• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah-masalah dalam pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil)

BAB IV HASIL ANALISIS DATA

B. Analisa Data

1. Masalah-masalah dalam pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil)

Saat ini, pernikahan Harry dan Merry sudah berjalan selama 14 tahun. Mereka dikaruniai dua orang anak perempuan yang berusia 13 tahun dan 10 tahun. Selama menjalani hidup bersama, ada masalah-masalah dalam rumah tangga Harry yang disebabkan perbedaan budaya Batak Toba dan Tamil. Salah satunya adalah masalah perbedaan kebiasaan makanan antara Harry dan Merry. Harry memiliki kebiasaan harus mengkonsumsi kari, masakan khas India setiap hari, tetapi Merry belum mahir untuk memasak makanan kari. Harry juga ingin agar kedua anaknya mengikuti kebiasaan memakan kari, tetapi Merry tidak setuju. Hal ini diungkapkan Harry sebagai berikut :

“..Satu hal yang perlu diketahui kalau orang India itu makanannya harus makanan kari, yang pakai rempah-rempah itu. Jadi, ikan pun bisa dimasak kari, udang dikari, pokoknya seafood itu ada jenis-jenis karinya. Kami harus makan itu. Karena saya menikah dengan suku lain, jadinya istri saya belum mahir memasak makanan seperti ini.”

(RA.W1/b.121-129/hal.3)

“…Masalahnya kan biasanya karena anak, saya kan berupaya agar anak

-anak saya harus makan kari karena kalau makan kari itu kan sehat, karena itu rempah. Tapi menurut istri saya itu tidak bisa, kan rempah-rempah itu panas, bisa buat panas dalam, anak-anak jadi sakit.”

(RA.W1/b.205-211/hal.5)

Merry juga menganggap bahwa perbedaan kebiasaan makanan ini merupakan suatu masalah karena dia yang berasal dari suku Batak Toba merasa kurang familiar dengan makanan kari khas India. Selain itu, kondisi fisik Merry yang tidak tahan mengonsumsi makanan pedas membuat Merry tidak begitu

menyukai makanan favorit suaminya, Harry. Hal ini diungkapkan Merry sebagai berikut :

“... masalah makanan. Orang India ini memang sangat memegang sekali adatnya terkhusus dalam makanan. Jadi, memang hari-hari mereka tidak terlepas dari makanan yang namanya kari. Sayur dikari, daging dikari, ikan dikari. Memang itulah yang menjadi kebiasaannya sehari-hari. Dan memang di dalam pesta-pesta adat mereka juga, yah makanan kari itu harus ada.”

(RB.W1/b.252-260/hal.26)

“Kalau suami saya dan keluarganya, kari itu harus ada setiap hari…

Makanya kalau menikah dengan orang India harus bisa masak kari..(sambil tertawa) Tapi masalahnya, saya gak tahan makan kari. Soalnya pedas dan perut saya suka sakit makan yang pedas-pedas.”

(RB.W1/b.264-273/hal.26-27)

Selain perbedaan kebiasaan makanan, Harry dan Merry juga memiliki cara yang berbeda dalam berkomunikasi satu sama lain akibat perbedaan latar belakang budaya antara Batak Toba dan Tamil. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam menyesuaikan komunikasi dengan pasangannya. Merry cenderung lebih ekspresif dan terbuka dalam berkomunikasi dibandingkan dengan Harry. Hal tersebut menimbulkan ketidakpuasan pada diri Merry. Merry merasa bahwa Harry dan keluarga tidak terbuka dan cenderung menutup-nutupi suatu masalah. Berbeda dengan keluarga inti Merry yang selalu berdiskusi bersama untuk menyelesaikan permasalahan keluarga. Hal ini diungkapkan Merry sebagai berikut :

“Kita kan orang Batak yang tidak bisa menyembunyikan sesuatu atau membicarakannya di belakang. Kita langsung ke forum. Kalau bagi orang India, itu tidak sopan. Jadi mereka lebih cenderung menahan diri untuk tidak menyakiti orang.”

“..Pak Harry juga begitu. Karena suara saya kadang juga kuat, dia bilang

“Kamu marah, ya?” Awal-awalnya ini memang menjadi sesuatu yang

gimana gitu yaa.. “Aduh kok gini? Kaget-kaget.” Suami saya kaget, saya juga kaget.

(RB.W1/b.340-345/hal.28)

“Suami saya cenderung tertutup karena keluarga suami saya beda dengan

keluarga saya. Kalau mereka setiap ada konflik tidak pernah dibawa ke permukaan, selalu ditutup-tutupi. Tidak pernah diselesaikan karena bagi mereka itu suatu aib. Jadi memang, tidak ada keterbukaan. Beda dengan kita, yahh.. kalau kita orang Batak kan terbuka, semua-semua pun enjoy aja, ada ekspresi.”

(RB.W1/b.365-373/hal.29)

Perbedaan latar belakang budaya yang menimbulkan masalah bagi Merry juga terdapat pada keluarga besar Harry. Budaya Tamil masih mengenal adanya rasa segan antara ipar. Jika Merry ingin berkomunikasi dengan suami adik iparnya, maka harus disampaikan kepada Harry, lalu diteruskan ke adik perempuan Harry lalu sampai kepada suaminya. Masalah pun timbul ketika Merry meminta tolong pada suami adik ipar untuk mengantarkannya membeli obat ke apotik di tengah malam. Saat itu situasi cukup pelik ; anak responden sakit dan Harry sedang berada di luar kota. Permintaan Merry ditolak dengan alasan karena suami adik ipar responden merasa segan. Akhirnya, Merry bertanya pada temannya yang berada di dekat rumahnya dan Merry pun mendapatkan obat untuk anaknya.

“..keluarga besar saya dalam budaya India, masih ada rasa segan. Saya punya eda, namanya anni kalau dalam budaya Tamil. Jadi suami eda saya ini kalau ada apa-apa yang berhubungan dengan saya, dia akan ngomong ke istrinya, lalu istrinya akan bicara ke suami saya, terus suami saya akan bilangkan ke saya. Yah, panjanglah jalannya. Gak bisa langsung.”

(RB.W1/b.215-223/hal.25-26)

“Jadi, sewaktu saya datang ke rumah mertua saya, suami dari adik ipar saya ini segan untuk membonceng saya. Yah, saya betul-betul udah gimana gitu yaa.. hampir putus asa. Tapi, saya ingat ada teman saya yang

kebetulan tinggal di daerah itu, orang kita Batak. Saya tanya apa dia punya persediaan obat. Puji Tuhan, dia punya jadi saya datang ke dia.”

(RB.W1/b.236-244/hal.26)

Kesibukan Harry sebagai pendeta di gereja A dan istrinya juga yang sibuk melayani di Gereja B menyebabkan waktu yang diberikan Harry dan Merry kepada anak-anaknya menjadi berkurang. Mereka merasakan bahwa kedua anaknya menjadi terabaikan. Harry pun meminta Merry untuk meninggalkan pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga yang memperhatikan anak-anak mereka. Hal ini diungkapkan Harry sebagai berikut :

“Dulu kami sama-sama sibuk, jadinya anak-anak terlantar. Saya di sini,

dia di sana. Anak-anak pulang sekolah kan harus kita jemput, disiapkan makanan terus kita pergi lagi, terkadang sampai malam, anak-anak terlantar, yah jadinya dia (Merry) pikir-pikir “ Betul juga ya, saya harus damping suami.”

(RA.W2/b.469-477/hal.11)

“Sekarang dia udah resign dari tempat kerjanya. Dulu dia kan di

sekretariat gereja Bethany, tapi dia udah pindah ga kerja di situ lagi karena saya minta dia seharusnya ikut saya.”

(RA.W2/b.465-468/hal.11)

b. Pasangan kedua (Roy dan Selly)

Roy dan Selly sudah menjalani bahtera rumah tangga selama kurang lebih dua tahun. Sejak awal rencana pernikahan mereka, keluarga Selly yang bersuku Batak Toba tidak setuju karena latar belakang Roy yang berasal dari suku India Tamil dan beragama Hindu. Ketidaksetujuan tersebut mempengaruhi komunikasi di antara Roy dengan mertua. Setelah menikah, Roy belum berani bertemu langsung dengan kedua orangtua Selly. Hal ini dikarenakan Roy merasa takut dan

belum siap untuk menghadapi respon negatif dari kedua mertuanya. Hal ini diungkapkan Roy sebagai berikut :

“Belum lah, belum dekat… belum berani jumpa mereka..Belum waktunya lah. Masih takut jumpa mereka.”

(RC.W1/b.226-232/hal.48)

Sejak menikah lah dek,. Karena mertua abang kan agak keras. Mereka memang ga setuju kali dengan pernikahan abang. Yah, ga berani lah abang datang, takut diusir atau dihina-hina nanti. Belum siap abang mau jumpa mereka.

(RC.W1/b238-242./hal.48)

Setelah menikah, Roy dan Selly tinggal di rumah orangtua Roy yang ada di Galang, Lubuk Pakam. Rumah ini cukup jauh dari rumah orangtua Selly yang berada di Pematangsiantar. Komunikasi antara Selly dengan orangtuanya pun hanya melalui telepon dan sesekali Selly berkunjung ketika hari liburan tiba. Merry juga membenarkan adanya komunikasi yang tidak baik antara orangtuanya dengan Roy, suaminya. Hal ini diungkapkan Merry sebagai berikut :

“Komunikasi kami itu banyak melalui telpon, nanyain kabar, atau ngasih tahu kabar kami ke orang bapak mamak. Kan kami di Galang, mereka di Siantar. Kalau ada acara besar, kayak natal tahun baru gitu, kami datang lah ke siantar. Tapi bang Roy belum berani jumpa dengan mereka. Masih takut dia”

(RD.W1/b.125-131/hal.64-65)

“.. Ini pun kami datang ke Siantar, kakak diantar ke rumah orangtua kakak, tapi bang Roy tidur di tempat keluarganya.”

(RD.W1/b.145-148/hal.65)

Ketidaksetujuan terhadap pernikahan mereka juga datang dari pihak keluarga besar Roy. Paman dan tante Roy meminta Roy untuk menikah dengan wanita yang sama suku, bukan dengan wanita Batak Toba karena Roy adalah anak sulung dalam keluarga mereka. Namun, keluarga besar Roy senang setelah

melihat Selly yang bisa menyesuaikan diri dalam budaya mereka. Ketidaksetujuan terhadap pernikahan Roy dan Selly berubah menjadi penerimaan terhadap Selly sebagai menantu di dalam keluarga Tamil. Hal ini diungkapkan Harry sebagai berikut :

Yah, saya kan anak paling besar. Sepantasnya menikah sama yang satu suku lah, jangan yang beda. Kan saya sebagai anak sulung bawakan nama baik keluarga gitu. Tapi, yah udah jodohnya dapat yang Batak, yah diterima juga lah jadinya..

(RC.W1/b.165-170/hal.46)

“Sudah makin akur lah, sebelumnya kan ada beberapa keluarga mamak yang ga setuju. Tapi karena istri mau masuk ke India, yah diterima mereka lah kami Yah, kak Selly masuk ke agama kami juga, Hindu. Dan dia juga ga canggung gabung sama kami dan keluarga, jadinya senang lah keluarga abang”

(RC.W1/b.192-200/hal.46)

Masalah lain yang dihadapi pasangan ini dalam pernikahannya disebabkan oleh pekerjaan Roy. Roy berjualan obat ramuan ke luar kota sehingga ia harus meninggalkan Selly dan anaknya untuk sementara waktu. Roy merasa sedih, namun tidak ada pilihan lain. Roy sudah mencoba pekerjaan lain, tetapi status pendidikannya yang hanya tamat SMA membatasinya dalam memilih pekerjaan. Roy pernah mencoba bekerja dengan neneknya berjualan mi rebus, tapi dia tidak betah sehingga harus kembali ke pekerjaan sebelumnya, yaitu menjual obat ramuan ke luar kota. Hal ini diungkapkan Roy sebagai berikut :

“Sebenarnya gak enak juga ya dek, ninggalin istri dan anak abang, tapi namanya juga udah tuntutan kerjaan, ini yang bisa abang kerjakan, sebelum nikah pun udah gini juga kan. Jadi, ga ada pilihan lain lah, siapa yang biayai keluarga kalau ga abang kan.”

“…pernah bantu pati (nenek, dalam bahasa Tamil) abang jualan mie rebus di dekat pajak Horas, tapi karena jualannya sampai tengah malam, abang ga sanggup gitu. Jadi sakit badan abang. Makanya abang lanjutkanlah jualan ramuan ini kan. Lagipula kerjaannya ga sampai malam. Kerjanya pun rame, sama kawan-kawan.”

(RC.W3/b.746-753/hal.59)

Selly juga merasakan masalah yang sama diakibatkan oleh pekerjaan Roy. Pada awalnya, Selly sulit menghadapi situasi seperti ini, tetapi dia belajar untuk menyesuaikan diri dengan kondisi pekerjaan Roy. Walaupun berjauhan, Selly berusaha untuk tetap membangun komunikasi yang kontinu dengan suaminya. Selly sebenarnya merindukan komunikasi langsung face to face dengan suaminya. Selain itu, Selly juga mengharapkan adanya kejujuran dalam komunikasi dengan suami. Hal ini diungkapkan Selly sebagai berikut :

Ga enak lah, sedih juga ditinggal gini..tapi harus kuat lah kakak. Namanya juga suami nyari duit. Kalau sekarang, masih itu lah yang jadi sumber duit untuk rumah tangga kami. Awalnya sulit lah dek, apalagi pas baru-baru nikah, tiga bulan kemudian, bang Roy ini pergi ke Pekanbaru, terus ke Jakarta, ke kota-kota lain yang jauh lah kita bilang dari Galang ini.”

(RD.W2/b.468-476/hal.72)

“..membahas apa aja yang dikerjain satu harian ini. Misalnya, jualan bang Roy gitu kan, dia kan jualan beda-beda kota yang kebanyakan kakak belum pernah ke sana kayak Jambi dan Jakarta kemaren. Terus, nanyain apa dia teratur makan atau ga, trus kapan pulang, dapat uang banyak atau gimana (tersenyum). Yah, gitulah kayak ngobrolan suami istri biasanya, cuman kan ga ketemu langsung.”

(RD.W1/b.145-148/hal.65)

“..lebih enak yang langsung lah dek, lebih terasa dekat dan bisa suka-suka

kita lah sampai kapan bisa ngobrol. Kalau telpon kan terbatas, dan ga jumpa langsung itu juga bisa buat rindu juga ternyata sih (tertawa). Kalau langsung lagi, kan lebih nampak ekspresinya, tahu jadinya kalau dia entah lagi marah, lagi bohong.”

Kondisi pekerjaan suami yang sering keluar kota ternyata dikritik oleh orangtua Selly yang tidak ingin jika responden sering ditinggal di rumah. Oleh sebab itu, Selly pun memutuskan untuk tinggal di rumah orangtuanya dan meminta suami bekerja di daerah sekitar Pematangsiantar sehingga Roy bisa pulang menjumpai anak istri setelah bekerja.

“Gimana yah.. mereka jelas ga suka lah kalau aku ditinggal-tinggal gini.

..maksud orangtua kakak, kalau suami dekat lah sama istri. Ga jauh-jauhan. Takut mereka terjadi apa-apa kan. Maklumlah dek, pikiran orang tua sama anaknya. Mereka kirain kalau nanti bang Roy yah..selingkuh gitu lah di luar sana, main cewek sama yang lain…Maunya mereka, suami kakak nyari kerja yang dekat-dekat aja.”

(RD.W2/b.509-517/hal.73)

“Makanya untuk sekarang ini, kakak tinggal di rumah orangtua kakak, dia tinggal di rumah saudaranya. Ga jauh juga lah dari sini, jadi bisa sering ketemu kami, makannya pun sama-sama juga jadinya.”

(RD.W2/b.468-476/hal.72)

2. Dukungan Sosial Keluarga Yang Diterima a. Pasangan Pertama (Harry dan Merry)

Dukungan Informasional (Informational Support)

Harry dan Merry tinggal di rumah yang berdekatan dengan rumah orangtua dan adik Harry. Hal ini mempermudah komunikasi dan pertemuan antara Harry dengan keluarga intinya ; ibu, abang dan adik perempuannya. Ibu Harry sering datang dan berkunjung ke rumah serta bertanya tentang permasalahan yang dihadapi Harry dan Merry. Perselisihan pendapat yang terjadi biasanya mengenai perbedaan kebiasaan makanan, komunikasi dan masalah finansial. Setelah bertanya, kemudian ibu Harry akan memberikan nasihat kepada Harry dan Merry. Namun, ketika permasalahan dengan Merry sudah sangat pelik, biasanya Harry

akan menjumpai pendeta pimpinan gereja Anglikan. Ia berdiskusi sampai akhirnya memperoleh solusi dari masalah yang dihadapinya. Hal ini dinyatakan Harry sebagai berikut :

“Kita selalu berkomunikasi, sering ketemu. Kami minimal sekali seminggu jumpa, lagian rumah kita ga jauh kok, jaraknya paling 200 meteran. Kalau mau jumpa, bisa cepat, kalau anak-anak saya udah lama ga jumpa neneknya, saya bawa ke sana.”

(RA.W2/b.509-515/hal.12)

“Ibu saya lah yang datang dan berkunjung, bertanya apa yang terjadi, kenapa bisa seperti itu, terus dia mengingatkanlah karena ibu saya kan sudah berpengalaman dalam berumah tangga, walau yang dia bantu tidak sesempurna yang saya harapkan.”

(RA.W1.b.215-221/hal.5)

“Kalau saya bermasalah dengan istri saya, biasanya saya pergi keluar dulu, terus balik lagi. Kan emosi dan situasi sudah mereda. Terus, saya dan istri saya diskusi berdua dulu. Tapi kalau sudah tegang dan tidak bisa cari jalan keluar yah kami berdiskusi dengan pendeta pimpinan gereja kami supaya bisa baikan kembali.

(RA.W1/b.197-204/hal.5)

Pernikahan Harry dan Merry diadakan secara adat Tamil dan Batak Toba sehingga Harry memperoleh marga Batak Toba dari pihak keluarga Merry. Hal ini membuat pernikahan Harry dan Merry menjadi sah secara adat Batak Toba. Setelah menikah, Harry ingin mengenal lebih dalam lagi mengenai budaya Batak Toba dan Harry mendapatkan banyak informasi dari adik ipar Harry yang laki-laki. Adik ipar Harry juga memberi saran agar responden mengikuti perkumpulan marga dan informasi mengenai silsilah marga Batak (tarombo). Namun karena ketidakcocokan antara jadwal pekerjaan Harry dengan jadwal pertemuan perkumpulan membuat pasangan ini belum mengikuti perkumpulan sampai sekarang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harry :

“Mereka memberi tahu saya tentang hubungan marga atau tarombo (silsilah, dalam bahasa Batak). Tapi, begitulah yah kalau kita satu kota kan, komunikasi ada, tetapi karena kita jauh, jadi jarang ketemu dan komunikasi pun ga terlalu banyak. Tetapi mereka selalu mengatakan kalau orang Batak itu kan ada perkumpulan marga. Mereka sarankan untuk ikut.”

(RA.W1/b.243-251/hal.6)

“Namanya juga sibuk. Kan kumpulnya Sabtu atau Minggu, padahal di situlah persiapan pelayanan . Keluarga dari istri banyak yang menyarankan untuk ikut perkumpulan marga, tapi sampai sekarang belum kami jalankan.

(RA.W1/b.254-259/hal.6)

Harry yang memiliki kebiasaan wajib mengkonsumsi makanan olahan kari setiap hari membuat Merry harus belajar untuk memasak makanan kari. Merry pun berusaha belajar cara mengolah masakan kari dari ibu Harry. Hal ini sesuai dengan pernyataan Merry berikut :

“Ibu mertua saya ga pernah langsung mengajari saya atau datang ke rumah mengajari. Tapi saya yang nanya “Ma, gimana yah masak kari ini? Oh,

sini lihat lah aku lagi masak ini” di rumah mertua. Tapi kalau secara

khusus mau kasih waktunya juga ga bisa, karena mertua saya juga kerja, sibuk. Jadi setiap ada kesempatan, saya yang perhatikan. “

(RB.W2/b.728-736/hal.37)

“..yah harus mengerti lah. Sekarang ini saya gak mau tersinggung lagi

kalau suami saya makan di rumah mertua.. Tapi memang, tetap bagi suami saya, masakan mamanya tetap lebih enak daripada masakan saya.

(RB.W2/b.739-749/hal.37)

Dukungan Instrumental (Instrumental Support)

Pekerjaan Harry sebagai pendeta adalah sumber penghasilan utama untuk rumah tangganya. Hal ini menimbulkan adanya masalah dalam keuangan rumah tangga karena pemasukan yang Harry dapatkan seringkali tidak sebanding dengan pengeluaran. Harry harus membiayai kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya

sekolah kedua anaknya. Harry biasanya menceritakan masalah keuangan yang dihadapi kepada keluarga intinya. Keluarga inti Harry, yaitu ibu dan adik ipar Harry memberi bantuan materi berupa pinjaman uang.

“Saya dan istri pernah mengalami masalah finansial, yah keluarga besar

saya lah yang banyak membantu karena kami pun kan dekat, sama-sama di satu kota Medan. Banyaklah keluarga saya membantu saya dan istri.” (RA.W1/b.230-235/hal.5)

“… kan saya beritahu mereka, bukan orang lain, pada ibu, adek atau abang

saya. Kan mereka tahulah gimana kehidupan seorang pendeta. (RA.W1/b.312-315/hal.7-8)

Kondisi finansial tersebut membuat Merry harus bekerja di gereja yang berbeda dengan Harry, yaitu di gereja B. Pekerjaan Harry dan Merry di dua gereja yang berbeda tersebut seringkali menuntut keduanya untuk mengerjakan pelayanan di luar kota. Ketika hal itu terjadi, maka kedua anak dari pasangan ini pun diantarkan ke rumah ibu Harry untuk dijaga dan diurus. Selain mengurus kedua anak mereka, Ibu Harry juga sering memberikan benda-benda berupa pakaian, tas dan sepatu untuk Merry. Hal ini sesuai dengan pernyataan Merry sebagai berikut :

“..mertua saya mau menjaga anak-anak saya kalau saya dan suami saya

bekerja atau melayani di luar kota. Kalau lagi di rumah mertua, anak-anak ga pernah kekurangan lah, makanannya pasti dimasak mertua atau eda saya.”

(RB.W2/b.497-502/hal.32)

“Mertua saya juga seringkali memberikan benda-benda berupa baju, sandal, dan tas. Mertua saya kan bekerja di rumah dokter selama hampir 20 tahun. Jadi kalau ada pemberian atau oleh-oleh dari dokter itu, selalu dibawakan mertua saya untuk saya.

Keluarga inti Merry yang tinggal di Jakarta juga pernah memberi bantuan materi untuk pasangan ini. Bantuan yang diberikan berupa uang untuk melunasi biaya pengobatan Merry dan anaknya yang sakit demam berdarah dan harus diopname di Rumah Sakit sekitar 5 tahun yang lalu. Merry merasakan adanya perbedaan bantuan yang diberikan keluarganya dengan keluarga suami. Merry menganggap bahwa keluarga suami cenderung meminjamkan uang sedangkan keluarga Merry yang langsung memberikan uang tanpa meminta kembali. Hal ini diungkapkan Merry sebagai berikut :

“Pernah mama saya dengar kalau saya pernah masuk Rumah Sakit dan anak saya juga masuk Rumah Sakit, kena DBD. Itu sekitar lima tahun yang lalu. Mama saya dengar dari adek saya, tapi saya ga pernah bilang sama mama saya. Mama lihat adek saya grasak-grusuk ngumpulin uang

untuk ngirim ke saya. …Yah, akhirnya, mama saya juga nyumbang lah.”

(RB.W2/b.886-904/hal.40-41)

“Mereka (keluarga suami) sih caranya manis, ga to the point. “Ini minjem

yaa..” Tapi, ini lho,,gini gini yaa..”Iya, nanti dikembalikan” saya bilang.

Apalagi eda saya, yang namanya ngasih ga akan lah , tapi lembutlah.. (RB.W2/b.711-715/hal.36)

“Jadi, ehh..beda dengan orangtua saya., kalau orangtua saya yang di Jakarta, mereka tahu kalau kami kesusahan uang, anak sakit, mereka langsung kirim. Ga ada istilah minjam, mereka langsung kasih.”

(RB.W2/b.704-708/hal.36)

Dukungan Penghargaan (Esteem Support)

Sebelumnya, Harry dan keluarganya menganut agama Hindu. Pada tahun 1987, Harry masuk ke agama Kristen dan mengajak keluarganya untuk menjadi Kristen juga. Mereka melihat perubahan yang positif dalam hidup Harry sehingga ibu dan adiknya mau menjadi Kristen kecuali abang responden. Setelah Harry menikah dan disahkan menjadi pendeta, keluarga Harry merasa senang dan

bangga akan pekerjaan responden yang mulia. Hal ini dinyatakan Harry sebagai berikut :

“..Waktu itu kita masih belum Kristen. Saya kan tahun 1987 baru Kristen. Lalu saya mengajak keluarga saya untuk masuk ke dalam Kristen. Mereka melihat perubahan besar dalam hidup saya, jadinya mereka percaya dan

Dokumen terkait