• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 DAYA DUKUNG EKOLOGI DAN LINGKUNGAN PPK

5.2 Daya Dukung Melalui Konsumsi Masyarakat ( Ecological

5.2.3 Daya Dukung Lingkungan Pulau Pramuka

Hasil wawancara dengan 30 orang responden di P. Pramuka menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat Pulau Pramuka sangat kecil dan sangat tergantung dari luar wilayah tersebut (import). Hasil perhitungan footprint di P. Pramuka menunjukkan bahwa daya dukung terbesar dari total konsumsi bahan pangan adalah hasil perikanan. Perhitungan footprint di Pulau Pramuka seperti pada Tabel 19 menunjukkan bahwa daya dukung lingkungannya sebesar 734 orang. Artinya bahwa lingkungan dan sumberdaya alam P. Pramuka secara total dapat menghidupi 734 orang secara berkelanjutan jika potensi yang ada dimanfaatkan secara optimal. Namun, bukan berarti sebanyak 734 orang tersebut dapat tinggal seluruhnya di P. Pramuka, tetapi angka tersebut menunjukkan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan (termasuk perairan P. Pramuka dan Gosong Pramuka) dapat menghidupi 734 orang dimana saja, termasuk orang-orang di luar P. Pramuka yang ”mengimport” bahan kebutuhan hidup dari P. Pramuka.

Perhitungan biocapacity untuk bahan pangan dari terumbu karang

menggunakan luasan ekosistem terumbu karang di P. Pramuka dan Gosong Pramuka yang merupakan lokasi fishing ground nelayan-nelayan P. Pramuka. Luasan ekosistem terumbu karang ini merupakan hasil analisis citra ALOS tahun 2008. Luasan total ekosistem terumbu karang di P. Pramuka terdiri dari karang hidup sebesar 10,32 ha, karang mati 9,53 ha, lamun 33,56 ha dan pasir seluas 34,50 ha. Sedangkan luasan total ekosistem terumbu karang di Gosong Pramuka

terdiri dari karang hidup sebesar 4,73 ha, karang mati 0,99 ha, lamun 9,54 ha dan pasir seluas 7,42 ha.

Tabel 22 Analisis Footprint Pulau Pramuka

Kategori Produktivitas (Y) = Kg/Ha Konsumsi (DE) = Kg/Kapita Komponen footprint (FP) = Ha/Kapita EF = DE/Y Biocapacity (BC) = Ha DD = BC/EF 1. Bahan pangan pokok Kebun/tegalan/ ladang Padi 2.7441 103,777 0,03782 Yield factor (YF) = 0,482 Asumsi A3 = 8 Ha Sayuran dan buah 1.8004 31,135 0,01730

Teh dan kopi 5665 11,013 0,01946

Gula 4.8936 17,406 0,00356

Daging dan telur 1.0007 8,408 0,11362

Sub total 0,192 3,84

Daya dukung parsial (Lahan pertanian) 20

2. Bahan pangan dari Terumbu Karang Luas ekosistem TK P. Pramuka Ikan karang 298 91,250 3,14655 YF = 1009 A10 = 110.58 Ikan lainnya (kerang, Udang, rajungan) 29 18,218 0,62820 Sub total 3,7748 11.058,01

Daya dukung parsial (Perikanan) 2929

TOTAL 3,96650 2909

TOTAL DAYA DUKUNG LINGKUNGAN 734

Lahan perikanan (sumber ekosistem terumbu karang dan perairan P. Pramuka dan Gosong Pramuka) mempunyai daya dukung sebesar 2929 orang. Hal ini bukan berarti bahwa 2929 orang dapat tinggal di P. Pramuka untuk

1

Produktivitas global (Wackernagel dan Yount, 1998)

2

Ferguson (1999)

3 Asumsi 50% dari luas lahan P. Pramuka yaitu sebesar 16 Ha 4Produktivitas global (Wackernagel dan Yount, 1998)

5

Produktivitas global (Wackernagel dan Yount, 1998)

6

Produktivitas global (Wackernagel dan Yount, 1998)

7

Produktivitas global (Wackernagel dan Yount, 1998)

8Produktivitas global (Wackernagel dan Yount, 1998 ; Warren-Rhode dan Koeing, 2001) 9

Produktivitas laut sekitar P. Seribu

memanfaatkan ekosistem terumbu karang dan lahan perairan di wilayah tersebut. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan lahan perairan yang masih memungkinkan bisa memproduksi hasil perikanan tanpa harus merusak lingkungan. Maka ekosistem pesisir dan laut masih mampu mensubsidi sebanyak 2929 orang dengan ikan sebagai bahan pangan utamanya.

Melalui metode footprint menunjukkan bahwa masyarakat P. Pramuka

bisa mensuplai bahan pangan khususnya dari sumber hasil perikanan kepada penduduk di sekitarnya termasuk penduduk DKI Jakarta dan daerah lainnya yaitu sebanyak 734 orang. Jumlah penduduk saat ini mencapai 1.601 orang, maka dimungkinkan terjadi ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dengan kemampuan P. Pramuka mensuplai kebutuhan pangan penduduk di sekitarnya. Artinya jika dihitung dari jumlah total ecological footprint, P. Pramuka menghasilkan nilai 3,97 ha/kapita. Sedangkan biocapacity nya hanya tersedia sebesar 1,82 ha/kapita. Dengan membandingkan antara EF dan Biocapacitynya (BC) terlihat bahwa BC < EF. Hasil ini menunjukkan telah terjadi defisit sumberdaya alam di P. Pramuka.

Kondisi yang tidak seimbang antara ketersediaan lahan dengan jumlah penduduk yang ada saat ini menyebabkan daya dukung lingkungan P. Pramuka sudah melampaui kapasitasnya. Kelebihan daya dukung ini terlihat dari kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan yang hanya bisa mensuplai kebutuhan pangan sebanyak 734 orang. Padahal jumlah penduduk P. Pramuka saat ini saja berjumlah 1601 orang. Artinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di P. Pramuka saja, sumberdaya alam dan lingkungan laut P. Pramuka sudah tidak mampu. Perebutan akses terhadap sumberdaya memungkinkan terjadi ditandai dengan adanya konflik antar nelayan di wilayah perairan Kepulauan Seribu meskipun sangat sedikit. Keberadaan alat tangkap terlarang serta tekonologi penangkapan modern lainnya, menjadi salah satu penyebab terjadinya gesekan antar nelayan. Akibat beroperasinya alat tangkap terlarang tersebut, jumlah hasil tangkapan nelayan tradisional makin berkurang.

Defisit sumber daya alam yang dialami P. Pramuka berakibat kepada kekurangan bahan pangan atau kebutuhan pokok lainnya. Dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesejahteraan masyarakat atau

meningkatnya kemiskinan di wilayah P. Panggang. Analisis itu didasarkan pada perhitungan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan sudah tidak mampu menyediakan kebutuhan pokok manusia di wilayah tersebut dan sekitarnya.

Defisit sumberdaya alam dan lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya berkurangnya produktifitas masyarakat di wilayah tersebut karena berkurangnya gizi masyarakat. Penurunan produktifitas mengakibatkan berkurangnya kesejahteraan atau meningkatnya kemiskinan. Defisit sumberdaya alam dan lingkungan tidak selalu mengakibatkan terjadinya kemiskinan di wilayah tersebut. Karena kebutuhan manusia tidak hanya dipenuhi dari ekosistem dengan sumberdaya alam dan lingkungan, tetapi juga ditentukan oleh faktor ekonomi.

Defisit sumberdaya alam dan lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya berkurangnya produktifitas masyarakat di wilayah tersebut karena berkurangnya gizi masyarakat. Penurunan produktifitas mengakibatkan berkurangnya kesejahteraan atau meningkatnya kemiskinan. Defisit sumberdaya alam dan lingkungan tidak selalu mengakibatkan terjadinya kemiskinan di wilayah tersebut. Karena kebutuhan manusia tidak hanya dipenuhi dari ekosistem dengan sumberdaya alam dan lingkungan, tetapi juga ditentukan oleh faktor ekonomi. Sebagai contoh negara Singapura memiliki biocapacity hanya 0,1 ha/kapita sementara footprintnya 6,9 ha/kapita. Walaupun daya dukung ekologisnya mengalami ”defisit” (BC < EF) tetapi penduduk Singapura masih dapat bertambah dengan kondisi ekonomi (kemakmuran) yang tidak harus turun. Hal ini karena faktor pendukung kegiatan ekonomi telah berjalan dengan baik sehingga pertukaran bahan kebutuhan hidup lancar. Dengan menasbihkan diri sebagai negara yang melayani berbagai jasa, Singapura tumbuh menjadi negara kecil yang mempunyai kekuatan ekonomi yang besar di Asia Tenggara bahkan dunia.

Ecological footprint Indonesiamencapai 1,4 ha/kapita dengan biocapacity

sebesar 2,6 ha/kapita (Wackernagel et.al., 1999). Nilai tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami ”surplus” sumberdaya alam dan lingkungan (BC > EF), namun tingkat kesejahteraan masyarakatnya tidak kunjung mengalami perbaikan. Kemiskinan di Indonesia masih tinggi dengan jumlah orang miskin berjumlah 30 jutaan orang. Fakta tak terbantahkan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan potensi sumber daya alamnya berupa perikanan, pertanian,

pertambangan namun penduduknya masih banyak yang berada dalam kondisi kemiskinan.

Surplus sumberdaya alam yang dialami Indonesia juga tidak diiringi oleh keberpihakan pemerintah dalam hal pengelolaan sumberdaya alam. Sumberdaya alam yang ada baik pertambangan, perikanan, pertanian, dan perkebunan lebih banyak dikuasai oleh asing dan perusahaan transnasional raksasa (TNCs) sehingga terjadi capital outflow dari Indonesia ke negara lain. Berkuasanya perusahaan- perusahaan MNC di bidang pertambangan, pertanian, perikanan dan bidang lainnya menjadi bukti bahwa ketiadaan visi dan sikap serta tata kelola ekonomi yang benar khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam mengakibatkan stagnasi alam pembangunan dan kemiskinan bagi bangsanya. Kasus Indonesia menunjukkan bahwa meskipun ”surplus” secara sumberdaya alam namun bukan berarti ”kaya/makmur” secara ekonomi. Sebaliknya, Singapura adalah contoh negara yang ”defisit” sumberdaya alam namun tingkat kesejahteraan rakyatnya tinggi.

Strategi pertumbuhan ekonomi yang dijalankan selama ini dengan model kemajuan ekonomi industri barat sebagai kiblat dan kapitalisme sebagai basis ideologi, terbukti gagal membawa kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Berkuasanya perusahaan-perusahaan asing seperti Total, Cevron, Exxon mobil dan Monsanto merupakan beberapa contoh dalam pemanfaatan SDA di Indonesia dalam bidang perminyakan dan pertanian, membuktikan adanya kolonisasi secara permanen negara maju terhadap negara berkembang yang merupakan prasyarat bagi perkembangan kapitalisme. Pembangunan sebagai akumulasi kapital dan komersialisasi ekonomi yang digerakkan oleh mesin industri barat sebagai penikmat kelimpahan dan keuntungan tersebut, bukan hanya melahirkan kemakmuran semata, melainkan juga menghasilkan kemiskinan dan kerusakan sumberdaya alam. Pemanfaatan SDA oleh korporasi asing ke Indonesia melalui elit-elit birokrasi dan pengusaha lokal yang mendapatkan akses politik ke kekuasaan yang merupakan koloni-koloni baru korporasi asing. Pembangunan kemudian menjadi kesinambungan dari proses kolonisasi dan menjadi perluasan proyek yang menghasilkan kekayaan di dunia modern (Shiva dan Mies, 1993).

Strategi pembangunan dengan menekankan pada semata-mata pertumbuhan ekonomi seringkali melahirkan aktivitas-aktivitas destruktif dalam pemanfaatan SDA seperti penambangan pasir laut, penebangan hutan, degradasi sumberdaya perikanan, dan pariwisata bahari yang tak terkontrol. Kebijakan tersebut terbukti telah menghancurkan hutan Indonesia dengan praktek illegal

loggingnya, melahirkan konflik sosial, menimbulkan kesenjangan ekonomi dan

keparahan kemiskinan yang makin tinggi. Aktivitas-aktivitas yang terjadi melalui mekanisme pasar sebagai roda startegi ekonomi berorientasi pertumbuhan terbukti melahirkan dua kerusakan sekaligus yaitu memburuknya kualitas sumber daya alam dan meningkatnya kemiskinan penduduk.

Luxemburg (1951) menyatakan bahwa kolonisasi bersifat tetap, sebuah prasyarat yang dibutuhkan bagi perkembangan kapitalisme. Tanpa adanya wilayah koloni, akumulasi modal tidak akan mengalami perkembangan. Orang-orang di negara-negara maju yang menyuruh negara miskin untuk ikut serta menjalankan pasar bebas menurut Chang (2007) disebut Bad Samaritan. Bad Samaritan telah mengambil keuntungan dari orang lain yang sedang dalam kesulitan. Menurut

Chang, Bad Samaritan masa kini bahkan tidak menyadari bahwa mereka

merugikan negara-negara berkembang dengan kebijakan-kebijakan mereka. Sejarah kapitalisme seluruhnya telah ditulis ulang sehingga banyak orang di dunia kaya tidak merasakan standar ganda yang ada di dalam anjuran untuk menganut perdagangan bebas dan pasar bebas kepada negara-negara berkembang.