• Tidak ada hasil yang ditemukan

DPD dan Harapan Masyarakat di Daerah

HASIL DAN PEMBAHASAN

G. DPD dan Harapan Masyarakat di Daerah

Sejak diperkenalkan kepada publik pada perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah menjadi perdebatan publik yang mengarah pada fungsi dan kewenangan DPD; sejauh mana DPD sebagai lembaga baru di dalam tubuh lembaga parlemen berperan dalam

mengartikulasikan suara-suara dari daerah di pusat dan seluas mana kewenangannya dalam pengambilan keputusan soal legislasi di parlemen7.

Ada banyak harapan, terutama dari suara-suara daerah yang sekian lama tenggelam di hadapan kepentingan pemerintah pusat, ketika lembaga DPD diciptakan. Dengan merombak struktur perwakilan Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) - dengan posisi DPD sebagai kamar kedua (second chamber) di tubuh parlemen Indonesia - dan meradikalisasi proses pemilihan anggota secara langsung, lembaga DPD diharapkan lebih dari sekedar lembaga perwakilan “pura-pura”. Harapan lain dari kemunculan DPD, terlepas dari kuat atau lemahnya fungsi yang diembannya, adalah kontribusinya dalam menstimulasi secara positif kemajuan demokrasi di Indonesia, terutama keterwakilan suara daerah dalam kebijakan yang berpihak pada warga negara, yang lebih banyak berada di daerah.

Namun dalam perkembangannya, harapan yang diemban kepada para “senator” tidak bisa terwujud karena terbentur oleh berbagai yang diciptakan oleh anggota lembaga perwakilan dari partai politik, yang “terkesan” oleh beberapa penulis tidak akan merelakan kewenangannya diambil begitu saja oleh para wakil rakyat dari non partai ini.

Ada Beberapa pasal dalam UUD yang tak memberi ruang gerak politik bagi anggota DPD untuk memposisikan diri sebagai wakil rakyat secara sempurna. Pertama, pasal 22C UUD 1945, jumlah anggota DPD didesign tidak bisa melebihi sepertiga jumlah anggota DPR. Dalam ketentuan UUD 1945, jumlah anggota DPR 550 orang, maka maksimal anggota DPD 183 orang. Kenyataannya, dengan 128 anggota DPD (empat orang per provinsi), kekuatan suara DPD kurang dari seperempat anggota DPR. Secara kuantitatif, mereka telah didesign untuk “kalah” secara politik dari DPR.

Pertanyaannya adalah, apa filosofi politik yang berada di balik ketentuan anggota DPD berjumlah 1/3 anggota DPR? Jika di masa depan ada penambahan jumlah provinsi di Indonesia, dengan asumsi tiap daerah diwakili 4 orang anggota, masih berlakukah ketentuan 1/3 dari anggota DPR? Kedua, setiap anggota DPR dilengkapi dengan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi

7

Muhammad Syihabuddin dalam

http://syihabasfa.wordpress.com/category/artikel/ 55

pengawasan sebagaimana diamanatkan pasal 20A UUD 1945. Untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, ditambah dengan hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Sedangkan DPD, ”hanya” boleh mengajukan dan ikut membahas RUU yang relevan dengan urusan daerah dan dapat melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait dengan daerah, seperti uraian pada pasal 22D UUD 1945. Kendati boleh mengajukan RUU untuk dibahas, sesuai dengan Pasal 43 UU 22/2003 tentang Susduk, DPD tidak memiliki kekuasaan untuk mengawalnya hingga ke tingkat persetujuan. Ketiga, merujuk pasal 22D UUD 1945, masalah yang bisa ditangani DPD dibatasi pada masalah daerah seperti otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Memang, untuk kegiatan pengawasan, selain masalah daerah, cakupannya diperluas ke masalah pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Celakanya, hasil pengawasan itu harus diteruskan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dari uraian pasal-pasal di atas, sangat layak diduga bahwa DPD dari awal telah diformat sebagai lembaga yang secara politis tak bergigi menghadapi wakil-wakil dari partai politik. DPR adalah lembaga parlemen yang memiliki wewenang lengkap, sementara DPD hanya diposisikan sebagai pendamping tugas konstitusional DPR. Dalam hal legislasi, fungsi DPD hanya bersifat penunjang bagi DPR. DPD tidak dapat disebut sebagai legislator seutuhnya. Paling jauh DPD bisa disebut co-legislator. Atau bisa jadi malah bukan co-legislator, karena sifat otonom, sebagai prasyarat menjalankan fungsi legislasi, juga tak dimiliki DPD.Dengan posisi politik yang tak berdaya itu, wajar jika muncul satire bahwa DPD RI hanyalah “aksesori politik” semata di dalam parlemen Indonesia. Kewenangan politik yang berbanding terbalik antar kedua lembaga perwakilan; kewenangan konstitusional yang begitu kuat dan luas di tangan DPR, sementara DPD RI tak memiliki bergaining politik sama sekali, menggambarkan bahwa DPD tak berperan apa-apa di dalam proses legislasi di parlemen. Sering kita saksikan acara-acara DPD hanyalah seremoni politik yang tak memiliki imbas apapun terhadap kualitas suatu produk

legislasi.Jika di awal sekali perancangan DPD dimaksudkan untuk memperkuat lembaga perwakilan dengan menerapkan sistem bikameral, maka dalam perjalannya bisa dikatakan bahwa bikameralisme di Indonesia hanyalah bungkus semata. Kenyataan ini juga mengetengahkan bahwa adanya sebuah anomali dalam sistem parlementariat Indonesia. Hal ini layak ditegaskan karena Indonesia merupakan satu-satunya negara di mana lembaga ”semacam” senatnya dipilih secara langsung, tetapi kewenangannya terbatasi. DPD RI merupakan potret paling relevan dari ketidaklaziman praktek bikameral karena memiliki legitimasi tinggi namun dengan kewenangan yang terbatas. Sebuah lembaga parlementer disebut menganut sistem bikameral, apabila - ini merupakan ciri fundamentalnya - kedua kamar perwakilan tersebut menjalankan fungsi legislasi yang seimbang. Dan hampir semua negara di dunia yang menerapkan sistem ini memberi kewenangan yang hampir-hampir tak beda di setiap kamar di parlemen, atau bahkan kewenangan perwakilan daerah di parlemen lebih kuat, seperti di Amerika Serikat. Jika diperhatikan di Indonesia, DPD RI sama sekali tidak mempunyai wewenang legislasi yang penuh dan otonom. DPD hanya memberikan pertimbangan, usul, ataupun saran, dan DPR tetap memegang kendali pengambilan keputusan. Karena itu, posisi DPD yang bersanding dengan DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang wajar. Secara teoritik, sifat bikameralisme terbagi menjadi dua, ‘strong bicameralism’, jika keberadaan dua kamar perwakilan itu relatif sama kuat, dan ‘soft atau weak bicameralism’, jika keduanya tidak sama kuat.

Fristian Humalanggi menulis dengan Judul “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” menyatakan8:

Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang sering diplesetkan menjadi “Dewan Penasehat DPR”, atau “Dewan Pertimbangan DPR”. Betapa tidak, lembaga ini seolah - olah adalah subordinasi DPR jika dipandang dari segi kewenangan yang dimilikinya. Dalam perancangan suatu produk hukum/undang - undang DPD hanya memberikan pertimbangan, dapat mengajukan dan ikut membahas, serta melakukan pengawasan atas undang - undang tertentu, dengan demikian dapatkah DPD dikatakan memiliki wewenang?. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H. dalam buku ” Bikameral bukan Federal ” menyebut Dewan Perwakilan Daerah sebagai ” auxiliary agency “ oleh karena sifat tugasnya di bidang

8

http://revitriyoso.multiply.com/journal/

legislasi hanya menunjang, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini sama sekali tidak sebanding dengan persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD, dengan kata lain kualitas legitimasi anggota DPD tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya. Kedudukan DPD sebagai auxiliary body semakin diperkuat dengan adanya pasal 20 ayat (1) dan pasal 20A ayat (1) yang menyebutkan secara eksplisit bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang - undang serta memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan fungsi pengawasan sedangkan dalam UUD tidak ada satupun pasal yang menyebutkan bahwa DPD mempunyai kewenangan, sebab dalam konteks politik “KEWENANGAN” berarti dapat mengambil keputusan politik. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H. menyebut DPD sebagai co-legislator dan Dr. Kuntana Magnar S.H. M.H dalam tulisannya yang dipaparkan dalam Focus Group Discussion menyebutkan secara tegas bahwa DPD termasuk dalam kategori “lembaga Negara yang melayani”. Selain itu DPD juga sering disebut - sebut sebagai lembaga Negara dengan wewenang terbatas, namun sebagaimana diungkapkan oleh Bivitri Susanti; “adalah tidak tepat mengatakan” DPD dengan wewenang terbatas “sebab sebenarnya DPD tidak mempunyai wewenang apapun, sebab dalam konteks politik, kewenangan selalu diartikan sebagai wewenang dalam mengambil keputusan politik”.

Dokumen terkait