• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cakupan Pelayanan Terbatas Lebih Luas

Sifat Pelayanan Sesuai Keluhan

Menyeluruh, Paripurna, bukan sekedar yang

dikeluhkan

Cara Pelayanan Kasus per kasus dengan pengamatan sesaat

Kasus per kasus dengan berkesinambungan

sepanjang hayat

Jenis Pelayanan Lebih kuratif hanya untuk penyakit tertentu

Lebih kearah pencegahan, tanpa mengabaikan pengobatan

dan rehabilitasi

Peran keluarga Kurang dipertimbangkan Lebih diperhatikan dan dilibatkan Promotif dan

pencegahan Tidak jadi perhatian Jadi perhatian utama

Hubungan dokter-pasien Dokter – pasien Dokter – pasien – teman sejawat dan konsultan

Awal pelayanan Secara individual

Secara individual sebagai bagian dari keluarga

komunitas dan lingkungan

Lepra

Penyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa kronik pada ma nusiayang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer. Istilah

kusta berasal dari bahasa sansekerta yakni kushta berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam memberi pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Peyakit kusta sampai sekarang masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/ pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya.

Etiologi

Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra. Kuman ini

berbentuk batang tahan asam yang termasuk

familia Mycobacteriaeceae atas dasar morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiri pan genetik dengan mikobakterium lainnya. Bentuk bentuk kusta yang dapat dilihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk pecah – pecah (fragmented), bentuk granular (granulated), bentuk globus dan bentuk clumps.

Bentuk utuh, dimana dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna

merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah-pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana kelihatan seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragment atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok- kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 -60 BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau – pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA .

Tipe Lepra

Tabel 1. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi

Klasifikasi Zona Spektrum Kusta

Ridley dan Jopling

TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

Puskesmas PB MB

Multibasiler berarti mengadung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan pausibasiler berarti mengadung sedikit kuman, yakni tip TT, BT dan I. Beberapa perbandingan dari berbagai tipe tersebut dapat di lihat di tabel di bawah ini

Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler (MB)

Sifat Lepromatosa (LL) Bordeline Lepromatosa (BL) Mid Borderline (BB) Lesi: - Bentuk - Jumlah - Distribusi - Permukaan Makula Infiltrat difus Papul Nodus

Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat

Simetris

Halus berkilat

Makula

Plakat

Papul

Sukar dihitung, masih ada kulit sehat

Hampir simetris

Halus berkilat

Plakat

Dome-shaped (kubah)

Punched-out

Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada

Asimetris

- Batas

- Anestesia

Tidak jelas

Tidak ada sampai tidak jelas Agak jelas Tak jelas Agak jelas Lebih jelas BTA - Lesi kulit - Sekret hidung

Banyak (ada globus)

Banyak (ada globus)

Banyak

Biasanya negatif

Agak banyak

Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta pausibasiler (PB)

Sifat Tuberkuloid (TT) Bordeline

Tuberculoid (BT) Indeterminate (I) Lesi - Bentuk - Jumlah - Distribusi - Permukaan - Batas - Anestesia

Makula saja, makula dibatasi infiltrat

Satu, dapat beberapa

Asimetris

Kering bersisik

Jelas

Jelas

Makula dibatasi infiltrat: infiltrat saja

Beberapa atau satu dengan satelit Masih asimetris Kering bersisik Jelas Jelas Hanya makula

Satu atau beberapa

Variasi

Halus, agak berkilat

Dapat jelas atau dapat tidak jelas

Tak ada sampai tidak jelas

BTA

- Lesi kulit

Hampir selalu negatif

Negatif atau hanya 1+

Biasanya negatif

Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau negative

Pemeriksaan a.Anamnesis

1). Keluhan yang ada/kapan timbul bercak . 2). Apakah ada riwayat kontak .

3). Riwayat pengobatan sebelumnya. b.Pemeriksaan kulit / rasa raba.

Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang dilancipkan kemudian disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai, sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan .Terlebih dulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disentuh bagian tubuh dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya,menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya.Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada tidaknya anestesi . pada telapak tangan dan kaki memakai bolpoin karena pada tempat ini kulit lebih tebal.

c.Pemeriksaan saraf (nervus )

Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering diutamakan pada saraf ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat kusta mengikuti kerusakan pada saraf-saraf utama.

Tehnik Pemeriksaan Saraf . a.Saraf Ulnaris.

Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus

medial (epicondilus medialis ). Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil digulirkan dan menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik / reaksi penderita adakah tampak kesakitan atau tidak .

b.Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis).

1).Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi dll ) dengan kaki dalam keadaan rilek.

2).Pemeriksa duduk didepan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan .

3).Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan benjolan tulang (caput fibula )setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm kearah belakang

4).Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian kekanan dan kiri sambil melihat mimik / reaksi penderita .

c.Saraf Tibialis Posterior .

1).Penderita masih duduk dalam posisi rileks .

2).Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis Posterior dibagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam(maleolus medialis)dengan tangan menyilang (tangan kiri memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posteior kanan pasien ) 3).Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik / reaksi dari penderita.

3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf

Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa adalah Mata, Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot. Alat yang diperlukan : ballpoin yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk penderita.

Cara pemeriksaan Fungsi Saraf .

Periksa secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki .

a. Mata

Fungsi Motorik (Saraf Facialis )

2).Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna / tidak , apakah ada celah.

3).Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat, missal lagofthalmus ± 3 mm, mata kiri atau kanan.

Catatan : Untuk fungsi sensorik mata(pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan .

b.Tangan

1).Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus )

a).Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa, sehingga semua ujung jari tersangga .

b).Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoin pada lengannya dan satu atau dua titik pada telapak tangan

c).Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain .

d).Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif .

e).Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan yang diperiksa.

f).Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh . g).Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan h).Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm .

2). Fungsi Motorik (Kekuatan Otot)Saraf Ulnaris ,Medianus dan Radialis . a).Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking).

(1).Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan penderita dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan posisi ektensi (jari kelingking /5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan pemeriksa .

(2).Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-jari lainnya,bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya , dan kemudian ibu jari pemeriksa

Penilaian :

(a).Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh berarti dari jari lainnya berarti lumpuh.

(b).Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa berarti lemah .

(c).Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa ibu jari bisa maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih kuat.

(d).Bila masih ragu , penderita diminta menjepit sehelai kertas yang diletakkan diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa menarik kertas tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan / jepitan terhadap kertas tesebut .

Penilaian :

(e).Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah . (f).Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat b).Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari )

(1).Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking tangan kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap keatas,dan dalam posisi ekstensi .

(2).Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap telapak tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung) dan penderita diminta untuk mempertahankan posisi tersebut.

(3).Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian batas antara punggung dengan telapak mendekati telapak tangan .

Penilaian :

(a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat . (b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah . (c).Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh .

c).Saraf Radialis ( Kekuatan otot Pergelangan tangan ).

(1).Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan penderita .

(2).Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang terkepal keatas (ektensi ).

(3).Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi ( keatas) lalu dengan tangan kanan pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah fleksi .

Penilaian :

(a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat . (b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .

(c).Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh ( pergelangan tangan tidak bisa digerakkan keatas)

. c. Kaki

1).Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior )

a).Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki menghadap keatas .

b).Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita . c).Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.

d).Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan berdiameter 1 cm.

e).Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm.

2).Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis ).

a).Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki dengan tumit tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan dengan tumit). b).Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita kebawah /lantai . Keterangan:

c).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat. d).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .

e).Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan keatas).

Pemeriksaan Penunjang Diagnosis

Pemeriksaan Bakterioskopik Pewarnaan Ziehl Neelsen

Bahan biopsi kulit atu saraf

Indeks Bakteri (IB) : untuk menentukan klasifikasi penyait lepra dengan melihat kepadatan BTA tanpa melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/granular)

Indek Bakteri (IB):

0 BTA (-) 1 - 10/ 100 LP +1 1 - 10/ 10 LP +2 1 – 10/ 1 LP +3 10 – 100/ 1 LP +4 100 – 1000/ 1 LP +5 >1000/ 1 LP +6

Indeks Morfologi : Untuk menentukan persentase BTA hidup atau mati Rumus : Jumlah BTA solid x 100 % = x %

Jumlah BTA solid + non solid

Guna : untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA, melihat infeksisitas penyakit.

o Pemeriksaan histopatologik (untuk membedakan tipe TT & LL) Pada tipe TT : ditemukan tuberkel (giant cell, limfosit) Pada tipe LL : ditemukan sel busa (Virchow cell/sel lepra)

 Pemeriksaan tes lepromin : digunakan untuk mleihat daya imunitas penderita

terhadap penyakit kusta.

o Pemeriksaan serologic

Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination) Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) ML dipstick ( Mycobacterium Leprae dipstick)

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit kusta 1. Faktor Internal.

a.Umur.

Umur dimana kejadian penyakit kusta sering terkait dengan umur pada saat diketemukan dari pada timbulnya penyakit, namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi, angka kejadian (Insidence Rate ) meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncakumur 30-50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.

b.Jenis kelamin.

Jenis kelamin, kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, menurut catatan sebagian besar negara didunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkanbahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada wanita. Relatif rendahnya kejadiankusta pada wanita kemungkinan karena faktor lingkungan atau biologi sepertikebanyakan pada penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.

c.Daya tahan tubuh seseorang.

Daya tahan tubuh seseorang, apabila seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah akan rentan terjangkit bermacam-macam penyakit termasuk kusta, meskipun penularannya lama bila seseorang terpapar kuman penyakit sedangkan imunitasnyamenurun bisa terinfeksi, misalnya: kurang gizi/malnutrisi berat, infeksi, habis sakit lama dan sebagainya.

d. Etnik/suku.

Etnik/suku, kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena perbedaan etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan etnik India, situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian lepromatosa lebih banyak pada etnik cina dibandingkan etnik Melayu atau India, demikian pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu.

2. Faktor Ekternal.

a.Kepadatan hunian

Penularan penyakit kusta bisa melalui droplet infeksi atau melalui udara, dengan penghuni yang padat maka akan mempengaruhi kualitas udara, hingga bila ada anggota keluarga yang menderita kusta maka anggota yang lain akan rentan tertular namun kuman kusta akan inaktif bila terkena cahaya matahari, sinar ultra violet yang dapat merusak dan mematikan kuman kusta. Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh Depkes (2000), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan di bagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur , kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

Kondisi rumah didaerah yang padat penghuninya juga sangat berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang , oleh karena itu didalam membuat rumah harus memperhatikan persyaratan sebagai berikut :

1). Bahan bangunan memenuhi syarat :

a).Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan, karena lantai yang lembab merupakan sarang penyakit.

b).Dinding tembok adalah baik, namun bila didaerah tropis dan ventilasi kurang lebih baik dari papan .

c).Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau esbes tidak cocok untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah.

2).Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela /ventilasi adalah 15 % dari luas Lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum . Kelembaban yang optimal (sehat ) adalah sekitar 40 – 70 % kelembaban yang lebih dari 70 % akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara didalam ruangan naik terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan . Kelembaban yang tinggi akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri patogen(bakteri penyebab penyakit).

3).Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya Matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca,suhu udara yang ideal didalam rumah adalah 18–30°C.Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium Leprae tumbuh optimal pada suhu37°C.Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh Mycobacterium Leprae.Bacteri ini tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangan bacteri lebih banyak dirumah yang gelap.

4).Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ) .Rumah yang terlalu padat penghuninya tidak sehat , sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O² juga bila salah satu anggota keluarganya ada yang sakit infeksi akanmudah menular kepada anggota keluarga yang lain.Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni ( sleeping density) dinyatakan baik bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7; cukup bila kepadatan antara 0,5–0,7; dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5. Didaerah pantura kabupaten Pekalongan tingkat kepadatan hunian lebih tinggi dibanding bagian selatan sehingga angka prevalensi lebih besar.

b. Perilaku

Pengertian perilaku menurut skiner ( 1938 ) merupakan respon atau reaksi seseorang tehadap stimulus ( rangsangan dari luar ), dengan demikian perilaku terjadi melalui proses :

Stimulus – Organisme - Respons, sehingga teori Skiner disebut juga teori _ SO- R _Sedangkan pengertian Perilaku Kesehatan ( health behavior ) menurut Skiner adalah Respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit ( kesehatan) seperti lingkungan, makanan dan minuman yang tidak sehat, dan pelayanan kesehatan . Secara garis besar perilaku kesehatan dibagi dua, yakni :

1).Perilaku sehat (healty behavior )

Yang mencakup perilaku-perilaku(overt dan covert behavior )dalam mencegah penyakit ( perilaku preventif ) dan perilaku dalam mengupayakan peningkatan kesehatan ( perilaku promotif ), contoh: Makan makanan bergizi, olah raga teratur, mandi pakai sabun mandi, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan dari pada yang sudah terlambat datang, karena kebanyakan pasien datang sudah stadium lanjut sehingga pengobatan lebih sulit dan resiko cacat lebih besar.

2).Perilaku orang yang sakit (health seeking behavior ), perilaku ini mencakup tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah untuk memperoleh kesembuhan, misalnya pelayanan kesehatan tradisional seperti : dukun, sinshe, atau paranormal, maupun pelayanan modern atau professional seperti : RS, Puskesmas, Dokter dan sebagainya( Soekidjo Notoatmodjo, 2010 ). Becker ( 1979 ) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membagi menjadi tiga, yakni :

1. Perilaku Sehat (healhty behavior)

Perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, misalnya :

a.Menjaga kebersihan kulit dengan mandi memakai sabun mandi.

b. tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, karena akan menyebabkan bermacam-macam kelainan kulit termasuk kusta.

c.Bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan. d.Makan makanan bergizi, teratur berolahraga serta cukup istirahat.

e.Perilaku dan gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan. 2. Perilaku Sakit(illness behavior)

Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang untuk mencari penyembuhan , misal ke Puskesmas, RS dan sebagainya.

Dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit mempunyai peran(roles), yang mencakup hak-haknya(rights), dan kewajiban sebagai seorang sakit(obligation).

Menurut Becker Perilaku peran orang sakit ini antara lain : a.Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.

b.Tindakan untuk mengenal dan atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk memperoleh kesembuhan.

c.Melakukan kewajiban sebagai pasien untuk mematuhi nasihat dokter/perawat . d.Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhan ( Soekidjo Notoatmodjo, 2010 )

c. Sosial Ekonomi

Menurut WHO(2005) menyebutkan bahwa sekitar 90 % penderita kusta menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, sosial ekonomi rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi buruknya lingkungan selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan yang sosial ekonominya rendah. Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi kebutuhan pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan mempunyai daya beli yang dapat di gunakan untuk menjamin ketahanan pangan keluarganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akanterganggu.

Epidemiologi Secara Global

Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003 menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000, pada2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta.

Dokumen terkait