• Tidak ada hasil yang ditemukan

7 PERTEMUAN PAOTERE : PERBEDAAN PENDAPAT TIGA

7.3 Hasil Penelitian: pertemuan para pihak di Paotere

Pada tanggal 14 September 2005 sebuah pertemuan diselenggarakan di kantor DKP Kodya Makassar bidang Pengawasan yang terletak di sebelah tempat pelelangan ikan (TPI) Paotere. Peserta pertemuan tersebut adalah: (1) para punggawa Pa’es dari seluruh wilayah kodya Makassar, (2) Ketua Binamitra Poltabes Makassar, (3) wakil dari Polresta Pelabuhan Paotere, (4) Wakil Kepala Polsek, (5) Camat Ujung Tanah, dan (6) Tim Penyuluh DKP Kodya Makassar.

Ada beberapa kesimpulan yang menarik yang berkaitan dengan tema penelitian ini, yaitu : 1) ternyata terdapat perbedaan pendapat antar para pihak yang terkait dengan penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap, 2) hubungan kerja yang semu (pseudo working relationship) antara nelayan dengan oknum polisi dalam penggunaan bom ikan dalam usaha kenelayanan destruktif, dan 3) belum adanya solusi yang jelas dan pihak nelayan cenderung sebagai satu-satunya pihak yang dipersalahkan. Adapunuraian selengkapnya tentang pertemuan di Paotere adalah sebagai yang dipaparkan di bawah ini.

Acara dibuka oleh Pak Camat Ujung Tanah dengan ucapan terima kasih atas kehadiran para undangan. Singkatnya, beliau mengharapkan pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk perbaikan lingkungan hidup guna masa depan anak-cucu. Praktek penggunaan teknologi destruktif menurut beliau sudah seharusnya dihentikan. Pada pembukaan pertemuan ini beliau sangat mengecam penggunaan teknologi destruktif baik bom maupun bius sebagai alat tangkap.

Pembicara berikutnya adalah Wakil dari Polresta Pelabuhan yang berbicara kurang lebih sebagai berikut :

143

”Saya menyampaikan permohonan maaf dari bapak Kapolresta Pelabuhan atas ketidakhadiran beliau dalam pertemuan ini. Sesungguhnya beliau ingin sekali hadir dalam pertemuan penting ini, tapi karena supporter PSM membludak di pelabuhan,...kami kira bapak-bapak maklum apa yang mungkin terjadi. Karena itu bapak Kapolresta langsung memimpin sendiri di lapangan. Saya sungguh berterimakasih dan kagum atas perhatian bapak-bapak sekalian. Yang diundang 70 orang, tapi yang datang ada 90 orang....ini luar biasa. Saya berharap pertemuan ini akan menghasilkan kesepakatan untuk perbaikan lingkungan laut yang sudah rusak karena praktek penggunaan bom ikan”.

Kalimat-kalimat yang dikemukakannya menunjukkan bahwa pembicara mengecam kenelayanan destruktif dan mengharapkan adanya perubahan perilaku. Optimismenya muncul ketika melihat bahwa yang hadir lebih banyak dibandingkan yang diundang, yang mayoritas adalah Punggawa yang terlibat dalam usaha kenelayanan destruktif. Selama ini tidak mudah mengundang para Punggawa Pa’es untuk berkumpul seperti ini. Biasanya hanya segelintir Punggawa hadir atau diwakilkan kepada Sawinya (awak kapal). Respon yang positif ini diduga karena gencarnya penangkapan pengguna bom ikan maupun pedagang material bom ikan bersamaan dengan berlangsungnya penelitian ini.

Pembicara berikutnya Kepala Bina Mitra Poltabes Makassar sebagai berikut :

”Kapoltabes (Kepala Polisi Kota Besar) Makassar oleh karena harus hadir pada teleconference bersama Kapolri, sehingga tidak bisa ikut dalam pertemuan ini. Kesempatan lain akan berusaha untuk hadir. Beliau menitip pesan akan pentingnya pertama, pengelolaan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kedua, Interaksi antar manusia dengan lingkungan agar dijaga, supaya kebutuhan manusia tetap bisa disediakan oleh alam. Semua kebutuhan hidup kita berasal dari alam. Disebutkan dalam surat Al Qishos ayat 74 : ’janganlah kamu merusak lingkungan’.

Habitat merupakan tempat organisma hidup. Namun kualitas hidup antar habitat berbeda. Sebabnya, kerusakan atau pencemaran akan sebabkan habitat tidak bisa berkembang dengan normal. Kita mengenal dua jenis sumberdaya alam. Renewable, sumberdaya alam yang bisa diperbaharui, seperti tumbuhan

dan mahluk lain. Unrenewable, sumberdaya alam yang tidak bisa diperbaharui, seperti batu bara dan minyak. Problemnya bagaimana mengelola lingkungan hidup agar bisa dimanfaatkan sampai anak cucu. Kita harus memperhitungkan dampak kegiatan yang kita lakukan. Sering kita dengar istilah pembangunan berkelanjutan yang berarti pembangunan tanpa merusak lingkungan.

Ketiga, masalah peningkatan hidup generasi sekarang dan penerusnya. Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 telah mengamanatkan kepada kita agar menggunakan semua sumberdaya yang ada, kekayaan alam yang ada untuk kemakmuran rakyat pada masa sekarang tapi juga untuk masa yang akan datang.

Sekarang sudah ada Undang-undang 31 tahun 2004 yang mengatakan bahwa pelaku perusakan lingkungan akan dipidana penjara 10 tahun atau didenda 100 miliar. Jadi, hukumannya berat sekali. Saya berharap tidak ada bapak-bapak yang kena sanksi pelanggaran yang mahaberat ini.

Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban melestarikan lingkungan hidup. Allah mengamanahkan alam ini untuk anak cucu. ’Akibat ulah kita sendiri alam hancur, apa kita tidak malu terhadap anak cucu?’

Rencana Pak Wali, pulau-pulau di sekitar kodya Makassar akan dijadikan obyek pariwisata, diantaranya wisata memancing. ’Bagaimana kalau sudah tidak ada ikan yang dipancing?’

Di dalam Al Quran juga sudah disebutkan ’taatilah pemimpinmu dan pemerintah sejauh tidak melanggar ajaran Allah’. Pemerintah sudah menyerukan agar kita menghentikan perusakan lingkungan, utamanya laut. Lautnya rusak, bapak-bapak akan kesulitan sendiri memenuhi kebutuhan hidup. Lebih-lebih kita tidak perhatikan nasib anak cucu. Alangkah ironisnya bila kita mementingkan diri sendiri, tidak peduli nasib anak cucu kita”.

Hal yang menarik dari ucapannya adalah menekankan tentang relevansi antara konservasi dengan kepercayaan (agama). Pembicara mengingatkan masyarakat bahwa ajaran agama juga menegaskan tentang perlunya konservasi alam dan larangan merusak alam. Pembicara menegaskan bahwa sifat sumberdaya perikanan dapat pulih, tetapi proses pemulihannya dalam jangka panjang. Penggunaan bom ikan yang merusak sumber daya laut diartikan pula sebagai melanggar ajaran agama.

145

Pembicara juga menegaskan tentang regulasi yang kini makin ketat dengan sanksi yang berat bagi nelayan yang melanggarnya (khususnya UU no 31 tahun 2004). Himbauannya agar nelayan tidak lagi melanggar. Banyak cara untuk memanfaatkan sumberdaya laut seperti pariwisata.

Setelah itu Kasubdit Pengawasan DKP (Drs. H. Baddu Uddin) dan Soejarwo SH (penyidik perikanan) menyampaikan buah pikirannya sebagai berikut :

Alam ini bukan untuk siapa-siapa tapi untuk memenuhi kebutuhan kita dan kebutuhan anak cucu kita kelak. Jadi, kita harus memperdulikan nasib anak cucu kita. Undang-undang perikanan yang baru hukumannya sangat berat. Polisi tidak akan mengenakan undang-undang ini apabila bapak-bapak tidak melakukannya.

Bapak-bapak khan tidak akan makan tanpa ikan, karena sudah jadi kebutuhan kita. Kalau kita rusak laut, ikan juga akan hilang. Mohon sekali, bapak-bapak jangan menggunakan bahan terlarang dalam menangkap ikan.

Undang-undang nomer 31 tahun 2004 pasal 86 orang yang melakukan pelanggaran akan dipenjara 10 tahun dan denda 2 miliar. Jadi, hukumannya berat sekali. Jangan sampai bapak-bapak kena sanksi seberat ini.

Di masa kanak-kanak saya, ikan-ikan bisa diperoleh di dermaga. Tahun 1985 ikan melimpah dan nelayan bisa menabung. Sampai dengan tahun 2000 ikan masih ada, nelayan tidak pergi sampai ke Flores. Tapi tahun 2005 ini orang minta ijin ke Flores untuk lama sekitar 2 minggu sampai dengan 1 bulan. Pulangnya kadang hasil ada kadang juga tidak ada hasil. Kalau seperti manusia, ikan akan betah kalau ada habitat yang baik.

Kasus di dermaga Paotere, ada ikan tapi secara ekonomis tidak. Misalkan pancing dapat 2 ekor. Pasang bubu juga, yang masuk ikan buntal. Sengaja atau tidak tapi saya tahu bapak-bapak memahami kerusakan lingkungan laut akibat penggunaan bahan terlarang. Masih banyak alat tangkap yang setara dengan itu. Saya pernah minta ijin untuk lihat purse sein/gae/pukat cincin. Alat tangkap ini barangkali cocok, karena hasil tangkapannya juga banyak. Konsekuensinya memang alat itu agak mahal dan butuh orang banyak untuk mengoperasikannya.

Memang ada dua hal yang sangat merusak, bom dan bius. Apalagi yang namanya bius. Implikasinya sampai puluhan tahun, sangat-sangat merugikan. Saya tidak bilang kalau bom tidak merusak, tapi lebih kecil.

DKP kodya Makassar akan mengembangkan karang buatan, tapi sangat mahal biayanya, yang sebenarnya tidak perlu. Saya baru dua tahun di bagian pengawasan ini, tapi saya mengajak bapak-bapak untuk tidak merusak lingkungan. Kita sama-sama tidak ingin memberlakukan Undang-undang perikanan ini. Saya yakin bapak-bapak tidak mau ditimpa undang-undang ini. Sudah ada contoh dari Barrang Caddi. Ada nelayan bom yang putus tangannya, Haji Amin. Sekarang beralih ke juragan teripang.

(para Punggawa Pa’es lalu teriak koor bersama-sama : itu dulu, sudah lama....!)

Pembicara sangat menekankan tentang keharusan kelestarian sumber daya ikan, karena kalau tiada ikan lagi nelayan akan kesulitan, akan kehilangan pekerjaan dan akan kesulitan makanan berupa ikan. Selain itu, pembicara juga mensosialisasikan UU 31 tahun 2004 dengan sanksi yang berat. Dia menyarankan agar para nelayan menghentikan pekerjaan kenelayanan destruktif.

Hal yang menarik adalah respon dari nelayan berupa gerutuan : ”...koruptor dihukum ringan. Maling ayam dihukum berat sekali. Maling ayam saja tidak kapok, terus mencuri ayam. Apalagi nelayan...

Oleh karena suasana memanas, Pak Camat Ujung Tanah segera menengahi dengan menyebutkan tentang dana kompensasi BBM yang bisa digunakan untuk perbaikan kesejahteraan nelayan. Pembicaraannya kurang lebih sebagai berikut :

Ada 12 kelurahan di kecamatan ini, dan tidak semua dapat kompensasi BBM. Pelaksanaan kompensasi BBM mulai bulan ini. Bentuknya bisa berupa perbaikan jalan, air bersih. Akan ada juga puskesmas terapung yang mengitari semua pulau-pulau. Masalah perusakan lingkungan laut ini memang rumit. Antara perusakan lingkungan dan tuntutan mengisi perut. Kalau bisa dihadirkan da’i kondang untuk menyejukkan hati bapak-bapak.

Dari ucapannya terlihat bahwa dia mengalami kesulitan untuk membuat prioritas aksi pengelolaan sumber daya laut, antara tuntutan jangka pendek (kebutuhan makan penduduk) dan kelestarian sumber daya laut dalam jangka panjang. Oleh

147

sebab itu dia mengusulkan untuk mengadakan pertemuan lagi lain kali yang juga diisi dengan pengajian. Kalimat-kalimat dari Pak Camat ini agak meredakan suasana yang sebelumnya dipenuhi dengan gerutuan dari para nelayan.

Kemudian moderator, Pak Baddu, melanjutkan pertemuan ini dengan membuka kesempatan berdialog bagi para nelayan. Dari kalangan nelayan banyak yang mengacungkan telunjuknya sebagai tanda ingin bertanya atau berkomentar. Kesempatan pertama diberikan kepada Daeng Tata dari Pulau Barrang Lompo. Dia berkomentar panjang lebar tentang nasib para nelayan yang menggunakan teknologi destruktif. Komentarnya kurang lebih sebagai berikut :

Sebenarnya masalah ini sudah semenjak lama dan berlarut-larut, tapi sampai hari ini belum ada solusinya. Bagi nelayan melakukan pelanggaran, menggunakan baracun itu keterpaksaan. Bagaimana bapak-bapak kalau perut kosong. Yang kita perlukan solusinya. Semenjak jaman Jepang sudah terlarang. Mulai kakek-kakek kita dulu sudah dibilang barang terlarang.

Berkat koordinasi dengan Polair, potas atau bius sudah kurang pak, malah dibilang hampir punah. Di tempat kami ada 10 – 15 kapal di perairan. Kalau satu kapal berisi 30 orang lebih. Ada 375 KK yang tergantung hidupnya dari baracun (bom ikan) itu. Belum kalau dihitung 1 KK punya anggota keluarga 3 – 4 orang malah banyak yang lebih. Kalau dikalikan, seribuan lebih warga yang nasibnya tergantung dari mercun. Jadi, kalau dilarang bagaimana dengan hidup mereka ? bagaimana pendidikan anak-anaknya ? Mohon bantuan bapak- bapak di depan, jangan sampai mereka menderita karena dilarang-dilarang itu.

Komentarnya menunjukkan bahwa semenjak lama nelayan sudah tahu bahwa penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap terlarang. Masalahnya sampai saat penelitian ini berlangsung bom ikan merupakan alat tangkap yang paling diandalkan nelayan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh sebab itu pelarangan tanpa solusi sebagaimana yang dirasakan nelayan selama ini, dirasakan menyulitkan. Pada hemat kami, tersirat bahwa nelayan sangat menunggu solusi yang membuat mereka tidak lebih menderita dari sekarang ini.

Moderator selanjutnya memberi kesempatan Pak Rahman Baddu (kepala Koperasi Paotere) mengajukan pertanyaan dan komentarnya, sebagai berikut :

Ikan-ikan tidak ada disini, karna kapal dikerja disini, oli-oli penuh di dermaga. Terjadi pencemaran. Ikan-ikan pergi. Itu bukan salah nelayan. Mestinya DKP membereskan masalah ini kepada bos-bos itu, bukan menyalah- nyalahkan nelayan.

Kedua, nelayan bilang pemboman itu seperti pencuri ayam, bisa ditebus. ’Pencuri saja tidak mau berhenti apalagi nelayan’. Jangan salahkan nelayan saja. Bagaimana dengan penegak hukumnya ?

Buang bom itu di permukaan saja dan tidak di taka (karang). Nelayan bilang kalau barracun jangan di batu (karang). Contohnya ikan Mairo (sejenis teri) tidak di mercun di batu. Akan susah mengambilnya kalau di batu. Tidaklah usah ngomong soal bantuan. Kalau bantuan-bantuan dari pusat tidak pernah sampai.

Tadi soal ikan habis di dermaga...kalau mau ikan dekat-dekat jangan dikerja kapal di dekat dermaga. Nanti nelayan lagi yang disalahkan.

Pak Baddu sebagai penanya ketiga terlihat menekankan bahwa selama ini para nelayan menjadi kambing hitam, dan pihak penegak hukum tidak menindak tegas para pelaku kesalahan yang sebenarnya. Dia mempertanyakan bagaimana peran penegak hukum, bukan hanya yang harus terus menerus dipersalahkan, kurang lebih begitu pendapatnya.

Dia juga mengeritik penegak hukum yang begitu mudah disogok. Dia menyamakan nelayan yang mengebom ikan setara dengan mencuri ayam yang bisa ditebus dengan denda di pengadilan. Hal ini berangkat dari pengalaman Pak Baddu bahwa ketika nelayan ditangkap dan diadili, maka Punggawa akan menebus mereka dengan sejumlah uang untuk kebebasan si nelayan. Penegak hukum mudah disogok.

Satu hal lagi yang menarik, menurut pak Baddu bom ikan digunakan nelayan di permukaan dan di atas pasir, bukan di batu karang sebagaimana yang selalu dikemukakan oleh pihak pengelola perikanan dan penegak hukum. Menurut dia bom ikan tidak merusak terumbu karang. Pernyataannya tersebut membantah anggapan yang dikemukakan pembicara-pembicara sebelumnya

Penanya ketiga Haji Abdul Hamid, seorang nelayan Pa’es mendukung penanya kedua, mengatakan bahwa : Selama ini tidak pernah ada solusi di daerah

149

kita....yang ada hanya dilarang dilarang saja. Ada masalah besar lain yang tidak pernah disinggung-singgung. Disini minyak sudah oplosan....bagaimana penanggulangannya ? Nelayan sudah teriak-teriak harga BBM mahal sekali. Apa tidak sama pengoplos dengan pencuri ayam? Perlu solusi....kalau luar negeri sudah maju, sehingga tidak perlu pakai bom. Ada nelayan pakai bom ditangkap disana, 1 minggu sudah ke luar. Dengar kabar dari polresta pelabuhan, petugaslah yang mengijinkan.

Dia menegaskan bahwa pengelola perikanan dan penegak hukum dianggap hanya bisa melarang dan melarang tanpa memberikan solusi apapun. Menurutnya, nelayan selalu dikejar-kejar, sedang pelaku kejahatan lain dalam usaha kenelayanan seperti pengoplos dibiarkan begitu saja. Penanya ketiga ini mendukung penanya sebelumnya bahwa penggunaan bom ikan selalu dalam kerangka kerja sama dengan berbagai pihak, khususnya penegak hukum.

Penanya ke-4 Pak Gasseng, juga seorang nelayan Pa’es, mempertegas lagi bahwa pekerjaan nelayan bom ikan ini dilakukan dengan cara kerja sama dengan petugas. Nelayan selalu jadi korban. Petugas memanfaatkan mereka untuk mengeruk hasil nelayan. Katanya, Kendala saya di laut, kalau ada petugas berseragam datang, tidak tahu polisi atau tentara atau apa, kita orang bodoh tidak paham yang begitu-begitu. Dicari di kapal semua. Kalau tidak ditemu barang terlarang, dibuka-buka tas. Lalu minta uang. Jadi maunya apa ? ( Nelayan-nelayan lain bergumam: datang juga ke rumah kita ....! )

Kalau mbongkar ikan di Paotere banyak yang minta. Kita tidak tahu apa mereka polair, Polresta Pelabuhan. Kita orang bodoh, tidak paham yang begituan. (nelayan lain menyela : petugas berseragam itu sudah ada sejak di pintu gerbang....berlapis-lapis. Cobalah bapak-bapak di depan periksa sekali- sekali siapa-siapa mereka. Kita nelayan bodoh-bodoh, asal ada yang berseragam kita takut. Kita memang bodoh, tapi jangan dibodoh-bodohi terus, kasihan kita pak !)

Masalah bahan bakar juga tadi disebut. SPBU Penampu kini sering tidak memberi kalau nelayan minta. Kita dengar BBM mau naik lagi sampai Rp 5000,- . Nelayan tidak kuat. Sebentar lagi bapak-bapak akan lihat, kapal-kapal berderet- deret di dermaga, tidak jalan).

Wakapolsek menjawab pertanyaan para penanya di atas, sebagai berikut :

Mungkin kita perlu duduk bersama untuk menemukan cara lain yang perlu untuk lebih lestari lingkungan. Menurut Daeng Tata kalau ngebom 2 – 3 jam akan datang lagi ikan-ikan. Yang bahaya bius, rusaknya selama 30 tahun. Padahal kita perlu makan selama itu. Barangkali perlu juga trawl yang dimodifikasi dipertimbangkan sebagai solusi, karena hasilnya banyak.

Ketika menyatakan ini Wakapolsek menyadari bahwa trawl termasuh jenis alat tangkap yang bermasalah (dilarang). Tetapi, dia mengambil contoh trawl yang ada di kecamatan Ujung Tanah sudah berlangsung lama dan tidak pernah ada penindakan, karena armada trawl dan alat trawlnya sudah dimodifikasi. Hanya saja berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara mendalam yang kami lakukan dengan nelayan trawl, mereka menyebutkan bahwa hasil tangkapan memburuk terus beberapa tahun terakhir ini. Kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Wakapolsek ini mengesankan bahwa sampai kini belum ada alternatif alat tangkap

Untuk dana PMP tanya ke bapak yang berkompeten. Kalau tidak salah 250 juta per kelurahan untuk Barrang Lompo, Barrang Caddi, Lumu-lumu dan Kodingareng. Untuk Pak Abdul Hamid, alam ini diberikan kepada kita dan anak cucu untuk dipelihara. Mercun atau bom ikan jelas-jelas merusak lingkungan. Undang-undang yang dibuat pemerintah untuk melindungi kelestarian alam agar bisa dimanfaatkan sampai anak cucu.

Seorang nelayan Pa’es, Pak Hafids, menyela kalimat Wakapolsek bahwa pengoplosan minyak merupakan ketidaktanggapan polisi terhadap situasi. Polisi banyak yang melanggar hukum. Wakapolsek kemudian mengakuinya dengan bijak, sebagai berikut : Baik. Kalau ada oknum melakukan hal itu, pengoplosan sudah tindak pidana. Untuk pak Gasseng. Itu [polisi] adalah oknum. Kapolri tegas. Judi, miras ditertibkan. Kapolri membereskan hal-hal interen, termasuk menertibkan polisi. Baru-baru ini kasus Pertamina dibongkar, itu jerih payah Polri. Illegal logging itu juga. Jadi tidak semuanya polisi jelek. Banyak yang positif yang sudah dilakukan. Saya tidak memungkiri bahwa di dalam tubuh polisi ada penjudi, pemabuk. Sama seperti di masyarakat, ada yang soleh ada pencuri. Itu oknum. Kalau ada laporkan.

151

Baddu dari DKP kotamadya Makassar, membenarkan kritik dari nelayan bahwa pemerintah kurang perhatian terhadap pulau-pulau kecil, pengawasan terhadap pencemaran lingkungan buruk dan nelayan selalu menjadi kambing hitamnya. Dia berkata sebagai berikut : Benar perhatian pemerintah kurang terhadap pulau-pulau. Sekarang sudah mulai diperbaiki. Saya beberapa kali bersama Pak Camat keliling. Dana PEM memang ada tetapi terbatas, di Kodingareng di koordinir oleh Pak Sampara dan di Langkai oleh pak Saenal. Kalau dulu yang namanya bantuan itu tidak pernah kembali, tapi sekarang sudah membaik. Menjawab Pak Rahman Baddu, benar pencemaran itu, akan saya periksa ulang lagi dan mencari solusinya. Pengoplosan memang ada dan sudah dilaporkan ke Pertamina di belakang jembatan.

Kalau masalah memeriksa surat-surat itu tugas polisi. Yang diperiksa itu surat kapal, ndak ada persoalan. Kalau tidak ada suratnya baru persoalan. Pada pertemuan ini kita sepakati kalau surat-surat kapal kita lengkapi. Saya juga kecewa kalau bapak-bapak ditangkap. Sebagai informasi, tidak lama lagi petugas kami akan beroperasi, tolong diperpanjang surat-surat kapal.

Bau Sawa, Camat Ujung Tanah, menutup pertemuan ini dengan mengakui bahwa masalah penghentian pekerjaan nelayan bom ikan sungguh masalah pelik, harus ada pertemuan-pertemuan lagi, dan dia mengakui adanya oknum-oknum penegak hukum yang menyeleweng. Dia juga berusaha menenangkan hati para nelayan dengan menginformasikan adanya bantuan untuk pulau-pulau kecil, sebagai berikut : Akan ada safari Ramadhan keliling pulau-pulau. Mohon, agar orang-orang Barrang Lompo yang membuat permohonan agar tahun depan subsidi untuk nelayan. Selain itu juga untuk bangun sekolah-sekolah yang sudah roboh. Meja SD saja dibuat tahun 1948.

Para nelayan interupsi pembicaraan pak Camat sebagai berikut : mana cukup subsidi itu untuk nelayan. Harga alatnya saja purse seine sudah jutaan, belum lagi kapal yang harus dimodifikasi atau malah harus dibuat baru, harganya ratusan juta.

Pak Camat kewalahan dalam menghadapi interupsi ini. Dia tidak menyadari bahwa perubahan teknologi tidaklah mudah dan mahal. Untuk menutupi kekeliruannya, dia buru-buru meredakan emosi nelayan, sebagai

berikut : Baiklah, masalah ini nampaknya harus ada forum-forum lain. Mungkin dengan diisi siraman rohani juga agar pertemuan kita menjadi sejuk.

Masalah ada oknum-oknum petugas yang menyeleweng, jangan kuatir Wakapolda adalah om saya. Kalau ada petugas nakal, mohon lapor ke saya.. Tidak semua polisi bagus, tidak semua polisi jelek. Ini ada nomer HP dari pak Walikota yang bisa dihubungi langsung 08152520333. Rencananya akan dibentuk Forum Tokoh Masyarakat dari 12 kelurahan dan akan dilantik pak Walikota, disaksikan oleh pak Gubernur, tanggal 30 September.

Sebenarnya inti pertemuan ini adalah percakapan informal seusai ditutupnya pertemuan ini antara Daeng T (nama samaran)dan beberapa punggawa Pa’es berbincang dengan Bu X (nama samaran) dari polresta pelabuhan memohon agar jangan ketat-ketat pengawasan, dilonggarkanlah. Dijawab oleh bu X :”.... yah pintar-pintar kalian sajalah.” Ujar Daeng T : ”terima kasih,.... yah kita memang harus pandai-pandai mencuri di belakang.”)

Dokumen terkait