• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stasiun 1

Stasiun 2 (kiri)

Stasiun 2 (kanan)

Lanjutan Lampiran 5

Stasiun 3 (kanan)

Setelah Stasiun 1

Antara stasiun 1 ke stasiun 2

Antara Stasiun 1 ke stasiun 2

Antara Stasiun 2 ke Stasiun 3

Antara stasiun 2 ke stasiun 3

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sungai merupakan salah satu perairan mengalir yang bermanfaat bagi kehidupan organisme di dalamnya dan makhluk hidup di sekitarnya. Sungai memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai sumber air keperluan rumah tangga, irigasi, perindustrian, dan kegiatan perikanan. Namun terdapat satu pemanfaatan dari sungai yang dapat menimbulkan masalah, yaitu sungai sebagai tempat pembuangan limbah, baik limbah rumah tangga (domestik) maupun limbah industri. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidakseimbangan dari ekosistem di dalamnya. Jika pengelolaan sungai diabaikan, maka kualitas perairan dari sungai akan menurun dan berdampak pada kehidupan organisme di dalamnya serta berdampak bagi kegiatan manusia yang memanfaatkan sungai untuk kegiatan sehari-hari.

Way Perigi, merupakan salah satu sungai di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, yang melewati beberapa desa, antara lain Desa Maringgai, Desa Donoharjo, dan Desa Muara Gading Mas. Bagian hulu dari Way Perigi yaitu berupa mata air yang terletak di Desa Maringgai, biasanya dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai sumber air minum, kegiatan mandi dan cuci. Pada bagian hulu sungai, masih belum terlalu padat pemukiman. Bagian hilir Way Perigi, terletak di muara pesisir pantai, masyarakat menggunakannya sebagai kegiatan perikanan dan pertanian.

Pada bagian hilir sungai sudah banyak terdapat pemukiman serta limpasan dari aktivitas pemukiman yang semakin banyak, sehingga diduga dapat mempengaruhi kondisi kualitas perairan di Way Perigi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap kondisi kualitas perairan baik parameter fisika dan kimia perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur agar masyarakat dapat memanfaatkan sungai tersebut secara optimal dan tidak menurunkan kualitas perairan. Selain itu penelitian ini dilakukan sebagai data awal kualitas periran Way Perigi, agar dapat diketahui perkembangan kualitas perairan nantinya.

1.2. Perumusan Masalah

Sungai biasanya digunakan oleh masyarakat sebagai aktivitas sehari-hari seperti untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK), perikanan, peternakan, dan pertanian. Kegiatan-kegiatan tersebut yang berada di sekitar sungai akan mempengaruhi kondisi kualitas perairan akibat limpasan (run-off) menuju sungai. Apabila masukan bahan-bahan organik dari kegiatan tersebut telah melebihi ambang batas kemampuan perairan untuk menampungnya, maka sungai dapat terjadi pencemaran dan dapat mengganggu kehidupan organisme di dalamnya serta dapat mengganggu aktivitas masyarakat sekitar. Oleh karena itu, perlu adanya kajian mengenai parameter fisika dan kimia dari sungai tersebut untuk menentukan status mutu perairan seperti yang terlihat pada skema Gambar 1.

Gambar 1. Skema Perumusan Masalah

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan status mutu perairan Way Perigi yang berada di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur dari daerah hulu sungai yang berupa mata air hingga bagian hilir sungai sebelum air payau. Aktivitas Manusia Hidrologi Sungai Karakteristik Fisika- Kimia Perairan Kondisi kualitas perairan Penentuan Status Mutu Perairan Pengelolaan

1.4. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah dan data kondisi fisika dan kimia perairan Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur yang ditimbulkan dari aktivitas antropogenik.

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Perairan

Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan (UU No. 32 tahun 2009). Pencemaran adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan pola penggunaan energi dan materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika dan kimia dan jumlah organisme (Sastrawijaya 2000). Sedangkan menurut Mason (1981) pencemaran adalah kehadiran dari suatu zat yang tidak alami dalam jumlah besar dan konsentrasinya tidak normal pada suatu keadaan alamiah, serta menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti perubahan secara ekologis.

Sumber pencemar dapat berupa lokasi tertentu (point source) atau tak tentu/ tersebar (non-point source). Sumber pencemar dari point source misalnya cerobong asap pabrik dan saluran limbah industri. Volume pencemar dari point source biasanya relatif tetap. Sedangkan sumber pencemar non-point source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak, misalnya limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah pemukiman (domestik) dan limpasan dari daerah perkotaan (Effendi 2003).

Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang masuk ke dalam lingkungan secara alami, misalnya akibat letusan gunung berapi. Pulutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke lingkungan akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah tangga), dan kegiatan industri.

2.2. Ekosistem Mengalir

Perairan sungai adalah suatu perairan yang dicirikan oleh arus yang relatif kencang. Perairan sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan menggenang.

Menurut Welch (1952) ekosistem mengalir dicirikan dengan badan air yang bergerak atau mengalir secara berkesinambungan dengan arah terntentu. Sedangkan menurut Dodds (2002) sungai memiliki karakteristik yang bagus dalam hidrologi, karena ketertarikaan saat banjir, erosi, dan supply air. Sungai yang alami pada dasarnya merupakan refleksi dari proses vulkanik yang bersangkutan dengan transpor air dan material (Reid 1961). Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena umum yang terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi ketiga variabel tersebut (Effendi 2003).

Menurut Reid (1961) berdasarkan faktor ekologi sungai dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

- Hulu sungai. Bagian dasar sungai yang memiliki kemiringan yang cukup besar sehingga dicirikan dengan arus yang cepat. Substrat dasar biasanya terdiri dari batu dan kerikil, namun pada arus yang lambat (pools) ditemukan juga substrat detritus organik yang sedikit dan pasir.

- Tengah sungai. Bagian dasar sungai yang memiliki kemiringan yang tidak terlalu besar sehingga dicirikan dengan arus yang lebih lambat dibandingkan daerah hulu. Substrat dasarnya terdiri dari material kasar seperti pasir, namun pada bagian sungai yang sedikit tergenang (pools) dan pinggiran sungai ditemukan lumpur.

- Hilir sungai. Bagian sungai yang terletak di mulut sungai dengan substrat dasarnya terdiri dari lumpur dan detritus organik. Pada bagian ini ditandai dengan adanya semak-semak dan rawa.

2.3. Parameter Fisika

2.3.1. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid- TSS) dan kekeruhan

Padatan total, sebagian besar terdiri dari bikarbonat yang merupakan anion utama di perairan yang telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida, sehingga karbondioksida dan gas-gas laiin tidak termasuk dalam padatan total saat pemanasan (Boyd 1988). Menurut APHA (2005) padatan total adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu. Sedangkan padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid) merupakan bahan- bahan partikel renik yang melayang atau tercampur dalam air dan jika disaring

dengan kertas saring yang mempunyai pori-pori berdiameter 0.45 μm akan tertahan (Effendi 2003). Tinggi rendahnya nilai padatan tersuspensi tidak selalu diikuti oleh tinggi rendahnya nilai kekeruhan secara linier, karena pengukuran kekeruhan didasarkan pada banyaknya cahaya yang tersisa setelah diserap oleh bahan-bahan yang terkandung dalam air, sedangkan padatan tersuspensi didasarkan atas bobot residu dari bahan-bahan yang terkandung dalam air sebagai suspensi (Widigdo 2001 in Feriningtyas 2005).

Alabaster dan Lloyd (1982) in Effendi (2003) mengkategorikan kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi total menjadi 4 kelompok dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi .

Sumber : Alabaster dan Lloyd 1982 in Effendi 2003

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) dibawah 50 mg/l dan 400 mg/l.

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat didalam air (Effendi 2003). Kekeruhan adalah kondisi yang dihasilkan air dari adanya bahan tersuspensi di perairan. Secara umum kekeruhan air akan terjadi jika beban dari padatan tersuspensi banyak. Kekeruhan sungai yang berada didaerah pegunungan hulu memiliki nilai yang sangat rendah dibandingkan sungai yang berada di hilir (Welch 1952). Sedangkan menurut Reid (1961) di sungai yang rendah, kekeruhan menjadi lebih dominan dan menjadi fitur karakteristik pada sebagian besar sungai. Bergantung pada sifat kimia alami dari material tersuspensi

Nilai TSS (mg/liter) Pengaruh terhadap kepentingan perikanan

<25 Tidak berpengaruh

25 – 80 Sedikit berpengaruh

81 – 400 Kurang baik bagi perikanan

dan ukuran partikel, warna sungai dapat berkisar mendekati putih, merah dan coklat. Di sungai yang kekeruhannya tidak terlalu banyak, plankton dapat berkembang dan membuat warna sungai menjadi kehijauan.

Menurut Mason (1981) nilai kekeruhan dapat menunjukan kandungan bahan tersuspensi dan koloid yang terdapat pada perairan sungai. Kekeruhan di sungai terutama disebabkan oleh adanya erosi dari daratan yang terbawa masuk ke sungai. Kekeruhan dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari kedalam perairan sehingga dapat mengganggu proses fotosintesis. Menurut Effendi (2003), padatan tersuspensi berkolerasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga semakin tinggi. Akan tetapi, tingginya nilai kekeruhan tidak selalu diikuti dengan tingginya padatan terlarut.

2.3.2. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid - TDS)

Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid) adalah bahan-bahan terlarut (diameter 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm – 10-3 mm) yang berupa senyawa- senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring

berdiameter 0,4μm (Rao 1992 in Effendi 2003). Nilai padatan terlarut total perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri) (Effendi 2003). Menurut Reid (1961) reaksi dan proses dari ion-ion dan materi organis di sungai berasal dari proses kimia dan biologi dan kondisi sungai tersebut. Air yang ada di sungai yang besar, secara umum memiliki keseragaman yang sama, begitu banyak sehingga secara kuantitatif, kandungannya menjadi bermakna.

Kandungan jumlah zat padatan terlarut berpengaruh terhadap kesadahan air yaitu garam-garam kalsium, sulfat dan klorida, semakin tinggi zat padatan terlarut di dalam air semakin tinggi pula nilai kesadahan dan kadar garamnya, sehingga akan menurunkan kandungan oksigen yang terlarut dalam air (Fardiaz 1992). Padatan terlarut total sangat bervariasi, tergantung pada karakteristik masukan ke sungai. Dalam hal ini, ekosistem lotik dan lentik mempunyai beberapa perbedaan yang umum. Pada kenyataannya keduanya saling mempengaruhi satu sama lain dikarenakan cara yang memungkinkan saling berhubungan seperti di inlet atau outlet (Welch 1952). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan

kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai padatan terlarut total maksimal sebesar 1000 mg/l.

2.3.3. Suhu

Pada ekosistem lotik, fenomena temperatur biasanya berbeda dengan ekosistem lentik. Prinsipnya adalah (1) suhu cenderung sama di setiap kedalaman, bahkan di sungai yang dangkal, perbedaan suhu antara permukaan dan dasar diabaikan, (2) kecenderungan mengikuti suhu udara lebih dekat daripada di danau, (3) stratifikasi suhu hampir tidak ada. Beberapa prinsip dari keadaan utama terjadinya perbedaan suhu yaitu (1) kedalaman air, (2) kecepatan arus, (3) material dasar, (4) suhu masukan air dari anak sungai, (5) masuknya cahaya matahari, (6) tingkat penutupan sungai, (7) waktu harian (Welch 1952). Sedangkan menurut Reid (1961) sebagian besar faktor yang menetukan suhu adalah radiasi panas langsung dari matahari. Di sisi lain, suhu dari sungai merupakan sebuah ukuran dari aksi dan interaksi bebrapa faktor, seperti pada sungai yang berada di pegunungan memiliki suhu yang lebih sejuk dari substratnya, akibat dari bayangan vegetasi yang menutupinya. Sedangkan pada sungai yang berada di dataran rendah, lebih lebar dan dalam, sehingga air lebih terpapar oleh sinar matahari, dan menyimpan energi panas lebih besar.

Menurut Barus (2001) pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya penyinaran matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga faktor canopy (penutupan oleh vegetasi). Moriber (1974) menyatakan bahwa peningkatan suhu menyebabkan penurunan daya larut oksigen dan juga akan menaikan daya racun polutan terhadap organisme perairan. Suhu optimal bagi ikan dan organisme makanannya adalah berkisar antara 25 – 30 °C (Boyd 1988). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai baku mutu suhu dengan deviasi 3oC.

2.3.4. Kecepatan arus

Kecepatan arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar (Effendi 2003). Kecepatan arus dipengaruhi oleh perbedaan gradien ketinggian antara hulu dan hilir. Apabila perbedaan ketinggian cukup besar maka arus semakin deras. Kecepatan arus adalah faktor penting diperairan. Kecepatan arus yang besar (>5m/detik) mengurangi jenis flora yang dapat tinggal sehingga hanya jenis yang melekat saja yang tahan terhadap arus dan tidak mengalami kerusakan fisik.

2.3.5. Debit air

Menurut Seyhan (1990) debit air merupakan volume air yang mengalir melalui suatu irisan melintang dalam satu satuan waktu. Adanya aktivitas manusia yang menggunakan lahan disekitar sungai dan curah hujan mempengaruhi debit air. Semakin tinggi curah hujan dan masukan air dari aktivitas manusia semakin tinggi pula debit airnya. Sedangkan bila curah hujan dan masukan air dari aktivitas manusia rendah maka rendah pula debit airnya. Debit air yang meningkat, akan meningkatkan kadar bahan-bahan alam terlarut secara eksponensial (Effendi 2003) Menurut Efffendi (2003) konsentrasi bahan-bahan antropogenik yang memasuki badan air mengalami penurunan dengan meningkatnya debit badan air karena terjadi proses pengenceran.

Debit sungai dapat juga diperoleh dari permukaan air sungai. Dalam persoalan pengendalian sungai, permukaan air sungai yang sudah dikorelasikan dengan curah hujan dapat membantu mengadakan data untuk pengelakan banjir, peramalan banjir, pengendalian banjir dengan bendungan. Dalam usaha pemanfaatan air, permukaan air sungai dapat juga digunakan untuk mengetahui secara umum banyaknya air sungai yang tersedia, penentuan kapasitas bendungan dan seterusnya (Mori 2003).

2.4. Parameter Kimia 2.4.1. pH

Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan (Saeni 1989). Menurut Reid (1961) peningkatan nilai pH dapat disebabkan peningkatan pada nilai total alkalinitas, dan penurunan karbondioksida. Sedangkan menurut APHA (2005) pada dasarnya asiditas menggambarkan kapasitas kuantitatif dari air untuk menetralkan basa hingga pH tertentu. Menurut Boyd (1982) sebagian besar perairan alami memiliki nilai pH berkisar antara 6.5 – 9, tetapi terdapat banyak pengecualian. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi, makin ke hilir pH air akan menurun menuju suasana asam. Hal ini disebabkan oleh adanya penambahan peningkatan bahan-bahan organik yang terurai (Sastrawijaya 2000).

Aliran sungai relatif tidak larut terhadap kandungan silika yang tinggi yang bersifat lembut, karena terdapat kandungan bikarbonat yang cukup untuk menjadi buffer dari perubahan pH yang disebabkan oleh karbondioksida. Berdasarkan karbondioksida, bikarbonat, dan karbonat, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan dengan pH, yaitu 1) nilai pH berbanding terbalik dengan konsentrasi karbondioksida terlarut, dan berhubungan langsung dengan konsentrasi bikarbonat; 2) nilai kritis yang berkaitan dengan ada atau tidak adanya karbondioksida bebas adalah pada pH 8, gas bebas tidak akan ada pada pH tersebut; 3) tidak adanya karbondioksida bebas tidak melimitkan proses fotosintesis dari alga dan tumbuhan tingkat tinggi, beberapa beradaptasi untuk mendapatkan karbondioksida dari karbonat, biasanya dihasilkan pada pH yang sangat tinggi (Reid 1961). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai pH berkisar dari 6 – 9.

2.4.2. Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand - BOD)

Kebutuhan oksigen biokimiawi atau Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan jumlah oksigen dalam mg/l yang dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk

menguraikan dan menstabilkan sejumlah senyawa organik dalam air melalui proses oksidasi biologis aerobik (Buchari et al. 2001). Menurut Boyd (1988) BOD menunjukan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 °C selama 5 hari, dalam keadaan tanpa cahaya. Sedangkan menurut Fardiaz (1992) nilai BOD tidak menunjukan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan. Perairan alami yang baik untuk perikanan memiliki nilai BOD yang berkisar pada 0.5 – 7.0 mg/l dan perairan dengan nilai BOD melebihi 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003).

Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan salah satu indikator pencemaran organik. Perairan dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air

tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut diperairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Lee et al. (1978) in Lestari (2004) menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai BOD5-nya, seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD

No Nilai BOD5 Status Kualitas Air

1 2,9 Tidak tercemar

2 3,0 – 5,0 Tercemar ringan

3 5,1 – 14,9 Tercemar sedang

4 15 Tercemar berat

Sumber : Lee et al. 1978 in Lestari 2004

Konsentrasi BOD berhubungan dengan proses dekomposisi khususnya terhadap sampah atau kotoran yang tergolong organik, yang menyebabkan beberapa bakteri membutuhkan sejumlah oksigen dalam air untuk melangsungkan proses aerobiknya pada sungai-sungai, terutama sungai dekat kota dan/atau pemukiman penduduk mengalami gangguan berupa masuknya sampah atau kotoran organik yang akan meningkatkan kebutuhan oksigen oleh bakteri dalam melakukan

dekomposisi bahan organik tersebut (Sarminah 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai BOD dibawah 2 mg/l dan 6 mg/l.

2.4.3. Oksigen terlarut (DissolvedOxygen - DO)

Oksigen terlarut adalah konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air. Tingkat kelarutan oksigen di perairan alami dan limbah berasal dr aktivitas fisika, kimia, dan biokimia di badan perairan (APHA 2005). Menurut Effendi (2003) kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Sedangkan menurut Reid (1961) terdapat tiga sumber utama oksigen, kontribusi masing-masing yang sama dan memang bervariasi dari waktu dalam sehari, cuaca, velocity dan morfologi sungai, suhu, dan karakteristik biologi. Kelarutan oksigen di air sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, tekanan parsial gas- gas yang ada di udara atau di air serta keberadaan unsur-unsur atau senyawa yang mudah teroksidasi yang terdapat di air (Wardoyo 1975). Prinsip dari kelarutan oksigen adalah (1) berasal langsung dari atmosfer yang terdifusi di permukaan perairan, (2) berasal dari hasil fotosintesis tumbuhan berklorofil. Penurunan oksigen diperairan dapat berasal dari aktivitas respirasi hewan dan tanaman, dekomposisi bahan organik, reduksi gas, pengurangan oksigen secara otomatis pada lapisan epilimnion, inflow, dan aktivitas panas (Welch 1952). Hilangnya oksigen di perairan, selain akibat respirasi hewan dan tumbuhan, disebabkan juga oleh mikroba yang menggunakan oksigen untuk oksidasi bahan organik (Boyd 1988).

Menurut Buchari et al. (2001) bila bahan-bahan organik yang mencemari badan air cukup banyak maka jumlah oksigen yang dikonsumsi untuk menguraikan bahan-bahan tersebut semakin banyak pula sehingga kandungan oksigen terlarut dalam air turun sampai sedemikian rendah. Brown (1987) menyatakan dengan bertambahnya ketinggian, akan menyebabkan tekanan udara dan suhu perairan akan menjadi lebih rendah. Hal tersebut dapat mempengaruhi kelarutan oksigen dalam perairan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air

minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai oksigen terlarut diatas 6 mg/l dan 4 mg/l.

2.4.4. Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia-Nitrogen)

Nitrogen merupakan nutrien makro bagi pertumbuhan alga yang selalu hadir di perairan umum. Meskipun nitrogen ditemukan dalam jumlah berlimpah di lapisan atmosfer, akan tetapi nitrogen harus difiksasi terlebih dahulu menjadi senyawa NH3,

NH4+, dan NO3- agar bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan dan hewan perairan (Saeni

1998). Senyawa nitrogen merupakan senyawa yang penting dalam menyintesis dan menghasilkan protein yang selanjutnya bersama karbohidrat dan lemak menjadi sebagian besar substansi di lingkungan hidup. Senyawa nitrogen secara normal menunjukan fluktuasi yang menonjol dan variasi yang nyata di sepanjang gradien sungai yang kecil (Reid 1961).

Nitrat – Nitrogen (NO3– N) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami.

Secara umum jumlah nitrat di perairan tetapi bisa lebih tinggi di bebrapa air tanah. Nitrat hanya ditemukan dalam jumlah kecil di limbah domestik yang masih baru tetapi pada effluent dari biologi nitrifikasi pada pengolahan tanaman, nitrat bisa ditemukan hingga 30 mg nitrat sebagai nitrogen/L (APHA 2005). Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya

Dokumen terkait