populasi Hylobates agilis dan Sympalangus syndactylus semakin berkurang meskipun masih menyisakan pohon aslinya (Geissmann et al. 2006).

2.6 Komposisi kelompok

Keluarga Hylobatide hidup berkelompok dalam kelompok sosial monogami. Satu kelompok Hylobatide berisi sepasang jantan-betina dewasa dengan anaknya. Satu kelompok ini dapat terdiri dari 3-5 individu. Pasangan Hylobates secara umum melahirkan anak dengan selang waktu 2-3 tahun sekali. Tingkat kelas umur dapat dibagi berdasarkan ukuran tubuh dan perkembangan perilakunya, yaitu sebagai berikut (Gittins et al. 1980):

a) bayi (infant): dari lahir hingga umur dua tahun, ukuran tubuh kecil, pada tahun pertama dibawa atau digendong oleh induk betina selama pergerakannya;

b) anak-1 (juvenil-1): berumur 2-4 tahun, berbadan kecil dan berjalan sendiri didekat induknya;

c) anak-2 (juvenil-2): berumur 4-6 tahun, ukuran tubuh sedang, cenderung melakukan aktivitas makan dan berjalan sendiri;

d) muda (sub-adult): berumur > 6 tahun, ukuran tubuh hampir sama dengan dewasa (induk) tetapi belum matang seksual, tetap dalam kelompok tetapi cenderung memisahkan diri; dan

e) dewasa (adult): memiliki ukuran tubuh maksimal dan hidup berpasangan.

Jantan dan betina hampir dewasa atau mencapai dewasa kelamin akan meninggalkan kelompoknya dan hidup sendiri dengan pasangannya sebagai keluarga baru (Kirkwood et al. 1992 dalam Duma 2007). Hylobatidae memiliki ukuran kelompok antara 2-5 individu/kelompok. Ukuran kelompok dengan jumlah lebih dari 4 jarang ditemukan. Adanya kelompok berjumlah 5 individu biasanya disebabkan anak umur dewasa belum keluar dari kelompok induknya untuk membentuk kelompok baru (Sultan 2009).

(10)

menunjukan dari urutan paling banyak adalah dewasa, anak dan remaja. Hasil penelitian lain menunjukan, komposisi kelompok populasi jantan dan betina dewasa masing-masing 29,27%, pra-dewasa 4,88%, remaja/anak 26,83% dan bayi 9,75%. Struktur umur populasi pada penelitian dapat diketahui, yaitu dewasa 31,7% pra-dewasa 16,7%, anak 17,5% dan bayi 2,5% (Bangun 2007).

2.7 Perilaku

Aktivitas harian pada salwaliar adalah refleksi fisiologis terhadap lingkungan sekitarnya. Hylobates umumnya melakukan aktivitas harian di tajuk-tajuk pohon (arboreal) yaitu dimulai dari meninggalkan pohon tidur hingga masuk ke pohon tidur selanjutnya. Chivers (1980) dalam Duma (2001) menyebutkan, Hylobates mulai beraktivitas sebelum matahari terbit dan mengakhirinya pada sore hari untuk beristirahat lebih awal dari jenis primata diurnal lainnya. Waktu aktivitas hariannya kurang lebih berlangsung 9,5 jam, dari pukul 06.19 hingga 15.43. Aktivitas yang dilakukan antara lain bersuara, berpindah, makan, bermain dan istirahat.

Aktivitas harian kelompok Hylobates diawali dengan bersuara, hal ini dilakukan untuk menunjukan teritorial dan pengaturan ruang antar kelompok. Aktivitas bersuara dilakukan sebagai pengaturan ruang dengan alasan suara keras dilakukan agar terdengar oleh kelompok lain sebagai komunikasi antar kelompok kemudian saling bersautan dan jarang terjadinya kontak langsung antar kelompok (Bates 1970). Gittins et al. (1980) menyebutkan aktivitas bersuara ungko dilakukan selama ± 15 menit yang terdengar hingga 1 km. Pada ungko jantan hampir dewasa kegiatan bersuara juga dilakukan untuk menarik lawan jenis. Aktivitas bersuara biasanya dilakukan di pohon sumberpakan atau yang berdekatan.

(11)

Secara umum, jenis-jenis Hylobatidaememiliki perilaku yang sama. Hasil penelitian Iskandar (2007) perilaku yang dilakukan yaitu makan, sosial, lokomosi agresi dan istirahat. Owa jawa paling banyak melaksanakan aktifitas istirahat dan makan. Hampir sama dengan hasil penelitian Duma (2007) pada klawet, aktivitasnya lebih banyak makan dan istirahat. Lebih jauh menjelaskan, klawet memulai aktivitas harian antara pukul 04.50-07.10 WIB yaitu vokalisasi (duet call). Setelah itu mulai meninggalkan pohon tidur untuk berpindah, makan dan istirahat. Setelah pukul 16.00 WIB, klawet sudah beristirahat penuh.

2.8 Persaingan

Hylobates adalah spesialis buah masak (Chivers 2001) yang menggunakan buah ficus sebagai sumber utama (Marshall et al. 2009). Asumsi bahwa siamang adalah folivorous benar, namun gagasan bahwa siamang bergantung pada buah ficus ke tingkat yang sama seperti Hylobatidae lain juga ditunjukan dalam berbagai penelitian (Plombit et al. 1997). Chivers et al. (1986) mengusulkan bahwa siamang lebih akurat digambarkan sebagai ''pencari ficus,'' pemikiran ini didukung juga oleh Palombit (1997). Chivers et al. (1986) menunjukan Hylobates sebagai spesialis buah lunak, namun Palombit (1997) dan Marshall (2004) menemukan bahwa owa bertubuh kecil (H. lar and H. albibarbis) menekankan buah ficus pada tingkat yang sama seperti siamang.

(12)

peran kunci sehingga memungkinkannya hidup bersama dengan jenis yang ukurannya lebih kecil (Raemaekers 1984). Elder (2009) berasumsi siamang mengkonsumsi lebih banyak daun diharapkan untuk mengurangi persaingan langsung dengan Hylobatidae lain saat mereka hidup simpatrik.

Teori ekologi memprediksi perbedaan relung antara spesies yang tinggal simpatrik (Brown et al. 1956), spesies Hylobatidae simpatrik menunjukan adanya tumpang tindih secara luas dalam ekologi dengan menggunakan bagian yang sama pada ruang kanopi (Raemaekers 1977; MacKinnon et al. 1980), makanan dan ukuran ruang (Raemaekers 1984; Palombit 1997).

Siamang dan owa tangan putih dipelajari memiliki perbedaan dalam proporsi makan. Sebagai contoh, di Sumatera bagian utara yang didominasi kedua spesies pemakan buah, makan lebih banyak buah ficus dan memperoleh sebagian besar protein mereka dari serangga, namun siamang menghabiskan lebih banyak waktu makan daun muda (siamang 16%, owa tangan putih 4%) dan owa tangan putih makan buah lunak lebih lama (owa tangan putih 26%, dari siamang 18%) (Palombit 1997). Jika, pada kenyataannya siamang dan Hylobatidae bertubuh kecil dibatasi oleh makanan yang berbeda (daun muda dan buah lunak), maka perbedaan dalam kepadatan populasi mereka mungkin mencerminkan variasi dalam ketersediaan sumberdaya (Elder 2009). O'Brien et al. (2004) menunjukkan bahwa dalam rentang distribusi siamang, kepadatan populasinya menurun dari selatan ke utara untuk siamang dan meningkat untuk ungko. Pola ini mungkin muncul dari lebih tingginya ketersediaan buah ficus di selatan ke utara (Palombit 1997; O'Brien et al. 2004).

(13)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Utara - Sumatera Utara, tepatnya di Stasiun Penelitian Yayasan Ekosistem Lestari

Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP). Kegiatan penelitian dilakukan para area seluas 2.400 ha. Stasiun Penelitian memiliki transek sebagai penunjuk lokasi (Gambar 2).

(14)

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan adalah peta lokasi penelitian, Global Positioning System (GPS), binokuler, kompas, kamera, jam tangan, head ligh dan alat tulis. Bahan penelitiannya adalah ungko dan siamang yang merupakan obyek utama dan Kawasan Hutan Batang Toru sebagai habitatnya.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari kegiatan pengamatan di lapangan menggunakan metode pengambilan data yang sudah ditentukan. Sedangkan data sekunder merupakan data maupun informasi yang diperoleh dari hasil studi literatur yang relevan sebagai pendukung kajian penelitian.

Sensus cukup sulit dilakukan karena mereka cenderung berada di tempat yang tinggi, kanopi yang rapat, sangat waspada dan memiliki respon tidak terduga dari deteksi manusia dengan berpindah diam-diam dan kemudian bersembunyi

(O‟Brian et al. 2004). Penentuan metode yang tepat sangat menentukan akurasi data. Brockelman et al. (1987) merekomendasikan penggunaan metode penghitungan titik untuk menghindari masalah yang terkait dengan keterbatasan visibilitas objek pada kanopi dan variabel responnya untuk terdeteksi oleh manusia.

Perilaku Hylobatidae melakukan morning call yang dapat terdengar hingga

lebih dari 2 km pada beberapa medan (O‟Brien at al. 2004), meskipun great call

umumnya terdengar sejauh 1 km di dalam hutan (Brockelman at al. 1987). Karena sifat vokal satwa ini, metode audio sampling terbukti lebih efektif dibandingkan metode transek garis (Brockelman et al.1993). Triangle count diperlukan untuk menentukan lokasi akurat keberadaan Hylobatidae karena topografi bergelombang dan tutupan hutan, jarak pengamat dengan Hylobatidae sulit diketahui berdasarkan volume suara.

3.3.1 Triangle Count

(15)

Masing-masing pos berpencar membentuk segitiga. Jarak tiap antar pos antara 300-500 m (Brockelman et al. 1993; Buckley et al. 2006; Cheyne et al. 2008).

Group call digunakan untuk pengambilan sempel populasi Hylobatidae. Probabilitas bersuara Hylobatidae stabil saat hari ke-4 (Brockelman et al. 1987; Brockelman et al. 1993; O‟Brien et al. 2004; Buckley et al. 2006), sehingga pengamatan dilakukan selama minimal 4 hari berturut-turut dalam satu area. Pengamatan hanya dilakukan pada saat cuaca cerah atau tidak hujan. Apabila hujan terjadi maka pengamatan hari itu diganti hari berikutnya.

Pengamatan dilakukan pada pukul 05.00-12.00 WIB (O‟Brien et al. 2004). Waktu ini ditentukan berdasarkan perilaku Hylobatidae saat melakukan aktivitas bersuara pagi. Area pengamatan ditentukan pada tempat-tempat yang strategis agar suara dapat terdengar lebih jelas, misalnya di bukit-bukit yang memiliki ketingian lebih dibandingkan tempat lainnya. Setelah sebelumnya melakukan survei didapat 16 pos pendengaran dalam 4 area.

Metode ini dilakukan oleh tiga orang pengamat yang berada pada pos-pos terpisah yang sudah ditentukan sebelumnya. Masing-masing pengamat diam di titik yang telah ditentukan dan mencatat data, yaitu cuaca, jenis, waktu dimulainya suara, lamanya suara didengar, arah suara/azimut, estimasi jarak dan jenis suara. Luas area penelitian setiap area merupakan radius 1 km dari tiap pos pengamat. Radius 1 km digunakan dengan asumsi kemampuan pengamat mendengar suara Hylobatidae secara optimal.

3.3.2 VES (Visual Encounter Survey)

Pengamat mencari dan melihat kelompok Hylobatidae secara langsung dan mencatat jumlah individu, komposisi dan kepadatan kelompok. Data jumlah individu didapat dengan menghitung individu dari semua kelompok. Komposisi kelompok dibagi berdasarkan struktur umur yang diidentifikasi dari ukuran tubuh dan perilakunya.

(16)

data yang didapat semakin akurat. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi anggota kelompok yang sedang memisahkan diri.

VES dilakukan di area transek dan di fokuskan di wilayah selatan dan timur stasiun penelitian. Jumlah pengamat sebanyak 5-8 pengamat yang terbagi menjadi 3-4 tim selama 40 hari. VES dilakukan mulai pukul 07.30-15.00 WIB. VES tidak dilakukan saat turun hujan.

3.3.3 Pemetaan

Hasil titik triangle count dan perjumpaan langsung saat dituangkan dalam peta setiap setelah pengamatan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui distribusi Hylobatidae dan memberikan data kepadatan kelompok. Titik-titik triangle count pada masing-masing jenis dengan jarak >500 m terpisah dianggap kelompok berbeda. Pada ungko, Jarak ini ditentukan berdasarkan perkiraan diameter perpindahan kelompok Hylobatidae diantara waktu bersuara (O‟Brien et al.

2004). O‟Brien et al. (2004) menjelaskan dengan wilayah jelajah 70 ha, bila diasumsikan berbentuk lingkaran akan didapat diameter 472 m. Sehingga 500 m adalah jarak pemisahan konservatif antar titik suara untuk membedakan kelompok

(O‟Brien et al. 2004). Pada siamang, perpindahan dalam 3 jam pertama aktivitas

sehari-harinya sangat jarang melebihi 500 m (O‟Brien et al. 2004). Sehingga 500 m merupakan batas jarak untuk membedakan suara kelompok berbeda (Brockelman et al.1993; O‟Brien et al. 2004).

3.4 Analisis Data

Distribusi ungko dan siamang dianalisis berdasarkan peta dari perjumpaan langsung dan triangle count. Hasil distribusi dua metode dikembangkan membentuk sketsa pembagian home range masing-masing spesies. Selanjutnya tumpang tindih home range dan teritori antar spesies dianalisis secara deskriptif terkait distribusi intra dan interspesifik.

Perkiraan kepadatan diperoleh berdasarkan perhitungan denagan rumus (Brockelman et al. 1993):

D = n / [ p (m) x E]

(17)

efektif pendengaran. Area efektif pendengaran ditentukan berdasarkan polygon yang terbentuk dari titik-titik terluar suara kelompok terdeteksi. Proporsi bersuara kelompok selama periode sampel [p (m)], ditentukan dengan rumus:

p (m) = 1 – [ 1 – p (1) ]m

(18)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Secara administratif Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) terletak di Propinsi Sumatera Utara yang mencakup tiga kabupaten yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Secara geografis KHBT terletak di antara 980 53‟ – 990 26‟ Bujur Timur dan 020 03‟ – 010 27‟ Lintang Utara (Gambar 3). Luas KHBT sebesar 132.716 ha terbagi 90.106 ha atau sekitar 60% di Kab. Tapanuli Utara, 45.953 ha atau sekitar 31% di Kab. Tapanuli Selatan dan 12.510 ha atau sekitar 8.4% di Kab. Tapanuli Tengah. Berdasarkan fungsi hutan dan penetapannya, KHBT terbagi menjadi hutan produksi tetap seluas 115.241,6 ha, hutan lindung seluas 17.382,7 ha, hutan suaka alam 12.994,7 ha dan hutan produksi terbatas seluas 2.951,1 ha (Perbatakusuma et al. 2007). Lokasi penelitian ditunjukan pada Gambar 3.

(19)

4.2 Kondisi Fisik

KHBT memiliki topografi yang beragam mulai landai hingga terjal, lebih didominasi daerah perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lahan antara 16% hingga lebih dari 60%. Ketinggian kawasan mulai dari 50 meter diatas permukaan laut (m dpl) di sekitar Sungai Sipan Sihaporas hingga 1,875 m dpl di Puncak Dolok Lubuk Raya. Kawasan ini juga dilewati rangkaian jalur pegunungan vulkanis aktif Pegunungan Bukit Barisan Selatan. Daerah ini juga merupakan Daerah Patahan Besar Sumatera atau dikenal sebagai bagian dari rangkaian Sub Patahan Batang Gadis – Batang Angkola – Batang Toco. Kondisi ini menyebabkan kawasan memiliki potensi besar terjadinya gempa bumi akibat pergerakan patahan (Perbatakakusuma et al. 2007).

Jenis tanah di area kawasan antara lain ultisolik, alluvioculluvial dan inseptisolic. Area kawasan secara umum tersusun oleh 15 jenis batuan geologis yang didominasi batuan Qvt. Batuan Qvt merupakan batuan vulkanik tufa toba (Toba Tuffs) yaitu batuan polimik bersusun riolit-dasit, aliran tufa kristal, gelas, debu dengan sedikit tufa eksposif pada bagian atasnya.

Kawasan ini masih memiliki tutupan hutan relatif baik dan utuh. Terdapat sedikitnya lima Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu Das Batang Toru, DAS Aek Kolang, DAS Bila, DAS DAS Barumum dan DAS Batang Gadis. Kondisi ini menjadikan KHBT memiliki fungsi ekologi yang cukup tinggi sehingga sangat penting bagi kehidupan masyarakat sekitar kawasan, baik sebagai pengatur tata air maupun sebagai pencegah banjir, erosi dan tanah longsor. Selain itu, potensi ini juga dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi PLTA Sipan Sihaporas (Midora dan Angraeni 2007 dalam Perbatakakusuma et al. 2007).

4.3 Potensi Flora dan Fauna

(20)

Rafflesia spp. Berdasarkan inventarisassi yang telah dilakukan kawasan ini memiliki 688 jenis tumbuhan. Dari sekian banyak jenis tumbuhan, terdapat 8 jenis terancam punah, 3 endemik Sumatera, 4 jenis dilindungi Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999, 2 jenis endemik dan langka yaitu Amorphophalus baccari dan Amorphophalus gigas. Selain itu juga terdapat 3 jenis Nephenthes yang terancam punah (Perbatakusuma et al. 2007).

(21)

BAB V

HASIL

5.1 Distribusi

5.1.1 Kondisi Habitat

Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan berdasarkan kombinasi struktur vegetasi dan habitat fisik, yaitu habitat hutan gambut, Dipterocarpaceae atas, dan peralihan (Gambar 4). Habitat hutan gambut ditandai dengan adanya tumbuhan khas seperti kantung semar dan mosses. Tajuk pada hutan gambut didominasi oleh pepohonan dengan daun berwarna coklat kemerahan seperti mayang merah (Palaquium sp.). Daerah peralihan ditunjukan

(22)
(23)

5.1.2 Distribusi Ungko dan Siamang Berdasarkan VES

Perjumpaan dengan ungko dan siamang paling banyak terjadi pada saat melakukan aktivitas pergerakan (moving). Perjumpaan juga terjadi pada saat aktivitas makan, istirahat, bersuara dan beberapa kali aktivitas membuang kotoran pada ungko (Gambar 6).

Gambar 6 Aktivitas istirahat pada ungko (kiri) dan makan pada siamang (kanan).

Peta distribusi ungko dan siamang berdasarkan titik-titik perjumpaan selama penelitian (Gambar 7). Tercatat ada 59 perjumpaan ungko (110 individu) dan 23 perjumpaan siamang (46 individu). Perjumpaan banyak terjadi di bagian timur dan selatan, hal ini dikarenakan VES lebih difokuskan di daerah tersebut.

(24)
(25)

Selain kedua spesies, juga dijumpai primata lain yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii), simpai (Presbytis melalophos) dan beruk (Macaca nemestrina) (Lampiran 3). Mereka sama-sama primata arboreal yang hidup di tempat sama. Simpai dan beruk memiliki wilayah jelajah yang lebih sempit dan cukup terkonsentrasi di suatu wilayah. Sementara orangutan memiliki wilayah jelajah sangat luas dibandingkan jenis primata lain di area penelitian. Individu orangutan yang sama dapat ditemukan di lokasi berbeda hingga berjarak lebih dari 3 km dalam waktu dua hari.

5.1.3 Distribusi Ungko dan Siamang Berdasarkan Triangle Count

Selain perjumpaan langsung, titik-titik perkiraan lokasi ungko dan siamang yang disusun berdasarkan data triangle count (Gambar 8). Triangle count dilakukan di 4 area yang memiliki tumpang tindih. Tumpang tindih area dilakukan karena lokasi penelitian memiliki topografi ekstrim sehingga memungkinkan adanya suara yang tidak terdengar.

Distribusi berdasarkan triangle count menunjukan titik-titik keberadaan siamang lebih luas daripada ungko. Hal ini disebabkan karena suara yang dikeluarkan siamang lebih keras. Distribusi siamang terdeteksi lebih dari 1km dari pengamat. Sementara suara ungko terdengar lebih dari 1km pada kondisi tertentu yaitu saat lokasi sumber suara tidak terhalang bukit.

Estimasi berdasarkan titik-titik hasil triangle count (Gambar 9) mewakili titik-titik lokasi keberadaan ungko dan siamang hasil VES (Gambar 8) dengan area yang lebih luas. Sebagian besar area ditempati oleh kedua jenis, beberapa lokasi terlihat hanya terdapat ungko saja atau siamang saja.

(26)
(27)

5.1.4 Distribusi Intra dan Interspesifik

Distribusi ungko dan siamang membentuk blok-blok home range dan teritori. Setiap Kelompok memiliki mekanisme dalam mendapatkan dan mempertahankan daerah kekuasaan dengan vokalisasi. Posisi ditemukannya kelompok menunjukkan daerah tersebut menjadi bagian home range. Hasil pengamatan dan survei suara menunjukan pola pembagian wilayah ungko dan siamang di area penelitian.

Peta sebaran ungko dan siamang dari hasil VES dan triangle count dapat menunjukkan sketsa distribusi home range masing-masing kelompok pada ungko dan siamang (Gambar 9). Selama penelitian dijumpai 13 kelompok ungko dan 9 kelompok siamang yang teridentifikasi ukuran dan komposisinya. Beberapa kelompok lain dijumpai namun tidak teridentifikasi jumlah individunya yaitu kelompok siamang SJ, SK dan SL.

Ungko dan siamang memiliki cara yang khas dalam mempertahankan wilayahnya. Perilaku yang dilakukannya ialah vokalisasi untuk menandakan keberadaan suatu kelompok terhadap kelompok tetangganya. Konflik antar kelompok dapat terjadi saat terjadi pertemuan antar kelompok (encounter). Encounter banyak terjadi di dekat perbatasan dan area tumpang tindih home range. Secara umum pada saat encounter jantan dewasa berada pada paling depan dan saling bertatapan dari kejauhan. Sementara betina berada di belakangnya dan bersuara keras. Pada survei suara, encounter dapat di ketahui berdasarkan dua vokalisasi kelompok atau lebih dalam satu lokasi. Selama penelitian, sedikitnya terdapat 9 lokasi dijumpai encounter pada ungko dan 1 kali pada siamang.

(28)

Keterangan : area tumpang tindih; encounter

(29)

Gambar 10 Sketsa tumpang tindih home range ungko dan siamang.

Ungko dan siamang memiliki persaingan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Selama pengamatan dijumpai dua kali encounter antar keduanya. Pertama, ungko masuk ke pohon Ficus sp. yang sama dengan siamang, namun siamang tidak menghiraukan. Ungko hanya singgah sebentar untuk makan dan kemudian pergi meninggalkan pohon dan siamang masih tetap di pohon. Kedua,

... Siamang ____ Ungko

(30)

siamang memberikan respon mengusir ungko ketika datang dan ungko pergi menjauh dengan cepat.

Persaingan antar keduanya juga terjadi dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya. Perselisihan tidak dijumpai secara langsung, namun ungko dan siamang ditemukan makan buah dan daun yang sama pada waktu yang berbeda. Kedua jenis dijumpai memakan buah daun dan bunga (Gambar 11). Jenis-jenis vegetasi yang sama menjadi sumber pakan bagi keduanya antara lain buah Ficus, bunga dan buah Palaqium rostratum dan buah Camnosperma auriculatum.

Gambar 11 Perilaku makan pada ungko dan siamang: (a) siamang makan daun, (b) ungko makan daun dan (c) ungko makan buah dan bunga Palaqium rostratum.

5.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok

5.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Ungko

Ungko dan siamang merupakan satwa primata yang hidup dalam kelompok-kelompok keluarga monogami selayaknya jenis-jenis Hylobatidae lainnya. Setiap kelompok umumnya terdiri dari sepasang induk jantan dan betina beserta anak. Induk jantan dan betina melahirkan satu anak per kelahiran serta hidup bersama hingga menjelang dewasa dan keluar membentuk kelompok baru. Anak dapat hidup dengan induknya hingga berumur ± 10 tahun, dengan rentang waktu kelahiran 3,2 tahun (Mitani 1990) maka satu kelompok dapat berjumlah 5 individu dengan 3 anak didalamnya.

(31)
[image:31.595.134.439.216.378.2]

kelompok. Kelompok dengan ukuran 3 individu memiliki persentase terbanyak yaitu 64% (9 kelompok) kemudian diikuti 2 dan 4 individu masing-masing 14% dan 5 individu sebesar 7% (Gambar 12). Setiap kelompok ungko sebagai satwa monogami umumnya memiliki 1 jantan dewasa, 1 betina dewasa sebagai pasangan dan 1-2 anak sebelum mandiri serta memisahkan diri untuk membentuk kelompok baru.

Gambar 12 Ukuran kelompok ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

Individu-individu pada kelompok memiliki komposisi baik dari jenis kelamin maupun kelas umur. Ungko memiliki variasi warna rambut yang dapat hidup dalam satu kelompok. Komposisi kelompok dapat menunjukan pola kelangsungan hidup dalam berkembang biak. Selain itu komposisi tiap kelompok juga mempengaruhi sistem sosialnya.

Selama pengamatan tercatat 14 kelompok dengan komposisi bervariasi (Tabel 3). Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan jantan dan betina (sex ratio) secara menyeluruh sebesar 19:17. Hal ini wajar karena ungko merupakan salah satu jenis Hylobates yang dikenal monogami. Dari 44 individu ungko yang ditemukan, ada 8 individu tidak teridentifikasi jenis kelaminnya. Delapan individu tidak teridentifikasi kelamin sebagian besar merupakan bayi (umur <2 tahun) dan beberapa anak (umur 2-6 tahun). Komposisi kelas umur pada kelompok ungko memiliki perbandingan dewasa:pra-dewasa:anak:bayi berturut-turut sebesar 62,90:9,10:11,36:13,64.

14

64

14

7 0

20 40 60 80

1 2 3 4 5

p

e

rsen

tase

Ukuran kelompok (individu)

(32)
(33)

kelompok ungko yang terdeteksi, tercatat 48% kelompok berwarna rambut hitam semua, 23% berwarna kuning dan 29% berwarna campuran kuning hitam.

5.2.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok Siamang

Hasil pengamatan tercatat 9 kelompok siamang yang teridentifikasi. Ukuran kelompok siamang bervariasi antara 1-4 individu per kelompok. Kelompok dengan ukuran 3 individu memiliki persentase terbanyak yaitu 67% (6 kelompok). Sama seperti kelompok ungko, setiap kelompok siamang juga merupakan satwa monogami yang umumnya memiliki 1 jantan dewasa, 1 betina dewasa sebagai pasangan dan 1-2 anak sebelum mandiri serta memisahkan diri untuk membentuk kelompok baru.

Ukuran kelompok siamang di lokasi penelitian sebesar 2,78 individu/kelompok, lebih kecil dibandingkan ungko (3,14 individu/kelompok). Pada siamang jarang ditemui kelompok lebih dari 3 individu dan hanya ada 14% kelompok dengan 4 individu yang merupakan kelompok dengan anggota terbesar (Gambar 14). Berbeda dengan ungko, ada 21% kelompok yang anggotanya lebih dari 3 individu dan dijumpai juga kelompok dengan 5 individu.

Gambar 14 Ukuran kelompok siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT.

Selama pengamatan dijumpai 9 kelompok siamang yang seluruhnya berjumlah 25 individu dengan komposisi bervariasi (Tabel 4). Terdapat 19 individu teridentifikasi jenis kelaminnya yaitu 10:9 betina dan jantan. Komposisi kelas umur pada kelompok siamang memiliki persentase dewasa:pra-dewasa:anak:bayi sebesar 68:4:20:8 (Tabel 4).

11 11

67

11

0 20 40 60 80

1 2 3 4 5

Per

sen

tase

Ukuran kelompok (individu)

(34)
[image:34.595.97.508.67.842.2]

Tabel 4 Komposisi kelompok siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT

Kelompok Dewasa Pra-dewasa Anak Bayi Σ

B J J B J B ?

SA 1 - - - 1

SB 1 1 - - 1 - - 1 4

SC 1 1 - 1 - - - - 3

SD 1 1 - - - - 1 - 3

SE 1 1 - - - - 1 - 3

SF 1 1 - - - 2

SG 1 1 - - - - 1 - 3

SH 1 1 - - - 1 3

SI 1 1 - - - - 1 - 3

Σ 9 8 1 1 4 2 25

Persentase 36 32 0 4 4 0 16 8 100

68 4 20 8 100

Ket: J = jantan; B = betina; ? = tidak teridentifikasi

Warna rambut hitam antara siamang dan ungko memiliki perbedaan. Perbedaan warna hitam pada ungko dan siamang terlihat mencolok pada saat terkena sinar matahari langsung (Gambar 15). Siamang memiliki warna rambut hitam pekat. Warna rambut hitam ungko tidak pekat dan lebih terlihat pudar menuju coklat.

Gambar 15 Beda kehitaman warna rambut antara siamang (kiri) dan ungko versi hitam (kanan).

5.2 Kepadatan Populasi

[image:34.595.110.511.101.285.2]
(35)

betina dewasa pada setiap kelompok. Vokalisasi dapat menunjukan informasi keberadaan kelompok di suatu titik lokasi. Vokalisasi solo tidak dipakai karena tidak menunjukan suatu kelompok.

Kepadatan populasi pada Hylobatidae dapat menunjukan besarnya persaingan, tumpang tindih wilayah (home range) antar kelompok sejenis dan keberlangsungan hidup suatu spesies dalam mempertahankan keturunannya. Kepadatan yang besar akan mengakibatkan tingginya persaingan dan tumpang tindih wilayah. Namun kondisi ini lebih menjamin kelestarian spesies tersebut daripada kepadatan yang rendah dalam habitat yang normal. Belum diketahui secara pasti mengenai kepadatan ideal pada ungko dan siamang.

Hasil kepadatan ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP disajikan dalam Tabel 5. Berdasarkan hasil data yang dipetakan menggunakan ArcGis 9.3, area dengar efektif triangle count sebesar 2,64 ha. Area dengar efektif dipengaruhi oleh pemilihan pos pendengaran dan topografi area survei. Hambatan suara pada survei adalah terhalang bukit, arah angin dan suara bising di sekitar pos. Pos pendengaran yang baik yaitu berada pada lokasi tertinggi di areanya sehingga dapat mengurangi hambatan.

Tabel 5 Kepadatan ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT

Area Estimasi Area Dengar

Area Dengar

Efektif Grup

Terdengar p (1) m (hari) p (m)

Kepadatan kel/km2 ind/km2 (km2) (km2)

1 4,53 2,36 12,00 0,52 5,00 0,98 5,19 16,30

2 4,79 2,28 12,00 0,60 4,00 0,98 5,37 16,86

3 4,73 2,39 12,00 0,48 4,00 0,93 5,40 16,96

4 4,79 3,54 16,00 0,75 4,00 1,00 4,52 14,19

Rerata 4,71 2,64 13,00 0,59 4,25 0,97 5,12 16,08

ket: p (1): probabilitas rata-rata; m: jumlah hari pengamatan; p (m): proporsi bersuara kelompok

(36)
[image:36.595.113.519.202.317.2]

Hasil analisis data pengamatan siamang disajikan pada Tabel 6. Luasan area dengar efektif rata-rata dari 4 area sebesar 2,85 ha dengan kepadatan rata-rata 3,37 kelompok/km2. Sama halnya dengan ungko, berdasarkan ukuran rata-rata kelompok siamang sebesar 2,28 individu/kelompok, didapatkan kepadatan rata-rata sebesar 9,37 individu/km2.

Tabel 6 Kepadatan siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT

Area Estimasi Area Dengar

Area Dengar

Efektif Grup

Terdengar p (1) m (hari) p (m)

Kepadatan

(km2) (km2) kel/km2 ind/km2

1 4,53 2,12 8,00 0,40 5,00 0,93 4,06 11,29

2 4,79 3,35 8,00 0,53 4,00 0,95 2,51 6,98

3 4,73 2,67 10,00 0,63 4,00 0,98 3,82 10,62

4 4,79 3,27 10,00 0,45 4,00 0,99 3,09 8,59

Rerata 4,71 2,85 9,00 0,50 4,25 0,96 3,37 9,37

ket: p (1): probabilitas rata-rata; m: jumlah hari pengamatan; p (m): proporsi bersuara kelompok

5.3 Perilaku Bersuara

Perilaku bersuara memiliki peranan penting bagi satwa primata Hylobatidae. Satwa ini tergolong satwa teritorial dan suara menjadi komunikasi sosial baik antar individu dalam kelompok maupun komunikasi antar kelompok. Ungko dan siamang melakukan vokalisasi dapat diartikan sebagai penanda teritorinya dan sebagai media pembagian wilayah antar kelompok serta sebagai komunikasi antar pasangan dalam satu kelompok. Hasil pengamatan menunjukan waktu dan tahapan perilaku bersuara. Jantan dan betina memiliki suara dengan tahapan dan waktu yang berbeda. Vokalisasi dapat dilakukan solo maupun duet dan juga dapat berupa vokalisasi kelompok.

(37)
[image:37.595.124.456.95.284.2]

Gambar 16 Grafik pemilihan waktu dawn call/male solo pada ungko dalam tujuh periode waktu pengamatan dihitung dari frekuensinya.

Jenis kelamin individu Hylobatidae dapat dibedakan berdasarkan suaranya (vokalisasi). Betina menghasilkan vokalisasi lebih menonjol, nyaring, melengking dan panjang yang biasa disebut great call. Great call dibagi menjadi tiga fase, yaitu pre-trill, trill dan post-trill. Sangat berbeda dengan vokalisasi jantan yang lebih pendek (male solo). Male solo merupakan vokalisasi jantan yang berurutan tanpa jeda oleh fase atau not vokalisasi betina (Duma 2007).

Jantan dewasa bersuara pagi sebagai awal aktivitas setelah bangun dan kemudian berpindah untuk mencari makan. Umumnya setelah ungko jantan melakukan dawn call/male solo pada awal bersuara, kemudian betina dewasa membalasnya dengan great call dan dawn call berhenti. Setelah selang beberapa waktu kelompok ungko melakukan duet call maupun group call yaitu great call oleh betina dewasa yang langsung diikuti coda jantan dewasa

Great call dapat dilakukan oleh dua betina sekaligus atau biasa disebut double great call. Double great call dapat dilakukan oleh kelompok yang memiliki anak betina remaja atau hingga dewasa. Begitu juga dengan jantan, suara balasan dapat dilakukan double pada kelompok yang memiliki anak jantan atau hingga dewasa. Berbeda dengan ungko, siamang bersuara setelah matahari terbit. Pada siamang juga ada vokalisasi double seperti ungko. Bedanya, suara jantan pada siamang dilakukan pada saat great call betina belum selesai atau pada tengah-tengah dan mengikuti alur suara betina.

0

14

52

21

7

2 4 0

(38)

Selama pengamatan tercatat ada 325 group call dalam 16 hari oleh kelompok ungko. Ungko melakukan group call paling awal yaitu sebelum pukul 06.00 WIB tercatat 2%. Terlihat pada Gambar 16, mulai pukul 06.00 WIB frekuensi bersuara ungko mulai terus naik hingga mencapai puncaknya pada pukul 08.00 WIB dan menurun setelahnya hingga tidak terdengar lagi setelah pukul 11.00 WIB. Frekuansi vokalisasi ungko paling tinggi pada pukul 07.00 – 08.00 WIB sebesar 36%.

[image:38.595.108.491.252.408.2]

\

Gambar 17 Grafik perbandingan aktivitas group call ungko dan siamang pada tujuh periode waktu pengamatan, dihitung dari frekuensinya.

Tercatat ada 150 group call siamang selama 16 hari pengamatan. Siamang melakukan vokalisasi paling awal yaitu sebelum pukul 08.00 WIB sebanyak 2%. Namun siamang memulai vokalisasi pertamanya paling banyak pada pukul 09.00-10.00 WIB sebanyak 27%. Pemilihan waktu awal panggil siamang 1 jam sebelum dan sesudah waktu terbanyak tidak berbeda jauh. Dengan kata lain siamang cenderung melakukan vokalisasi awal pada pukul 08.00-11.00.

Gambar 17 menunjukan adanya kecenderungan pergantian aktivitas panggil yang dilakukan antara ungko dan siamang dari segi waktu. Ketika frekuensi vokalisasi ungko menurun, pada saat itu frekuensi vokalisasi siamang meningkat hingga mencapai puncaknya. Kedua jenis ini sudah sedikit mengawali vokalisasi setelah pukul 11.00 WIB, bahkan pada ungko tidak ada yang memulai vokalisasi setelah pukul 11.00 WIB.

Probabilitas vokalisasi menunjukan kemungkinan kelompok melakukan satu kali vokalisasi dalam waktu tertentu.Hal ini penting diketahui dalam penggunaan

2

34 36

18

8 3

0

0 2

12

25 27

24 10 5 10 15 20 25 30 35 40

5-6 6-7 7-8 8-9 9-10 10-11 11-12

(39)

triangel count untuk menunjukan minimal jumlah hari pengamatan untuk menghindari kelompok yang tidak melakukan vokalisasi selama pengamatan.

[image:39.595.102.521.162.802.2]

Probabilitas vokalisasi kelompok ungko dan siamang disajikan pada Tabel 2. Semua probabilitas ungko dan siamang mencapai 100% pada hari ke-4, namun ada beberapa area yang sudah mencapai 100% pada hari ke-3 yaitu pada area 3 untuk ungko dan area 2 untuk siamang. Rata-rata kelompok bersuara pada setiap area sebanyak 13 kelompok ungko dan 9 kelompok siamang.

Tabel 7 Probabilitas vokalisasi kelompok ungko dan siamang

Hari ke-

Ungko

Rerata

Siamang

Rerata Area 1 Area 2 Area 3 Area 4 Area 1 Area 2 Area 3 Area 4

1 50,00 50,00 58,33 50,00 52,08 25,00 62,50 50,00 50,00 46,88 2 66,67 91,67 75,00 62,50 73,96 62,50 87,50 70,00 60,00 70,00 3 83,33 91,67 100 93,75 92,19 75,00 100 80,00 90,00 86,25

4 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

5 100 100 100 100

Σ Kel. 12 12 12 16 8 8 10 10

(40)

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Distribusi

6.1.1 Kondisi Habitat

Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) menunjukan sebagai hutan pegunungan bawah yang baik. Indikatornya adalah masih ditemukan satwa-satwa yang sensitif terhadap kerusakan dan gangguan dari luar seperti ungko (H. agilis), siamang (S. syndactylus), orangutan (Pongo abelii), harimau sumatera (Panhtera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus) dan tapir (Tapirus indicus) (camera trap Stasiun Penelitian). Kondisi hutan yang baik juga ditunjukan dengan kualitasnya menyediakan sumberdaya alam bagi kehidupan satwa-satwa didalamnya.

Lokasi Stasiun Penelitian YEL-SOCP di KHBT berada pada posisi relatif aman dari gangguan. Kegiatan yang mengganggu keberadaan ungko dan siamang adalah pengalihan fungsi lahan menjadi kebun karet yang dilakukan masyarakat sekitar hutan di wilayah barat Stasiun Penelitian. Sebelah timur merupakan hutan produksi yang dikelola oleh HPH, sementara disebelah utara dan selatan terdapat lokasi pertambangan. Kondisi ini memungkinkan satwa akan bergerak menuju kawasan hutan lindung dimana kondisi hutan masih baik.

Sebaran Hylobatidaedapat berubah dengan adanya beberapa gangguan yang memaksanya berpindah dan merubah wilayahnya. Gangguan yang mempengaruhi antara lain adanya aktivitas manusia dan pemukiman penduduk sehingga dapat menyebabkan kerusakan hutan serta fragmentasi habitat (Sultan 2009). Geissman et al. (2006) menunjukan populasi ungko dan siamang di Sumatera Selatan semakin berkurang akibat aktivitas manusia yang membuat hutan terpisah-pisah (patches) dan adanya penanaman karet secara monokultur meski masih menyisakan beberapa pohon aslinya.

(41)

semakin berdekatan. KHBT memiliki ciri habitat yang baik seperti yang dijelaskan Sultan (2009) yaitu memiliki kerapatan tajuk yang rapat untuk menunjang pergerakan brakhiasi, memiliki ketersediaan sumber pakan yang besar dan kawasan minim interaksi dengan manusia atau jauh dari pemukiman penduduk (> 4 km dari pemukiman).

6.1.2 Distribusi Ungko dan Siamang di Area Penelitian

Tiga spesies Hylobatidae tinggal di hutan hujan tropis Sumatera: siamang (Symphalangus syndactylus), owa tangan putih (H. lar), dan ungko (H. agilis): Groves 1972; Wilson dan Wilson 1976; Rijksen 1978). Owa tangan putih hidup simpatrik dengan siamang di Sumatera bagian ujung utara, sedangkan ungko simpatrik dengan siamang di Sumatera bagian utara hingga selatan. Distribusi ungko dan owa tangan putih dipisahkan oleh Danau Toba di Sumatera Utara, sehingga kawasan Hutan Batang Toru merupakan wilayah distribusi simpatrik ungko dan siamang paling utara.

Ungko dan Siamang tersebar hampir di seluruh area Stasiun Penelitian YEL-SOCP. Keduanya hidup dalam kelompok keluarga monogami dan termasuk satwa teritorial (Chivers 1974; Bartlett 2003) dan memanfaatkan habitat yang relatif sama. Aktivitas hidup keduanya dilakukan di tajuk-tajuk pohon. Mereka merupakan satwa frugivorous, namun juga memakan daun, bunga dan serangga (Chivers 1974; Palombit 1997). Peta distribusi menunjukan di seluruh kawasan mampu menampung ruang dan sumberdaya bagi mereka (Gambar 7; Gambar 8).

Penggunaan metode untuk mengetahui distribusi ungko dan siamang dilakukan dengan cara VES dan survei suara (triangle count). VES dapat menunjukkan posisi serta komposisi satwa secara langsung sehingga informasi yang didapat lebih lengkap dan akurat. Namun metode ini memiliki keterbatasan dalam area jangkauanya. Berbeda dengan triangle count, jangkauan untuk mengetahui posisi dan keberadaan lebih luas karena suara keduanya dapat terdengar hingga lebih dari 1 km. Kedua metode ini dapat saling melengkapi data yang didapat, selain itu juga menjadi perbandingan dalam mengoreksi agar data lebih mendekati kondisi sesungguhnya.

(42)

hutan dipterocarpaceae daripada hutan dataran rendah (Yanuar 2009). Wilson et al. (1976) melaporkan ungko biasanya tinggal di ketinggian yang lebih tinggi dan jarang terlihat di hutan dataran rendah di sebelah barat Pegunungan Barisan, sedangkan di bagian timur Sumatera mereka yang umum di dataran rendah. Sementara siamang di Sumatera lebih melimpah di hutan dataran rendah.

6.1.1 Distribusi Intra dan Interspesifik

Home range menjadi wilayah yang ditempati dan dimanfaatkan selama masa sepanjang hidup dewasanya. Terjadi tumpang tindih wilayah antar kelompok. Sebagian wilayah di dalamnya merupakan teritori, di mana teritori pada ungko merupakan wilayah yang dipertahankan dan kelompok dapat mengusir kelompok lain yang akan masuk (Burt 1943 dalam Gittins 1980). Ellefson (1974) melaporkan ada 25-75 m diluar teritori H. lar menjadi wilayah yang dapat tumpang tindih dengan kelompok tetangga. Sementara pada siamang, Chivers (1974) melaporkan 50-100 m di luar teritori.

Sebagai satwa teritorial, ada daerah kekuasaan yang dipertahankan masing-masing kelompok. Tiap spesies memiliki mekanisme tersendiri dalam mempertahankan teritori (intraspesifik). Interaksi perselisihan antar kelompok menunjukan perilaku teritorial. Pembagian wilayah antar kelompok dilakukan menggunakan suara keras sebagai tanda keberadaan kelompok. Meskipun demikian perselisihan dapat terjadi untuk memperebutkan wilayah atau ada penyusupan dari kelompok lain. Terlebih lagi dengan adanya kelompok baru yang belum memiliki wilayah. Perselisian banyak ditemukan di pinggiran home range karena di wilayah ini memiliki peluang besar terjadinya encounter antar kelompok. Kemungkinan terjadinya encounter diantaranya karena pertemuan yang tidak disengaja antar kelompok, kelompok mendeteksi keberadaan kelompok lain di dekat wilayahnya dari suara, dan perilaku patroli yang dilakukan. Namun sampai saat ini belum diketahui penyebab utama dan membutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini, sementara ini yang paling mungkin adalah pertemuan yang terjadi tidak disengaja (Gittins 1980).

(43)

keluar dari kelompok namun masih dalam wilayah induknya dan biasanya di tepian perbatasan. Setelah kelompok baru terbentuk maka mereka harus berjuang untuk mendapatkan teritorinya dengan ancaman dari kelompok lain. Wilayah yang mungkin ditempati mereka diantaranya sebagian wilayah kelompok induknya, wilayah yang belum ada pemiliknya dan berjuang mendapatkan wilayah kelompok lain. Saat kelompok baru mampu mengusir kelompok lain di wilayah ini maka kelompok ini telah mendapatkan tempat untuk hidup (MacKinnon et al.1977). Pertahanan wilayah selanjutnya dilakukan seperti kelompok lain dengan melakukan vokalisasi keras untuk menunjukan kepemilikan wilayahnya.

Konflik pada kelompok ungko lebih sering terjadi daripada kelompok siamang. Hal ini di karenakan kepadatan ungko lebih besar. Hutan pegunungan bawah dan Dipterocarpaceae atas diketahui merupakan habitat baik untuk ungko, dan ungko lebih banyak ditemukan di habitat ini (Yanuar 2009). Selain itu ungko juga memiliki mobilisasi lebih aktif dan acak. Perilaku bersuara ungko sebagai penanda wilayah dilakukan secara bebas dan spontan serta dilakukan cenderung bukan sebagai respon atas kelompok tetangganya (Brockelman et al. 1987). Siamang menunjukan pembagian wilayah yang lebih teratur, jarang dijumpai perselisihan antar kelompok pada siamang. Sepertinya suara keras siamang efektif sebagai komunikasi pembagian wilayah antar kelompok. Siamang bersuara keras sebagai respon atas kelompok tetangganya (Bates 1970).

Terdapat sebagian wilayah di Stasiun Penelitian tidak dijumpai siamang baik secara langsung maupun tanda keberadaan berdasarkan suara. Lokasi ini diantara kelompok siamang SA, SB, SD, SF, dan SJ (Gambar 9) tidak dimiliki kelompok manapun. Hal yang paling mungkin adalah wilayah tersebut di tinggal pemiliknya atau mati, selain itu mungkin juga memang belum ada kelompok yang masuk kedalamnya. Kemungkinan lain adalah pengaruh dari kelompok ungko GA dengan 4 individu hitam yang hidup di wilayah tersebut. Namun belum jelas diketahui penyebabnya dan masih perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut.

(44)

bersama. Mereka memiliki mekanisme pemanfaatan ruang dan sumberdaya sangat erat, namun tidak berada pada relung ekologi yang sama sehingga dapat hidup simpatrik (interspesifik) (Raemaker 1984).

Siamang yang memiliki ukuran tubuh hingga dua kali lipat daripada ungko memiliki keunggulan kompetitif dalam persaingan. Berdasarkan perilaku bersuara, ungko yang lebih pagi melakukan vokalisasi menunjukan aktivitas yang lebih awal daripada siamang. Saat vokalisasi siamang mulai terdengar dan mencapai puncaknya, vokalisasi ungko semakin menurun dan kemudian menghilang. Meskipun keduanya merupakan satwa diurnal serta memanfaatkan sumberdaya dan ruang yang hampir sama, namun waktu beraktifitasnya berbeda sehingga keduanya dapat hidup simpatrik.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa keduanya memiliki perbedaan dalam proporsi pakan dan perilaku yang lebih spesifik. Secara umum, Hylobates adalah spesialis buah masak yang menggunakan buah ficus sebagai sumber makanan utama (Polomnit 1997; Chivers 2001). Meskipun banyak asumsi bahwa siamang adalah folivorous benar di beberapa lokasi, namun gagasan bahwa siamang bergantung pada buah ficus ke tingkat yang sama seperti Hylobates banyak ditemukan dalam berbagai penelitian (Palombit 1997; Chivers 2000; Elder 2009).

Kesamaan ekologi keduanya dan hidup pada lokasi yang sama memberikan pertanyaan mekanisme mereka sehingga dapat hidup berdampingan. Berdasarkan ukuran tubuh, siamang diperkirakan memiliki keunggulan dalam persaingannya dengan ungko (Raemakers 1978). Ukuran tubuh yang besar memberikan peningkatan kekuatan dalam mendapatkan sumberdaya. Hal ini menunjukan penguasaan yang lebih dominan oleh siamang dalam persaingannya dengan ungko menguasai wilayah beserta sumberdaya di dalamnya.

(45)

besar namun panjang tungkai yang hampir sama dengan ungko sehingga langkah/jangkauannya lebih pendek (Raemaekers 1979 dalam Raemaekers 1984). Siamang mungkin memiliki jelajah harian yang sedikit lebih pendek dan pergerakan lebih lambat daripada ungko. Ukuran tubuh ungko yang kecil membuatnya lebih mudah mengekplorasi tajuk baik dalam perjalananya maupun mendapatkan makanan di ujung-ujung tajuk di mana cabang dan ranting yang kecil. Kondisi ini tidak memungkinkan bagi siamang karena siamang lebih terbatas untuk bergerak pada cabang-cabang pohon kecil. Jadi kedua jenis dapat hidup simpatrik dengan membagi ruang dan menyiasati persaingan agar lebih damai menggunakan strategi beraktivitas seperti mencari makan yang berbeda menyesuaikan kelebihan masing-masing. Kondisi yang membedakan antara siamang dan ungko juga dapat menargetkan makanan yang berbeda baik dari proporsi, distribusi ataupun keduanya (Elder 2009).

6.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok

6.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Ungko

Ungko merupakan primata yang hidup dalam kelompok monogami. Induk jantan dan betina dewasa akan melahirkan anak sebagai bagian anggota kelompok hingga fase anak menjadi dewasa untuk kemudian keluar dari kelompok membentuk kelompok baru. Ungko memasuki fase dewasa setelah berumur 8 tahun. Mitani (1990) menyebutkan interval minimal kelahiran ungko adalah 3,2 tahun, sehingga secara umum satu kelompok ungko dapat mencapai 5 individu. Bahkan dapat dijumpai juga kelompok dengan 6 individu (Duma 2007). Fenomena kelompok dengan >4 individu dikarenakan adanya anakan dewasa belum mendapatkan pasangan atau betina dewasa maupun jantan dewasa memiliki pasangan lebih dari satu.

Ukuran kelompok ungko di area penelitian menunjukan ukuran yang umum. Beberapa hasil penelitian di lokasi berbeda menunjukan kelompok ungko dengan 3 individu paling banyak dijumpai (Bangun 2007; Sultan 2009). Begitu juga dengan Hylobates agilis albibarbis di Pulau Kalimantan (Suyanti 2007; Duma 2007).

(46)

warna rambut pada kelompok dengan induk yang berbeda warna rambut. Kelompok campuran hitam dan kuning menghasilkan keturunan dengan peluang yang sama mengenai pewarisan warna rambut. Ada yang menghasilkan anak dengan warna rambut hitam dan ada juga yang menghasilkan anak berambut kuning.

Berdasarkan warna rambut, ungko dapat memilih pasangannya secara acak, tidak terlihat adanya kecenderungan memilih pasangan dengan warna rambut yang sama. Walaupun sebagian besar kelompok ungko yang ditemukan memiliki semua anggota berwarna hitam (43%) seperti disajikan paga Gambar 12. namun banyak juga kelompok dengan anggota campuran antara ungko berambut hitam dan kuning (36%). Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai warna rambut baik dari segi genetik maupun perilaku sosialnya untuk menunjukan seberapa jauh pengaruh warna rambut dalam kehidupan ungko.

Beberapa peneliti berpendapat perbedaan/pewarisan warna rambut pada ungko dipengaruhi adanya faktor genetik dan/atau adanya persilangan atar sub-spesies bahkan antar sub-spesies. Berdasarkan distribusi beberapa spesis dan sub spesies dintaranya H. lar dan 2 sub-spesies H. agilis, Bangun (2007) menjelaskan adanya kemungkinan persilangan antar ketiganya sehingga mempengaruhi pewarisan warna rambut. Geismann (2006) menunjukan adanya persilangan antara H. lar dan H. agilis ungko di Thailand dan Semenanjung Malaysia yang menghasilkan anak dengan variasi warna rambut hitam, kuning dan coklat.

6.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Siamang

Siamang memiliki pola hidup berkelompok mirip dengan ungko. Ukuran kelompok di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT termasuk kecil bila

dibandingkan dengan ukuran kelompok di beberapa lokasi berbeda. O‟brian et al.

(47)

(1977) dalam Chivers (1977) berturut-turut sebesar 3,3;4,1;3,8 individu/ kelompok.

Ukuran kelompok yang termasuk kecil disebabkan banyaknya kelompok-kelompok yang baru terbentuk sehingga belum melahirkan banyak anak. Angka ini juga dipengaruhi adanya 1 betina soliter yang dianggap kelompok. Betina ini memang hidup sendiri tanpa pasangan namun terlihat memiliki hubungan dekat dengan satu kelompok beranggotakan 3 individu karena memiliki tumpang tindih home range cukup besar dan beberapa kali dijumpai melakukan vokalisasi bersama-sama di lokasi yang berdekatan.

6.3 Kepadatan Populasi

Area dengar efektif antar kedua spesies menunjukan angka berbeda. Siamang memiliki kemampuan bersuara lebih keras dibandingkan ungko, sehingga jangkaun luasan survei suara pada siamang lebih luas. Penelitian ini menggunakan estimasi area dengar dengan radius 1 km dari masing masing pos pendengaran (Brockelman et al. 1993; Buckley et al. 2006; Cheyne et al. 2008 ). Radius 1 km diambil dengan pertimbangan suara keras kedua spesies dapat terdengar efektif, meskipun vokalisasi keras kedua spesies mampu terdengar lebih dari 1km bahkan hingga mencapai 2 km di hutan dengan kondisi tertentu (O‟Brien et al. 2004).

(48)

Kepadatan kelompok ungko cenderung meningkat dari selatan ke utara di Sumatera. Sebaliknya, siamang menunjukan penurunan kepadatan dan ukuran kelompok dari selatan ke utara. Sehingga posisi KHBT yang berada di ujung utara distribusi ungko di Sumatera memungkinkan kepadatan ungko lebih besar dari dan kepadatan siamang lebih kecil di bagian selatan Sumatera seperti dilaporkan

O‟Brien et al. (2004) dan Yanuar (2009)

Secara umum bila dibandingkan dengan populasi di beberapa daerah berbeda, baik ungko maupun siamang di area penelitian termasuk tinggi di Sumatera. Mitani (1990) melaporkan H. albibarbis di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Ada kondisi berbeda antar kedua tempat yang mungkin mempengaruhi kepadatan ungko cenderung lebih rendah di Sumatera yaitu adanya siamang yang menjadi kompetitor.

Banyak kesamaan dalam pemanfaataan habitat antara ungko dan siamang. Kondisi simpatrik membuat peranan keduanya cenderung tumpang tindih. Populasi kedua jenis yang hidup simpatrik memiliki kedekatan menjadi satu kesatuan. Hal ini mungkin mempengaruhi kepadatan yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis Hylobates lain yang hidup sendiri tanpa adanya simpatrik dengan siamang.

Hasil pengamatan menggunakan triangle count menunjukan populasi yang sehat. Ukuran populasi yang tinggi masing-masing spesies dapat bertahan dalam jangka panjang jika kondisi habitat bertahan seperti saat ini. Gangguan terhadap populasi kedua spesies relatif kecil di area penelitian, namun tidak untuk beberapa wilayah disekitarnya. Stasiun penelitian dikelilingi kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas dan berbatasan langsung dengan aktivitas masyarakat seperi perkebunan. Bila kawasan disekitarnya tidak disikapi dengan baik maka akan mengancam keberlangsungan hidup kedua spesies.

6.4 Perilaku Bersuara

Spesies dari Hylobatidae memiliki ciri khas menghasilkan vokalisasi/suara dengan pola yang spesifik untuk masing-masing jenis dan jenis kelamin (Geissmann 1995). Aktivitas bersuara pada ungko dan siamang dapat terdengar sejauh 1 km (Brockelman et al. 1987), bahkan mencapai 2 km pada medan

(49)

memberikan dasar informasi yang cukup akurat untuk mengestimasi kepadatan populasi. Karena sifat vokalnya, Brockelman et al. (1993) menyebutkan bahwa survei populasi menggunakan audio sampling terbukti lebih efektif dibandingkan metode transek garis.

Aktivitas bersuara pada ungko sepertinya dilakukan spontan, cukup sulit dimengerti apakah suara yang dikeluarkan suatu kelompok merupakan respon dari vokalisasi kelompok lain. Namun pada saat encounter jelas terdengar vokalisasi antar kelompok saling bersaut-sautan untuk memberitahu keberadaannya dan sebagai peringatan bagi kelompok lain. Brockelman et al.(1987) berpendapat duet call pada ungko dilakukan secara spontan dan tidak secara langsung distimulasi oleh kelompok tetangganya.

Lain halnya dengan ungko, aktivitas bersuara siamang cenderung lebih contagious, yaitu saat suatu kelompok bersuara maka kelompok lain yang berdekatan akan merespon dengan vokalisasi balasan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa aktivitas bersuara pada Hylobatidae dilakukan untuk menunjukan teritorial dan pengaturan ruang antar kelompok. Aktivitas bersuara dilakukan sebagai pengaturan ruang dengan alasan suara keras dilakukan agar terdengar oleh kelompok lain sebagai komunikasi antar kelompok kemudian saling bersautan dan jarang terjadinya kontak langsung antar kelompok (Bates 1970).

Banyaknya vokalisasi berkorelasi positif dengan kepadatan. Vokalisasi kelompok rendah terjadi pada kepadatan yang rendah (Chivers 1974; Nijman et al. 2004). Setiap kelompok ungko dan siamang tidak selalu bersuara setiap hari meskipun kondisi cuaca mendukung. Oleh karena itu penelitian kepadatan berdasarkan vokalisasi harus dapat memastikan waktu yang cukup untuk dapat mendengar semua vokalisasi kelompok di lokasi penelitian.

(50)

count ada 2-3 encounter antar kelompok. Hal ini menunjukan banyaknya overlap ruang yang dimanfaatkan sehingga terjadi perebutan wilayah. Berbeda dengan kelompok siamang, pembagian ruang lebih teratur. Jarang terjadi encounter antar kelompok siamang, tercatat hanya 1 kali terjadi encounter.

7.5 Implikasi Terhadap Pengelolaan

Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) terdiri dari dua wilayah terpisah yaitu blok barat dan blok timur. Kawasan ini merupakan salah satu kawasan hutan yang tersisa di Provinsi Sumatera Utara. Topografi yang ekstrim dan curam secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi terlindunginya dari perambahan dan alih fungsi lahan. Namun dengan kondisi ini tidak sepenuhnya terhindar dari kerusakan dan gangguan lain seperti perambahan dan penebangan liar.

Statusnya saat ini memberikan gambaran kondisi hutan yang akan datang. Sebagian besar kawasan hutan ditunjuk sebagai Hutan produksi. Namun kondisinya menunjukan bahwa sebagian besar kawasan ini lebih tepat sebagai kawasan hutan lindung. KHBT memiliki karakteristik kelerengan, tanah dan intensitas curah hujan yang mengarah kepada SK Menteri Pertanian No. 837/KPTS/UM/II/1980. Lebih dari itu kawasan ini merupakan daerah resapan air dan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) bagi sedikitnya tiga kabupaten di sekiranya yaitu Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan. Sedikitnya ada 8 DAS yang bergantung pada KHBT sebagai daerah tangkapan air.

KHBT memiliki potensi tinggi untuk dijadikan kawasan konservasi. Hal ini mengingat kawasan menyimpan ekosistem sumberdaya alam yang penting untuk dilestarikan. Keberadaan flora fauna langka dan habitatnya serta fungsi kawasan sebagai penyangga kehidupan terutama di daerah Tapanuli. Selain itu saat ini KHBT menjadi satu-satunya hutan yang dihuni tiga primata langka Indonesia yaitu orangutan sumatera, ungko dan siamang. Keberadaan KHBT juga potensial menjadi sumber informasi ilmu pengetahuan., seperti yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

(51)

interaksi langsung dengan kawasan hutan dalam kehidupan sehari-hari. Data survei YEL (2007) menunjukan

Gambar

Gambar 1  Peta sebaran Hylobatidae di Asia Tenggara (Geissmann 1995).
Tabel 2  Kepadatan Ungko dan Siamang di Indonesia dan Malaysia (ind/km2)
Gambar 2  Peta transek Stasiun Penelitian YEL-SOCP.
Gambar 3  Lokasi penelitian Kawasan Hutan Batang Toru.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul “Keefektifan Kombinasi Terapi Panas dan Dingin

 Faktor-faktor seperti tingkat keparahan luka yang dialami, pengalaman yang dialami (dihayati) oleh isteri terkait forgiveness, kurun waktu sejak kejadian yang tidak

Aspek internal adalah analisis terhadap kekuatan dan kelemahan yang ada dalam organisasi pelaksanaan program yaitu : kekuatan (Peran pihak yang terlibat dalam pengembangan

Perubahan ketinggian atap pada gambar tersebut adalah ketinggian atap pada semua sampel yang diteliti ditentukan berdasarkan sudut kemiringan dan tidak berdasarkan ketinggian

Menimbang : bahwa guna memberdayakan peran dan fungsi Masjid Agung Jawa Tengah sebagai tempat Ibadah bagi Umat Islam, kegiatan-kegiatan keagamaan dan ketaqwaan kepada Allah

Indonesia Tahun 2OAZ Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Repubiik Indonesia Nomor a7 J2l;.. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 20Os. tentang Pengeloiaan Keuangan Badan

Namun penerapan itu sendiri tidak lah menjadi acuan akan kemampuan siswa dalam memahami dan mengenal potensi diri jika penerapan itu tidak terlaksana secara maksimal.

Pengaruh positif terjadinya alih kode dan campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu proses belajar- mengajar dapat berjalan lancar karena bahasa yang