Sanro juga membuat sejumlah parappo untuk dibawa mencari ikan, sekitar lima buah. Parappo dimaksudkan sebagai sesajian untuk dikonsumsi oleh mahluk halus. Biasanya nelayan Pa’es mencari ikan di taka (coral reef area). Sebelum memulai kegiatan menangkap ikan di wilayah itu sang nelayan menaruh sebuah Parappo dengan membaca doa tertentu yang isinya kurang lebih mohon permisi agar mahluk halus yang menjaga tempat tersebut tidak marah dan memberikan kemurahan berupa ikan-ikan di situ kepada nelayan. Jika kehabisan Parappo di laut, biasa digunakan sebatang rokok yang diletakkan pada batu karang. Mereka percaya tanpa memberikan Parappo sebelum kegiatan menangkap ikan di fishing ground, akan mungkin terjadi bencana dan tidak memperoleh ikan sama sekali.
Bahan untuk membuat Songkakbala, sesajian untuk menolak bala, agak berbeda antara Sawi and Punggawa. Gula merah (javanese sugar), buah kelapa, beras, lilin merah, uang logam 5 keping, daun srikaya 3 lembar adalah material Songkakbala untuk Punggawa. Untuk Sawi disederhanakan hanya berupa gula merah dan kelapa. Gula merah (javanese sugar) simbol agar si nelayan memperoleh penghasilan yang baik. Kelapa bermaknakan agar si nelayan kembali dengan selamat. Beras artinya harapan agar dalam mencari ikan bisa memperoleh banyak ikan sebagaimana butir-butir beras yang tidak terhitung. Lilin simbol dari harapan agar mudah dalam usaha penangkapan ikan. Uang logam simbol dari harapan atau doa agar si nelayan memperoleh banyak uang dari kegiatan kenelayanannya itu. Hal yang sama, daun Srikaya merupakan harapan agar sang nelayan cepat menjadi kaya.
Biasanya mereka memulai perjalanan selepas ‘Isya‘1. Semua Sawi datang bersama ke kapal. Satu jam kemudian barulah Punggawa menyusul mereka. Sementara menunggu Punggawa, para Sawi duduk dan berdoa bersama di atas geladak kapal. Mereka menenangkan diri dan meneguhkan mental, karena risiko dalam pelayaran yang mereka akan hadapi sangat bahaya. Mungkin saja mereka tidak akan kembali lagi ke kampung dalam keadaan hidup. Dikabarkan bahwa
1
Isya adalah nama salah satu waktu sholat bagi seorang muslim dan dikerjakan sekitar pukul 7 malam. Mereka memulai perjalanan mencari ikan pada waktu malam dengan tujuan untuk menghindari polisi yang akan meminta uang (uang suap). Jika bertemu polisi di laut pilihannya hanyalah masuk penjara atau memberi uang suap kepada polisi.
102
situasi di kapal sangatlah tegang seperti akan menghadapi perang (Juragan sebagai pimpinan kapal biasanya menenangkan mereka ketika sudah berada di kapal).
Dia mengerjakan beberapa ritual dengan ditemani isterinya. Pertama, dia mandi, lalu makan, dan kemudian mengerjakan sholat Isya. Sesudah itu, dia duduk menghadap ke tiang tengah rumahnya (tanga). Di kaki tiang itu terletak Songkakbala. Istrinya kemudian duduk menemaninya dalam mengerjakan ritual2. Sang punggawa akan mengawali dengan membaca Al Fatihah (surah of Al Qur’an yang pertama). Selanjutnya, istrinya menjumput beras dari Songkakbala dan menggenggamnya sambil berujar begini : “O Karaeng palilianga bala ilalana linoa sibatu kapala“ (Ya Allah, selamatkanlah semua orang yang ada di kapal). Dia meletakkan kembali beras itu ke dalam Songkakbala, kemudian dia menjumput kembali segenggam beras dan berkata begini : “O Karaeng palilianga bala ilalana langika...“ (Ya Allah, selamatkanlah orang ini / nama ...). Dia meletakkan kembali beras itu ke tempatnya, kemudian dia menggenggam beras lagi sambil berkata : “O Karaeng palilianga bala ilalana butaya…“ (Ya Allah, selamatkanlah orang ini dari bencana yang datang dari pasir dan tanah/ nama ...). Dia meletakkan kembali beras itu ke dalam Songkakbala, kemudian dia menjumput kembali segenggam beras dan berkata begini : “O Karaeng palilianga bala ilalana angingah…“ (Ya Allah, selamatkanlah orang ini dari bencana yang datang dari angin/nama...). Dia meletakkan kembali beras itu ke tempatnya, kemudian dia menggenggam beras lagi sambil berkata : “O Karaeng palilianga bala ilalana jekneka...“ (Ya Allah, selamatkanlah orang ini dari bencana yang datang dari ombak yang besar). Dia meletakkan kembali beras itu ke dalam Songkakbala, kemudian dia menjumput kembali segenggam beras dan berkata begini :“O Karaeng palilianga bala ilalana pepeka…“ (Ya Allah, selamatkanlah orang ini dari bencana yang datang dari api/nama....). Dia meletakkan kembali beras itu ke tempatnya, kemudian dia menggenggam beras lagi sambil berkata : “O Karaeng palilianga bala ilalana rapataua…“ (Ya Allah, selamatkanlah orang ini dari bencana yang datang dari manusia/nama ....)3.
2
Punggawa dan sawi akan mengerjakan ritual ini dengan cara yang sama. Jika mereka belum menikah, maka ibunya yang akan melakukan ritual tersebut.
3
Contoh dari bencana buatan manusia adalah jika ada seseorang yang iri hati kepada kita , mungkin saja dia akan melakukan ‘guna-guna’ dengan tujuan kita gagal dalam operasi penangkapan ikan.
Istri Punggawa mengakhiri ritualnya dengan doa yang diucapkan dengan kombinasi bahasa Arab dan bahasa Makassar : “bismillahi tawakaltu allallah laa haula walaa quwata illa billah, salamat kok lampah,salamat kok motre ( kau pergi selamat, pulang selamat), tala sa nu lampahi tala sa tong nu batui (kau pergi hidup, pulangpun hidup).
Punggawa atau Sawi berdoa sendiri, kemudian ke luar rumah tanpa melihat- lihat ke belakang lagi. Sementara istrinya menudingkan telunjuknya ke luar rumah melalui pintu sampai si nelayan tidak kelihatan lagi. Sang isteri melanjutkan doanya : “innaladzi fardha allaikal qur‘ana lara‘duka illa ma‘al“.
Si nelayan ketika ke luar rumah, berhenti sejenak memalingkan kepalanya dan melihat pada bumbungan bala (atap rumah) dan berdoa : “O Karaeng lindungilah anne pallangpaku mudah-mudahan barak salamak ja mangemotre ribalaku“ (Ya Allah selamatkanlah hambaMU dalam perjalanan ini, dan hambaMu berharap sangat dapat kembali ke rumah). Selanjutnya, dia mengucapkan syahadat tiga kali (Ashadualla illaha illallah wa ashadu anna muhamaddar rosullullah) dan shalawat dua kali (allahuma sholli alla sayyidinna muhammad wa alla alli sayyidinna muhammad).
Sudah menjadi tradisi di pulau ini, sehari sebelum keberangkatan Juragan / Punggawa ziarah ke makam Sekh Alwi Assegaf, terletak di samping masjid Nurul Yaqin. Dia membawa lilin merah yang dinyalakan di makam, menabur bunga, dan menyiramkan air dari kendi4 ke makam. Kadangkala mereka membawa juga Parappo yang ditaruh di makam tersebut.
Sebagai catatan tambahan, sebelum menyelam si nelayan juga melakukan doa singkat. Mereka melafalkan doa dan mantera yang merupakan kombinasi bahasa Arab dan bahasa Makassar. Biasanya mereka mengucapkan : bismillah (dengan menyebut nama Allah) dan assalamu‘alaikum (salam sebagai tanda permisi). Kemudian mengucapkan ‘doa keselamatan‘ dari marabahaya yang diajarkan oleh ayah mereka atau yang dikenal sebagai ‘orang tua‘ , yakni orang mengetahui masalah spiritual. Beberapa orang nelayan yang diwawancarai menceritakan bahwa semua ritual yang dilakukan dengan tambahan membaca surah-surah Al Qur’an. Contohnya, Ula‘, dia selalu membaca surah An-Nas tiga
4
104
kali. Tujuan dari ritual ini untuk menyelamatkan si penyelam dari bahaya di dalam laut seperti bertemu syaitan atau ikan hiu.
Seorang nelayan lain, Polo menuturkan cara dia mengatasi hiu, ”Kalau berenang kita bawa jahe yang dikalungkan di tubuh. Hiu tidak suka bau jahe” (seringkali jahenya dimasukkan dalam kain yang dijahit). Dia juga memakai besi putih, berupa gelang, cincin atau yang lain, yang menurut pendapatnya akan menyebabkan hiu tidak menyerang kita. Ketika ditanyakan apakah ada mantera atau bacaan yang dia lafalkan untuk menghadapi ikan-ikan buas seperti hiu dia menolak untuk menjelaskan dengan berkata, ”Ada tempatnya untuk menyampaikan bacaan-bacaan,” katanya dia tidak mau menjelaskan doa-doa itu di sembarang tempat, sebab terlarang. Polo juga menuturkan bila kita melihat hiu kita baca doa tertentu, akan menyebabkan mulut hiu tertutup, begitu kita sudah sampai di atas segera dibaca doa pembukanya agar ikan hiu tersebut bisa membuka mulutnya lagi.
5.3.1.8 Tabu dalam Aktivitas Pa’es
Para nelayan mempercayai adanya beberapa tabu (gassipalli) . Para nelayan Pa’es khususnya sangat berhati-hati dan menghindari tabu-tabu tersebut. Ada dua kelompok tabu, yakni tabu sebelum melaut dan saat operasi penangkapan ikan.
Contoh tabu sebelum berangkat melaut adalah larangan bagi nelayan Pa’es untuk melakukan hubungan seksual dengan banci5 (effeminate atau transvestite homosexual). Bila si nelayan melanggar tabu ini dipercayai bahwa ia akan gagal dalam mencari ikan selama 40 hari. Itulah sebabnya seseorang akan ditolak untuk ikut melaut dalam suatu kelompok operasi penangkapan ikan bila melanggarnya. Tidak hanya itu, pelanggaran terhadap tabu itu akan menimbulkan situasi yang berbahaya pada saat di laut, seperti adanya gelombang ombak yang besar, badai dan mesin kapal yang rusak. Ada beberapa banci di pulau ini6, dan dikabarkan banyak sekali banci di kota Makassar.
5
Penduduk menyebut mereka banci atau bencong.
6
Ada beberapa orang banci di pulau ini, contohnya Syam (bukan nama sebenarnya) yang dikabarkan mempunyai baju ’serua’ . Jika dia memakainya, dia tidak akan terlihat. Lat (bukan nama sebenarnya) yang bekerja sebagai perias pengantin dan tukang cukur rambut di RW 02. Di kota Makassar terdapat banyak banci, khususnya di lapangan Karebosi dan di Jalan Nusantara. Masalah untuk nelayan muda, mereka banyak mengeluarkan uang untuk minuman keras (alkohol) dan ke pelacuran.
Contoh tabu lain, yakni larangan untuk menerima perempuan yang sedang menstruasi sebagai penumpang. Pernah dialami oleh seorang Punggawa Pa’es (pak Jaffar) yang akan mengambil es balok di kota Makassar. Ada tiga orang perempuan yang ingin ikut menumpang karena mereka tertinggal kapal penumpang regular yang sudah berangkat pagi hari. Agar tidak tertunda dan bermalam lagi di pulau, ketiga perempuan tersebut minta ikut ke Makassar pada pak Jaffar.
Sesungguhnya hal yang sulit dalam budaya Makassar untuk bertanya kepada ketiga perempuan itu apakah mereka sedang menstruasi atau tidak. Akhirnya dipanggil istri dari seorang nelayan untuk menanyakan keadaan perempuan- perempuan tersebut. Sayangnya, salah seorang dari ketiga perempuan tersebut sedang mengalami menstruasi, sehingga Pak Jaffar dengan berat hati menolaknya mereka untuk ikut serta. Kelompok nelayan dari Pak Jaffar ini mempercayai tabu itu bahwa bila seorang perempuan menstruasi ikut menumpang kapal mereka, akan terjadi bencana seperti badai pada saat melakukan operasi penangkapan ikan di laut.
Selama sehari sebelum perjalanan dilakukan (dari pagi sampai sore), awak kapal menghindari untuk membunuh binatang, khususnya di kapal. Umumnya ada binatang kecil di kapal seperti tikus, kecoa, dan lain-lain. Bila Gassipali ini dilanggar, akan terjadi hal buruk dalam perjalanan di laut, seperti tidak memperoleh hasil tangkapan ikan, mesin rusak, dan lain-lain.
Tabu yang terakhir sebelum melaut adalah si nelayan yang akan berangkat melaut dilarang menoleh ke belakang setelah mereka keluar dari rumahnya. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa pada malam hari sebelum berangkat melaut, sang nelayan melakukan berbagai macam ritual. Setelah itu, si nelayan berjalan kaki ke luar rumah menuju ke kapal7. Ia diharuskan menjaga pandangannya agar lurus ke kapal dan mengacuhkan orang-orang yang ditemui di sepanjang jalan. Masyarakat di pulau ini memahami bahwa si nelayan enggan untuk berbicara apapun dengan orang lain. Jika tabu ini dilanggar, boleh jadi akan ditemui bencana di tengah laut.
7
106
Adapun gassipali utama yang seharusnya dihindari oleh nelayan selama res adalah menghindari minuman alkohol. Miras akan membuat si nelayan mabuk dan menyebabkan tingkah lakunya tidak terkontrol lagi. Bila hal tersebut terjadi akan menimbulkan banyak hal negatif seperti bertengkar dengan teman sekapal, tidak bisa bekerja dengan baik, dan bila menyelam kemungkinan terjadi kecelakaan. Bila minum dan mabuk di pulau atau di kota Makassar tidaklah menjadi persoalan, tetapi dilarang pada saat kerja di laut. Bila dilanggar Punggawa akan marah dan perjalanan berikutnya ia tidak akan diijinkan ikut. Nelayan pa’es percaya bahwa dilanggarnya Gassipali ini akan menyebabkan sulit memperoleh hasil yang baik. Dilarang keras bagi seorang nelayan bersiul di tengah laut, karena siulan tersebut dipercayai akan mengundang badai dan ombak besar. Selain itu, nelayan juga dilarang berbicara ‘kotor’ , khususnya yang berkaitan dengan aktivitas seksual, karena juga akan berakibat sama sebagaimana kalau bersiul.
Ada ‘gassipalli‘ yang penting yang seharusnya dihindari oleh nelayan selama di laut, yaitu ‘buang angin’ pada ‘peti ikan‘ (tempat hasil tangkapan ikan), walaupun tidak disengaja. Pelanggaran terhadap larangan ini akan berakibat terjadinya kecelakaan pada si nelayan tersebut dan membuat kelompok kerja nelayan ini jauh dari keberhasilan penangkapan ikan.
Beberapa larangan lainnya yang dipegang teguh juga oleh nelayan dari pulau ini adalah : 1) tidak boleh bilang ’tidak’ kalau ditanya, jawabnya ’toa’. Misalnya kalau ditanya ada rokok, maka bila tidak ada harus dijawab ’toa’. Kuatir nanti tidak dapat apa-apa dalam operasi penangkapan ikan; 2) tidak boleh bilang ’banyak ikan’, bilang cukup; ini menghindari sifat sombong; 3) tidak boleh bilang ’kurang ikan’, bilang saja ada – menghindari sifat rakus; 4) tidak boleh membunuh binatang di perahu yang sedang berjalan, nanti kuatir ombak masuk ke kapal ; 5) tidak boleh memegang ikan pada matanya, nanti mata kita juga rusak.
5.3.1.9 Semangat Kenelayanan
Nelayan-nelayan di sini juga mempunyai motto yang dipegang teguh dalam menjalankan pekerjaannya mencari ikan. Motto tersebut kurang lebih begini : sudah jauh saya berjalan melaut, kalau tanpa hasil, lebih baik saya tenggelam daripada pulang. Motto tersebut di dalam bahasa lokal dari masing
etnis yang ada di Pulau Barrang Lompo sebagai berikut : 1) bahasa Makassar ---- punna allabami sombalaka kuallenna tallanga notoaliya; 2) bahasa Bugis ---- nare ekko takkala mallebbani sompe’e ilebbirenni tellengnge nanrewe’e; 3) bahasa Mandar ---- takkalai disombalang, dotai lele ruppu dadi nalete tuali di lolangang. Bagi mereka merupakan Sirri, kalau pulang dari melaut tanpa hasil. Sebagaimana ditulis oleh Moein yang mencoba menggali budaya Bugis-Makassar (1994) tentang sikap perantau/pelaut : birengngi tellang na tualie (layarku sudah berkembang, kemudiku telah kupancangkan, lebih baik tenggelam daripada balik langkah).
Ada ungkapan lain yang menunjukkan mengapa orang Pulau Barrang Lompo ini berani-berani ketika berlayar atau ketika merantau : betapapun kencangnya engkau berlari, betapapun kuatnya engkau mengayuh perahu, tidak akan didapat itu pulau barrang. Artinya : kalau berada di jauh dirantau atau di tengah laut, hadapi semua masalah jangan pernah mundur, karena tidak akan ada bantuan datang. Kalau harus berkelahi, lakukanlah, jangan mengelak melarikan diri. Kalau ada badai dan ombak besar hadapi sendiri, tidak akan ada bantuan datang karena kaum kerabat jauh di pulau.
Berbagai benda-benda dalam ritual lingkaran hidup (life-cycle) seperti ritual perempuan hamil tujuh bulan, melahirkan, pernikahan, dan khitanan bermuatan simbol-simbol keberanian dan agresivitas. Misalnya, di antara jenis makanan yang disediakan dalam ritual selalu ada kue Omba (kalau di Jawa disebut kue Klepon), yang bermaknakan doa agar orang tidak tenggelam dalam melaut mencari ikan betapapun kerasnya ombak dan badai.
Contoh lain adalah Upacara Pasili yang berupa ritual memandikan seseorang, misalnya ibu hamil 7 bulan dan calon pengantin. Kegiatan ritual ini memandikan orang yang duduk di atas wajan (pamaja) yang maknanya : supaya diutuhkan jiwanya si bayi dan dimudahkan untuk ke luar (lahir). Kalau untuk calon pengantin maknanya supaya jiwa mantap dan dimudahkan menempuh bahtera rumah tangga yang baru. Selain itu, ada kapak dengan makna agar calon bayi atau orang yang dimandikan mempunyai karakter ulet dan trampil / ahli. Sanro (dukun kampung) memandikan sang ibu dengan daun sirih, ranting pa’tene dan katangka yang diikat menjadi satu. Makna daun sirih adalah agar bayi atau
108
calon pengantin akan selalu memegang Siri’, patangka sebagai penguat semangat dan ranting pa’tene bermakna agar hidupnya di masa yang akan datang penuh kesejahteraan.
Ada lagu orang jaman dulu (lagu toriolo) yang biasa disenandungkan anak-anak pulau ini sebagai hiburan :
”Sirih gak ganilamung Katangka nipatimbong Pa baletongi pakiok
Sumangat tongi”
Lagu tersebut mempunyai arti harafiahnya sebagai berikut : sirih kita tanam dalam dada, Katangka kita tumbuhkan dalam jiwa, karena Katangka bisa menjadi obat sekaligus pembangkit semangat.
Sesaji yang dibacakan doa-doa dan mantera oleh Sanro berupa Ja’jakang yang terdiri dari beras berisi kelapa, gula merah, lilin dan uang sedekah untuk Sanro. Adapun mantera inti yang dibacakan oleh Sanro adalah : ja’na ja’na te’ne te’ne (nikmat-nikmat, manis-manis kehidupan dari ibu dan bayi / calon pengantin).8
Semangat kenelayanan yang berupa keberanian untuk menempuh kesulitan demi meraih kesuksesan hidup tampak dalam banyak ritual di masyarakat pulau ini. Selain itu, ketrampilan atau keahlian sangat sering disebut dalam berbagai doa, mantera maupun lagu lokal. Kombinasi ketrampilan dan keberanian merupakan dua hal yang diagungkan komunitas pulau Barrang Lompo.
5.3.2 Pa‘Taripang
Secara tradisi nelayan di Sulawesi Selatan menangkap ikan bukanlah target utama. Mereka dikenal sebagai nelayan yang mengumpulkan telur penyu, teripang, lola, sirip hiu, rumput laut, batulaga dan lain-lain. Bagi mereka
8
Upacara Pasili juga disiapkan sesajian berupa buah-buahan. Kalau sudah diketahui perempuan calon bayinya/ calon pengantin perempuan sesajian berupa buah nangka dan semangka yang sudah terbelah. Sebaliknya bila calon bayi diketahui laki-laki / calon pengantin laki-laki sesajian berupa buah jeruk, anggur, dan pisang susu. Sedangkan jenis kue lokal yang harus ada untuk hidangan ialah : omba-omba, cucuruk bayao, kue lapisi, sero-sero, kolak, biji nangka, dodoro, putri hijau, dadaro bayao.
menangkap ikan lebih banyak untuk keperluan subsisten. Sekarang menangkap ikan sudah menjadi tujuan utama dan komersial bagi kebanyakan nelayan di sana.
Di waktu yang lalu di perairan pulau ini banyak sekali terdapat teripang. Beberapa ilustrasi dari penduduk setempat :
- ”jika kita berjalan sepanjang pantai seringkali kaki kita tersandung teripang karena jumlah mereka yang terlalu banyak. Tidak mudah untuk menemukan jalan yang lengang dari teripang.”
- ”anak-anak kecil sering menendang-nendang teripang sebagai bola ketika mereka bermain-main di tepi pantai.“
- ”bila kita menyelam, kita bisa memperoleh begitu banyak teripang bertumpuk-tumpuk di dasar laut.“
Menurut Man (bukan nama sebenarnya), seorang juragan teripang, antara tahun 1990-1994 jumlah teripang begitu banyak, sehingga dalam satu perjalanan saja sudah memperoleh lebih dari 1000 buah. Kini dalam suatu perjalanan hanya dapat 10 biji. Pada waktu itu harga teripang sangat rendah, nyaris tidak berharga. ”Yang mencari kurang,“ kata Man (bukan nama sebenarnya). Restauran-restauran masakan China yang menyajikan teripang sebagai makanan tradisional telah menyebabkan harga teripang naik. Berbagai restoran masakan China di Hongkong, Taiwan, Singapura memasaknya sebagai masakan lezat. Di kota Makassar dikenal restoran Bambuden yang menyajikan sup teripang, satu mangkok kecil harganya bisa mencapai Rp 50 ribu.
Awal 1990-an harga teripang melambung, dan teripang menjadi buruan utama nelayan. Kesejahteraan nelayan di Pulau Barrang Lompo berubah meningkat pesat. Salah satu indikatornya adalah bahan bangunan rumah panggung yang dulu terdiri dari kayu dan bambu; kini rumah-rumah dibangun dari batu bata dan semen dan jendela dari kaca serta atap dari seng. Suatu rumah panggung umumnya terdiri dari dua tingkat. Tingkat pertama biasanya dibikin kosong melompong atau tempat penyimpanan kayu dan barang-barang lain, tidak ada kamar. Tingkat kedua merupakan tempat tinggal sesungguhnya. Dengan meningkatnya kesejahteraan lantai satu sudah dibuat warung atau toko kecil pada beberapa rumah panggung. Saat penelitian ini berlangsung, tingkat pertama rumah
110
sudah banyak yang dibikin kamar-kamar, karena satu rumah kini terdiri dari 2 – 3 kepala keluarga.
Pembagian keuntungan antara Pa’es dan pa’taripang sebenarnya mirip saja, umumnya 20% untuk kapal dan 5% untuk juragan laut. Istilah juragan sebagai pemimpin pelayaran lebih banyak digunakan pada sistem Pa’taripang dan Pa’dagang. Selanjutnya, 75% dibagi untuk semua anak buah dan kompresor. Sawi yang bekerja di atas kapal (kerja atas) memperoleh pendapatan yang lebih kecil dibandingkan penyelam (kerja bawah). Bahkan diantara Sawi itupun ada perbedaan pendapatan berdasarkan penilaian Punggawa terhadap kemampuan ataupun berapa jumlah menyelam yang dilakukan oleh seorang penyelam. Misalnya si A menyelam hanya 2 kali, sedangkan si B 4 kali, maka si B akan memperoleh bagi hasil yang lebih besar dibandingkan si A. Keputusan besarnya perolehan itu sepenuhnya oleh Punggawa dan tidak ada gugatan dari Sawi. Hanya kalau seorang Sawi tidak setuju, maka pada res berikutnya dia akan pindah ke Punggawa lain. Selain bagi hasil tersebut, si nelayan memperoleh tambahan dari apa-apa yang dia peroleh ketika menyelam, misal mutiara, dan juga dari hasil memancing. Dari sekali perjalanan bisa diperoleh hasil memancing sekitar 50 kg – 100 kg lebih ikan merah yang sudah dikeringkan selama di laut, setibanya di pulau akan dijual ke pabalolang ikan kering, yakni ke Daeng Tutu, atau ke Daeng