• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta pada tahun 2000. Indonesia sebagai anggota Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) harus memenuhi resolusi tersebut. Suatu kenyataan bahwa lepra tersebar di Indonesia secara tidak merata dan prevalensi rate (PR) sangat bervariasi menurut propinsi, Kabupaten/Kota/Kecamatan. Penderita terdaftar di Indonesia sampai dengan desember 2003 sebanyak 18.312 penderita. Eliminasi kusta di Indonesia yang ditargetkan tahun 2000 sudah dicapai secara nasional pada pertengahan tahun 2000, namun demikian pada tingkat propinsi dan kabupaten masih banyak yang belum mencapai eliminasi. Sampai akhir desember 2003,

baru 18 dari 30 propinsi dan 325 dari 440 Kabupaten yang dapat mencapai eliminasi.

Tujuan Jangka Panjang

1. Menurunkan transmisi panyakit kusta pada tingkat tertentu sehingga kusta tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat.

2. mencegah kecacatan pada semua penderita baru yang ditemukan melalui pengobatan dan perawatan yang benar.

3. Memberikan perawatan dan pelayanan rehabilitasi yang tepat pada orang yang terkena penyakit kusta.

Tujuan Jangka Pendek

1. Menetapkan sistim penemuan dan diagnosa penderita kusta secara intensif di daerah endemik tinggi dan di kantong-kantong kusta di daerah endemic rendah sehingga proporsi anak dan kecacatan tingkat 2 kurang dari 5%.

2. Memberikan pengobatan yang adekuat sehingga tercapai angka kesembuhan (RFT Rate) lebih dari 90%.

3. menurunkan proporsi penderita yang cacat pada mata tangan dan kaki setelah RFT kurang dari 5%.

4. Mengembangkan puskesmas dengan perawatan cacat yang adekuat dengan dukungan sistem rujukan ke rumah sakit umum dan rumah sakit khusus untuk kasus yang mengalami komplikasi dan membutuhkan rehabilitasi medis.

5. Melaksanakan pengelolaan program pemberantasan kusta dengan strategi sesuai endemisitas daerah dan di dukung dengan kegiatan-kegiatan penunjangnya.

Target

1. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat propinsi pada tahun 2008.

2. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat kabupaten pada tahun 2010.

3. Tercapainya Indonesia bebas kusta pada tahun 2020.

Kebijakan

1. Pelaksanaan program pemberantasan kusta diintegrasikan dalam kegiatan pelayananan kesehatan dasar di puskesmas.

2. Pengobatan penderita kusta dengan MDT sesuai rekomendasi WHO diberikan cuma-cuma.

Cara mendiagnosa Lepra adalah dengan melihat tanda utama atau cardinal sign yaitu ;

i) Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi) yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa.

ii) Penebalan syaraf tepi.

iii) Gejala pada kulit, penderita kusta adalah pada kulit terjadi benjol-benjol kecil berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar berkelompok dan biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung hingga menyebabkan perdarahan.

iv) Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota badan atau bagian tubuh yang terkena. Kadang-kadang terdapat radang syaraf yang nyeri. Adakalanya kaki dan tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering hilang akibat serangan penyakit ini. Penderita merasa demam akibat reaksi penyakit tersebut.

v) Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk. Bentuk leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh. Bentuk ini menular karena kelainan kulitnya mengandung banyak kuman.

vi) Ada juga bentuk tuberkuloid yang mempunyai kelainan pada jaringan syaraf yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini tidak menular karena kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman. Di antara bentuk leproma dan tuberkuloid ada bentuk peralihan yang bersifat stabil dan mudah berubah-ubah.

vii) Penyakit ini ditularkan melalui kontak erat dari kulit ke kulit dalam waktu yang cukup lama. Namun ada dugaan bahwa penyakit ini juga dapat ditularkan melalui udara pernapasan dari penderita yang selaput hidungnya.

Klasifikasi Kusta menurut WHO untuk memudahkan pengobatan di lapangan : 1) PB (Pauci Bacillery)

Prinsip Multi Drug Treatment (pengobatan kombinasi Regimen MDT-Standar WHO)

a. Regimen MDT-Pausibasiler

i) Rifampisin

Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi

Berat badan < 35 kg : 450 mg/bulan

Anak 10 – 14 th : 450 mg/bulan (12 – 15 mg/kg BB/hari)

Rifampisin : diminum di depan petugas ( Hari pertama )

· Dewasa : 600 mg/bulan

· Anak 10 – 14 tahun : 450 mg/bulan

· Anak 5 – 9 tahun : 300 mg/bulan

ii) Dapson :

· Dewasa : 100 mg/hari

· Anak 5 – 9 tahun : 25 mg/hari

Diberikan dalam jangka waktu 6 – 9 bulan.

- Dapson

Dewasa : 100 mg/hari

Berat badan < 35 kg : 50 mg/hari

Anak 10 – 14 th : 50 mg/hari (1 – 2 mg/kg BB/hari)

Lama pengobatan : diberikan sebanyak 6 regimen dengan jangka waktu maksimal 9 bulan.

b) Regimen MDT-Multibasiler i) Rifampisin

Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi

Dilanjutkan dengan 50 mg/hari

Anak 10 – 14 th : 450 bulan (12 – 15 mg/kg BB/bulan)

Rifampisin : diminum di depan petugas ( Hari pertama )

· Dewasa : 600 mg/bulan

· Anak 10 – 14 tahun : 450 mg/bulan

· Anak 5 – 9 tahun : 300 mg/bulan

ii) Lampren :

· Dewasa : 300 mg/bulan

· Anak 10 – 14 tahun : 150 mg/bulan

· Anak 5 – 9 tahun : 100 mg/bulan

· Dewasa : 100 mg/hari

· Anak 10 – 14 tahun : 50 mg/hari

· Anak 5 – 9 tahun : 25 mg/hari

Diberikan sebanyak 12 blister dengan jangka waktu 12 – 18 bulan.

- Lampren

Dewasa : 300 mg/bulan, disupervisi

Dilanjutkan dengan 50 mg/hari

Anak 10 – 14 th : 200 mg/bulan, disupervisi

Dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari.

- Dapson

Dewasa : 100 mg/hari.

Berat badan < 35 kg: 50 mg/hari

Anak 10-14 tahun : 50 mg/hari(1 – 2 mg/hari/Kg BB/hari)

Lama pengobatan : diberikan sebanyak 24 regimen dengan jangka waktu maksimal 36 bulan sedapat mungkin sampai apusan kulit menjadi negatif.

Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, tujuan program pemberantasan penyakit kuista adalah menurunkan angka prevalensi penyakit kustra menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya yang dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui :

2. Pengobatan penderita.

3. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.

4. Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta. 5. Rehabilitasi penderita kusta.

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, dan mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih berdasarkan atas deteksi dini dan penobatan penderita, yang tampaknya masih merupakan dua hal yang penting meskipun nantinya vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Dilihat dari sejarahnya pengobatan kusta telah melalui beberapa fase perkembangan yaitu dari era pre sulfon sampai ditemukannya obat-obat baru yang bersifat mikobakterisidal yang lebih efektif.

Sampai tahun 1950 belum ditemukan obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit kusta, satu-satunya cara untuk menangani penderita kusta adalah dengan mengisolasi penderita ketempat penawatan khusus. Kemudian ditemukan dapson, yaitu obat anti penyakit kusta yang pertama. Namun dalam dua dekade berikutnya, ternyata dapson menjadi kurang efektif karena bakteri penyebab kusta yaitu Mycobacterium leprae menjadi resisten, sehingga pengobatan gagal dan penyakit akan kambuh lagi. Di-samping itu pengobatan yang berlangsung lama sering meng-akibatkan penderita menjadi putus asa dan malas berobat. Pada tahun 1981 WHO merekomendasikan penggunaan Multi Drug Therapy (MDI), yaitu pengobatan baku terhadappasien dengan kusta multibasil dan pasien dengan kusta paucibasil. Regimen ini diharapkan efektif, dapat digunakan secara luas dan diterima oleh semua pasien; sampai saat ini telah diterima se-bagai pengobatan standar untuk penyakit kusta.

Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak digunakan lagi.

Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an. Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin

obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri4,5

Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar.Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson..

Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit turunan/kutukan.Tipe MB lama pengobatan : 12 - 18 bulan.Tipe PB lama pengobatan : 6 - 9 bulanPengobatan Kusta dapat dilakukan pada Puskesmas/Rumah Sakit/ UPK yang melakukan pengobatan kusta. Semua pengobatan kusta di Puskesmas/UPK/Rumah Sakit di dapat secara gratis.

Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas sudah dilakukan sejak pelita I). Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia.

Meskipun obat-obat baru ditemukan tampaknya memberi harapan yang lebih cerah, namun karena masih dalam evaluasi uji klinis maka regimen MDT masih dianjurkan dalam program pemberantasan kusta di seluruh dunia termasuk di indonesia

Pencegahan

8

1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan seseorang yang telah memiliki faktor resiko agar tidak sakit. Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya. Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta, upaya yang dilakukan adalah memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene, deteksi dini adanya penyakit kusta dan penggerakan peran serta masyarakat untuk segera memeriksakan diri atau menganjurkan orang-orang yang dicurigai untuk memeriksakan diri ke puskesmas.

2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)

Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan penyakit dini yaitu mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari komplikasi. Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan. Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan melakukan diagnosis dini dan pemeriksaan neuritis, deteksi dini adanya reaksi kusta, pengobatan secara teratur melalui kemoterapi atau tindakan bedah.

3. Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)

Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi. Rehabilitasi adalah upaya yang dilakukan untuk memulihkan seseorang yang sakit sehingga menjadi manusia yang lebih berdaya guna, produktif, mengikuti gaya hidup yang memuaskan dan untuk memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin, sesuai tingkatan penyakit dan ketidakmampuannya.

Pencegahan tertier meliputi:

a. Pencegahan Kecacatan

Pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan keluarganya.

Upaya pencegahan cacat terdiri atas :

a. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi :

1) Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis

2) Pengobatan secara teratur dan adekuat

3) Deteksi dini adanya reaksi kusta

4) Penatalaksanaan reaksi kusta

1) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka

2) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur.

3) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.

4) Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi.

5) Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot. 2,17

Derajat cacat kusta menurut WHO (1988), di bagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :

a) Cacat pada tangan dan kaki :

Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis Tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis Tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis

b) Cacat pada mata :

Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus)

Tingkat 1 : ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang Tingkat 2 : ada lagoftalmos dan visus sangat terganggu

b. Rehabilitasi

Rehabilitasi yang dilakukan meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi ekonomi. Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain adalah kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).

Penutup

Dengan mengetahui penyebab, penyebaran penyakit, dan pengobatannya maka tidaklah perlu timbul lepraphobia. Hal ini dapat dilihat dengan penting peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita dan keluarga serta masyarakat dimana dengan penyuluhan ini diharapkan penderita dapat berobat secara teratur, dan tidak perlu dijauhi oleh keluarga malahan keluarga sebagai pendukung proses penyembuhan serta masyarakat tidak perlu mempunyai rasa takut yang berlebihan. Penderita kusta sebagai manusia yang juga mendapat perlakuan secara manusia, jadi keluarga dan masyarakat tidak perlu mendorong untuk mengasingkan penderita kusta tersebut.

Dokumen terkait