• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.3 Potensi Flora dan Fauna

KHBT memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Kawasan ini memiliki beberapa tipe habitat. Tipe habitat yang ada di KHBT diantaranya hutan pegunungan bawah, hutan gambut dan hutan dataran rendah. Jenis pohon yang mendominasi tiap vegetasi berbeda-beda pada masing-masing habitat. Jenis-jenis itu antara lain dari famili Casuarinaceae, Podocarpaceae, dan Myrtaceae. Pada hutan dataran rendah terdapat jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae dan Fagaceae. KHBT juga menyimpan jenis-jenis anggrek hutan, Nephentes spp. dan

Rafflesia spp. Berdasarkan inventarisassi yang telah dilakukan kawasan ini memiliki 688 jenis tumbuhan. Dari sekian banyak jenis tumbuhan, terdapat 8 jenis terancam punah, 3 endemik Sumatera, 4 jenis dilindungi Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999, 2 jenis endemik dan langka yaitu Amorphophalus baccari dan Amorphophalus gigas. Selain itu juga terdapat 3 jenis Nephenthes yang terancam punah (Perbatakusuma et al. 2007).

Berdasarkan inventarisasi fauna yang telah dilakukan, KHBT memiliki 67 jenis mamalia, 287 jenis burung, 110 jenis herpetofauna. Pada jenis mamalia terdapat 20 jenis satwa dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999, 12 jenis masuk kedalam daftar terancam punah IUCN dan 14 jenis masuk kategori CITES. Jenis-jenis satwaliar yang terancam punah antara lain ungko (Hylobathes agilis), siamang (Symphalangus syndactilus), orangutan sumatera (Pongo abelii), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus) dan lainnya. Pada jenis burung terdapat 51 jenis dilindungi PP No. 7 Tahun 1999. Jenis burung langka yang ditemukan di kawasan ini antara lain jenis rangkong seperti Buceros rhinoceros, Buceros bicornis, Rhyticeros comatus dan Rhinoplax vigil. Jenis-jenis elang seperti Ictinaetus malayensis, Spilornis cheela dan Accipiter virgatus (Perbatakusuma et al. 2007). Pada jenis herpetofauna terdapat 4 jenis endemik, 7 jenis masuk kategori CITES dan 5 jenis terancam punah secara global (Perbatakusuma et al. 2007).

BAB V

HASIL

5.1 Distribusi

5.1.1 Kondisi Habitat

Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan berdasarkan kombinasi struktur vegetasi dan habitat fisik, yaitu habitat hutan gambut, Dipterocarpaceae atas, dan peralihan (Gambar 4). Habitat hutan gambut ditandai dengan adanya tumbuhan khas seperti kantung semar dan mosses. Tajuk pada hutan gambut didominasi oleh pepohonan dengan daun berwarna coklat kemerahan seperti mayang merah (Palaquium sp.). Daerah peralihan ditunjukan

5.1.2 Distribusi Ungko dan Siamang Berdasarkan VES

Perjumpaan dengan ungko dan siamang paling banyak terjadi pada saat melakukan aktivitas pergerakan (moving). Perjumpaan juga terjadi pada saat aktivitas makan, istirahat, bersuara dan beberapa kali aktivitas membuang kotoran pada ungko (Gambar 6).

Gambar 6 Aktivitas istirahat pada ungko (kiri) dan makan pada siamang (kanan).

Peta distribusi ungko dan siamang berdasarkan titik-titik perjumpaan selama penelitian (Gambar 7). Tercatat ada 59 perjumpaan ungko (110 individu) dan 23 perjumpaan siamang (46 individu). Perjumpaan banyak terjadi di bagian timur dan selatan, hal ini dikarenakan VES lebih difokuskan di daerah tersebut.

Berdasarkan titik-titik perjumpaan yang disajikan pada peta, dapat menggambarkan distribusi dan besarnya populasi relatif ungko dan siamang. Selain menggambarkan populasi relatif, data ini juga dapat menunjukan posisi strategis untuk menjumpainya. Terlihat ada siamang dan ungko dijumpai pada titik lokasi yang sama, namun ada beberapa lokasi hanya dijumpai ungko dan hanya dijumpai siamang.

Gambar 7 Peta distribusi ungko dan siamang berdasarkan VES di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

Selain kedua spesies, juga dijumpai primata lain yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii), simpai (Presbytis melalophos) dan beruk (Macaca nemestrina) (Lampiran 3). Mereka sama-sama primata arboreal yang hidup di tempat sama. Simpai dan beruk memiliki wilayah jelajah yang lebih sempit dan cukup terkonsentrasi di suatu wilayah. Sementara orangutan memiliki wilayah jelajah sangat luas dibandingkan jenis primata lain di area penelitian. Individu orangutan yang sama dapat ditemukan di lokasi berbeda hingga berjarak lebih dari 3 km dalam waktu dua hari.

5.1.3 Distribusi Ungko dan Siamang Berdasarkan Triangle Count

Selain perjumpaan langsung, titik-titik perkiraan lokasi ungko dan siamang yang disusun berdasarkan data triangle count (Gambar 8). Triangle count dilakukan di 4 area yang memiliki tumpang tindih. Tumpang tindih area dilakukan karena lokasi penelitian memiliki topografi ekstrim sehingga memungkinkan adanya suara yang tidak terdengar.

Distribusi berdasarkan triangle count menunjukan titik-titik keberadaan siamang lebih luas daripada ungko. Hal ini disebabkan karena suara yang dikeluarkan siamang lebih keras. Distribusi siamang terdeteksi lebih dari 1km dari pengamat. Sementara suara ungko terdengar lebih dari 1km pada kondisi tertentu yaitu saat lokasi sumber suara tidak terhalang bukit.

Estimasi berdasarkan titik-titik hasil triangle count (Gambar 9) mewakili titik-titik lokasi keberadaan ungko dan siamang hasil VES (Gambar 8) dengan area yang lebih luas. Sebagian besar area ditempati oleh kedua jenis, beberapa lokasi terlihat hanya terdapat ungko saja atau siamang saja.

Ada beberapa lokasi yang tidak di jumpai ungko dan siamang secara langsung, namun ada titik-titik perkiraan keberadaan berdasarkan triangulasi. Hal ini dkarena VES tidak dilakukan di semua wilayah Stasiun Penelitian. Lokasi- lokasi tersebut terdeteksi berdasarkan suara, selain itu jarak yang relatif dekat dengan titik-titik perjumpaan langsung, terutama di wilayah selatan dan timur.

Gambar 8 Peta distribusi ungko dan siamang berdasarkan triangle count di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

5.1.4 Distribusi Intra dan Interspesifik

Distribusi ungko dan siamang membentuk blok-blok home range dan teritori. Setiap Kelompok memiliki mekanisme dalam mendapatkan dan mempertahankan daerah kekuasaan dengan vokalisasi. Posisi ditemukannya kelompok menunjukkan daerah tersebut menjadi bagian home range. Hasil pengamatan dan survei suara menunjukan pola pembagian wilayah ungko dan siamang di area penelitian.

Peta sebaran ungko dan siamang dari hasil VES dan triangle count dapat menunjukkan sketsa distribusi home range masing-masing kelompok pada ungko dan siamang (Gambar 9). Selama penelitian dijumpai 13 kelompok ungko dan 9 kelompok siamang yang teridentifikasi ukuran dan komposisinya. Beberapa kelompok lain dijumpai namun tidak teridentifikasi jumlah individunya yaitu kelompok siamang SJ, SK dan SL.

Ungko dan siamang memiliki cara yang khas dalam mempertahankan wilayahnya. Perilaku yang dilakukannya ialah vokalisasi untuk menandakan keberadaan suatu kelompok terhadap kelompok tetangganya. Konflik antar kelompok dapat terjadi saat terjadi pertemuan antar kelompok (encounter). Encounter banyak terjadi di dekat perbatasan dan area tumpang tindih home range. Secara umum pada saat encounter jantan dewasa berada pada paling depan dan saling bertatapan dari kejauhan. Sementara betina berada di belakangnya dan bersuara keras. Pada survei suara, encounter dapat di ketahui berdasarkan dua vokalisasi kelompok atau lebih dalam satu lokasi. Selama penelitian, sedikitnya terdapat 9 lokasi dijumpai encounter pada ungko dan 1 kali pada siamang.

Tumpang tindih wilayah sangat besar terjadi antara kedua spesies. Hampir semua home range dan teritori antar kedua spesies tumpang tindih. Tumpang tindih terjadi diperkirakan mencapai lebih dari 80% (Gambar 10). Hampir di semua lokasi ditemukannya ungko selama penelitian ditemukan juga siamang. Ada sebagian wilayah kelompok ungko GA tidak ditemukan siamang baik dari perjumpaan langsung maupun tanda keberadaan berdasarkan suara. Namun, sebagian wilayah kelompok ungko GA tumpang tindih dengan siamang kelompok SA dan SF.

Keterangan : area tumpang tindih; encounter

Gambar 9 Sketsa perkiraan home range kelompok ungko (kiri) dan kelompok siamang (kanan) berdasarkan VES dan triangle count.

Gambar 10 Sketsa tumpang tindih home range ungko dan siamang.

Ungko dan siamang memiliki persaingan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Selama pengamatan dijumpai dua kali encounter antar keduanya. Pertama, ungko masuk ke pohon Ficus sp. yang sama dengan siamang, namun siamang tidak menghiraukan. Ungko hanya singgah sebentar untuk makan dan kemudian pergi meninggalkan pohon dan siamang masih tetap di pohon. Kedua,

... Siamang ____ Ungko

siamang memberikan respon mengusir ungko ketika datang dan ungko pergi menjauh dengan cepat.

Persaingan antar keduanya juga terjadi dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya. Perselisihan tidak dijumpai secara langsung, namun ungko dan siamang ditemukan makan buah dan daun yang sama pada waktu yang berbeda. Kedua jenis dijumpai memakan buah daun dan bunga (Gambar 11). Jenis-jenis vegetasi yang sama menjadi sumber pakan bagi keduanya antara lain buah Ficus, bunga dan buah Palaqium rostratum dan buah Camnosperma auriculatum.

Gambar 11 Perilaku makan pada ungko dan siamang: (a) siamang makan daun, (b) ungko makan daun dan (c) ungko makan buah dan bunga Palaqium rostratum.

5.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok

5.2.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Ungko

Ungko dan siamang merupakan satwa primata yang hidup dalam kelompok- kelompok keluarga monogami selayaknya jenis-jenis Hylobatidae lainnya. Setiap kelompok umumnya terdiri dari sepasang induk jantan dan betina beserta anak. Induk jantan dan betina melahirkan satu anak per kelahiran serta hidup bersama hingga menjelang dewasa dan keluar membentuk kelompok baru. Anak dapat hidup dengan induknya hingga berumur ± 10 tahun, dengan rentang waktu kelahiran 3,2 tahun (Mitani 1990) maka satu kelompok dapat berjumlah 5 individu dengan 3 anak didalamnya.

Selama pengamatan di stasiun penelitian ada 14 kelompok ungko yang teridentifikasi. Ukuran kelompok ungko yang bervariasi antara 2-5 individu per

kelompok. Kelompok dengan ukuran 3 individu memiliki persentase terbanyak yaitu 64% (9 kelompok) kemudian diikuti 2 dan 4 individu masing-masing 14% dan 5 individu sebesar 7% (Gambar 12). Setiap kelompok ungko sebagai satwa monogami umumnya memiliki 1 jantan dewasa, 1 betina dewasa sebagai pasangan dan 1-2 anak sebelum mandiri serta memisahkan diri untuk membentuk kelompok baru.

Gambar 12 Ukuran kelompok ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

Individu-individu pada kelompok memiliki komposisi baik dari jenis kelamin maupun kelas umur. Ungko memiliki variasi warna rambut yang dapat hidup dalam satu kelompok. Komposisi kelompok dapat menunjukan pola kelangsungan hidup dalam berkembang biak. Selain itu komposisi tiap kelompok juga mempengaruhi sistem sosialnya.

Selama pengamatan tercatat 14 kelompok dengan komposisi bervariasi (Tabel 3). Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan jantan dan betina (sex ratio) secara menyeluruh sebesar 19:17. Hal ini wajar karena ungko merupakan salah satu jenis Hylobates yang dikenal monogami. Dari 44 individu ungko yang ditemukan, ada 8 individu tidak teridentifikasi jenis kelaminnya. Delapan individu tidak teridentifikasi kelamin sebagian besar merupakan bayi (umur <2 tahun) dan beberapa anak (umur 2-6 tahun). Komposisi kelas umur pada kelompok ungko memiliki perbandingan dewasa:pra-dewasa:anak:bayi berturut-turut sebesar 62,90:9,10:11,36:13,64. 14 64 14 7 0 20 40 60 80 1 2 3 4 5 p e rsen tase

Ukuran kelompok (individu)

kelompok ungko yang terdeteksi, tercatat 48% kelompok berwarna rambut hitam semua, 23% berwarna kuning dan 29% berwarna campuran kuning hitam.

5.2.2 Ukuran dan Komposisi Kelompok Siamang

Hasil pengamatan tercatat 9 kelompok siamang yang teridentifikasi. Ukuran kelompok siamang bervariasi antara 1-4 individu per kelompok. Kelompok dengan ukuran 3 individu memiliki persentase terbanyak yaitu 67% (6 kelompok). Sama seperti kelompok ungko, setiap kelompok siamang juga merupakan satwa monogami yang umumnya memiliki 1 jantan dewasa, 1 betina dewasa sebagai pasangan dan 1-2 anak sebelum mandiri serta memisahkan diri untuk membentuk kelompok baru.

Ukuran kelompok siamang di lokasi penelitian sebesar 2,78 individu/kelompok, lebih kecil dibandingkan ungko (3,14 individu/kelompok). Pada siamang jarang ditemui kelompok lebih dari 3 individu dan hanya ada 14% kelompok dengan 4 individu yang merupakan kelompok dengan anggota terbesar (Gambar 14). Berbeda dengan ungko, ada 21% kelompok yang anggotanya lebih dari 3 individu dan dijumpai juga kelompok dengan 5 individu.

Gambar 14 Ukuran kelompok siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT.

Selama pengamatan dijumpai 9 kelompok siamang yang seluruhnya berjumlah 25 individu dengan komposisi bervariasi (Tabel 4). Terdapat 19 individu teridentifikasi jenis kelaminnya yaitu 10:9 betina dan jantan. Komposisi kelas umur pada kelompok siamang memiliki persentase dewasa:pra- dewasa:anak:bayi sebesar 68:4:20:8 (Tabel 4).

11 11 67 11 0 20 40 60 80 1 2 3 4 5 Per sen tase

Ukuran kelompok (individu)

Tabel 4 Komposisi kelompok siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT

Kelompok Dewasa Pra-dewasa Anak Bayi Σ

B J J B J B ? SA 1 - - - 1 SB 1 1 - - 1 - - 1 4 SC 1 1 - 1 - - - - 3 SD 1 1 - - - - 1 - 3 SE 1 1 - - - - 1 - 3 SF 1 1 - - - 2 SG 1 1 - - - - 1 - 3 SH 1 1 - - - 1 3 SI 1 1 - - - - 1 - 3 Σ 9 8 1 1 4 2 25 Persentase 36 32 0 4 4 0 16 8 100 68 4 20 8 100

Ket: J = jantan; B = betina; ? = tidak teridentifikasi

Warna rambut hitam antara siamang dan ungko memiliki perbedaan. Perbedaan warna hitam pada ungko dan siamang terlihat mencolok pada saat terkena sinar matahari langsung (Gambar 15). Siamang memiliki warna rambut hitam pekat. Warna rambut hitam ungko tidak pekat dan lebih terlihat pudar menuju coklat.

Gambar 15 Beda kehitaman warna rambut antara siamang (kiri) dan ungko versi hitam (kanan).

5.2 Kepadatan Populasi

Kepadatan populasi merupakan banyaknya individu per satuan luas. Kepadatan satwaliar cukup sulit diketahui karena sifat liar itu sendiri. Namun, ada metode yang memudahkan hal tersebut. Primata jenis-jenis Hylobatidae seperti ungko dan siamang memiliki vokalisasi khas yang dapat mempermudah mengetahui kepadatan yaitu dengan metode triangle count. Vokalisasi yang dimaksud dalam metode triangle count yaitu group call dan duet call jantan dan

betina dewasa pada setiap kelompok. Vokalisasi dapat menunjukan informasi keberadaan kelompok di suatu titik lokasi. Vokalisasi solo tidak dipakai karena tidak menunjukan suatu kelompok.

Kepadatan populasi pada Hylobatidae dapat menunjukan besarnya persaingan, tumpang tindih wilayah (home range) antar kelompok sejenis dan keberlangsungan hidup suatu spesies dalam mempertahankan keturunannya. Kepadatan yang besar akan mengakibatkan tingginya persaingan dan tumpang tindih wilayah. Namun kondisi ini lebih menjamin kelestarian spesies tersebut daripada kepadatan yang rendah dalam habitat yang normal. Belum diketahui secara pasti mengenai kepadatan ideal pada ungko dan siamang.

Hasil kepadatan ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP disajikan dalam Tabel 5. Berdasarkan hasil data yang dipetakan menggunakan ArcGis 9.3, area dengar efektif triangle count sebesar 2,64 ha. Area dengar efektif dipengaruhi oleh pemilihan pos pendengaran dan topografi area survei. Hambatan suara pada survei adalah terhalang bukit, arah angin dan suara bising di sekitar pos. Pos pendengaran yang baik yaitu berada pada lokasi tertinggi di areanya sehingga dapat mengurangi hambatan.

Tabel 5 Kepadatan ungko di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT

Area Estimasi Area Dengar Area Dengar Efektif Grup Terdengar p (1) m (hari) p (m) Kepadatan kel/km2 ind/km2 (km2) (km2) 1 4,53 2,36 12,00 0,52 5,00 0,98 5,19 16,30 2 4,79 2,28 12,00 0,60 4,00 0,98 5,37 16,86 3 4,73 2,39 12,00 0,48 4,00 0,93 5,40 16,96 4 4,79 3,54 16,00 0,75 4,00 1,00 4,52 14,19 Rerata 4,71 2,64 13,00 0,59 4,25 0,97 5,12 16,08

ket: p (1): probabilitas rata-rata; m: jumlah hari pengamatan; p (m): proporsi bersuara kelompok Pengamatan yang dikukan selama 4-5 hari pada setiap area, rata-rata kelompok terdengar setiap padaareasebanyak13 kelompok. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, rata-rata kepadatan ungko sebesar 5,12 kelompok/km2. Mengacu rata-rata ukuran kelompok ungko berdasarkan pengamatan langsung pada 14 kelompok yaitu 3,14 per kelompok, didapat estimasi kepadatan ungko sebanyak 16,08 individu/km2. Hasil yang sedikit berbeda ditunjukan pada area ke- 4, berdasarkan teknisnya hal ini dikarenakan pos yang digunakan lebih strategis sehingga luas area dengar efektif dan kelompok yang terdengar lebih banyak.

Hasil analisis data pengamatan siamang disajikan pada Tabel 6. Luasan area dengar efektif rata-rata dari 4 area sebesar 2,85 ha dengan kepadatan rata-rata 3,37 kelompok/km2. Sama halnya dengan ungko, berdasarkan ukuran rata-rata kelompok siamang sebesar 2,28 individu/kelompok, didapatkan kepadatan rata- rata sebesar 9,37 individu/km2.

Tabel 6 Kepadatan siamang di Stasiun Penelitian YEL-SOCP, KHBT

Area Estimasi Area Dengar Area Dengar Efektif Grup Terdengar p (1) m (hari) p (m) Kepadatan (km2) (km2) kel/km2 ind/km2 1 4,53 2,12 8,00 0,40 5,00 0,93 4,06 11,29 2 4,79 3,35 8,00 0,53 4,00 0,95 2,51 6,98 3 4,73 2,67 10,00 0,63 4,00 0,98 3,82 10,62 4 4,79 3,27 10,00 0,45 4,00 0,99 3,09 8,59 Rerata 4,71 2,85 9,00 0,50 4,25 0,96 3,37 9,37

ket: p (1): probabilitas rata-rata; m: jumlah hari pengamatan; p (m): proporsi bersuara kelompok 5.3 Perilaku Bersuara

Perilaku bersuara memiliki peranan penting bagi satwa primata Hylobatidae. Satwa ini tergolong satwa teritorial dan suara menjadi komunikasi sosial baik antar individu dalam kelompok maupun komunikasi antar kelompok. Ungko dan siamang melakukan vokalisasi dapat diartikan sebagai penanda teritorinya dan sebagai media pembagian wilayah antar kelompok serta sebagai komunikasi antar pasangan dalam satu kelompok. Hasil pengamatan menunjukan waktu dan tahapan perilaku bersuara. Jantan dan betina memiliki suara dengan tahapan dan waktu yang berbeda. Vokalisasi dapat dilakukan solo maupun duet dan juga dapat berupa vokalisasi kelompok.

Ungko mulai bersuara sebelum matahari terbit. Suara yang dikeluarkan sebelum matahari terbit dilakukan oleh individu jantan dewasa disebut dawn call, sementara vokalisasi dengan tipe yang sama setelah matahari terbit disebut male solo. Awal waktu dawn call bervariasi tiap harinya, yaitu tercatat paling awal pada pukul 05.03 WIB (Gambar 16). Pada beberapa kondisi berbeda, dawn call/male solo diawali pada pukul 07.42 WIB. Selama penelitian tercatat ada 103 vokalisasi dalam 17 kali pengamatan. Secara umum, aktivitas suara ini diawali antara pukul 05.30 sampai 05.59 WIB sebanyak 52 %. Dawn call/male solo diakhiri sebelum pukul 08.00 WIB.

Gambar 16 Grafik pemilihan waktu dawn call/male solo pada ungko dalam tujuh periode waktu pengamatan dihitung dari frekuensinya.

Jenis kelamin individu Hylobatidae dapat dibedakan berdasarkan suaranya (vokalisasi). Betina menghasilkan vokalisasi lebih menonjol, nyaring, melengking dan panjang yang biasa disebut great call. Great call dibagi menjadi tiga fase, yaitu pre-trill, trill dan post-trill. Sangat berbeda dengan vokalisasi jantan yang lebih pendek (male solo). Male solo merupakan vokalisasi jantan yang berurutan tanpa jeda oleh fase atau not vokalisasi betina (Duma 2007).

Jantan dewasa bersuara pagi sebagai awal aktivitas setelah bangun dan kemudian berpindah untuk mencari makan. Umumnya setelah ungko jantan melakukan dawn call/male solo pada awal bersuara, kemudian betina dewasa membalasnya dengan great call dan dawn call berhenti. Setelah selang beberapa waktu kelompok ungko melakukan duet call maupun group call yaitu great call oleh betina dewasa yang langsung diikuti coda jantan dewasa

Great call dapat dilakukan oleh dua betina sekaligus atau biasa disebut double great call. Double great call dapat dilakukan oleh kelompok yang memiliki anak betina remaja atau hingga dewasa. Begitu juga dengan jantan, suara balasan dapat dilakukan double pada kelompok yang memiliki anak jantan atau hingga dewasa. Berbeda dengan ungko, siamang bersuara setelah matahari terbit. Pada siamang juga ada vokalisasi double seperti ungko. Bedanya, suara jantan pada siamang dilakukan pada saat great call betina belum selesai atau pada tengah-tengah dan mengikuti alur suara betina.

0 14 52 21 7 2 4 0 0 10 20 30 40 50 60 Per sen tase Pukul (WIB)

Selama pengamatan tercatat ada 325 group call dalam 16 hari oleh kelompok ungko. Ungko melakukan group call paling awal yaitu sebelum pukul 06.00 WIB tercatat 2%. Terlihat pada Gambar 16, mulai pukul 06.00 WIB frekuensi bersuara ungko mulai terus naik hingga mencapai puncaknya pada pukul 08.00 WIB dan menurun setelahnya hingga tidak terdengar lagi setelah pukul 11.00 WIB. Frekuansi vokalisasi ungko paling tinggi pada pukul 07.00 – 08.00 WIB sebesar 36%.

\

Gambar 17 Grafik perbandingan aktivitas group call ungko dan siamang pada tujuh periode waktu pengamatan, dihitung dari frekuensinya.

Tercatat ada 150 group call siamang selama 16 hari pengamatan. Siamang melakukan vokalisasi paling awal yaitu sebelum pukul 08.00 WIB sebanyak 2%. Namun siamang memulai vokalisasi pertamanya paling banyak pada pukul 09.00- 10.00 WIB sebanyak 27%. Pemilihan waktu awal panggil siamang 1 jam sebelum dan sesudah waktu terbanyak tidak berbeda jauh. Dengan kata lain siamang cenderung melakukan vokalisasi awal pada pukul 08.00-11.00.

Gambar 17 menunjukan adanya kecenderungan pergantian aktivitas panggil yang dilakukan antara ungko dan siamang dari segi waktu. Ketika frekuensi vokalisasi ungko menurun, pada saat itu frekuensi vokalisasi siamang meningkat hingga mencapai puncaknya. Kedua jenis ini sudah sedikit mengawali vokalisasi setelah pukul 11.00 WIB, bahkan pada ungko tidak ada yang memulai vokalisasi setelah pukul 11.00 WIB.

Probabilitas vokalisasi menunjukan kemungkinan kelompok melakukan satu kali vokalisasi dalam waktu tertentu.Hal ini penting diketahui dalam penggunaan

2 34 36 18 8 3 0 0 2 12 25 27 24 10 - 5 10 15 20 25 30 35 40 5-6 6-7 7-8 8-9 9-10 10-11 11-12 Per sen tase Pukul (WIB) ungko siamang

triangel count untuk menunjukan minimal jumlah hari pengamatan untuk menghindari kelompok yang tidak melakukan vokalisasi selama pengamatan.

Probabilitas vokalisasi kelompok ungko dan siamang disajikan pada Tabel 2. Semua probabilitas ungko dan siamang mencapai 100% pada hari ke-4, namun ada beberapa area yang sudah mencapai 100% pada hari ke-3 yaitu pada area 3 untuk ungko dan area 2 untuk siamang. Rata-rata kelompok bersuara pada setiap area sebanyak 13 kelompok ungko dan 9 kelompok siamang.

Tabel 7 Probabilitas vokalisasi kelompok ungko dan siamang

Hari ke-

Ungko

Rerata

Siamang

Rerata Area 1 Area 2 Area 3 Area 4 Area 1 Area 2 Area 3 Area 4

1 50,00 50,00 58,33 50,00 52,08 25,00 62,50 50,00 50,00 46,88 2 66,67 91,67 75,00 62,50 73,96 62,50 87,50 70,00 60,00 70,00 3 83,33 91,67 100 93,75 92,19 75,00 100 80,00 90,00 86,25 4 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 5 100 100 100 100 Σ Kel. 12 12 12 16 8 8 10 10 Rerata 13 9

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Distribusi

6.1.1 Kondisi Habitat

Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) menunjukan sebagai hutan pegunungan bawah yang baik. Indikatornya adalah masih ditemukan satwa-satwa yang sensitif terhadap kerusakan dan gangguan dari luar seperti ungko (H. agilis), siamang (S. syndactylus), orangutan (Pongo abelii), harimau sumatera (Panhtera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus) dan tapir (Tapirus indicus) (camera trap Stasiun Penelitian). Kondisi hutan yang baik juga ditunjukan dengan kualitasnya menyediakan sumberdaya alam bagi kehidupan satwa-satwa didalamnya.

Lokasi Stasiun Penelitian YEL-SOCP di KHBT berada pada posisi relatif aman dari gangguan. Kegiatan yang mengganggu keberadaan ungko dan siamang adalah pengalihan fungsi lahan menjadi kebun karet yang dilakukan masyarakat sekitar hutan di wilayah barat Stasiun Penelitian. Sebelah timur merupakan hutan produksi yang dikelola oleh HPH, sementara disebelah utara dan selatan terdapat lokasi pertambangan. Kondisi ini memungkinkan satwa akan bergerak menuju kawasan hutan lindung dimana kondisi hutan masih baik.

Sebaran Hylobatidaedapat berubah dengan adanya beberapa gangguan yang memaksanya berpindah dan merubah wilayahnya. Gangguan yang mempengaruhi antara lain adanya aktivitas manusia dan pemukiman penduduk sehingga dapat menyebabkan kerusakan hutan serta fragmentasi habitat (Sultan 2009). Geissman et al. (2006) menunjukan populasi ungko dan siamang di Sumatera Selatan semakin berkurang akibat aktivitas manusia yang membuat hutan terpisah-pisah (patches) dan adanya penanaman karet secara monokultur meski masih menyisakan beberapa pohon aslinya.

Iskandar (2007) menjelaskan, penyebaran Hylobatidae tergantung pada kualitas habitatnya. Kualitas habitat yang semakin baik, akan semakin banyak pula jumlah kelompok yang ada didalamnya. Kondisi habitat seperti ini

Dokumen terkait