• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bpk. Victor Mailangkay(Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara selama 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

G. Rekaman Beberapa Usulan terhadap Keberadaan DPD-RI

1. Bpk. Victor Mailangkay(Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara selama 5

periode berturut-turut)

Mencermati UUD yang mengatur tentang DPR RI, dimana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa jumlah anggota DPR RI setiap provinsi sama dan tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Dalam UU tentang susunan kedudukan dimana anggota DPR RI itu hanya 550 anggota DPR RI atau 33x4 hanya sekitar 134. Bila kita bandingkan dengan DPD RI yang maksimalnya 1/3 maka jumlahnya ini masih terlalu rendah bahkan ¼ dibandingkan UU yang baru menyebutkan, UU Pemilu DPR RI jumlahnya bertambah 10 menjadi 560 sementara DPD RI tetap 4 setiap provinsi. Kami ingin menyampaikan bahwa kalau boleh jumlahnya minimal 5-lah setiap provinsi. Kalau toh 5 cuma 165

itupun belum mencapai 1/3 dari jumlah DPR RI, dalam catatan kecil kami mengenai jumlahnya.

Yang kedua tentang eksistensi DPD RI, tapi jika dilihat bahwa eksistensi DPD perlu kita kaji secara cermat. Saya menawarkan 3 opsi tentang eksistensi DPD RI:

1. Kalau disebutkan DPD mempunyai fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan, sesungguhnya DPD RI ini hanya ada fungsi pertimbangan. Kalau legislasi, kuasi legislasi, seolah-olah mempunyai fungsi legislasi tapi sesungguhnya DPD RI tidak mempunyai fungsi legislasi. Sebagian tidak membuat UU yang buat DPR RI, jadi kuasi seolah-olah mempunyai fungsi tapi sesungguhnya tidak, kemudian fungsi pengawasan juga, DPD RI ini kuasi pengawasan, karena apa kalau suatu lembaga parlemen mempunyai fungsi pengawasan maka melekat padanya dua hak parlementer yaitu hak interpelasi seperti ada pada DPR RI, mengoreksi kebijakan pemerintah dari hasil pengawasannya kalau ada yang tidak benar, atau hak angket jika terjadi indikasi penyimpangan misalnya, tapi yang punya hak ini cuma DPR RI, DPD RI tidak punya hak interpelasi dan juga tidak punya angket. Jadi kuasi pengawasan dia cuma mengawasi, menyerahkan kepada DPR RI, jadi bukan fungsi pengawasan, seolah-olah mengawasi tapi tidak punya kekuatan, kuasa pengawasan, berbeda dengan DPR RI karena dia dilengkapi dengan hak interpelasi, kalau dia awasi dan ternyata kebijakan pemerintah ini keliru, itu kuasanya, atau dia gunakan hak angket, jika ternyata kebijakan dan unsur pelanggarannya. Nah dalam kaitan dengan peran atau fungsi DPD RI ini kami tawarkan 3 opsi untuk didiskusikan :

1) Dibubarkan saja DPD RI ini, karena sesungguhnya dia tidak menjalankan fungsi sebagai suatu lembaga parlemen, kalau kita lihat ini dengan sistem bicameral sebetulnya historisnya kalau kita lihat, DPD RI ini pengembangan dan utusan daerah dalam MPR. Tetapi kalau kita telesuri sejarah pembuatan UUD 1945, pemikiran dimasukkan dengan utusan daerah ini, kelompok-kelompok fungsional yang belum terkafer dalam utusan DPR yang menjadi anggota MPR dari partai politik, mengapa? agar supaya ada pemikiran-pemikiran dalam dua hal, pembuatan UUD dan perubahan bisa diakomodir dan kelompok non

partai politik dan yang kedua dalam pembuatan GBHN, karena dibanding partner kita menganut dalam UUD 1945 dan Pancasila sila ke-4, indirect demokrasi dan direct demokrasi, nah ketika kita masuk pada indirect demokrasi, maka fungsi pembuatan GBHN tidak relevan lagi, sehingga kalau tidak relevan lagi karena presiden dipilih langsung dan presiden bertanggung jawab kepada rakyat, di mana visi-misi presiden itulah yang menjadi pedoman presiden dalam 5 tahun kedepan.

Dalam DPD yang ada hanya fungsi pertimbangan, nah kalau pertimbangan rakyat biasapun bisa memberikan pertimbangan, soal didengar dan tidak didengar oleh DPR RI itu soal lain, tapi torang pun boleh memberikan pertimbangan, kirim ke DPR RI, soal di dengar atau tidak itu soal lain, yang penting sah.

2) Amandemen UUD 1945 kita jadikan DPD RI dalam sistem strong bicameral system, jadi fungsi DPD RI membicarakan tentang kepentingan daerah, dia punya hak legislasi juga, dia punya hak pengawasan, maka harus dilengkapi.

3) Yang sama-sama kita upayakan, yaitu mengoptimalkan peran DPD RI sesuai dengan UUD 1945 dan UU lainnya. Maka 3 opsi ini yang pas untuk kita lakukan dari 3 pilihan ini, mungkin kita lebih cenderung mengambil langkah kompromi yaitu mengoptimalkan peran DPD RI sesuai dengan UUD 1945 yang berlaku sekarang.

Kemudian DPD RI ini, kami melihat dan membaca bahwa DPD RI hanya bersidang di ibukota negara, kalau dia tidak bersidang, kemana dia akan kembali ke daerah? Kami usulkan tolong didiskusikan supaya DPD RI ini ada kantor di ibukota provinsi, nah mungkin kantor ini juga bersamaan juga ada semacam bagian dari law center antara pusat dan daerah, provinsi ibukota provinsi untuk menerima berbagai aspirasi dari masyarakat. Gunanya untuk membantu suatu rapat bersama dengan DPR provinsi secara periodik dengan DPRD kabupaten kota dengan gubernur dan dengan Bupati, walikota, dalam rangka menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat, kemudian keberadaan DPD RI dalam memperjuangkan aspirasi daerah ini, seperti kepada semangat besar tenaga kurang, karena apa dia sampai saja memberikan pertimbangan. Barangkali

mengoptimalkan perjuangan dia untuk aspirasi daerah dalam hal anggaran, lewat APBN sehingga ada pertambahan, kalau sekarang cuma 25% dana APBN itu didistribusikan menjadi belanja untuk provinsi dan kabupaten kota. Mungkin ke depan kita bisa memperjuangkan lewat DPD RI supaya dia dapat menambah bukan cuma 25%, bisa 30-35% dari pendapatan ini menjadi bagian dari belanja untuk provinsi dan kabupaten kota dalam bentuk DAU, disamping ada DAK dan anggaran-anggaran tugas pembantuan dan anggaran dekonsentrasi.

Bagaimana ini bisa diperjuangkan? Kita harapkan agar pertumbuhan-pertumbuhan berkala periodik, antara DPD dan DPRD, DPD dan gubernur, juga wakil walikota dan DPRD kabupaten kota untuk menyerap aspirasi yang diperjuangkan.

Kemudian, dalam hal memperjuangkan pemanfaatan SDA, yang kita rasakan selama ini bahwa pemanfaatan SDA, limbahnya ditampung oleh daerah, manfaatnya disedot ke pusat. Nah bagaimana kalau ini bisa diperjuangkan, memang ada UU No. 33 tentang perimbangan, porsinya diperbesar, inipun diharapkan dapat diperjuangkan, hanya kalau ini diperjuangkan maka fungsi DPD perlu ditingkatkan, pemberian pertimbangan DPD pada pembahasan APBN tidak saja pada pembahasan tahap I tapi kalau boleh sampai pada pembahasan tahap II, tahap III, dan tahap IV supaya dia dapat mengawal terus apa yang diaspirasikan oleh daerah untuk diperjuangkan. Jika hanya sekedar ikut dalam pembahasan tahap I, dia tidak tahu dalam pembahasan RAPBN tahap II, III bahkan tahap IV, satu masuk dua tercecer, akhirnya dia tidak bisa mengawal perjuangan aspirasi daerah.

Dalam kaitan dengan pembuatan UU yang berkaitan dengan fungsinya, SDA, sumber daya ekonomi lainnya, UU otonomi daerah, berikutnya aspirasi-aspirasi pemekaran sebaiknya pandangan ini didiskusikan, jangan langsung ke DPR RI Komisi 2, lewat DPD RI diberikan kajiannya, kalau DPRD, DPD RI merasa perlu bahwa itu dapat diteruskan ke DPR RI, yang terjadi sekarang Pemekaran-pemekaran wilayah memang ada dampak positifnya, tapi sulit, ini hanya mengejar target-target politik, sementara pemekaran wilayahnya ini diharapkan boleh memberikan percepatan, pelayanan yang lebih dekat dengan masyarakat, tentunya dengan pertumbuhan ekonomi di sana, tetapi jika kita lihat PAD-PAD asli dari kota yang dimekarkan ternyata tidak naik secara signifikan,

mungkin daerah Pemekaran ini PAD-nya paling tinggi 15% dari seluruh pendapatan yang ada di kabupaten kota. Diharapkan dengan Pemekaran ini bisa membuat ekonomi daerah lebih maju, lewat DPD ini.

Yang terakhir tentang peran DPD dalam melakukan pengawasan, dalam pelaksanaan aspirasi daerah. Jadi aspirasi daerah bisa disampaikan, tapi bagaimana dia mengawasi agar itu bermuara dalam bentuk UU itu menjadi kewajiban dia. Nah pelaksanaan juga UU itu di daerah, DPD perlu mengawasi, pengawasan ini dalam pelaksanaannya kami ingin kalau boleh dilibatkan DPR di provinsi, DPRD kabupaten kota, juga kepala daerah provinsi dan pemerintah kabupaten kota. Saya kira ini catatan kecil yang perlu disampaikan sehubungan dengan peran DPD RI dalam memperjuangkan dan mengawasi daerah, baik dalam penerangan, pelaksanaan penerangan dan pengawasan. Demikian, terima kasih.

2. Bpk. Prof. Dr. Drs. Madjid Abdullah, SH, MH(Mantan Wakil Gubernur

Maluku Utara)

Judul Materi :Tinjauan DPD menurut UU yang berlaku.

Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Sistem DPD ini menyangkut kewenangan DPD ini saya bagi dalam 4 kewenangan.

1. Dapat mengajukan 2. Ikut membahas

3. Memberi pertimbangan 4. Dapat melakukan pengawasan

Bahasa dalam UU ini, kata dapat kalau kita terjemahkan bisa laksanakan, bisa tidak. Kemudian ikut membahas, tidak ikut juga tidak apa-apa. Nah ini kata-kata dalam UU. Kemudian yang berhubungan dengan rencana UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, DPD mempunyai kewenangan, dapat mengajukan, ikut membahas, tidak memberikan pertimbangan. Dia tidak memberikan pertimbangan, tapi ikut membahas dan dapat melakukan pengawasan. Hubungan pusat dan daerah demikian juga sama, kemudian pembentukan dan pemekaran serta penggabungan juga sama, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi juga sama, dapat ikut mengajukan, dapat ikut membahas, dapat melakukan pengawasan sedangkan yang memberikan

pertimbangan adalah berhubungan dengan rencana UU dan RAPBN pada pendidikan agama. Dan pemilihan anggota BPK, itu yang memberikan pertimbangan, ikut membahas, juga dapat mengajukan.

Saya melihat bahwa peran DPD itu sangat lemah, karena tadi sudah dikemukakan bahwa hanya memberikan pertimbangan. Posisi DPD ini menyangkut kepentingan daerah, bukan hanya kepentingan politik negara sedangkan DPD sifatnya hanya memberikan pertimbangan saja. Nah inilah sehingga posisi DPD dalam UU No. 22 tahun 2003 sangat lemah.

Kemudian DPD ini tidak punya posisi original power, jadi dia mau berbuat tidak dapat mengajukan, tidak punya hak tolak, inilah yang menyebabkan posisinya lemah, sehingga saya melihat peran DPD ini perlu harus diberdayakan melalui amandemen UUD 1945.

3. Bpk. Drs. Roy Tumiwa (Mewakili Gubernur Sulawesi Utara)

Judul Materi : Peran DPD RI dalam memantapkan hubungan pemerintah provinsi dan kabupaten sesuai dengan potensi daerah

Kita melihat sebagaimana dalam konspilasi ketatanegaraan kita dengan aktivitas setelah dimunculkannya DPD dalam satu lembaga legislasi sama dengan MPR, DPR RI.

Untuk pemekaran-pemekaran daerah, mekanismenya rata-rata mereka lebih masuk kepada DPR atau kepada Depdagri melalui pemerintah provinsi. Kenapa tidak dimanfaatkan? Nah inilah fungsi dan peran DPD. Kalau DPD mau itulah yang harus mereka perankan. Bagaimana mereka mengoptimalisasikan itu, mungkin melalui diskusi ini akan memberikan suatu kontribusi, suatu sumbangan yang positif dalam rangka memantapkan peran daripada DPD itu sendiri, kalau tidak image dari DPD itu tetap akan sama seperti yang disampaikan tadi, bisa saja dibubarkan atau mungkin melalui amandemen UU dulu, UUD 1945 atau bagaimana dia akan menciptakan citra bahwa DPD itu bisa dimanfaatkan oleh daerah dalam rangka meningkatkan potensi-potensi dan mengoptimalisasi guna memantapkan hubungan antara pemerintah provinsi dan kabupaten demi kesejahteraan rakyat. Dan inilah DPD yang harus berperan mengatur, memberikan pertimbangan-pertimbangan yang cerdas di DPR bahkan memerankan secara bersama-sama menjaga, menfasilitasi hubungan antara

kabupaten kota sebagai lembaga representasi daripada daerah untuk mempertahankan kearifan lokal, memantapkan, mengembangkan, menggali segala potensi daerah untuk kepentingan daerah itu sendiri.

4. Bpk. Prof. Drs. Ishak Pulukadang(Mantan DPRD Sulawesi Utara, Mantan

DPR RI)

Judul Materi :Strategi Memperjuangkan Posisi dan Peran DPD Setara dengan DPR RI

Dari statement-statement yang kita dengar dari narasumber sebelumnya Bpk. Victor, bahwa sebaiknya DPD dibubarkan saja, tapi menurut saya, DPD ini sudah tidak dapat dibubarkan lagi. Kalaupun DPD sekarang dianggap sebagai pembantu DPR itu bagi kami ketika menjadi fraksi sudah merupakan satu langkah maju, daripada tidak diterima oleh DPR pada waktu itu memang sebagian besar tidak setuju.

Ada 3 alasan, mengapa DPD ini hadir :

1. Sebagai pengganti fraksi ke DPR raya akan dibubarkan karena ada amandemen UUD 1945, menghapus adanya fraksi-fraksi utusan golongan, dsbnya. Dimaksudkan sebagai keterwakilan dari daerah, kepentingan parpol terwakili dalam DPR, tapi tidak semata-mata aspirasi tentang adanya DPD ini mencontoh dari barat.

2. Kehadiran DPD ini sebagai solusi dalam sistem politik Indonesia, karena sering terjadinya penyimpangan dalam sistem pemerintahan Indonesia yang dominannya salah satu lembaga negara, apakah eksekutif, maupun legislatif. Kehadiran DPD ini bukan meniru bicameral sistem, tetapi karena pengalaman Indonesia sendiri selama tahun 1945-2004, sering bergantinya dominasi legislatif, eksekutif yang mengakibatkan histabilitasi pemerintahan dan membawa akibat KKN, Kolusi dan Nepotisme.

3. Alasan ketiga, agar terjadi prinsip take and balance, tidak saja antara lembaga legislatif dan eksekutif tetapi juga antar lembaga. Hal ini didasarkan pada pernyataan bahwa sementara DPR baik secara individu maupun kelompok ternyata bukan melakukan fungsi pengawasan dalam pembahasan terhadap kebijakan pemerintah menyangkut proyek-proyek APBN dan

lahirnya perundang-undangan tetapi yang terjadi adalah kolusi antara eksekutif legislatif dan antara anggota legislatif sendiri.

Perlu ditegaskan di sini problematik demokrasi kita sekarang yang kita kenal dengan demokrasi substansial, jadi ketika 5 tahun pertama era reformasi kita mengenal demokrasi prosedural, bahwa pemerintah itu dibentuk melalui pemilu sudah tercapai. Tetapi KKN bukannya berkurang bahkan makin meluas, muncullah sekarang 2004 sampai sekarang apa yang disebutkan demokrasi substansial yang mengutamakan prinsip balance of power, keseimbangan antara eksekutif dan legislatif dimana kedua-duanya dipilih langsung oleh DPR oleh rakyat, tapi yang muncul adalah kolusi, kolusi antara DPR sementara anggota DPR dan eksekutif. Pertanyaan adalah siapa yang memonitor mereka? Dalam suatu demokrasi memang kita mengharapkan peran apa yang disebut civil society, apakah itu ormas, LSM dan lain sebagainya, tapi civil society mengalami 3 faktor kelemahan.

1) Kurang profesionalnya SDM-nya. Kemampuan LSM yang mudah direkayasa dari segala macamnya.

2) Tidak mempunyai akses dan efektivitas untuk memperjuangkan keputusan politiknya.

3) Tidak mempunyai dana operasional untuk kegiatan-kegiatan itu, sehingga mereka gampang direkayasa.

Itulah problematiknya sehingga civil society kita tidak mampu mengontrol kolusi yang terjadi sekarang ini.

Secara lugas, DPD ini hanya pembantu DPR bisa kita lihat di dalam UUD dan UU yang sudah disebutkan, hanya mempunyai 4 fungsi saja, dapat melakukan, dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang, ikut membahas rancangan undang-undang, ikut memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai kewenangan dan melaporkan pengawasannya kepada DPR.

Langkah-langkah strategis dalam mempertahankan posisi dan peran DPD agar setara dengan posisi DPR.

1. Memilih pimpinan DPD yang mempunyai apa yang disebut political collage, dan punya komitmen terhadap pentingnya prinsip cek and balance of power, antar lembaga legislatif.

2. Membangun persepsi yang sama antara anggota DPD satu dengan yang lain untuk memperjuangkan kepentingan daerah melalui penguatan posisi dan peran DPD setara dengan DPR, dengan kata lain perlu apa yang disebut syarat kekompakan di dalam DPD sendiri.

3. Menyusun agenda kegiatan dalam upaya memperjuangkan kepentingan daerah melalui perubahan pasal yang mengibiri DPD untuk mendapat posisi dan peran DPD.

4. Melibatkan anggota fraksi partai politik dalam kegiatan DPD dengan memberikan fasilitas yang memperlancar keterlibatannya.

5. Membuat strategi melalui forum-forum pertemuan internal DPD untuk memperjuangkan aspirasi DPD tentang posisi dan peran DPD.

6. Membuat strategi untuk membuat jalannya sidang MPR dan kalau perlu melakukan tekanan yang sifatnya rasional.

7. DPD perlu menentukan apa yang disebut floor leader, yang mampu memperjuangkan gagasan DPD tentang perlunya perubahan posisi dan peran DPD untuk meyakinkan dan memperjuangkan dalam forum-forum resmi di MPR maupun di fraksi-fraksi.

Untuk itu diperlukan pimpinan DPD dalam mengarahkan dan memfasilitasi, sebab itu adalah salah satu faktor yang penting, karena tanpa keberanian dan fasilitas ini suatu perjuangan tidak akan berhasil.

5. dr. Elly E. Lasut, ME (Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud)

Judul Materi : Peran DPD-RI Dalam Memperjuangkan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil, Wilayah Pesisir dan Perbatasan

Ada beberapa hal yang menjadi persoalan dalam daerah perbatasan atau pulau-pulau kecil dari Kepulauan Talaud, yang harus diambil oleh DPD.

Kepulauan Talaud, adalah remote areal, sehingga apabila dikaitkan dengan kebijakan pemerintah, antara lain UU No. 32 tentang Pemerintashan Daerah, yang secara konkrit bisa dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Beberapa

slogan yang tidak terealisasi dalam peraturan pemerintah maupun uu di Indonesia ini.

1. Kep. Talaud sebagai daerah perbatasan atau pulau-pulau kecil yang dinyatakan bahwa pulau-pulau kecil sebagai beranda terdepan. Sehingga perlu ada penataan-penataan oleh pemerintah pusat yang dikonkritkan sebagai beranda terdepan, sehingga DPD RI bukan hanya dimasukkan sebagai slogan-slogal tetapi harus diwujudknyatakan.

2. Konsep satu pulau

– Masalah transportasi, antara satu pulau dengan pulau yang lain tidak ada masalah tentang hubungan antara satu desa dengan desa yang lain atau antara pulau yang satu dengan pulau yang lain. Alokasi keuangan politik oleh pemerintah pusat seharusnya memperhatikan pola-pola seperti ini.

– Persoalan pulau miagas yaitu tentang perbatasan dimana tentang masalah transportasi yang tidak memadai untuk menunjang tentang konsep satu pulau. Sehingga begitu pentingnya DPD RI untuk memperhatikan konsep ini.

– Konsep dana alokasi/pendanaan. Sumber pembangunan untuk satu daerah kabupaten kota berasal dari dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU) diserahkan langsung kepada pemerintah daerah untuk dikelola, dana alokasi khusus (DAK) yang dikelola langsung oleh pusat, dana perbantuan yaitu sumber dana APBN yang dialokasi oleh kabupaten kota/provinsi yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat, sehingga perbantuan betul-betul ditentukan oleh kemampuan kita melakukan lobi, dana dekonsentrasi yaitu dana yang dari pemerintah provinsi yang sebenarnya ini menjadi persoalan karena dana ini kadang-kadang tumpah tindih, dengan yang menjadi kebijakan pemerintah daerah, ketika pemerintah provinsi menetapkan berdasarkan kebijakannya sendiri, kadang-kadang alokasi menjadi double, dana ini harus dikelola oleh human resources yang jelas. Kadang-kadang alokasi dana yang begitu tinggi sedangkan pengelolaan tidak berkesusaian dengan SDM sehingga menjadi hambatan, padahal kondisi ini bisa dibalik karena

ada dana perbantuan dari pemerintah pusat, alokasi umum dan otonomi daerah. dana bagi hasil, dana atau pendapatan asli daerah yang dihasilkan oleh pemerintah daerah itu sendiri.

Perhitungan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)

Dana alokasi umum yang terdiri dari: Konstruksi bangunan, kondisi daerah, indeks kemahalan konstruksi.

Indeks kemahalan konstruksi, sebagai contoh 266. Kalau harga

Perhitungan Indeks kemiskinan (IK)

Dalam memberikan alokasi dana (dana perimbangan) kadang tidak melihat dari perhitungan indeks kemiskinan.

Konsep perhitungan luas laut dalam alokasi dana DAU, DAK, perbantuan sangat penting. Talaud merupakan daerah terluas di

SULUT yakni 27.000 km2, tujuh kali lipat dari Bolmong Raya.

Karena itu faktor transportasi, komunikasi, perlu diterobosi lagi agar luas laut itu diperhitungkan secara full, karena begitu pentingnya hal-hal ini agar kabupaten kota di kep. Talaud bisa cepat terbangun

Status perbatasan sebagai kawasan ekonomi khusus

Dalam aturan UU No. 32 Tahun 2003 bahwa daerah perbatasan ini akan dimasukkan dalam kawasan daerah khusus. Sehingga boleh menjadi konsep border trade area seperti di Batam, hal yang sama akan diperjuangkan di Bitung. Kep. Talaud memperjuangkan terlebih dahulu yaitu SDM dulu baru infrastrukturnya.

Regulasi bidang keuangan

UU No. 1 tentang keuangan bahwa satu-satunya auditor resmi pemerintah adalah BPK. Untuk menentukan korupsi tidaknya seorang pejabat, yang berhak memberikan statement atau opini adalah auditor yakni BPK.

Oleh karena itu DPD dan DPR RI kiranya dapat memberikan suara yang optimal untuk memberikan masukan bahkan memperjuangkan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil, Wilayah Pesisir dan Perbatasan di Kep. Talaud

Dokumen terkait