• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Epidemiologi Penyakit Kusta Serta Hubungannya Dengan Lingkungan Riwayat Alamiah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Studi Epidemiologi Penyakit Kusta Serta Hubungannya Dengan Lingkungan Riwayat Alamiah"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KUSTA

SERTA HUBUNGANNYA DENGAN

LINGKUNGAN RIWAYAT ALAMIAH

Abstrak

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.

Kata kunci: lepra, morbushansen, kusta

Abstract

Leprosy is a chronic disease caused by infection by the Mycobacterium leprae (M. leprae) were the first to attack the peripheral nerves, can then attack the skin, oral mucosa, upper airway, reticuloendothelial system, eyes, muscles, bones and testes except the central nervous system. In most people who are infected may be asymptomatic, but a small portion showing symptoms and have a tendency to become disabled, especially in the hands and feet. Keywords: leprosy, morbushansen

Alamat Korespondensi:

Mohd Nur Haziq Bin Noor Hamizam Shah, 102011431 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana,

Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510. mohdnurhaziq@icloud.com

(2)

PENDAHULUAN

Penyakit lepra masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena dapat menyebabkan kecacatan, morbiditas dan stigma sosial penyakit kusta. Dalam pelaksanaan Program Pembanterasan Penyakit Kusta di Indonesia, terdapat suatu masalah yang belum terpecahkan hingga kini yaitu masalah Lepra.

Penyakit lepra ditularkan melalui luka pada kulit yang terkontaminasi dan mukosa nasal. Karyawan rumah sakit menjadi kelompok yang mempunyai risiko untuk tertular sehingga perlu dilakukan pemeriksaan untuk deteksi dini untuk

mengetahui apakah mereka sudah tertular dan mengambil langkah untuk menentukan tindakan selanjutnya.

Dilakukan pemeriksaan serologi uji MLPA pada karyawan Rumah Sakit Umum karena sebagian besar karyawan rumah sakit pernah kontak dengan penderita lepra. Selain itu mengingat riwayat sebelumnya adalah Rumah Sakit Kusta sehingga pada umumnya karyawan telah kontak lama dan erat dengan penderita lepra.

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT-PENYAKIT MENULAR

1,2

Suatu penyakit timbul akibat dari beroperasinya berbagai faktor baik dari segi agen, induk semang atau lingkungan. Pendapat ini tergambar di dalam istilah yang dikenal luas dewasa ini, yaitu penyebab majemuk (“multiple causation of disease”) sebagai lawan dari penyebab tunggal (“single causation”). Di dalam usaha para ahli untuk mengumpulkan pengetahuan mengenai timbulnya penyakit, mereka telah membuat model-model tersebut dilakukanlah eksperimen terkendali untuk menguji sampai di mana kebenaran dari model-model tersebut.

Tiga model yang dikenal dewasa ini ialah (1) segitiga epidemiologi (the epidemiology triangle), (2) jaring-jaring sebab akibat (the web of causation), (3) roda (the wheel).

(3)

a. Segitiga Epidemiologi

b. Jaring-jaring Sebab-Akibat

Menurut model ini, perubahan dari salah satu faktor akan mengubah keseimbangan antara mereka, yang berakibatkan bertambahnya atau berkurangnya penyakit yang bersangkutan. Suatu penyakit tidak bergantung pada satu sebab yang berdiri sendiri melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses “sebab dan akibat”. Dengan demikian maka timbulnya penyakit yang dapat dicegah atau dihentikan dengan memotong rantai pada berbagai titik.

(4)

Seperti halnya dengan model jaring-jaring sebab akibat, model roda memerlukan identifikasi dari berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak begitu menekankan pentingnya agen. Di sini dipentingkan hubungan antara manusia dengan lingkungannya hidupnya. Besarnya peranan dari masing-masing lingkungan bergantung pada penyakit yang bersangkutan. Sebagai contoh, peranan lingkungan sosial lebih besar dari yang lainnya pada stres mental, peranan lingkungan fisik lebih besar dari yang lainnya pada „sunburn‟ peranan lingkungan biologis

melalui vektor (vektor borne diseases) dan peranan inti genetik lebih besar dari yang lainnya pada penyakit keturunan.

Dengan model-model tersebut di atas hendaknya ditunjukkan bahwa pengetahuan yang lengkap mengenai mekanisme-mekanisme terjadinya penyakit tidaklah diperlukan bagi usaha-usaha pembanterasan penyakit yang efektif. Oleh karena banyaknya interaksi-interaksi ekologis maka seringkali kita dapat mengubah penyebaran penyakit dengan mengubah aspek-aspek tertentu dari interaksu manusia dengan lingkungan hidupnya, tanpa intervensi langsung pada penyebab penyakit.

Penyakit Menular

Penyakit menular adalah adalah penyakit yang dapat berpindah dari satu orang ke satu orang yang lain, baik secara langsung atau melalui perantara. Penyakit menular ini ditandai dengan adanya agen atau penyebab penyakit yang hidup an dapat berpindah. Suatu penyakit dapat menular dari satu orang ke orang yang lain ditentukan oleh 3 faktor yaitu

a. Agent (penyebab penyakit) b. Host (induk semang)

c. Route of transmission (jalannya penularan)

Apabila diumpamakan berkembangnya suatu tanaman, dapat diumpamakan sebagai biji ) agen, tanah (host) dan iklim (route of transmission).

a. Agen-agen infeksi (penyebab infeksi)

Makhluk hidup sebagai pemegang peranan penting di dalam epidemiologi yang merupakan penyebab penyakit dapat dikelompokkan menjadi:

(5)

 Golongan virus : influenza, trachoma, cacar dan sebagainya.  Golongan riketsia: tifus

 Golongan bakteri: disentri

 Golongan protozoa: malaria, filaria, schistosoma dan sebagainya.  Golongan jamur: panu, kurap dan sebagainya.

 Golongan cacing: ascaris, cacing kremi, cacing pita, cacing tambang Agar agen atau penyebab penyakit menular ini tetap hidup, maka perlu persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

 Berkembang biak

 Bergerak atau berpindah dari induk semang  Mencapai induk semang baru

 Menginfeksi induk semang baru tersebut

Kemampuan agen penyakit ini untuk tetap hidup pada lingkungan manusia adalah suatu faktor penting di dalam epidemiologi infeksi menular. Setiap bibit penyakit (penyebab penyakit) mempunyai habitat sendiri-sendiri,

sehingga ia dapat tetap hidup. Dari sini timbul istilah reservoir, yang diartikan sebagai berikut (1) Habitat, dimana bibit penyakit tersebut hidup dan

berkembang. (2) Survival, dimana bibit penyakit tersebut sangat bergantung pada habitat, sehingga ia dapat tetap hidup.

Reservoir tersebut dapat berupa manusia, binatang atau benda-benda mati. Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoir di dalam tubuh manusia antara lain, campak (measles), cacar air (small pox), tifus (typhoid), meningitis, gonorrhea dan sifilis. Manusia sebagai reservoir dapat menjadi kasus aktif dan carrier.

Carrier

Carrier adalah orang yang mempunyai bibit penyakit di dalam tubuhnya, tanpa menunjukkan adanya gejala penyakit, tetapi orang tersebut dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain. Convalescant Carriers adalah orang yang masih mengandung bibit penyakit setelah sembuh dari suatu penyakit.

(6)

Carriers adalah sangat penting dalam epidemiologi penyakit-penyakit polio, tifus, meningococal meningitis dan amoebiasis. Hal ini disebabkan karena:

 Jumlah carriers lebih banyak dari orang yang sakitnya sendiri.  Carriers maupun orang yang ditulari sama sekali tidak tahu bahwa

mereka menderita/kena penyakit.

 Carriers tidak menurunkan kesehatannya karena masih dapat melakukan pekerjaan sehari-sehari.

 Carriers mungkin sebagai sumber infeksi untuk jangka waktu yang relatif lama.

Reservoir pada binatang

Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoir pada binatang umumnya adalah penyakit zoonosis. Zoonosis merupakan penyakit pada binatang vertebrae yang dapat menular pada manusia. Penularan penyakit-penyakit pada binatang ini melalui berbagai cara. yakni:

o Orang makan daging binatang yang menderita penyakit misalnya cacing pita.

o Melalui gigitan binatang sebagai vektornya misalnya pes melalui pinjal tikus, malaria, filariasis, demam berdarah melalui gigitan nyamuk. o Binatang penderita penyakit langsung menggigit orang misalnya

rabies.

Benda-benda mati sebagai reservoir

Penyakit- penyakit yang mempunyai reservoir pada benda-benda mati pada dasarnya adalah saprofit hidup dalam tanah. Pada umumnya bibit penyakit ini berkembang biak pada lingkungan yang cocok untuknya. Oleh karena itu, bila terjadi perubahan suhu atau kelembapan dari kondisi di mana ia dapat hidup, maka ia berkembang biak dan siap infektif. Contoh clostridium tetani

penyebab tetanus, C.botulinum penyebab keracunan makanan dan sebagainya.

(7)

Yang dimaksud dengan sumber infeksi adalah semua benda, termasuk orang atau binatang yang dapat melewatkan/ menyebabkan penyakit pada orang. Sumber penyakit ini mencakup juga reservoir seperti telah dijelaskan sebelumnya.

Macam-macam penularan (mode of transmission)

Mode penularan adalah suatu mekanisme di mana agen/penyebab penyakit tersebut ditularkan dari orang ke orang lain, atau dari reservoir kepada induk semang baru. Penularan ini melalui berbagai cara antara lain:

(a) Kontak (contact)

Kontak di sini dapat terjadi kontak langsung maupun kontak tidak langsung melalui benda-benda yang terkontaminasi. Penyakit-penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung ini pada umumnya terjadi pada masyarakat yang hidup berjubel. Oleh karena itu, lebih cenderung terjadi di kota daripada desa yang penduduknya masih jarang.

(b) Inhalasi (inhaltion)

Yaitu penularan melalui udara/ pernapasan. Oleh karena itu, ventilasi rumah yang kurang, berjejalan (over crowding) dan tempat-tempat umum adalah faktor yang sangat penting di dalam epidemiologi penyakit ini. Penyakit yang ditularkan melalui udara ini sering disebut “air bourne infection”.

(c) Infeksi

Penularan melalui tangan, makanan atau minuman

(d) Penetrasi pada kulit

Hal ini dapat langsung oleh organisme itu sendiri. Penetrasi pada kulit misalnya cacing tambang, melalui gigitan vektor misalnya malaria atau luka, misalnya tetanus.

(e) Infeksi melalui plasenta

Yakni infeksi yang diperoleh melalui plasenta dari ibu penderita penyakit pada waktu mengandung, misalnya sifilis dan toxoplasmosis.

(8)

c. Faktor host

Terjadinya suatu penyakit (infeksi) pada seseorang ditentukan pula oleh faktor-faktor yang ada pada induk semang itu sendiri. Dengan perkataan lain, penyakit-penyakit dapat terjadi pada seseorang tergantung/ ditentukan oleh kekebalan/ resistensi orang yang bersangkutab.

d. Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular

Untuk pencegahan dan penanggulangan ini ada 3 pendekatan atau cara yang dapat dilakukan

 Eliminasi reservoir (sumber penyakit)

Eliminasi reservoir manusia sebagai sumber penyebaran penyakit dapat dilakukan dengan:

o Mengisolasi penderita (pasien), yaitu menempatkan pasien di tempat yang khusus untuk mengurangi kontak dengan orang lain.

o Karantina adalah membatasi ruang gerak penderita dan menempatkannya bersama-sama penderita lain yang sejenis pada tempat yang khusus didesain untuk itu. Biasanya dalam waktu yang lama, misalnya karantina untuk penderita kusta.

 Memutus mata rantai penularan

Menigkatkan sanitasi lingkungan dan kebersihan per orang adalah usaha yang penting untuk memutuskan hubungan atau mata rantai penularan penyakit menular.

 Melindungi orang-orang (kelompok) yang rentan.

Bayi dan anak balita adalah merupakan kelompok usia yang rentan terhadap penyakit menular. Kelompok usia yang rentan ini perlu perlindungan yang khusus (specific protection) dengan imunisasi, baik imunisasi aktif maupun pasif. Obat-obat profilaksis tertentu juga dapat mencegah penyakit malaria, meningitis dan disentri basiler. Pada anak usia muda, gizi kurang akan menyebabkan kerentanan pada anak

(9)

tersebut. Oleh sebab itu, meningkatkan gizi anak adalah juga merupakan usaha pencegahan penyakit infeksi pada anak.

Distribusi Menurut Orang

Perbedaan distribusi kejadian penyakit lepra dapat dilihat karena faktor geografi. Namun, jika diamati dalam satu Negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar kejadian lepra lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Kejadian lepra di Malaysia juga lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India. Situasi yang sama di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu. Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Insiden rate penyakit ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak antara umur 30-50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun. Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak daripada laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.

Distribusi Menurut Tempat dan Waktu

Penyakit lepra tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. 6 negara yang masih belum mencapai eliminasi di tahun 2005 di antara 122 negara yang endemis pada tahun 1985 dengan prevalensi >1/10.000 penduduk yaitu ; India, Brazil, Indonesia, Bangladesh, Congo, dan Nepal Antara tahun 1985 hingga 2005 lebih dari 15 juta penderita telah sembuh sementara 222.367 kasus masih dalam pengobatan pada awal tahun 2006. Indonesia menempati posisi ke-3 dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia setelah India dan Brazil. Berdasarkan data kusta awal 2005 Indonesia menempati posisi ke-2 dengan angka prevalensi 0,9 per 10.000 penduduk. Di Indonesia, kasus terbanyak terdapat di Jawa Timur dengan prevalensi rate 1,76 per 10.000 penduduk, dan paling sedikit terdapat di daerah Bengkulu dengan prevalensi rate 0,17 per 10.000 jumlah penduduk. Sedangkan prevalensi Lepra di Sumatera adalah sebesar 0,23 per 10.000 jumlah penduduk. Penemuan kasus baru selama bulan Januari-Desember 2005 paling banyak ditemukan di Jawa Timur.

(10)

Determinan

Antara faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kusta dipengaruhi oleh host, agent, dan environment antara lain ;

a) Faktor Daya Tahan Tubuh (host)

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit lepra (95%). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum memperhitungkan pengaruh pengobatan. Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman lepra dapat hidup pada Armadillo, Simpanse dan pada telapak kaki tikus yang mempunyai kelenjar Thymus (Athymic nude mouse).

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh host sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatosa yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 104-107. Dan telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita tipe Lepromatosa merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan. Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2M & PL) (1996) menunjukkan gambaran sebagai berikut; dari 100 orang yang terpapar: 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa diobati, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.

Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam satu dari tiga kelompok berikut ini, yaitu :

 Host yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi yang merupakan kelompok terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.

 Host yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila menderita penyakit kusta bisanya tipe PB.

(11)

b. Faktor Kuman (agent)

Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang pertama kali ditemukan oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari sistem retikulo endothelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman lepra dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan hanya kuman lepra yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal dari kuman lepra adalah pada suhu 270-300oC.

c. Faktor Sumber Penularan (environment)

Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Baciler (MB). Penderita MB ini pun tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur. Penyakit ini dapat ditularkan melalui pernafasan (droplet) dan kulit.13 Kemungkinan ada sumber penularan di luar manusia, yaitu dari lingkungan mengingat banyaknya kasus baru yang ditemukan tanpa adanya riwayat kontak langsung dengan penderita lepra. Secara tidak langsung, sumber penularan kusta dapat juga melalui lingkungan. M.leprae mampu hidup di luar tubuh manusia dan dapat ditemukan pada air untuk mandi dan mencuci.

1. Lingkungan fisik

Antara faktor yang dapat mempengaruhi kejadian lepra adalah lingkungan tempat tinggal pasien terlalu padat serta jarak antar rumah terlalu dekat, tidak memiliki ventilasi, pencahayaan, dan sanitasi yang baik.

2. Lingkungan non-fisik

Tingkat pendidikan juga mempengaruhi karena pentingnya kesadaran untuk menjaga kebersihan dan sosioekonomi serta peran serta perilaku masyarakat; apakah mereka berperan aktif dan saling mendukung dalam pemberantasan penyakit kusta.

(12)

SYARAT RUMAH SEHAT

2

Menurut UU RI No. 4 Tahun 1992 rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang digunakan sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. Sedangkan menurut Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik demi kesehatan keluarga dan individu. Antara syarat-syarat rumah sehat adalah;

1. Jendela berfungsi dengan baik dengan ukuran yang memadai. Jendela ada dua sisi yang berbeda, sehingga bisa menjadi jalannya udara yang baru. Pada setiap ruangan sebaiknya dibuatkan jendela kaca yang berhubungan dengan ruang luar. Dalam menentukan letak jendela, harus diperhatikan untuk mengarah ke matahari. Cahaya matahari yang terlalu panas, gunakan kanopi jendela untuk menaungi jendela dari cahaya matahari langsung.

2. Ventilasi udara adalah lubang penghawaan pada ruangan agar sirkulasi udara dalam ruangan menjadi baik. Minimal ventilasi udara berukuran lebih 10 persen dari luas lantai.

3. Pencahayaan ruangan dengan standar mata normal bisa membaca tanpa sinar lampu tambahan.

4. Lubang asap dapur lebih besar 10 persen dari luas tanah lantai.

5. Lingkungan tidak padat penghuni luas lantai rumah per penghuni lebih besar 10 m2.

6. Kandang hewan harus terpisah dengan rumah. Misalkan anda mempunyai ternak maka kandangnya harus terpisah dari rumah.

7. Konstruksi rumah, bangunan permanen dengan tembok, bata plesteran, serta papan kedap air.

8. Sanitasi yang benar. Antara sarana Sanitasi yang benar adalah;

(13)

b. Jamban leher angsa atau septic tank.

c. Terdapat sarana pembuangan air limbah yakni dapat diserap dan tidak mencemari sumber air (jarak dengan sumber air lebih dari 10 m) dialirkan ke selokan tertutup (saluran kota) untuk diolah lebih lanjut.

d. Tempat sampah yang kedap air dan tertutup.

Rumah sehat juga dipengaruhi oleh kebiasaan penghuninya. Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dapat mempengaruhi terjadinya penularan berbagai penyakit. Agar tidak terjadi, maka seharusnya perilaku penghuni memperhatikan beberapa hal yaitu;

1. Membersihkan tempat jentik berkembang agar rumah bebas jentik. Indeks jentik nyamuk tidak lebih dari 5 persen.

2. Bersihkan dari hal-hal yang mempengaruhi tikus datang ke rumah anda. Pastikan rumah anda bebas tikus.

3. Membersihkan rumah dan halaman rumah setiap hari.

4. Memanfaatkan pekarangan, misalnya dengan menanami bunga, atau Toga, sehingga adau paya penghijauan.

5. Membuang tinja bayi atau Balita ke jamban, jangan meremehkan tinja bayi dan dibuang sembarangan. Karena tinja bayi sama halnya dengan tinja orang dewasa.

6. Membuang sampah pada tempat sampah, sampah hendaknya dibuang setiap hari pada sampah besar yang akan dibawa oleh petugas sampah.

Promosi Kesehatan

3

Dalam konteks kesehatan, promosi berarti upaya memperbaiki kesehatan dengan cara memajukan, mendukung dan menempatkan kesehatan lebih tinggi dari agenda, baik secara perorangan maupun secara kelompok. Determinan pokok kesehatan adalah aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sering kali berada di luar kontrol perorangan atau masyarakat secara kolektif.7

(14)

Health promotion mempunyai dua definisi yaitu yang pertama adalah sebagai bagian daripada tingkat pencegahan penyakit. Menurut Level dan Clark terdapat 5 tingkat pencegahan penyakit dalam perspektif kesehatan masyarakat yaitu:

• Health promotion • Specific protection

• Early diagnosis and prompt treatment • Disability limitation

• Rehabilitation

Pengertian yang kedua, promosi kesehatan diartikan sebagai upaya memasarkan, menyebarluaskan atau mengenalkan kesehatan, sehingga masyarakat menerima pesan-pesan kesehatan tersebut yang akhirnya masyarakat mahu berperilaku hidup sehat.Tujuan promosi kesehatan adalah:

1. Kemauan (willingness) memelihara dan meningkatkan kesehatannya.

2. Memelihara kesehatan berarti mau dan mampu mencegah penyakit, melingdungi diri dari gangguan-gangguan kesehatan dan mencari pertolongan perubatan yang professional bila sakit.

3. Meningkatkan kesehatan, berarti mau dan mampu meningkatkan kesehatannya.

Untuk memcapai tujuan diatas, diperlukan upaya-upaya yang disebut misi promosi kesehatan yaitu perkara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Secara umum upaya ini sekurang-kurangnya terdapat 3 hal yaitu :

 Penyuluhan :

Pengertian penyuluhan kesehatan sama dengan pendidikan kesehatan masyarakat yaitu suatu kegiatan atau usaha untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu sehingga masyarakat tidak sahaja sedar, tahu dan mengerti tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. Tujuan penyuluhan menurut Effendy :

a. Tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku hidup sehat dan lingkungan sehat serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

(15)

b. Terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental dan social sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian.

c. Menurut WHO tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk merubah perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang kesehatan.

Terdapat pelbagai metode penyuluhan yang dapat digunakan.Pemilihan metode bergantung kepada tingkat pendidikan, sosial ekonomi, kepercayaan masyarakat dan ketersediaan waktu di masyarakat. Antara metode yang dapat digunakan ialah:

1. Ceramah: Adalah suatu cara dalam menerangkan dan menjelaskan suatu ide, pengertian atau pesan secara lisan kepada sekelompok sasaran sehingga memperoleh informasi tentang kesehatan.

2. Diskusi kelompok: Adalah pembicaraan yang direncanakan dan telah dipersiapkan tentang suatu topik pembicaraan diantara 5 – 20 peserta (sasaran) dengan seorang pemimpin diskusi yang telah ditunjuk.

3. Demostrasi: Adalah suatu cara untuk menunjukkan pengertian, ide dan prosedur tentang sesuatu hal yang telah dipersiapkan dengan teliti untuk memperlihatkan bagaimana cara melaksanakan suatu tindakan, adegan dengan menggunakan alat peraga. Metode ini digunakan terhadap kelompok yang tidak terlalu besar jumlahnya.

4. Seminar: Adalah suatu cara di mana sekelompok orang berkumpul untuk membahas suatu masalah dibawah bimbingan seorang ahli yang menguasai bidangnya.

 Dukungan sosial :

Strategi dukungan sosial adalah suatu kegiatan untuk mencari dukungan sosial melalui tokoh-tokoh masyarakat (toma), baik tokoh masyarakat formal maupun informal. Tujuan utama kegiatan ini adalah agar para tokoh masyarakat, sebagai jembatan antara sektor kesehatan sebagai pelaksana program kesehatan dengan masyarakat (penerima program) kesehatan. Dengan kegiatan mencari dukungan sosial melalui toma pada dasarnya adalah mensosialisasikan program-program kesehatan, agar masyarakat mau menerima dan mau berpartisipasi terhadap program kesehatan tersebut. Oleh sebab itu, strategi ini juga dapat dikatakan sebagai upaya bina suasana, atau membina suasana yang kondusif terhadap

(16)

kesehatan. Bentuk kegiatan dukungan sosial ini antaralain: pelatihan para toma, seminar, lokakarya, bimbingan kepada toma, dan sebagainya. Dengan demikian maka sasaran utama dukungan sosial atau bina suasana adalah para tokoh masyarakat di berbagai tingkat. (sasaran sekunder).

Agar kegiatan promosi kesehatan mendapat dukungan dari tokoh masyarakat. Dukungan sosial adalah ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis sehingga kita dapat melaksanakan kehidupan dengan baik, dukungan sosial ini adalah orang lain yang berinteraksi dengan petugas. Contoh nyata adalah dukungan sarana dan prasarana ketika kita akan melakukan promosi kesehatan atau informasi yang memudahkan kita, atau dukungan emosional dari masyarakat sehingga promosi yang diberikan lebih diterima.

 Advokasi :

Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan orang lain agar orang lain tersebut membantu atau mendukung terhadap apa yang diinginkan. Dalam konteks promosi kesehatan, advokasi adalah pendekatan kepada para pembuat keputusan atau penentu kebijakan di berbagai sektor, dan di berbagai tingkat, sehingga para penjabat tersebut mau mendukung program kesehatan yang kita inginkan. Dukungan dari para pejabat pembuat keputusan tersebut dapat berupa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan, surat instruksi, dan sebagainya.

Kegiatan advokasi ini ada bermacam-macam bentuk, baik secara formal maupun informal.Secara formal misalnya, penyajian atau presentasi dan seminar tentang isu atau usulan program yang ingin dimintakan dukungan dari para pejabat yang terkait. Kegiatan advokasi secara informal misalnya bertemu kepada para pejabat yang relevan dengan program yang diusulkan, untuk secara informal meminta dukungan, baik dalam bentuk kebijakan, atau mungkin dalam bentuk dana atau fasilitas lain. Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa sasaran advokasi adalah para pejabat baik eksekutif maupun legislatif, di berbagai tingkat dan sektor, yang terkait dengan masalah kesehatan (sasaran tersier).

(17)

Sasaran promosi kesehatan ini dapat dibagi kepada 3 yaitu :

a. Sasaran primer: sesuai misi pemberdayaan seperti kepala keluarga, ibu hamil/ menyusui, anak sekolah.

b. Sasaran sekunder: sesuai misi dukungan sosial atau bina suasana seperti tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat.

c. Sasaran tersier: sesuai misi advokasi seperti pembuat kebajikan mulai dari pusat sampai ke daerah.

Kedokteran Keluarga

4,5

Secara ringkas, yang dimaksud dengan dokter keluarga ialah dokter yang memberikan pelayanan kesehatan dengan ciri-ciri utama sebagai berikut:

1. Pelayanan kesehatan lini pertama

Pelayanan ini dilaksakan dengan memberikan pelayanan pada strata primer, yaitu ditengah-tengah pemukiman masyarakat sehingga mudah dicapai. Setiap keluarga sebaiknya mempunyai dokter keluarga yang dapat mereka hubungi bila memerlukan pertolongan kesehatan.

2. Pelayanan kesehatan/medis yang bersifat umum

Dokter memberikan pelayanan untuk masalah kesehatan atau penyakit yang tergolong umum dan bukan spesialistik. Pelayanan dokter yang bersifat umum juga dikenal dengan istilah berobat jalan walaupun kadang-kadang dapat pula diberikan di rumah untuk kasus tertentu misalnya pasien yang sulit berjalan.

3. Bersifat holistik dan komprehensif

Holistik artinya tidak dibatasi pada masalah biomedis pasien saja, tetapi juga dengan melihat latar belakang sosial-budaya pasien yang mungkin berkaitan dengan penyakitnya. Misalnya, banyak penyakit didapat dari pekerjaannya seperti nyeri otot dan tulang, radang saluran napas, radang kulit atau kelelahan. Jika penyakit tersebut tidak ditangani secara holistik dan hanya terfokus pada gejala atau penyakitnya saja, maka tidak akan benar-benar berhasil disembuhkan.

(18)

Komprehensif bermaksud tidak hanya terbatas pada pelayanan pengobatan atau kuratif saja, tetapi meliputi aspek lainnya mulai dari promotif-preventif hingga rehabilitatif. Misalnya, konseling, edukasi kesehatan, imunisasi, KB, medical check-up, perawatan pasca RS dan rehabilitasi medik.

4. Pemeliharaan kesehatan yang berkesinambungan

Pelayanan kesehatan dilakukan terus menerus kepada pasien maupun keluarganya guna memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka. Dengan kata lain, hubungan dokter-pasien yang lebih kontinu atau sebagai dokter langganan. Hubungan yang berkesinambungan itu menguntungkan karena menjadi lebih saling kenal dan lebih akrab sehingga memudahkan dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan pasien/keluarga tersebut.

5. Pendekatan Keluarga

Dokter lebih menekankan keluarga sebagai unit sasaran pelayanan kesehatan daripada perorangan. Pasien umumnya merupakan anggota sebuah keluarga yaitu sebagai suami, isteri atau anak. Pendekatan keluarga mempunyai berbagai keuntungan terutama untuk dukungan yang diperlukan guna mengatasi masalah kesehatan. Misalnya seorang anak akan banyak memerlukan pengertian dan dukungan orang tuanya. Contohnya suami yang menderita hipertensi perlu dukungan isteri dan anaknya. Isteri yang sedang hamil, perlu dukungan suaminya dan banyak lagi contoh lain.

Definisi kedokteran keluarga (IKK FK-UI 1996) adalah disiplin ilmu kedokteran yang mempelajari dinamika kehidupan keluarga, pengaruh penyakit terhadap fungsi keluarga, pengaruh fungsi keluarga terhadap timbul dan berkembangnya penyakit, cara pendekatan kesehatan untuk mengembalikan fungsi tubuh sekaligus fungsi keluarga agar dalam keadaan normal. Setiap dokter yang mengabdikan dirinya dalam bidang profesi dokter maupun kesehatan yang memiliki pengetahuan, keterampilan melalui pendidikan khusus di bidang kedokteran keluarga yang mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek dokter keluarga.

Definisi kedokteran keluarga (PB IDI 1983) adalah ilmu kedokteran yang mencakup seluruh spektrum ilmu kedokteran yang orientasinya untuk memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama yang berkesinambungan dan menyeluruh kepada

(19)

kesatuan individu, keluarga, masyarakat dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Pelayanan kesehatan tingkat pertama dikenal sebagai primary health care, yang mencangkup tujuh pelayanan (Muhyidin, 1996) :

1. Promosi kesehatan 2. KIA

3. KB 4. Gizi

5. Kesehatan lingkungan

6. Pengendalian penyakit menular 7. Pengobatan dasar1,2

Tujuan Pelayanan Dokter Keluarga

Tujuan pelayanan dokter keluarga mencakup bidang yang amat luas sekali. Jika disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua macam (Azwar, 1995) :

1. Tujuan Umum

Tujuan umum pelayanan dokter keluarga adalah sama dengan tujuan pelayanan kedokteran dan atau pelayanan kesehatan pada umumnya, yakni terwujudnya keadaan sehat bagi setiap anggota keluarga.2

2. Tujuan Khusus

Sedangkan tujuan khusus pelayanan dokter keluarga dapat dibedakan atas dua macam:

a. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih efektif. Dibandingkan dengan pelayanan kedokteran lainnya, pelayanan dokter keluarga memang lebih efektif. Ini disebabkan karena dalam menangani suatu masalah kesehatan, perhatian tidak hanya ditujukan pada keluhan yang disampaikan saja, tetapi pada pasien sebagai manusia seutuhnya, dan bahkan sebagai bagian dari anggota keluarga dengan lingkungannya masing-masing. Dengan diperhatikannya berbagai faktor yang seperti ini, maka pengelolaan suatu masalah kesehatan akan dapat dilakukan secara sempurna dan karena itu penyelesaian suatu masalah kesehatan akan dapat pula diharapkan lebih memuaskan.

b. Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih efisien. Dibandingkan dengan pelayanan kedokteran lainnya, pelayanan dokter keluarga juga lebih mengutamakan pelayanan pencegahan penyakit serta

(20)

diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Dengan diutamakannya pelayanan pencegahan penyakit, maka berarti angka jatuh sakit akan menurun, yang apabila dapat dipertahankan, pada gilirannya akan berperan besar dalam menurunkan biaya kesehatan. Hal yang sama juga ditemukan pada pelayanan yang menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Karena salah satu keuntungan dari pelayanan yang seperti ini ialah dapat dihindarkannya tindakan dan atau pemeriksaan kedokteran yang berulang-ulang, yang besar peranannya dalam mencegah penghamburan dana kesehatan yang jumlahnya telah diketahui selalu bersifat terbatas.2

Manfaat Pelayanan Dokter Keluarga

Apabila pelayanan dokter keluarga dapat diselenggarakan dengan baik, akan banyak manfaat yang diperoleh. Manfaat yang dimaksud antara lain adalah (Cambridge

Research Institute, 1976)

1. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya terhadap keluhan yang disampaikan.

2. Akan dapat diselenggarakan pelayanan pencegahan penyakit dan dijamin kesinambungan pelayanan kesehatan.

3. Apabila dibutuhkan pelayanan spesialis, pengaturannya akan lebih baik dan terarah, terutama ditengah-tengah kompleksitas pelayanan kesehatan saat ini.

4. Akan dapat diselenggarakan pelayanan kesehatan yang terpadu sehingga penanganan suatu masalah kesehatan tidak menimbulkan berbagai masalah lainnya.

5. Jika seluruh anggota keluarga ikut serta dalam pelayanan, maka segala keterangan tentang keluarga tersebut, baik keterangan kesehatan dan ataupun keterangan keadaan sosial dapat dimanfaatkan dalam menangani masalah kesehatan yang sedang dihadapi.

6. Akan dapat diperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit, termasuk faktor sosial dan psikologis.

7. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit dengan tata cara yang lebih sederhana dan tidak begitu mahal dan karena itu akan meringankan biaya kesehatan.

(21)

8. Akan dapat dicegah pemakaian berbagai peralatan kedokteran canggih yang memberatkan biaya kesehatan.2,3

Fungsi, Tugas dan Kompetensi Dokter Keluarga

Dokter keluarga memiliki 5 fungsi yang dimiliki, yaitu (Azrul Azwar, dkk. 2004) : a. Care Provider (Penyelenggara Pelayanan Kesehatan)

Yang mempertimbangkan pasien secara holistik sebagai seorang individu dan sebagai bagian integral (tak terpisahkan) dari keluarga, komunitas, lingkungannya, dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi, komprehensif, kontinu, dan personal dalam jangka waktu panjang dalam wujud hubungan profesional dokter-pasien yang saling menghargai dan mempercayai. Juga sebagai pelayanan komprehensif yang manusiawi namun tetap dapat dapat diaudit dan dipertangungjawabkan b. Comunicator (Penghubung atau Penyampai Pesan)

Yang mampu memperkenalkan pola hidup sehat melalui penjelasan yang efektif sehingga memberdayakan pasien dan keluarganya untuk meningkatkan dan memelihara kesehatannya sendiri serta memicu perubahan cara berpikir menuju sehat dan mandiri kepada pasien dan komunitasnya

c. Decision Maker (Pembuat Keputusan)

Yang melakukan pemeriksaan pasien, pengobatan, dan pemanfaatan teknologi kedokteran berdasarkan kaidah ilmiah yang mapan dengan mempertimbangkan harapan pasien, nilai etika, “cost effectiveness” untuk kepentingan pasien sepenuhnya dan membuat keputusan klinis yang ilmiah dan empatik

d. Manager

Yang dapat berkerja secara harmonis dengan individu dan organisasi di dalam maupun di luar sistem kesehatan agar dapat memenuhi kebutuhan pasien dan komunitasnya berdasarkan data kesehatan yang ada. Menjadi dokter yang cakap memimpin klinik, sehat, sejahtera, dan bijaksana

e. Community Leader (Pemimpin Masyarakat)

Yang memperoleh kepercayaan dari komunitas pasien yang dilayaninya, menyearahkan kebutuhan kesehatan individu dan komunitasnya,

(22)

memberikan nasihat kepada kelompok penduduk dan melakukan kegaiatan atas nama masyarakat dan menjadi panutan masyarakat2

Selain fungsi, ada pula tugas dokter keluarga, yaitu :

a. Mendiagnosis dan memberikan pelayanan aktif saat sehat dan sakit b. Melayani individu dan keluarganya

c. Membina dan mengikut sertakan keluarga dalam upaya penanganan penyakit d. Menangani penyakit akut dan kronik

e. Merujuk ke dokter spesialis

Kewajiban dokter keluarga :

a. Menjunjung tinggi profesionalisme

b. Menerapkan prinsip kedokteran keluarga dalam praktek c. Bekerja dalam tim kesehatan

d. Menjadi sumber daya kesehatan

e. Melakukan riset untuk pengembangan layanan primer

Kompetensi dokter keluarga yang tercantum dalam Standar Kompetensi Dokter Keluarga yang disusun oleh Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia tahun 2006 adalah (Danasari, 2008) :

a. Keterampilan komunikasi efektif b. Keterampilan klinik dasar

c. Keterampilan menerapkan dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku dan epidemiologi dalam praktek kedokteran keluarga

d. Keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada individu, keluarga ataupun masyarakat dengan cara yang komprehensif, holistik, berkesinambungan, terkoordinir dan bekerja sama dalam konteks Pelayanan Kesehatan Primer

e. Memanfaatkan, menilai secara kritis dan mengelola informasi f. Mawas diri dan pengembangan diri atau belajar sepanjang hayat g. Etika moral dan profesionalisme dalam praktek2

(23)

Organisasi Pada Dokter Keluarga

Pada dokter keluarga, memiliki 2 organisasi yang akan dibahas sebagai berikut :

a. Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI)

Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) yang saat ini seluruh anggotanya adalah Dokter Praktik Umum (DPU) yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Jumlah anggota yang telah mendaftar sekitar 3000 orang. Semua anggota PDKI adalah anggota IDI. PDKI merupakan organisasi profesi dokter penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat primer yang utama.2,3

Ciri dokter layanan primer adalah (Danasari, 2008) :

1. Menjadi kontak pertama dengan pasien dan memberi pembinaan berkelanjutan (continuing care)

2. Membuat diagnosis medis dan penangannnya 3. Membuat diagnosis psikologis dan penangannya

4. Memberi dukungan personal bagi setiap pasien dengan berbagai latar belakang dan berbagai stadium penyakit

5. Mengkomunikasikan informasi tentang pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan prognosis

6. Melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit kronik dan kecacatan melalui penilaian risiko, pendidikan kesehatan, deteksi dini penyakit, terapi preventif, dan perubahan perilaku.

Setiap dokter yang menyelenggarakan pelayanan seperti di atas dapat menjadi anggota PDKI. Anggota PDKI adalah semua dokter penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat primer baik yang baru lulus maupun yang telah lama berpraktik sebagai Dokter Praktik Umum.

Dokter penyelenggara tingkat primer, yaitu : 1. Dokter praktik umum yang praktik pribadi 2. Dokter keluarga yang praktik pribadi 3. Dokter layanan primer lainnya seperti :

a. Dokter praktik umum yang bersama b. Dokter perusahaan

c. Dokter bandara d. Dokter pelabuhan e. Dokter kampus f. Dokter pesantren

(24)

g. Dokter haji

h. Dokter puskesmas

i. Dokter yang bekerja di unit gawat darurat j. Dokter yang bekerja di poliklinik umum RS

k. Dokter praktik umum yang bekerja di bagian pelayanan khusus

Sejarah PDKI

PDKI pada awalnya merupakan sebuah kelompok studi yang bernama Kelompok Studi Dokter Keluarga (KSDK, 1983), sebuah organisasi dokter seminat di bawah IDI. Anggotanya beragam, terdiri atas dokter praktik umum dan dokter spesialis. Pada tahun 1986, menjadi anggota organisasi dokter keluarga sedunia (WONCA). Pada tahun 1990, setelah Kongres Nasional di Bogor, yang bersamaan dengan Kongres Dokter Keluarga Asia-Pasifik di Bali, namanya diubah menjadi Kolese Dokter Keluarga Indonesia (KDKI), namun tetap sebagai organisasi dokter seminat. Pada tahun 2003, dalam Kongres Nasional di Surabaya, ditasbihkan sebagai perhimpunan profesi, yang anggotanya terdiri atas dokter praktik umum, dengan nama Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI), namun saat itu belum mempunyai kolegium yang berfungsi.

Dalam Kongres Nasional di Makassar 2006 didirikan Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga (KIKK) dan telah dilaporkan ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Masyarakat Kestabilan dan Kendali Indonesia (MKKI).

Continuing Professional Development (CPD) yang dilakukan oleh

Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) adalah :

1. Pelatihan Paket A : Pengenalan Konsep Dokter Keluarga 2. Pelatihan Paket B : Manajemen Pelayanan Dokter Keluarga

3. Pelatihan Paket C : Pengetahuan Medis Dasar dan Keterampilan Teknis Medis

4. Pelatihan Paket D : Pengetahuan Mutakhir Kedokteran

5. Konversi DPU menjadi DK bagi dokter yang telah praktek 5 tahun atau lebih dan masih punya izin praktek dengan mengisi borang yang telah disediakan sampai tahun 2012, setelah itu bila ingin jadi dokter keluarga harus mengikuti pendidikan formal baik S2 atau spesialis DK

(25)

b. Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia ( KIKKI )

Dipilih dalam Kongres Nasional VII di Makassar 30 Agustus 2006 – 2 September 2006, dan telah dilaporkan ke PB IDI Pusat dan MKKI. Kolegium memang harus ada dalam sebuah organisasi profesi. Jadi PDKI harus mempunyai kolegium yang akan memberikan pengakuan kompetensi keprofesian kepada setiap anggotanya. Dalam PDKI lembaga ini yang diangkat oleh kongres dan bertugas sebagai berikut :2

1. Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semua keputusan yang ditetapkan kongres

2. Mempunyai kewenangan menetapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sistem pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga

3. Mengkoordinasikan kegiatan kolegium kedokteran

4. Mewakili PDKI dalam pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga

5. Menetapkan program studi pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga beserta kurikulumnya

6. Menetapkan kebijakan dan pengendalian uji kompetensi nasional pendidikan profesi kedokteran keluarga

7. Menetapkan pengakuan keahlian (sertfikasi dan resertifikasi)

8. Menetapkan kebijakan akreditasi pusat pendidikan dan rumah sakit pendidikan untuk pendidikan dokter keluarga

9. Mengembangkan sistem informasi pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga

Angota KIKK terdiri atas anggota PDKI yang dinilai mempunyai tingkat integritas dan kepakaran yang tinggi untuk menilai kompetensi keprofesian anggotanya. Atas anjuran dan himbauan IDI sebaiknya KIKK digabung dengan KDI karena keduanya menerbitan sertifikat kompetensi untuk Dokter Pelayanan Primer (DPP). Setelah melalui diskusi yang berkepanjangan akhirnya bergabung dengan nama Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga (KDDKI) yang untuk sementara melanjutkan tugas masing-masing, unsur KDI memberikan sertifikat kepada dokter yang baru lulus sedangkan unsur KIKK memberikan sertifikat kompetensi (resertifikasi) kepada DPP yang akan mendaftar kembali ke KKI (Qomariah, 2000).2

(26)

Perbedaan Dokter Praktek Umum dan Dokter Keluarga

Tabel ini menjelaskan tentang perbedaan antara dokter praktek umum dengan dokter keluarga (Qomariah, 2000) :2

DOKTER PRAKTEK UMUM

DOKTER KELUARGA

Cakupan Pelayanan Terbatas Lebih Luas

Sifat Pelayanan Sesuai Keluhan

Menyeluruh, Paripurna, bukan sekedar yang

dikeluhkan

Cara Pelayanan Kasus per kasus dengan pengamatan sesaat

Kasus per kasus dengan berkesinambungan

sepanjang hayat

Jenis Pelayanan Lebih kuratif hanya untuk penyakit tertentu

Lebih kearah pencegahan, tanpa mengabaikan pengobatan

dan rehabilitasi

Peran keluarga Kurang dipertimbangkan Lebih diperhatikan dan dilibatkan Promotif dan

pencegahan Tidak jadi perhatian Jadi perhatian utama

Hubungan dokter-pasien Dokter – pasien Dokter – pasien – teman sejawat dan konsultan

Awal pelayanan Secara individual

Secara individual sebagai bagian dari keluarga

komunitas dan lingkungan

Lepra

Penyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa kronik pada ma nusiayang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer. Istilah

(27)

kusta berasal dari bahasa sansekerta yakni kushta berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam memberi pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Peyakit kusta sampai sekarang masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/ pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya.

Etiologi

Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra. Kuman ini

berbentuk batang tahan asam yang termasuk

familia Mycobacteriaeceae atas dasar morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiri pan genetik dengan mikobakterium lainnya. Bentuk bentuk kusta yang dapat dilihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk pecah – pecah (fragmented), bentuk granular (granulated), bentuk globus dan bentuk clumps.

Bentuk utuh, dimana dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna

merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah-pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana kelihatan seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragment atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok- kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 -60 BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau – pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA .

(28)

Tipe Lepra

Tabel 1. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi

Klasifikasi Zona Spektrum Kusta

Ridley dan Jopling

TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

Puskesmas PB MB

Multibasiler berarti mengadung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan pausibasiler berarti mengadung sedikit kuman, yakni tip TT, BT dan I. Beberapa perbandingan dari berbagai tipe tersebut dapat di lihat di tabel di bawah ini

Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler (MB)

Sifat Lepromatosa (LL) Bordeline Lepromatosa (BL) Mid Borderline (BB) Lesi: - Bentuk - Jumlah - Distribusi - Permukaan Makula Infiltrat difus Papul Nodus

Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat

Simetris

Halus berkilat

Makula

Plakat

Papul

Sukar dihitung, masih ada kulit sehat

Hampir simetris

Halus berkilat

Plakat

Dome-shaped (kubah)

Punched-out

Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada

Asimetris

(29)

- Batas

- Anestesia

Tidak jelas

Tidak ada sampai tidak jelas Agak jelas Tak jelas Agak jelas Lebih jelas BTA - Lesi kulit - Sekret hidung

Banyak (ada globus)

Banyak (ada globus)

Banyak

Biasanya negatif

Agak banyak

Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta pausibasiler (PB)

Sifat Tuberkuloid (TT) Bordeline

Tuberculoid (BT) Indeterminate (I) Lesi - Bentuk - Jumlah - Distribusi - Permukaan - Batas - Anestesia

Makula saja, makula dibatasi infiltrat

Satu, dapat beberapa

Asimetris

Kering bersisik

Jelas

Jelas

Makula dibatasi infiltrat: infiltrat saja

Beberapa atau satu dengan satelit Masih asimetris Kering bersisik Jelas Jelas Hanya makula

Satu atau beberapa

Variasi

Halus, agak berkilat

Dapat jelas atau dapat tidak jelas

Tak ada sampai tidak jelas

(30)

BTA

- Lesi kulit

Hampir selalu negatif

Negatif atau hanya 1+

Biasanya negatif

Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau negative

Pemeriksaan a.Anamnesis

1). Keluhan yang ada/kapan timbul bercak . 2). Apakah ada riwayat kontak .

3). Riwayat pengobatan sebelumnya. b.Pemeriksaan kulit / rasa raba.

Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang dilancipkan kemudian disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai, sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan .Terlebih dulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disentuh bagian tubuh dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya,menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya.Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada tidaknya anestesi . pada telapak tangan dan kaki memakai bolpoin karena pada tempat ini kulit lebih tebal.

c.Pemeriksaan saraf (nervus )

Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering diutamakan pada saraf ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat kusta mengikuti kerusakan pada saraf-saraf utama.

Tehnik Pemeriksaan Saraf . a.Saraf Ulnaris.

Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus

(31)

medial (epicondilus medialis ). Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil digulirkan dan menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik / reaksi penderita adakah tampak kesakitan atau tidak .

b.Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis).

1).Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi dll ) dengan kaki dalam keadaan rilek.

2).Pemeriksa duduk didepan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan .

3).Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan benjolan tulang (caput fibula )setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm kearah belakang

4).Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian kekanan dan kiri sambil melihat mimik / reaksi penderita .

c.Saraf Tibialis Posterior .

1).Penderita masih duduk dalam posisi rileks .

2).Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis Posterior dibagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam(maleolus medialis)dengan tangan menyilang (tangan kiri memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posteior kanan pasien ) 3).Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik / reaksi dari penderita.

3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf

Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa adalah Mata, Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot. Alat yang diperlukan : ballpoin yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk penderita.

Cara pemeriksaan Fungsi Saraf .

Periksa secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki .

a. Mata

Fungsi Motorik (Saraf Facialis )

(32)

2).Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna / tidak , apakah ada celah.

3).Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat, missal lagofthalmus ± 3 mm, mata kiri atau kanan.

Catatan : Untuk fungsi sensorik mata(pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan .

b.Tangan

1).Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus )

a).Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa, sehingga semua ujung jari tersangga .

b).Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoin pada lengannya dan satu atau dua titik pada telapak tangan

c).Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain .

d).Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif .

e).Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan yang diperiksa.

f).Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh . g).Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan h).Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm .

2). Fungsi Motorik (Kekuatan Otot)Saraf Ulnaris ,Medianus dan Radialis . a).Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking).

(1).Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan penderita dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan posisi ektensi (jari kelingking /5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan pemeriksa .

(2).Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-jari lainnya,bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya , dan kemudian ibu jari pemeriksa

(33)

Penilaian :

(a).Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh berarti dari jari lainnya berarti lumpuh.

(b).Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa berarti lemah .

(c).Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa ibu jari bisa maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih kuat.

(d).Bila masih ragu , penderita diminta menjepit sehelai kertas yang diletakkan diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa menarik kertas tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan / jepitan terhadap kertas tesebut .

Penilaian :

(e).Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah . (f).Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat b).Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari )

(1).Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking tangan kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap keatas,dan dalam posisi ekstensi .

(2).Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap telapak tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung) dan penderita diminta untuk mempertahankan posisi tersebut.

(3).Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian batas antara punggung dengan telapak mendekati telapak tangan .

Penilaian :

(a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat . (b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah . (c).Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh .

c).Saraf Radialis ( Kekuatan otot Pergelangan tangan ).

(1).Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan penderita .

(2).Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang terkepal keatas (ektensi ).

(34)

(3).Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi ( keatas) lalu dengan tangan kanan pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah fleksi .

Penilaian :

(a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat . (b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .

(c).Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh ( pergelangan tangan tidak bisa digerakkan keatas)

. c. Kaki

1).Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior )

a).Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki menghadap keatas .

b).Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita . c).Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.

d).Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan berdiameter 1 cm.

e).Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm.

2).Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis ).

a).Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki dengan tumit tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan dengan tumit). b).Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita kebawah /lantai . Keterangan:

c).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat. d).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .

e).Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan keatas).

Pemeriksaan Penunjang Diagnosis

Pemeriksaan Bakterioskopik Pewarnaan Ziehl Neelsen

(35)

Bahan biopsi kulit atu saraf

Indeks Bakteri (IB) : untuk menentukan klasifikasi penyait lepra dengan melihat kepadatan BTA tanpa melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/granular)

Indek Bakteri (IB):

0 BTA (-) 1 - 10/ 100 LP +1 1 - 10/ 10 LP +2 1 – 10/ 1 LP +3 10 – 100/ 1 LP +4 100 – 1000/ 1 LP +5 >1000/ 1 LP +6

Indeks Morfologi : Untuk menentukan persentase BTA hidup atau mati Rumus : Jumlah BTA solid x 100 % = x %

Jumlah BTA solid + non solid

Guna : untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA, melihat infeksisitas penyakit.

o Pemeriksaan histopatologik (untuk membedakan tipe TT & LL) Pada tipe TT : ditemukan tuberkel (giant cell, limfosit) Pada tipe LL : ditemukan sel busa (Virchow cell/sel lepra)

 Pemeriksaan tes lepromin : digunakan untuk mleihat daya imunitas penderita

terhadap penyakit kusta.

o Pemeriksaan serologic

Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination) Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) ML dipstick ( Mycobacterium Leprae dipstick)

(36)

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit kusta 1. Faktor Internal.

a.Umur.

Umur dimana kejadian penyakit kusta sering terkait dengan umur pada saat diketemukan dari pada timbulnya penyakit, namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi, angka kejadian (Insidence Rate ) meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncakumur 30-50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.

b.Jenis kelamin.

Jenis kelamin, kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, menurut catatan sebagian besar negara didunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkanbahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada wanita. Relatif rendahnya kejadiankusta pada wanita kemungkinan karena faktor lingkungan atau biologi sepertikebanyakan pada penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.

c.Daya tahan tubuh seseorang.

Daya tahan tubuh seseorang, apabila seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah akan rentan terjangkit bermacam-macam penyakit termasuk kusta, meskipun penularannya lama bila seseorang terpapar kuman penyakit sedangkan imunitasnyamenurun bisa terinfeksi, misalnya: kurang gizi/malnutrisi berat, infeksi, habis sakit lama dan sebagainya.

d. Etnik/suku.

Etnik/suku, kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena perbedaan etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan etnik India, situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian lepromatosa lebih banyak pada etnik cina dibandingkan etnik Melayu atau India, demikian pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu.

(37)

2. Faktor Ekternal.

a.Kepadatan hunian

Penularan penyakit kusta bisa melalui droplet infeksi atau melalui udara, dengan penghuni yang padat maka akan mempengaruhi kualitas udara, hingga bila ada anggota keluarga yang menderita kusta maka anggota yang lain akan rentan tertular namun kuman kusta akan inaktif bila terkena cahaya matahari, sinar ultra violet yang dapat merusak dan mematikan kuman kusta. Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh Depkes (2000), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan di bagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur , kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

Kondisi rumah didaerah yang padat penghuninya juga sangat berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang , oleh karena itu didalam membuat rumah harus memperhatikan persyaratan sebagai berikut :

1). Bahan bangunan memenuhi syarat :

a).Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan, karena lantai yang lembab merupakan sarang penyakit.

b).Dinding tembok adalah baik, namun bila didaerah tropis dan ventilasi kurang lebih baik dari papan .

c).Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau esbes tidak cocok untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah.

2).Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela /ventilasi adalah 15 % dari luas Lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum . Kelembaban yang optimal (sehat ) adalah sekitar 40 – 70 % kelembaban yang lebih dari 70 % akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara didalam ruangan naik terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan . Kelembaban yang tinggi akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri patogen(bakteri penyebab penyakit).

(38)

3).Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya Matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca,suhu udara yang ideal didalam rumah adalah 18–30°C.Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium Leprae tumbuh optimal pada suhu37°C.Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh Mycobacterium Leprae.Bacteri ini tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangan bacteri lebih banyak dirumah yang gelap.

4).Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ) .Rumah yang terlalu padat penghuninya tidak sehat , sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O² juga bila salah satu anggota keluarganya ada yang sakit infeksi akanmudah menular kepada anggota keluarga yang lain.Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni ( sleeping density) dinyatakan baik bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7; cukup bila kepadatan antara 0,5–0,7; dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5. Didaerah pantura kabupaten Pekalongan tingkat kepadatan hunian lebih tinggi dibanding bagian selatan sehingga angka prevalensi lebih besar.

b. Perilaku

Pengertian perilaku menurut skiner ( 1938 ) merupakan respon atau reaksi seseorang tehadap stimulus ( rangsangan dari luar ), dengan demikian perilaku terjadi melalui proses :

Stimulus – Organisme - Respons, sehingga teori Skiner disebut juga teori _ SO- R _Sedangkan pengertian Perilaku Kesehatan ( health behavior ) menurut Skiner adalah Respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit ( kesehatan) seperti lingkungan, makanan dan minuman yang tidak sehat, dan pelayanan kesehatan . Secara garis besar perilaku kesehatan dibagi dua, yakni :

(39)

1).Perilaku sehat (healty behavior )

Yang mencakup perilaku-perilaku(overt dan covert behavior )dalam mencegah penyakit ( perilaku preventif ) dan perilaku dalam mengupayakan peningkatan kesehatan ( perilaku promotif ), contoh: Makan makanan bergizi, olah raga teratur, mandi pakai sabun mandi, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan dari pada yang sudah terlambat datang, karena kebanyakan pasien datang sudah stadium lanjut sehingga pengobatan lebih sulit dan resiko cacat lebih besar.

2).Perilaku orang yang sakit (health seeking behavior ), perilaku ini mencakup tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah untuk memperoleh kesembuhan, misalnya pelayanan kesehatan tradisional seperti : dukun, sinshe, atau paranormal, maupun pelayanan modern atau professional seperti : RS, Puskesmas, Dokter dan sebagainya( Soekidjo Notoatmodjo, 2010 ). Becker ( 1979 ) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membagi menjadi tiga, yakni :

1. Perilaku Sehat (healhty behavior)

Perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, misalnya :

a.Menjaga kebersihan kulit dengan mandi memakai sabun mandi.

b. tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, karena akan menyebabkan bermacam-macam kelainan kulit termasuk kusta.

c.Bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan. d.Makan makanan bergizi, teratur berolahraga serta cukup istirahat.

e.Perilaku dan gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan. 2. Perilaku Sakit(illness behavior)

Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang untuk mencari penyembuhan , misal ke Puskesmas, RS dan sebagainya.

Gambar

Tabel  ini  menjelaskan  tentang  perbedaan  antara  dokter  praktek  umum  dengan  dokter keluarga (Qomariah, 2000) : 2
Tabel 1. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi
Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta pausibasiler (PB)  Sifat  Tuberkuloid (TT)  Bordeline
Tabel 1: Prevalensi pada awal 2006, dan tren penemuan kasus baru pada 2001-2005, tidak termasuk di Eropa 6

Referensi

Dokumen terkait

research work done under my supervision and has not been submitted for any other degree of this or any other University. It is now forwarded for the award

a) Variabel Kepemilikan manajerial pada perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2014-2017 yang diukur dengan jumlah

Sebagai garda terdepan dalam ikut menjaga kepariwisataan Pangandaran melalui kualitas pelayanan dan informasi yang diberikan kepada wisatawan, seorang pramuwisata

Dari kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang pemasaran digital, pembuatan akun iklan media sosial,

Karena tembakau menyebabkan timbulnya flek atau atau endapan pada Karena tembakau menyebabkan timbulnya flek atau atau endapan pada dinding pembuluh darah sehingga menghambat laju

Hasil dari proses drilling yang pertama digunakan sebagai tempat untuk memasang nut yang selanjutnya akan berhubungan dengan roda, sedangkan hasil dari proses drilling

Setelah melaksanakan pembelajaran mandiri pada modul ini, kamu akan bisa mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan dengan penuh rasa cinta.. terhadap

Tetapi, verba dalam konstruksi verba proses dan obyek yang diikuti oleh pelengkap derajat baik pelengkap derajat adjektival maupun pelengkap derajat verbal, atau pelengkap akhir