• Tidak ada hasil yang ditemukan

DUA JENIS PEMIKIRAN (PAHAM) YANG BERBAHAYA BAGI MASYARAKAT

Masyarakat Islam saat ini harus dibebaskan dari dua bentuk pemikiran (paham) yang ditransfer kepada mereka dari tatanan masyarakat lain dan telah merasuk ke seluruh lapisan masyarakat, baik masyarakat awam maupun cendekiawan dan ulamanya. Dua pemikiran itu adalah:

Pertama, berbagai pemahaman yang mempengaruhi kaum Muslimin pada masa-masa

terjajah berupa kesalahfahaman mereka tentang Islam. Seperti memahami zuhud dengan meninggalkan sama sekali kehidupan (dunia) ini sehingga dikuasai oleh orang-orang yang kufur; memahami keimanan terhadap taqdir seperti yang difahami oleh kaum Jabariyah; memahami bahwa fiqih adalah mengutip pendapat orang-orang (ulama)

dahulu; memahami bahwa pintu ijtihad itu telah ditutup, akal itu berlawanan dengan wahyu; menganggap wanita sebagai sarang (perangkap) syetan; juga pemahaman bahwa Al Qur'an itu bisa digantung untuk memelihara diri dari jin; atau bahwa berkah Sunnah itu terletak pada pembacaan Shahih Bukhari ketika terjadi kesedihan (musibah); dan memahami masalah wali dan karamah dengan pemahaman yang bertentangan dengan sunnatullah. Dan masih banyak lagi pemahaman yang lainnya yang berkembang pada masa kebekuan ilmu dan pemikiran, taklid di bidang fiqih, perdebatan ilmu kalam, penyimpangan di bidang peribadatan, diktator politik dan dekadensi peradaban.

Kedua, berbagai pemahaman yang menyerang masyarakat kita (kaum Muslimin)

bersamaan dengan serangan penjajah. Ia masuk dari pintunya, berjalan bersama rombongannya, berlindung di belakangnya dan menjadikan mereka (penjajah) sebagai kiblat dan imamnya, padahal belum pernah ada perjanjian antara mereka dengan kita, bahkan belum pernah terlintas di benak kita.

Itulah pemikiran-pemikian yang menyimpang berkaitan dengan agama dan dunia, laki-laki dan wanita, keutamaan dan kerendahan, kebebasan dan kejumudan, kemajuan dan kemunduran, halal dan haram dan sebagainya. Pemahaman-pemahaman yang membuat rancu/kabur batas-batas yang memisahkan antara kebebasan berfikir dengan kebebasan kufur, antara kebebasan huquq (hak-hak) dengan kebebasan jusuq (kefasikan), antara ilmiyah dan 'ilmaniyah (sekulerisasi), antara diniyah (agama) dan daulah (negara) Islamiyah.

Itulah mufahim (berbagai pemahaman) ghazwul fikri yang menganggap beriman kepada barang ghaib sebagai keterbelakangan, berpegang teguh pada perilaku pada syari'at Allah adalah sikap ekstrim, beramar ma'ruf dan nahi munkar dianggap ikut campur dalam urusan orang lain, percampuran laki-laki dan perempuan tanpa batas dianggap sebagai wujud kebebasan, kembalinya wanita Muslimah untuk mengenakan hijab syar'i (pakaian yang menutup auratnya) dianggap sebagai kemunduran, memanfaatkan warisan

(khasanah) Islam dianggap fanatik, menjadikan ulama sebagai panutan dianggap kuno, sementara para "da'i" (missionaris) Barat dianggap sebagai cendekiawan yang menerangi peradaban ummat.

Maka wajib bagi para da'i, para ulama dan para pemikir lslam untuk mendahulukan pemikiran-pemikiran lslam yang shahih dan orisinil untuk menggusur dan menggeser pemikiran dan pemahaman Barat yang sempat merasuk, baik itu yang lama maupun yang baru. Kedua-duanya sama saja dalam hal menggambarkan lslam dalam wajah yang tidak sesuai aslinya. Semua pemikiran itu beracun, merusak dan sudah basi. Atau sebagaimana dikatakan oleh Ustadz Malik bin Nabi sebagai pemikiran yang mati dan mematikan. Dari sisi lain, jika kita lihat pada permasalahan ini dalam kerangka keadilan, untuk dapat terhindar dari ekstrimintas maka kita harus mengambil pemahaman yang tengah-tengah. Kita menolak segala bentuk sikap berlebihan, baik ghuluw (berlebihan) maupun iftrath (menyepelekan) sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sekuler dan gerakan pembaratan.

Telah saya sebutkan dalam kitab saya "Al Islam Wal 'Ilmaniyah" delapan belas

pemahaman pokok tentang lslam. Dengannya saya ingin membatasi gambaran lslam yang saya dakwahkan, sehingga tidak ada yang mengira bahwa saya berdakwah kepada lslam yang sulit atau tidak jelas atau khayalan sehingga bisa diinterpretasikan oleh siapa pun sesuai yang mereka inginkan.

Di sini saya kemukakan sekumpulan pemikiran lslam yang cemerlang, sederhana dan lurus yang dibuat oleh ustadz Dr. Ahmad Kamal Abu Majd. Saya sependapat dengan pemikiran beliau secara umum, meski saya juga berbeda dalam sebagian uraiannya. Kitab ini sendiri mengemukakan gambaran tentang masyarakat lslam yang kita cita-citakan dalam kerangka pemahaman madrasah wushtha (aliran tengah) yang memadukan antara akal dan wahyu, antara agama dan dunia, dan mengkompromikan antara

muhkamaatisy syar'i (kekuatan syar'i) dan muqtadhayaatul 'ashri (tuntutan zaman). Menyeimbangkan antara hal-hal yang konstan (tsawaabit) dan yang mengenal perubahan, menggabung antara salafiyah dan tajdid (yang lama dan yang baru), serta percaya

terhadap keterbukaan tanpa harus meleleh/larut dan toleran dengan kebatilan.

PASAL 4: PERASAAN, SELERA, DAN KASIH SAYANG

Sebagaimana masyarakat Islam memiliki ciri khas dalam Fikrah (pemikiran) dan

pemahamannya, maka mereka juga memiliki ciri khas dalam masalah perasaan dan kasih sayang.

Ada masyarakat yang senantiasa diliputi oleh perasaan dengki atau sentimen rasial (kesukuan), ada lagi masyarakat yang diliputi oleh fanatisme kebangsaan dan ada juga masyarakat yang diliputi oleh rasa cinta tanah air yang membabi buta.

Kita jumpai masyarakat itu berbeda-beda dalam mernberikan sikap mendukung atau memusuhi, mencintai atau membenci, dan perasaan marah atau ridha (senang).

Adapun masyarakat lslam, mereka telah memberikan wala' (loyalitas) sepenuhnya kepada lslam dan kaum Muslimin. Sebagaimana mereka telah memberikan permusuhannya kepada musuh-musuh lslam dan orang-orang yang memeranginya. Ini semua semata-mata tegak di atas prinsip berwala' kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena barangsiapa mengambil Allah sebagai walinya, berarti dia telah menjadikan musuh Allah sebagai musuhnya.

Masyarakat lslam memiliki keistimewaan dalam hidupnya, yaitu selalu diliputi oleh persaudaraan yang kuat dan perasaan cinta yang dalam di antara sesama mereka seluruhnya. Meskipun tempat tinggal mereka berjauhan, tanah air mereka berpencaran, jenis dan warna kulit mereka bermacam-macam, serta posisi dan status sosial mereka berbeda-beda.

Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan kemuliaan kepada ummat lslam dengan nikmat persaudaraan, sebagaimana Allah telah memberi karunia kepada mereka berupa keimanan, Allah SWT berfirman:

"Dia-lah (Allah) yang memperkuatmu (Muhammad) dengan pertolongan-Nya dan

dengan para mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Jikalau kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al Anfal: 62-63) Sesungguhnya tidak ada peluang dalam masyarakat Islam yang benar bagi tumbuhnya perasaan benci dan pertarungan antar kelas/tingkatan, tidak pula perasaan sombong dan sentimen antara jenis dan warna, tidak pula perasaan fanatisme terhadap asal daerah dan bumi mana pun dari bumi Islam, atau kaum yang mana pun dari kaum Muslimin,

meskipun itu keluarga dan kerabataya, karena tanah air seorang Muslim adalah Darul Islam dan keluarga seorang Muslim adalah keluarga Islam.

Masjid Nabawi di Madinah, di bawah atapnya telah terhimpun berbagai suku bangsa dengan beragam warna kulit dan tingkatan manusia' tetapi mereka tidak memiliki perasaan apa-apa kecuali perasaan bersaudara secara menyeluruh. Mereka tidak

merasakan adanya perbedaan antara satu sama lain. Ada yang dari Persi seperti Salman, ada yang dari Romawi seperti Shuhaib, dan ada yang dan Habasyah (Etiopia) yaitu Bilal. Di antara mereka ada yang kaya seperti Utsman bin 'Affan, Abdur Rahman bin 'Auf dan ada yang fakir seperti Abu Dzar dan 'Ammar. Ada yang Badui (orang pegunungan) dan ada yang dari kota, ada yang berpendidikan dan ada yang buta huruf, ada yang berkulit putih dan ada yang berkulit hitam, laki-laki dan wanita, yang lemah dan yang kuat, yang budak dan yang merdeka, semuanya bersaudara di bawah naungan Islam dan di bawah panji Al Qur'an.

Sesungguhnya persaudaraan Islam itulah perekat yang mengikat antara batu bata individu Muslim dalam sebuah bangunan yang kokoh dan tidak mudah roboh. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW, muttafaqun 'alaih:

"Mukrmin yang satu terhadap mukmin yang lain itu bagaikan bangunan yang mengikat antara sebagian dengan sebagian yang lainnya." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Persaudaraan Islam bukanlah suatu permasalahan sampingan dalam Islam, tetapi ia merupakan salah satu prinsip dasar yang menyertai syahadah (persaksian) terhadap keesaan Allah dan kesaksian bahwa Muhammad sebagai Rasul, karena ukhuwah merupakan buah dan konsekwensi keimanan, Allah berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (Al Hujurat: 10)

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, bahwa Nabi SAW pernah berdoa setelah shalat dengan doa yang menarik berikut ini:

"Ya Allah, ya Tuhan karni! dan Tuhan segala sesuatu dan pemiliknya, sesungguhnya saya bersaksi bahwa Engkau adalah Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Mu. Ya Allah, ya Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu serta pemiliknya, saya bersaksi bahwa

sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusanMu. Ya Allah ya Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu serta pemiliknnya, saya bersaksi bahwa seluruh hamba-Mu itu bersaudara."

Inilah Muhammad, Rasulullah yang bersaksi dan berikrar bahwa Allah adalah Rabb-nya segala sesuatu dan bahwa sesungguhnya seluruh hamba Allah itu bersaudara. Inilah persaudaraan Islam, mereka bersaudara dengan seluruh manusia secara umum dan bersaudara dengan kaum Muslimin secara khusus.

Nabi SAW menjadikan persaudaraan dan cinta sebagai syarat keimanan, di mana keimanan itu sendiri merupakan persyaratan seseorang untuk dapat masuk surga. Beliau bersabda:

"Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling menciritai." (HR. Muslim)

"Belum sempurna iman salah seorang di antara kamu hingga ia mencintaii saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya." (HR. Muttafaqun 'Alaih)

Rasulullah SAW juga menjelaskan hubungan seorang Muslim dengan Muslim yang lainnya dengan sabdanya:

"Seorang Muslim saudara Muslim lainnya, ia tidak menzhaliminnya, tidak menyerahkan (kepada musuh), tidak menghinanya dan tidak merendahkanrya, cukuplah bagi seseorang dikatakan buruk jika ia menghina saudaranya Muslim." (HR. Muslim)

Satu-satunya ikatan yang diakui oleh Islam adalah ikatan persaudaraan antar kaum Muslimin, tanpa ikatan yang lainnya, sungguh Islam telah memerangi fanatisme

(kebanggaan) dengan segala macamnya, kebanggaan terhadap kabilah atau kebangsaan, warna kulit, tanah air, tingkatan atau golongan, atau selain itu yang pada umumnya dibanggakan oleh manusia, kecuali kebanggan terhadap kebenaran yang ditegaskan oleh wahyu dan tegak dengannya langit dan bumi.

Rasulullah SAW bersabda:

"Bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru pada ashabiyah (kebanggaan golongan), dan bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan bukan termasuk golonganku orang yang mati karena ashabiyah." (HR. Abu Dawud) Rasulullah SAW telah menggambarkan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang penuh mawaddah, saling mencintai den saling kasih mengasihi sebagaimana dalam sabdanya:

"Kami, melihat orang-orang yang beriman itu dalam mencintai, lemah lembut dan saling mengasihi (di antara mereka) seperti tubuh yang satu, apabila ada anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh ikut sakit, demam dan tidak bisa tidur." (HR. Muslim)

Oleh karena itu masyarakat yang orang-orangnya hidup secara sendiri-sendiri, tidak mau membantu atau merasakan sakit orang lain dan tidak ikut merasakan kesusahan mereka serta tidak bergembira dengan kegembiraan mereka maka bukanlah masyarakat Islam. Demikian juga dalam masyarakat, yang kuat menekan yang lemah, yang kaya bersikap keras terhadap yang fakir, yang punya bersikap pelit terhadap yang tidak punya bukanlah masyarakat Islam.

Garis besar

Dokumen terkait