• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka Diabetes Melitus

2.2 Mekanisme koping

2.2.3 Klasifikasi dan bentuk koping

Metode koping yang berorientasi pada masalah digunakan untuk mengubah hubungan orang dengan lingkungan yang penuh tekanan. Sedangkan metode koping yang berorientasi pada sikap digunakan untuk mengontrol reaksi emosi yang timbul dari hubungan stres. (Lazarus & Launier, 1978).Menurut

Lazarus dan Folkman (1984 dalam Nasir dan Muhith, 2011), secara umum membedakan bentuk dan fungsi coping dalam dua klasifikasi yaitu :

1. Problem Focused Coping(PFC), yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Problem focused coping ditujukan dengan mengurangi demands dari situasi yang penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk mengatasinya. Seseorang cenderung menggunakan metode problem focused coping apabila mereka percaya bahwa sumber atau demands dari situasinya dapat diubah. Strategi yang dipakai dalam problem focused coping antara lain sebagai berikut:

a. Confrontative coping : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko.

b. Seeking social support : usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.

c. Planful problem solving : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati- hati, bertahap, dan analitis.

2. Emotion Focused Coping (EFC), yaitu usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Emotion focused coping ditujukan untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stres. Seseorang dapat mengatur respon emosionalnya melalui pendekatan

perilaku dan kognitif. Strategi yang digunakan dalam emotional focused coping antara lain sebagai berikut:

a. Self-control : usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.

b. Distancing: usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon.

c. Positive reappraisal; usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal- hal yang bersifat religious.

d. Accepting responsibility: usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik.

e. Escape/ avoidance: usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti: makan, minum, merokok, atau menggunakan obat- obatan.

2.2.4 Faktor- faktor yang mempengaruhi mekanisme koping a. Harapan akan self- efficacy

Harapan akan self-efficacy berkenan dengan harapan kita terhadap kemampuan diri dalam mengatasi suatu masalah yang dihadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang positif.(Bandura, 1982 dalam Mutoharoh, 2010).

b. Dukungan sosial

Menurut Taylor (1999) individu dengan dukungan sosial tinggi akan mengalami stress yang rendah ketika mereka mengalami stres, dan mereka akan mengatasi stres atau menggunakan koping yang baik. Selain itu dukungan sosial juga menunjukkan kemungkinan untuk sakit lebih rendah, mempercepat proses penyembuhan ketika sakit (Kulik dan Mahler, 1989) dalam Mutoharoh, 2010). c. Optimisme

Pikiran yang optimis dapat menghadapi suatu masalah lebih efektif dibandingkan pikiran yang pesimis berdasarkan cara individu melihat suatu ancaman. Pikiran yang optimis dapat membuat keadaan yang stresful sebagai suatu hal yang harus di hadapi dan diselesaikan. Oleh karena itu individu, akan lebih memilih menyelesaikan dan menghadapi masalah yang ada dibandingkan dengan individu yang mempunyai pikiran yang pesimis ( Mattews, Ellyn E & cook, Faul F, 2008).

d. Pendidikan

Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktek) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan kesehatannya. Selain itu tingkat pendidikan individu memberikan kesempatan yang lebih banyak terhadap diterimanya pengetahuan baru termasuk informasi kesehatan ( Notoatmodjo, 2007).

e. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya seperti mata, hidung, telinga, dan sebagainya. Pengetahuan merupakan faktor penting terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Nurhidayah ( 2010) perilaku kesehatan akan tumbuh dari keinginan individu untuk menghindari suatu penyakit dan kepercayaan bahwa tindakan kesehatan yang tersedia akan mencengah suatu penyakit.

f. Jenis kelamin

Wanita biasanya mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap stresor dibanding dengan pria, secara biologis kelenturan tubuh wanita akan mentoleransi terhadap stres menjadi baik dibanding pria (Siswanto, 2007). Jenis kelamin sangat mempengaruhi dalam berespon terhadap penyakit, stres, serta penggunaan koping dalam menghadapi masalah luka diabetes.

g.Psikologis

Beberapa keadaan dapat menyebabkan distres psikologis, yang disebut dengan stres. Faktor penyebab distres psikologi dapat diartikan sebagai stresor. Hal ini ada hubungannya dengan luka pasien diabetes melitus (Ekaputra, 2013). Takut merupakan pengalaman manusia secara umum yang mungkin tidak lama atau masa akhir yang panjang. Penyakit kemungkinan menyebabkan beberapa ketakutan seperti ketakutan hospitalisasi, ketakutan penyakit, ketakutan tindakan operasi. Ketakutan membuat stres berat bagi penderita. Respon pasien akan berbeda- beda tergantung pada penyebab luka, seperti pada luka kecelakaan yang

menyebabkan harus di amputasi, dan respon pasien yang belum siap akan merasa takut (Ekaputra, 2013).

Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan ketakutan disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif (Kaplan dan Saddock, 1997 dalam Ekaputra, 2013).

Kecemasan dan ketakutan memiliki komponen fisiologis yang sama tetapi kecemasan tidak sama dengan ketakutan. Penyebab kecemasan berasal dari dalam dan sumbernya sebagian besar tidak diketahui sedangkan ketakutan merupakan respon emosional terhadap ancaman atau bahaya yang sumbernya biasanya dari luar yang dihadapi secara sadar. Kecemasan dianggap patologis bilamana mengganggu fungsi sehari-hari, pencapaian tujuan, dan kepuasan atau kesenangan yang wajar (Maramis, 2005).

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

Dokumen terkait