• Tidak ada hasil yang ditemukan

DUKUNGAN PRODUK HUKUM

Dalam dokumen Majalah Perencanaan Pembangunan (Halaman 53-58)

Dalam rangka mendukung paradigma pengurangan risiko bencana, sejak tahun 2007 Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai kerangka hukum penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana, serta 3 peraturan teknis sebagai turunannya, yaitu: (1) Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; (2) Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; dan (3) Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana.

Melalui produk hukum pada UU No 24 Tahun 2007 tersebut telah dipertegaskan bahwa penanggulangan bencana dan pengurangan risikonya merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional, yang merupakan serangkaian kegiatan, baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadinya bencana. Selain UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dalam rangka mendukung paradigma pengurangan risiko bencana, Undang-Undang tentang Penataan Ruang yang lama (UU No 24 Tahun 1992) pada tahun 2007 direvisi menjadi UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang berbasis mitigasi bencana. Undang-Undang Penataan Ruang yang telah direvisi tersebut mengamanatkan bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan

52

E D I S I 0 1 / T A H U N X V I I / 2 0 1 1

yang melihat adanya komitmen global di Indonesia sebagai upaya pengurangan risiko bencana dan sebagai implementasi Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action).

KESIMPULAN

Sehubungan terjadinya berbagai bencana alam pada periode RPJMN tahap pertama (periode 2004-2009), maka telah dilaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi pada beberapa wilayah pascabencana pada kurun waktu tersebut. Pada tahun terakhir RPJMN tahap pertama tersebut, yaitu pada tahun 2009 masih terjadi bencana alam di Indonesia, berupa gempa bumi di wilayah Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Jambi dan Provinsi Jawa Barat. Belakangan, pada tahun 2010 juga terjadi bencana alam, yaitu gempabumi dan tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, serta gempa gunung Merapi di Jawa Tengah.

Dalam rangka mencapai sasaran pengurangan risiko bencana, pada RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan sebagai Peraturan Presiden Republik Indonesia No 5 Tahun 2010, terdapat rumusan kebijakan yang meliputi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana yang dijadikan sebagai prioritas pembangunan nasional dan daerah. Selain itu pemerintah berniat menjalankan paradigma pengurangan risiko bencana sehingga pada dokumen RPJMN tersebut terdapat kebijakan bahwa Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) 2006-2009 akan dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) 2010-1012, yang saat ini telah selesai dirumuskan. keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan.

Selain itu, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga mendukung paradigma pengurangan risiko bencana, karena mengamanatkan bahwa dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil wajib berbasis mitigasi bencana. Selanjutnya, untuk mengatur kelembagaan penanggulangan bencana di tingkat pusat dan daerah, telah diterbitkan Peraturan Presiden No 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta Permendagri No 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulanan Bencana Daerah (BPBD), yang diperkuat dengan produk hukum BNPB No 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

UU No 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana menyatakan bahwa penanggulangan bencana merupakan urusan bersama pemerintah, masyarakat, dunia usaha, organisasi non- pemerintah/internasional serta seluruh pemangku kepentingan lainnya. Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-undang tersebut kemudian dibentuk Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana yang berfungsi untuk memberikan advokasi dan dukungan kepada pemerintah dalam upaya melaksanakan pengurangan risiko bencana secara terencana dan sistematis. Oleh karena telah terbentuknya Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana tersebut, Indonesia mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dunia internasional,

Sehubungan dengan kebijakan RPJMN 2010-2014 yang mengarusutamakan bidang pengurangan risiko bencana maka upaya pelaksanaan pada bidang tersebut melibatkan multisektor, yaitu diantaranya sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, sektor Sarana dan Prasarana, serta sektor Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Dengan melibatkan multisektor tersebut maka operasionalisasi kebijakan dan strategi penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana diharapkan lebih sinergis dan terintegrasi. Apabila kedua sektor tersebut terlaksana demikian, maka kejadian bencana di NKRI bisa berkurang sehingga berlangsung kenyamanan hidup masyarakat. Selain itu, pada UU No:26/2007 tentang Penataan Ruang yang bermitigasi bencana terdapat amanatnya yang menyatakan agar penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah NKRI yang rentan terhadap bencana. Selanjutnya Undang-Undang tersebut telah didukung dengan peraturan teknisnya, yaitu PP No 15 Tahun 2010 Tentang Penyelengaraan Penataan Ruang yang mengamanatkan bahwa proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota dilakukan dengan mengumpulkan berbagai data, yang diantaranya meliputi: peta daerah rawan bencana. Selanjutnya, setelah dokumen RTRW tersebut dilegalkan, maka peta tentang daerah yang rawan bencana sebaiknya disosialisasikan/disebarkan keseluruh penduduk yang tinggal di zona rawan bencana tersebut, agar mereka siap mental apabila terjadi bencana sehingga tidak mengalami trauma lagi akibat bencana.

REKOMENDASI

Agar penyelenggaraan penataan ruang didasarkan pada kondisi fisik wilayah yang rentan terhadap bencana, maka sebaiknya pihak Pemda dengan bijaksana menjalankan amanat berbagai perundangan tersebut di atas. Apabila wilayah Pemda yang mengalami langganan bencana merupakan daerah yang memiliki kepadatan penduduk dan penuh sarana prasarana pendukung pemda, maka pemanfaatan wilayah tersebut seyogianya dipindahkan ke wilayah yang lebih aman. Untuk wilayah rawan bencana yang merupakan ibukota provinsi, seperti Padang dan Bengkulu, perlu dipertimbangkan untuk memindahkan kedua ibukota provinsi tersebut ke wilayah yang lebih aman, yang lokasinya jauh dari pantai. Selanjutnya, wilayah pantai rawan bencana tersebut bisa diubah menjadi ruang hijau yang bermanfaat sebagai paru-paru kota.

Sesuai dengan RPJMN 2010-12014 yang mengarusutamakan pengurangan risiko bencana melalui pelibatan multi sektor, maka pemindahan permukiman masyarakat serta sarana prasarana pemda seyogyanya dilaksanakan dengan dukungan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Endang Indriati S adalah Perencana Madya pada Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah, Bappenas.

Daftar Pustaka

RENCANA AKSI NASIONAL PENGURANGAN RISIKO BENCANA 2006-2010

RENCANA KERJA PEMERINTAH Tahun 2008, BAB 33: Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Nangroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Serta Pengurangan Risiko Bencana.

Evaluasi 4 tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009, BAB:4.20. Penanggulangan dan Pengurangan Risiko Bencana Lampiran Pidato 2008, BAB 34: Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Di Wilayah Provinsi NAD,Kepulauan Nias Provinsi Sumut, D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah Serta Daerah Pasca Bencana Lainnya.

Peraturan Presiden RI No:5 Tahun 2010 Tentang RPJMN 2010-2014

Undang-Undang Republik Indonesia No:26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Undang-Undang Republik Indonesia No:24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

54

E D I S I 0 1 / T A H U N X V I I / 2 0 1 1

I. PENDAHULUAN

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 disebutkan bahwa salah satu penyebab belum optimalnya pengelolaan kawasan hutan adalah karena belum terselesaikannya tata batas kawasan hutan. Ketidakjelasan tata batas kawasan hutan memberikan ancaman pada pengelolaan kawasan hutan terutama di kawasan konservasi. Untuk itu dari arah kebijakan dan strategi pembangunan nasional di atas ditetapkankanlah visi pembangunan kehutanan dalam Rencana Starategis (Renstra) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, yaitu “Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan”.  Guna mewujudkan visi tersebut ditetapkan beberapa misi Kementerian Kehutanan, dengan arah kebijakan prioritas pembangunan pada:  (a) Pemantapan kawasan hutan; (b) Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung daerah aliran sungai (DAS); (c) Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan; (d) Konservasi keanekaragaman hayati; (e) Revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan;(f ) Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan; (g) Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan; dan (h) Penguatan kelembagaan kehutanan.

Memang pada awal-awal pembangunan orde baru, eksploitasi sumberdaya hutan seluruhnya sangat bertumpu pada

pengelolaan berbasis kayu glondongan atau log (timber based management). Sebagai akibatnya, sekarang pembangunan kehutanan Indonesia dihadapkan permasalahan yang masih memprihatinkan. Sebagai contoh, laju deforestasi pada tahun 2000 sampai 2003 sebesar 1,5 juta hektar/ tahun (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJM Tahun 2010- 2014). Sedangkan pada tahun 2003 sampai 2006 mencapai sekitar 1,2 juta hektar/tahun (Direktorat Jendral Planologi Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 2007). Pada

Amor Rio Sasongko

tahun 2008 laju deforestasi menurun hingga 0,9 juta hektar/ tahun (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/ RPJM Tahun 2010-2014). Kondisi kerusakan hutan dan lahan ini mengakibatkan bencana alam yang sangat merugikan kehidupan manusia diantaranya adalah bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan.

Untuk mengelola hutan kedepan sebaiknya harus searah dengan pembangunan kehutanan yang seratus persen bergeser dari orientasi ekonomi (economic base) menuju ke arah pembangunan kehutanan yang berorientasikan pembangunan berbasis sumberdaya dan masyarakat hutan (resource and community based development), yang mungkin dapat didekati antara lain dengan adanya perubahan pola dari pengusahaan hutan ke pemberdayaan masyarakat (peran serta masyarakat) sekitar hutan, yaitu dengan pola Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi deforestasi, yang antara lain disebabkan oleh penebangan liar/pencurian kayu dan penjarahan hutan.

Salah satu upaya mengelola hutan Indonesia dalam renstra tersebut terfokus pada pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan (Renstra Kementerian Kehutanan 2010-2014).

Beberapa permasalahan dalam pembangunan sumberdaya hutan yang berkelanjutan atau lestari (sustainable) adalah:

a. Masih ada beberapa oknum baik dari petugas kehutanan maupun dari aparat pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat agar tetap melakukan pencurian kayu atau perambahan hutan dikawasan hutan.

b. Masih belum adanya koordinasi dalam pelaksanaan operasi di lapangan sehingga tindakan kurang efektif di lapangan. c. Masih kurangnya bimbingan pada tingkat atas terhadap

petugas pengaman hutan seperti jagawana, sehingga wawasan pengetahuan dan ketrampilan mereka masih minim sekali.

d. Masih kurang tegasnya aparat dalam menerapkan peraturan hukum yang berlaku.

Makalah ini bermaksud membahas salah satu upaya mengelola hutan di Indonesia agar sumberdaya hutan tetap lestari (sustainable).

II. PERAN HUTAN DALAM

PEREKONOMIAN

Kawasan hutan Indonesia saat ini luasannya mencapai 120,35 juta hektar. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan lindung seluas 33,52 juta ha, hutan produksi 66,33 juta ha dan hutan konservasi 20,50 juta ha. Hutan Indonesia dikenal kaya dengan berbagai kehidupan liar dan beragam tipe ekosistem (mega-biodiversity) yang jarang dijumpai di belahan bumi lain serta mempunyai peran yang sangat penting sebagai sistem penyangga kehidupan (paru-paru dunia). Demikian pula, hutan Indonesia merupakan salah satu pendukung pertumbuhan ekonomi yaitu untuk memberi kesejahteraan masyarakat,

dimana merupakan salah satu fungsi hutan kemasyarakatan. Hutan Kemasyarakatan adalah Hutan Negara yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disekitar hutan. Upaya pemberdayaan masyarakat agar dapat meningkatkan

kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Seperti yang disebut pada pendahuluan di atas, deforestasi yang lajunya menurun masih pula memperihatinkan kondisi kehutanan kita. Kebijakan otonomi daerah diharapkan menjadi ujung tombak penyelesaian masalah-masalah tersebut, namun di negara kita, perlu disadari bahwa perubahan kebijakan di bidang pengelolaan hutan sangat dipengaruhi oleh krisis ekonomi dan politik. Hal ini telah memberikan andil dalam mempercepat rusaknya hutan yang diakibatkan oleh berbagai bentuk tindakan langsung ataupun tidak langsung, baik oleh masyarakat sekitar hutan yang menebang hutan dengan berbagai alasan, seperti pencurian kayu.

Dalam mengatasi kondisi sumberdaya hutan saat ini, maka komitmen semua pihak dan lembaga yang terkait untuk mewujudkan keinginan kepada hutan agar dapat bernafas merupakan hal penting. Langkah-langkah pokok yang perlu ditempuh untuk membangun komitmen dan kesepahaman antar pihak dan lembaga terkait antara lain :

a. Mengembangkan proses untuk menggalang satu pengertian dan kesepahaman tentang masa depan hutan Indonesia mulai dari tingkat daerah terus sampai ke tingkat nasional.

b. Merumuskan komitmen politik dan kesepahaman antar pihak, pemerintah, pengusaha, dan kelompok masyarakat. c. Komitmen politik dan kesepahaman tersebut benar-benar

menjadi milik bangsa, maka keterlibatan lembaga tinggi negara sangat dibutuhkan.

Dalam rangka pengelolaan hutan, selayaknya kita harus memperhatikan beberapa karakteristik hutan antara lain (1) hutan sebagai penyedia jasa bagi kepentingan umum, (2) adanya interaksi antara hutan dengan masyarakat, (3) pemanfaatan hutan harus berjangka panjang, dan (4) dalam hutan terkandung kepentingan antar generasi. Demikian juga jika ditinjau dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial dari keberadaan hutan, maka ke empat aspek tersebut masih belum digarap secara seimbang. Agar hutan mempunyai peran dalam perekonomian, perlu adanya perencanaan makro berjangka menengah dan panjang, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN untuk pembangunan kehutanan. Dalam RPJMN sektor kehutanan kontribusi PDB sejak tahun 2005-2008 menunjukkan penurunan rata-rata minus 1,5 persen/tahun. Pertumbuhan produksi kayu bulat dari hutan produksi rata-rata sebesar 9,9 persen per tahun. Sedangkan pada tahun 2001 nilai ekspor adalah US$ 2,6 miliar meningkat menjadi US$ 2,8 miliar pada tahun 2007 (RPJM Tahun 2010-2014).

56

E D I S I 0 1 / T A H U N X V I I / 2 0 1 1

III. PENCURIAN KAYU DAN

Dalam dokumen Majalah Perencanaan Pembangunan (Halaman 53-58)

Dokumen terkait