BAHAN DAN METODE
DONGKRAK ULIR
Metode Pengamatan Hasil Potongan
Setiap uji pemotongan selesai dilakukan, berikutnya diamati mengenai jumlah dan posisi tunggul yang terpotong, diameter tungul, dan pecah tidaknya permukaan hasil potongan. Metode pengamatan jumlah dan posisi tunggul yang terpotong dilakukan dengan cara menggambarkan posisinya pada alur tanam dalam bak uji. Pengukuran diameter tunggul yang terpotong dilakukan menggunakan jangka sorong, sedangkan pengamatan pecah tidaknya hasil potongan dilakukan secara manual dan dengan kamera.
Rumpun tebu tersebut kemudian dicabut dari posisinya dan diganti dengan rumpun tebu lainnya untuk uji pengeprasan berikutnya. Penggantian rumpun tebu dilakukan dengan cara mencabut penjepit tunggul tebu tersebut menggunakan pengait yang digerakkan oleh hidrolik traktor (Gambar 43). Rumpun tunggul tebu yang sudah tercabut selanjutnya ditanam pada lahan yang telah disiapkan.
Gambar 43 Pencabutan penjepit rumpun tunggul tebu dari bak uji menggunakan tenaga hidrolik traktor.
Penanaman rumpun tebu yang telah dipotong dilakukan dengan cara menempatkan bagian akar rumpun tersebut dalam alur tanam pada lahan percobaan dengan kedalaman ±20 cm. Rumpun tebu tersebut kemudian ditimbun atau ditutup dengan tanah hingga rata dengan permukaan tunggul tebu hasil uji pemotongan. Lahan yang digunakan terletak di Laboratorium lapang Leuwikopo, Darmaga dengan ukuran 6 x 10 m (60 m2). Penanaman dilakukan mengarah ke barat dan timur dengan jarak tanam antar rumpun 25-30 cm dan jarak pusat ke pusat 60 cm.
Perawatan dilakukan mengikuti perawatan standar yang diberikan di lahan
PG Jatitujuh untuk tanaman keprasan, yakni sekali pemupukan pada saat tanaman
setelah berumur satu bulan. Pembumbunan dilakukan hanya satu kali saat tebu
berumur 1.5 bulan. Penyiangan sebanyak dua kali saat tanaman berumur satu
bulan dan 2.5 bulan. Dosis pupuk standar yang digunakan untuk tanaman
keprasan di PG Jatitujuh Cirebon adalah 8 kw per ha (0.08 kg m-2) dengan
komposisi sebagai berikut: Urea 3 kw per ha, Za=1 kw per ha, Sp-36= 1.5 kw per
ha, dan ZK+=2.5 kw per ha. Oleh karena lahan yang digunakan dalam percobaan
memiliki luas sebesar 60 m2, maka dosis pupuk yang digunakan adalah 4.8 kg
dengan komposisi Urea = 1.8 kg, Za = 0.6 kg, Sp-36 = 0.9 kg, ZK+ = 1.5 kg.
Dalam pelaksanaannya, jenis ZK+ digantikan oleh pupuk KCL, hal tersebut
disebabkan sulitnya mendapatkan jenis pupuk ZK+ di toko pertanian sekitar
Darmaga. Jenis KCL dipilih dikarenakan antara kedua jenis pupuk tersebut
memiliki bahan aktif yang sama, namun KCL memiliki unsur K yang lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis ZK+.
Pengamatan pertunasan dan pertumbuhan tunggul tebu yang mencakup
jumlah tunas, tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi,
panjang daun, dan lebar daun dilakukan pada saat tanaman keprasan berumur 4, 8,
12, dan 16 minggu setelah tanam (MST).
Teknik Analisis Data Torsi
Data torsi pengeprasan diperoleh melalui susbstitusi tegangan keluaran hasil
pengukuran ke dalam persamaan kalibrasi (persamaan 29). Torsi pemotongan
satu tunggul tebu (TPT) adalah torsi keseluruhan pada saat pemotongan berlangsung (TKP) dikurangi torsi untuk mengatasi gesekan dan beban pemutaran piring sebelum pemotongan (TSP). Hal yang sama juga berlaku untuk torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu (TPR), yakni:
SP KP PR T T
T = − (30)
Gaya hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tunggul tebu (FUR) diperoleh dari TPR dibagi dengan radius (R) bajak piring yang digunakan. FUR
pengeprasan rumpun tunggul tebu yang diperoleh dari pendugaan menggunakan
model matematika.
Data torsi pemotongan untuk tiap kombinasi perlakuan ditentukan dengan cara merata-ratakan nilai torsi pemotongan maksimum yang terjadi pada tiap percobaan pengeprasan rumpun tunggul tebu yang terdiri atas empat rumpun. Rataan dari torsi maksimum tersebut kemudian digunakan sebagai data untuk menjelaskan efek parameter pemotongan terhadap torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar.
Kondisi lahan di PG Jatitujuh setelah penebangan umumnya tertutup oleh serasah atau pucuk-pucuk tebu sisa pemanenan. Serasah tersebut mengakibatkan guludan, tunggul tebu, dan batang tebu yang tertinggal di lahan cenderung tidak terlihat (Gambar 44a). Penutupan lahan dengan serasah sisa-sisa penebangan (Lampiran 7) sengaja dilakukan dengan harapan agar setelah serasah tersebut kering dapat dibakar dengan mudah. Pembakaran serasah dimaksudkan agar tunggul tebu sisa panen yang ketinggiannya mencapai 15-20 cm dari permukaan guludan (Gambar 44b) mati terbakar sehingga tidak perlu dilakukan pengeprasan.
15
(b) (a)
Gambar 44 Serasah sisa penebangan yang menutupi lahan di PG Jatitujuh (a), tunggul tebu sisa penebangan yang relatif masih tinggi (b).
Tunggul tebu sisa penebangan di PG Jatitujuh dan PG Jatiroto memiliki ketinggian yang relatif sama yakni sekitar 15-20 cm dari permukaan guludan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penebangan manual cenderung menyisakan tunggul tebu yang masih tinggi, meskipun dalam kegiatan penebangan tebu tersebut sudah diberlakukan pemberian insentif dan pengawasan.
Beberapa tahun terakhir ini PG Jatitujuh tidak melakukan pengeprasan tebu dalam budidaya tebu keprasan. Kegiatan pengeprasan digantikan dengan cara membakar serasah dan sisa penebangan yang menutupi lahan tebu setelah penebangan. Metode tersebut oleh PG Jatitujuh sering disebut dengan istilah cut and go. Penerapan metode cut and go dilakukan dengan pertimbangan bahwa mata tunas tunggul tebu yang terdapat di atas permukaan tanah menjadi kering dan mati akibat panas yang dihasilkan dari pembakaran serasah dan sisa-sisa penebangan, sehingga tunas tanaman keprasan tumbuh dari mata tunas tunggul tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah. Kondisi tersebut oleh PG Jatitujuh dianggap identik dengan melakukan pengeprasan.
Beberapa kelemahan dari metode tersebut diantaranya adalah (1) apabila terjadi hujan yang terus menerus maka serasah atau sisa-sisa penebangan yang menutupi lahan sulit dibakar karena tidak kering, (2) asap dan abu yang dihasilkan dari pembakaran dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan, dan (3) pembakaran tersebut membutuhkan pengawasan dan penjagaan yang baik agar pembakaran tidak merambat ke sekitar areal tebu yang belum ditebang.
Metode cut and go yang diterapkan di PG Jatitujuh masih banyak
menyisakan batang tebu yang berserakan di lahan, pertumbuhan tebu keprasan yang cenderung tidak seragam, dan tunggul-tunggul tebu yang telah dibakar masih terlihat cukup tinggi (Gambar 45a). Kondisi tersebut apabila dibandingkan dengan kondisi lahan di PG Jatiroto yang menerapkan kegiatan pengeprasan secara manual menunjukkan bahwa kegiatan pengeprasan dapat menghasilkan lahan yang bersih dari serasah sisa penebangan (Gambar 45b) dan memiliki pertumbuhan tebu keprasan yang relatif baik dibandingkan dengan di PG Jatitujuh yang tidak melakukan kegiatan pengeprasan (Gambar 45c).
(a) (b) (c)
Gambar 45 Kondisi lahan dan pertumbuhan tebu hasil cut and go di PG Jatitujuh (a), hasil kepras manual di PG Jatiroto (b), dan pertumbuhan tebu setelah satu bulan kepras manual di PG Jatiroto (c).
Profil Guludan Tebu Keprasan
Lisyanto et al. (2005) mengungkapkan bahwa guludan tebu untuk keprasan pertama (R1), kedua (R2), dan ketiga (R3) di lahan PG Jatitujuh memiliki bentuk dan ukuran yang tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran lebar guludan, yakni guludan untuk R3 memiliki lebar yang sedikit lebih besar (85 cm) dibandingkan dengan guludan untuk R1 dan R2 yang memiliki lebar 80 cm (Gambar 46). Jarak pusat ke pusat (PKP) guludan untuk ketiga tanaman keprasan tersebut sebesar 135 cm, ketinggian guludan dari permukaan juringan 20 cm, dan lebar daerah tunggul yang harus dikepras sebesar 40 cm.
Gambar 46 Profil guludan tebu R3 (a) dan untuk R1 dan R2 (b) di PG Jatitujuh. Profil guludan untuk tanaman keprasan pertama (R1) di PG Jatiroto memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan guludan untuk R1 di PG Jatitujuh. Guludan untuk R1 di lahan PG Jatiroto memiliki jarak pusat ke pusat 120 cm, lebar guludan 50 cm, tinggi guludan 30 cm, dan lebar area tunggul yang harus dikepras sebesar 30 cm (Gambar 47). Dimensi guludan terutama lebar daerah tunggul yang harus dikepras merupakan hal yang sangat penting untuk perancangan pisau dan alat pengeprasan tebu.
(a) (b)
Gambar 47 Profil guludan tebu untuk R1 di PG Jatiroto (a) dan di PG Jatitujuh (b).
Tahanan Penetrasi Tanah
Tahanan penetrasi merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menunjukkan kekerasan tanah yang dinyatakan dengan cone index (CI) tanah. Lahan tebu di PG Jatitujuh memiliki jenis tanah mediteran atau alvisol. Tabel 1 memperlihatkan data tahanan penetrasi dan cone index guludan tebu untuk R1, R2, dan R3 di lahan tebu PG Jatitujuh. Guludan untuk R1 memiliki tahanan penetrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan guludan untuk R2 dan R3. Pada kedalaman 10 dan 15 cm, guludan untuk R2 memiliki tahanan penetrasi rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan untuk R1 dan R3 (Gambar 48). Pada kedalaman 10 cm, tahanan penetrasi atau CI rata-rata untuk guludan R2 adalah 4.7 kg cm-2, sedangkan untuk R1 sebesar 3.6 kg cm-2 dan R3 sebesar 4.5
kg cm-2. Cone index rata-rata untuk guludan R2 pada kedalaman 15 cm adalah 7.3 kg cm-2, untuk R1 sebesar 4.1 kg cm-2, dan untuk R3 adalah 6.3 kg cm-2. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada kisaran kedalaman antara 5 dan 15 cm, kondisi lahan tebu tersebut semakin padat seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah.
Tabel 1 Tahanan penetrasi (kg) dan cone index (kg cm-2) untuk R1, R2,dan R3 di lahan tebu PG Jatitujuh, Cirebon