• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian

2. Dukungan sosial

Dalam penelitian ini pasien yang sedang menjalani perawatan luka diabetes melitus memiliki dukungan sosial yang baik sebanyak 38 orang dengan persentase 90.5%. Sedangkan pasien yang memiliki dukungan sosial yang buruk sebanyak 4 orang dengan persentase 9.5%. Sesuai dengan penelitian yang

dilakukan Anggina, Hamzah, dan Pandith (2010) bahwa pasien luka diabetes melitus yang memiliki dukungan sosial yang positif sebanyak 70% dan sisanya 30% memiliki dukungan sosial yang negatif. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Yunitasari, Endarthi, dan Utami (2013) tentang dukungan keluarga pada pasien luka gangren bahwa sebanyak 94% pasien mendapatkan dukungan keluarga yang baik dan 6 % mendapat dukungan keluarga yang sedang.

Dukungan sosial yang baik akan melindungi sistem kekebalan tubuh dari stres dan hidup akan lebih lama. Dukungan sosial yang didapat pasien tidak hanya dari keluarga, tapi dari teman dekat, dan masyarakat sekitar selalu memberikan dukungan sosial yang baik. Sementara dukungan sosial yang buruk akan sulit mengatasi masalah yang dihadapi, mudah stres dan selalu tertutup dengan komunitas.selain itu dukungan sosial yang baik akan menyelesaikan atau membantu proses penyembuhan luka diabetes melitus.

3. Optimisme

Dalam penelitian ini pasien memiliki pemikiran optimis yang baik sebanyak 34 orang dengan persentase 90.5% sedangkan pasien yang memilki optimisme yang buruk sebanyak 8 orang dengan persentase 19.0%. Sesuai dalam penelitian Hasan, Salmah dan Rinwidya (2010) bahwa skor optimisme pasien luka diabetes berada pada kategori sedang dengan persentase 70.11% yaitu sebanyak 61 pasien.

Pikiran yang optimis dapat menyelesaikan masalah dengan lebih efektif dibandingkan dengan mempunyai pemikiran yang pesimis berdasarkan cara

pasien melihat masalah tersebut. Pikiran yang optimis dapat membuat keadaan yang stresful sebagai sesuatu yang harus dihadapi dan yang akan diselesaikan. 4. Psikologis

Dalam penelitian ini pasien yang sedang menjalani perawatan luka mempunyai psikologis yang baik sebanyak 33 orang dengan persentase 78.6%. Sedangkan pasien yang memiliki psikologis yang buruk sebanyak 9 orang dengan persentase 21.4%. Psikologis yang buruk dapat menyebabkan proses penyembuhan luka menjadi lama seperti cemas dan takut. Cemas terjadi saat seseorang tidak mampu memahami kondisi yang dialami sekarang. Setiap pasien memiliki respon yang berbeda-beda tergantung dari penyebab masalah yang dihadapi.

Psikologis yang baik akan mempercepat proses penyembuhan luka. Suatu sikap yang positif untuk memberikan penyembuhan oleh tiap pasien dan perawat dapat mempengaruhi dalam meningkatkan penyembuhan luka.

5. Pengetahuan

Dalam penelitian ini pasien yang menjalani perawatan luka mempunyai pengetahuan yang baik sebanyak 42 orang dengan persentase 100%. Meskipun berbeda dengan penelitian Annisa (2012) menunjukkan bahwa lebih banyak pasien yang memilki pengetahuan yang baik (70%) dibandingkan dengan pengetahuan yang kurang baik (30%). Sesuai dengan penelitian Purwanto (2011) yang menyatakan bahwa 45% pasien memiliki pengetahuan yang baik tentang diet luka diabetes melitus dan kurang sebanyak 55 %.

Walaupun rata-rata pasien memiliki tingkat pendidikan SMA tapi memiliki pengetahuan dan prilaku yang baik. Dan pasien tahu bagaimana konsep luka diabetes melitus,cara diet dan bagaimana cara merawatnya.

Prilaku kesehatan akan tumbuh dari keinginan pasien untuk menghindari suatu penyakit dan kepercayaan bahwa tindakan kesehatan yang tersedia akan mencengah suatu penyakit.

5.2.3 Bivariat

a. Hubungan harapan self-efficacy dengan mekanisme koping

Pada penelitian ini diketahui sebagian besar pasien yang menjalani perawatan luka diabetes melitus memiliki harapan self-efficacy yang baik. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan P value< 0.05 yaitu sebesar 0.037 dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara harapan self-efficacy pasien yang menjalani perawatan luka diabetes melitus dengan mekanisme koping.

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Annisa (2012) ada hubungan antara self-efficacy dengan mekanisme koping pasien luka diabetes melitus. Dengan nilai terendah 25 dan nilai tertinggi 103. Berdasarkan nilai estimasi interval dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata self-efficacy responden adalah 90.68-103.32. berdasarkan nilai tersebut dapat disimpulkan responden memiliki nilai self-efficacy yang tinggi. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Aditama (2011) bahwa sebesar 78.57% pasien luka gangren memiliki self-efficacy yang rendah yang menunjukkan tidak ada hubungan antara self-efficacy dengan mekanisme koping pasien luka gangren.

Apabila individu tidak mempunyai kemampuan menanggulangi tantangan penuh stres dalam hidupnya, maka individu akan merasa semakin cemas menanggulangi tantangan tersebut. Individu yang memiliki self-efficacy yang buruk ( tidak memiliki keyakinan dalam melakukan tugasnya) cenderung berfokus pada ketidakadekuatan yang dipersepsikannya. Individu yang memiliki self-efficacy yang baik meyakini bahwa kerja keras untuk menghadapi tantangan hidup, sementara buruknya self-efficacy kemungkinan besar akan memperlemah bahkan menghentikan usaha seseorang. (Nevid,2003)

Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan self-efficacy berhubungan dengan kepatuhan terhadap pengobatan, perilaku sehat, penurunan gejala fisik dan psikologis.(Healsted, 2002 dalam Tsay, 2003).

Jika seseorang percaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu secara efektif dengan stresor yang ada, meraka tidak akan terganggu. Tapi jika mereka percaya mereka tidak mampu mengendalikan keadaan mereka akan terkena distres, individu tidak mampu menggunakan koping secara maksimal dan melihat dunia sebagai sesuatu yang mengancam. Dalam teori Bandura, (1997) self-efficacy didefinisikan sebagai kepercayaan diri seseorang yang mampu menunjukkan perawatan diri yang baik untuk menginginkan sesuatu yang diinginkan. (Tsay, 2003)

Adanya hubungan antara self-efficacy dengan mekanisme koping sesuai dengan pernyataan ( Nevid, 2003) menyatakan individu dapat mengelola stres yang baik, termasuk stres karena penyakit, apabila individu yakin dan percaya diri bahwa ia mampu mengatasi stres (self-efficacy yang baik). Apabila kepercayaan

diri atau self-efficacy meningkat maka tingkat hormon stres menurun. Oleh karena self-efficacy berkaitan dengan rendahnya sekresi chatecholamines, maka orang yang merasa yakin bahwa mereka bisa mengatasi masalah akan lebih rendah tingkat kegelisahannya.

Dengan hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara harapan akan sel-efficacy pasien luka diabetes melitus yang menjalani perawatan dengan mekanisme koping kemungkinan disebabkan karena harapan self-efficacy pasien merupakan faktor predisposisi seseorang menggunakan mekanisme koping yang adaptif, maka pasien diabetes melitus yang menjalani perawatan luka percaya bahwa dirinya mampu mengatasi stres cenderung menggunakan mekanisme koping yang adaptif.

b. Hubungan dukungan sosial dengan mekanisme koping

Pada penelitian sebagian besar pasien diabetes melitus yang menjalani perawatan luka memiliki dukungan sosial yang baik. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan P value < 0.05 yaitu sebesar 0.046 dapat disimpulkan ada hubungan antara dukungan sosial dengan mekanisme koping pasien luka diabetes melitus yang menjalani perawatan luka.

Senada dengan penelitian Aini Yusra (2010) ada hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup pasien luka gangren dengan rata-rata nilai dukungan sosial pasien adalah 3.1 dengan standar deviasi 0.55. Nilai dukungan sosial terendah adalah 1.1 dan tertinggi adalah 4. Berdasarkan nilai rata-rata tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien sering mendapatkan dukungan sosial baik dari segi emosional, penghargaan, instrumental dan informasi.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Keeling D & Price P ( 1997) dukungan sosial yang dirasakan dan mengatasi dalam sampel pasien dengan borok kaki (N = 15, usia rata 70.4 tahun) atau ulkus kaki diabetik (N = 15, usia rata-rata 63.6 tahun) pada dua titik waktu selama periode empat bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan dengan mekanisme koping. Tingkat keseluruhan dukungan sosial yang rendah, dengan dukungan emosional yang paling sering direkam. Skor standar untuk jenis koping menunjukkan tidak ada pola yang tidak biasa, meskipun skor untuk analisis logis yang rendah. Namun, ada banyak variasi dalam jenis strategi yang digunakan oleh individu mengatasi.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Taylor ( 1999) menyatakan bahwa dukungan sosial yang baik akan mengalami stress yang rendah ketika mengalami stress, dan akan melakukan koping yang lebih baik. Selain itu dukungan sosial yang baik akan menunjukkan kemungkinan untuk sakit lebih rendah dan mempercepat proses penyembuhan ketika sakit.

Begitu pula menurut penelitian dari Foote (1990) dalam Tambunan (2004) membuktikan bahwa dukungan sosial mempunyai hubungan yang positif yang dapat mempengaruhi kesehatan individu dan kesejahteraan atau dapat meningkatkan kreativitas individu dalam kemampuan penyesuaian yang adaptif terhadap stress atau rasa sakit yang dialami.

Dengan hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara dukungan sosial pasien luka diabetes melitus yang menjalani perawatan luka dengan mekanisme koping kemungkinan disebabkan karena kemampuan pasien menggunakan potensi dukungan sosial yang efektif.

c. Hubungan antara optimisme dengan mekanisme koping

Pada penelitian sebagian besar pasien diabetes melitus yang menjalani perawatan luka memiliki optimisme yang baik. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan P value > 0.05 yaitu sebesar 0.862 dapat disimpulkan belum cukup bukti adanya hubungan antara optimisme dengan mekanisme koping pasien luka diabetes mellitus yang menjalani perawatan luka. Hal ini tidak sama dengan penelitian Hasan, Salmah dan Rinwidya (2010) adalah nilai p value sebesar 0,000 < nilai taraf signifikansi 0,05 sedangkan nilai F hitung sebesar 65.354 > F tabel sebesar 3.10 serta nilai koefisien korelasi ganda ® yang dihasilkan sebesar 0.780 menunjukkan terjadi hubungan yang signifikan yang kuat antara optimisme dengan mekanisme koping.

Hal ini sejalan dengan penelitian Gill,dkk (1990) dalam Nevid (2003) bahwa ada hubungan antara optimisme dengan kesehatan yang lebih baik. Misalnya pasien yang mempunyai pikiran lebih pesimis selama masa sakitnya akan lebih menderita dan mengalami stress. Namun pada hasil penelitian pasien yang paling banyak menggunakan mekanisme koping maladaptif adalah pasien yang memiliki pemikiran yang pesimis saat sakit.

Pikiran yang optimis dapat menghadapi suatu masalah lebih efektif dibandingkan yang memiliki pikiran pesimis berdasarkan cara individu menghadapi suatu masalah. Pikiran yang optimis dapat membuat keadaan yang stressful sebagai suatu yang harus di hadapi dan diselesaikan dibandingkan dengan individu yang mepunyai pikiran yang pesimis. (Mattews, Ellyn E & Cook, paul F, 2008)

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sikap optimis tidak ada hubungan dengan mekanisme koping pasien luka diabetes melitus yang menjalani perawatan luka meskipun peneliti mendapatkan sikap optimis pasien baik.

d. Hubungan antara psikologis dengan mekanisme koping

Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar pasien memiliki psikologis yang baik. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan P value > 0.05 yaitu sebesar 0.784 artinya ada hubungan yang sedang tapi tidak ada hubungan yang bermakna antara distress psikologis pasien luka diabetes melitus yang menjalani perawatan luka dengan mekanime koping pasien luka diabetes melitus. Hal ini sejalan dengan Roslan, Kleffer, Israel, Cofiela, Palmisano, & Heiler (2008) menyatakan bahwa distress psikologis tidak akan berhubungan dengan mekanisme koping pada pasien luka diabetes melitus. Meskipun penelitian Toljamo dan Hentinen (2001) menemukan ada hubungan yang negative dengan mekanisme koping yang baik, yang mengartikan bahwa pasien merasa terlalu banyak informasi yang baik dan buruk dari keluarga, teman dan masyarakat, sehingga pasien akan mengalami kesulitan menerima informasi tersebut.

Stres, cemas dan depresi telah dibuktikan dapat mengurangi efisiensi dari sistem imun sehingga dapat mempengaruhi proses penyembuhan. Suatu sikap positif untuk memberikan penyembuhan oleh tiap pasien dan perawat dapat mempengaruhi dalam meningkatkan penyembuhan luka ( Ekaputra, 2013).

Dan ternyata hasil penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan mekanisme koping. Meskipun pasien mendapatkan psikologis yang baik.

e. Hubungan antara pengetahuan dengan mekanisme koping

Hasil analisis menunjukkan bahwa semua pasien memiliki pengetahuan yang baik (100%). Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan Pvalue> 0,05 yaitu sebesar 0.246 artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan mekanisme koping pasien yang sedang menjalani perawatan luka diabetes melitus. Hal ini tidak senada dengan penelitian Sasirarini, Tirahinigrum, dan Santoso (2013) yang menyatakan bahwa pasien yang memiliki tingkat pengetahuan yang sedang (78.2%)memiliki kadar HbA1C yang tinggi (98.4%) berarti pengetahuan pasien tidak baik sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara pengetahuan dengan mekanisme koping. Tidak sama dengan penelitian Purwanto bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan pasien tentang diet dan pola makan dengan mekanisme koping pasien yang sedang menjalani perawatan luka yaitu pasien dengan pengetahuan yang kurang (55%) ternyata sebagian besar (51.7%) tidak patuh dalam perawatan luka yaitu manajemen diet dan pola makan.

Hasil analisa lebih lanjut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan pasien tentang luka diabetes melitus dengan mekanisme koping pasien luka diabetes mellitus. Hal ini sesuai dengan penelitian Pan, Savage, Toobert,Whitner, dan Xu (2008) bahwa pengetahuan tentang luka diabetes melitus tidak secara langsung mempengaruhi mekanisme koping, akan tetapi mempengaruhi self-efficacy.

Asumsi peneliti bahwa pengetahuan yang baik langsung atau tidak langsung akan dapat mempengaruhi seorang individu untuk berprilaku sesuai dengan yang diketahui. Hasil yang didapat peneliti bahwa pasien sebenarnya

memiliki pengetahuan yang baik tentang luka diabetes dan cara perawatannya. Akan tetapi ada beberapa responden memiliki keyakinan dan prinsip yang berbeda tentang luka diabetes dan cara perawatannya. Sebagian responden memiliki pengetahuan bahwa meminim obat-obat medis memilki efek samping terhadap organ tubuh seperti ginjal dan akan mengkonsumsi obat jangka panjang. Selain itu responden lebih memilih melakukan pengobatan alternative daripada pengobatan medis. Sebagaimana yang diketahui bahwa prilaku masyarakat dalam mencari pengobatan sangat bervariasi, salah satunya adalah fragmentasi yaitu perilaku pengobatan yang terputus-putus disebabkan karena berganti-ganti fasilitas kesehatan yang diharapkan dapat memberikan penyembuhan yang lebih baik (Nurhidayah, 2010).

Hal ini senada dengan pernyataan Kozier (2011) yang menyatakan bahwa persepsi keparahan terhadap masalah kesehatan akan mempengaruhi seseorang untuk melakukan kepatuhan terhadap perawatan kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian pasien memiliki persepsi kakinya belum mengalami keparahan seperti pada pasien yang menderita gula basah, sehingga mereka berpersepsi bahwa tidak dibutuhkan perawatan kaki yang merupakan salah satu perawatan diri untuk memanajemen status metaboliknya.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait