• Tidak ada hasil yang ditemukan

Edisi II, 2010 normal 0,005 Mg/Ltr Logam berat arsenic merupakan

racun yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kemai an.

Demikian juga dengan Mercury Mg, besi (Fe) serta kandungan ecoli mencapai 1.600 atau diatas batas nor- mal 1.000. Kondisi ini memperlihatkan, sungai-sungai maupun air baku untuk konsumsi masyarakat di kalsel i dak layak dan berbahaya bagi kesehatan.

Riza juga menyebutkan, i ngginya i ngkat kekeruh- an sungai, membuat pihaknya harus mengeluarkan dana besar untuk proses penjernihan air. Karenanya dengan adanya teknologi penjernihan air ini, PDAM Bandarmasih akan merancang penggunaan karbon aki f dalam pengelolaan air untuk masyarakat.

Proses pertama terjadi di tangki clarifi er yang ber- fungsi menjernihkan dan me-

naikkan nilai pH menjadi 8-9 melalui pemberian abu soda atau kapur tohor yang dilarut- kan. Hasilnya, akan terbentuk gumpalan berwarna hijau dan secara perlahan-lahan akan mengambang ke permukaan air, tetapi i dak berapa lama (sekitar 25 menit). Gumpalan berupa sebagian logam dan organik ter- larut itu akan berubah warnanya menjadi kuning kecokelatan dan secara perlahan-lahan me- ngendap (30 menit).

Untuk mempercepat proses pengendapan dapat diguna- kan tawas atau polyaluminum

chloride dengan diaduk searah

sekitar lima menit. Bahan yang dipakai dan dosisnya di- tentukan melalui eksperimental sederhana di lapangan. Air yang telah jernih dialirkan ke bak pengendap 1 dan 2. Tetapi, meski sudah jernih, air masih mengan- dung pari kel kecil yang melayang-layang (organik), besi, mangan terlarut yang cukup i nggi dan berbau. Pada tahap selanjutnya dilakukan proses oksidasi (bisa de- ngan udara, kaporit, atau kalium permanganat). Kalium permanganat dipilih dengan peri mbangan berwarna dan i dak berbau, di samping juga turut mengaki k an media mangan zeolit untuk proses oksidasi lanjutan dari besi dan mangan, setelah disaring dengan saringan pasir silika. Selanjutnya, proses penghilangan bau dan warna menggunakan karbon aki f.

Air yang telah jernih, i dak berbau dan berwarna,

kemudian disaring lagi dengan menggunakan saringan mikro dengan ukuran 0,1-0,5 μm, untuk menurunkan padatan total tersuspensi sampai dengan kurang dari 500 mg/l. Proses ini peni ng agar membran i dak cepat rusak dan dapat berumur panjang. Membran hanya dipergunakan untuk menurunkan kadar garam saja, dengan rasio pemulihan 35 persen.

Air olahan yang telah jernih, tawar, i dak berbau, dan bebas bakteri sudah dapat langsung diminum ditam- pung dalam bak penampung air bersih. Sebelum proses pembotolan, untuk menghindari rekontaminasi, air kembali melalui mikrofi ltrasi dan penyinaran ultraviolet

untuk sterilisasi. Hasil akhir, air yang dihasilkan tampak sangat jernih, i dak berbau, dan sudah i dak asin lagi.

Proses Singkat

Mengolah air gambut menjadi air yang siap diminum sebenarnya bukanlah hal sulit dan mahal.

Air baku yang berwarna ke- coklatan itu bisa diproses dengan pengolahan air minum sederhana dan dapat dibuat oleh masyarakat dengan menggunakan bahan yang ada di pasaran setempat seperi drum, keran, pompa sepeda, bak penyaring serta kerikil, pasir dan ijuk, serta bahan kimia kapur dan tawas.

Pengolahan air gambut, diawali dengan Netralisasi untuk mengatur keasaman air agar menjadi netral (pH 7-8), yaitu dengan pemberian kapur.

Selanjutnya dilakukan aerasi yaitu mengontakkan udara dengan air baku agar kandungan zat besi dan mangan yang ada dalam air baku bereaksi dengan ok- sigen yang ada dalam udara membentuk senyawa besi dan senyawa mangan yang dapat diendapkan.

Disamping itu proses aerasi juga berfungsi untuk menghilangkan gas-gas beracun yang tak diinginkan mis- alnya gas H2S, Methan, Carbon Dioksida dan gas-gas ra- cun lainnya. Untuk 1 "parts per million" (ppm) oksigen, menurut dia, dapat mengoksidasi 6.98 ppm ion Besi. Reaksi oksidasi ini dapat dipengaruhi antara lain oleh jumlah Oksigen yang bereaksi, dalam hal ini dipen- garuhi oleh jumlah udara yang dikontakkan dengan air serta luas kontak antara gelembung udara dengan permukaan air.

J

ika semua berjalan normal, bisa dipastikan bahwa pada 2010 ini bumi akan dihuni oleh tujuh miliar jiwa. Suatu jumlah yang sangat besar dalam sejarah peradaban bumi yang tentunya membutuhkan ketersediaan sumber daya untuk bisa menopang dan menjaga keberlangsungan hidup dan kehidupan. Salah satu di antaranya adalah air bersih. Air bersih merupakan kebutuhan pokok manusia dan kehidupan yang jumlahnya sangat terbatas. Hingga saat ini, air belum bisa digantikan oleh bahan lain. Sayangnya, jumlah ketersediannya sangat terbatas, apalagi untuk bisa mencukupi kebutuhan tujuh miliar penduduk bumi ini.

AIR adalah salah satu kebutuhan utama semua mahluk hidup di dunia. Namun ketersediaan air bersih ternyata semakin menyusut. Jumlah air bersih yang tersimpan di ceruk bumi (aquifer) darat, laut, dan atmosfi r, yang sebenarnya terbatas, terus menerus berkurang jumlahnya. Di masa mendatang, air akan menjadi begitu berharga dan mungkin segera menjadi komoditas utama dunia dan berpotensi menjadi sumber konfl ik yang cukup serius. Bagi negara dunia yang berada di kawasan Timur Tengah dan Afrika, ketersediaan air bersih telah lama menjadi masalah. Namun kini negara lain dengan jumlah penduduk yang besar seperti China, India, dan Amerika Serikat juga mulai merasakan masalah yang serupa.

Masalahnya, sebanyak 97,6 persen dari total air yang tersedia (1,403

miliar kilometer kubik) di jagat ini merupakan air asin sehingga tidak dapat dimanfaatkan langsung sebagai sumber air bersih. Sedangkan, sebagian besar dari air tawar yang ada (33 juta kilometer kubik) berada dalam wujud es, salju, dan air dalam tanah. Secara teoretis, yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber air tawar tidak lebih dari 126,7 juta kilometer kubik atau hanya 0,009 persen dari total air keseluruhan. Inilah jumlah yang harus dan akan diperebutkan oleh seluruh penduduk bumi dan hal ini sudah menjadi masalah serius terkait dengan kelangkaan yang dapat menjurus pada konfl ik dan krisis kemanusiaan.

Badan Pertanian Dunia (FAO) telah memperingatkan bahwa setidaknya empat miliar jiwa akan hidup dalam daerah yang amat minim air bersih di tahun 2025. Lebih dari setengah penduduk dunia akan hidup dalam kekeringan, mengais makanan yang tersisa dan merambah wilayah pantai yang telah tercemar selama 50 tahun terakhir. Limbah yang tak terkendali dan kebijakan penanganan air yang buruk menjadi penyebab utama dari semua masalah ini, terutama yang terjadi di negara berkembang. Demikian laporan dari Badan Lingkungan PBB (UNEP, United Nations Environment Programme) yang bekerja sama dengan lebih dari 200 pakar sumber daya air dunia.

“Kini, lebih dari 800 juta orang di dunia kesulitan mengakses sumber air bersih. Hal ini menandakan krisis, “ ujar Halifa Drammeh dari UNEP. Lembaga ini, yang sejak tahun 2003 mencanangkan program Tahun

Sisi Lain

Edisi II, 2010

Internasional Air Bersih (International Year of Freshwater) bagi penduduk dunia, melaporkan terjadinya penyusutan terumbu karang dan garis pantai dunia akibat perubahan cuaca. Beberapa negara berkembang juga akan mengalami krisis air, gagal panen dan konfl ik seputar masalah pengelolaan air sungai dan telaga bila tidak melakukan langkah penyelamatan terhadap salah-kelola irigasi dan tidak memperbaiki pola pengelolaan sumber air tawar mereka.

Berdasarkan data dari NASA dan WHO, dilapor- kan temuan data akan terjadinya krisis air yang mempengaruhi sekitar 400 juta jiwa saat ini akan berdampak serius pada setidaknya 4 miliar jiwa di tahun 2050 nanti. Pengelolaan fasilitas sanitasi yang tak memadai akan berdampak buruk terhadap lebih dari 2,4 miliar penduduk dunia, dan jumlah ini merupakan 40 persen dari jumlah umat manusia yang ada. Separuh kawasan pantai, tempat di mana lebih dari semiliar orang menggantungkan hidupnya, bakal menyusut akibat pengembangan yang berlebihan atau pencemaran lingkungan.

Bagi anak balita, penyakit yang disebabkan oleh air yang tercemar (muntaber, diare dan sebagainya) merupakan salah satu ancaman utama bagi mereka. WHO melaporkan bahwa setengah dari jumlah ranjang rumah sakit di negara berkembang dihuni penderita balita yang menderita serangan penyakit seperti ini.

Kondisi Indonesia

Bagi Indonesia, masalah kelangkaan lebih disebabkan oleh kegagalan kita dalam mengelola sumber daya air. Hal ini menyebabkan semakin tidak seimbangnya antara kebutuhan (demand) yang terus berkembang dengan ketersediaan (availability) serta kemampuan untuk menyuplai (supply) kebutuhan tersebut. Kondisi ini juga diperberat dengan semakin tingginya tingkat pencemaran air oleh limbah cair ataupun padat serta adanya ancaman serius dari dampak perubahan dan anomali iklim yang sudah menjadi kenyataan dewasa ini. Sehingga, tidak heran, ketika kita bicara krisis air, pada saat bersamaan kita dihadapkan pada bencana beruntun yang terkait air, seperti banjir dan longsor.

Bagi kawasan lokal, seperti Pulau Jawa misalnya, krisis air yang membayang menjadi ancaman yang mencemaskan. Kekeringan mulai meresahkan para petani diberbagai sentra produksi padi. Lebih dari 800.000 hektar sawah di Pantura Jawa sudah puso dan ribuan hektar lainnya terancam gagal panen akibat kekurangan air. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofi sika bahkan memperkirakan pada bulan Agustus, semua wilayah Indonesia akan mengalami kemarau panjang. Akibat kerusakan ekosistem hutan di berbagai wilayah ini, Pulau Jawa bisa mengalami defi sit air empat kali setiap tahunnya. Menteri Negara Lingkungan Hidup bahkan telah menyatakan, di tahun 2005 Pulau Jawa telah mengalami defi sit air 13 miliar meter kubik. Jumlah ini dipastikan terus bertambah setiap tahunnya.

Penyusutan air dan kekeringan yang berulang setiap tahunnya, tak saja karena fenomena alam, namun juga terjadi karena kerusakan lingkungan yang parah. Dibandingkan luas wilayah yang ada, hutan di Pulau Jawa hanya secuil 3.289.131 hektar. Dari jumlah ini, sekitar 1.714 juta hektar hutan, baik berupa hutan lindung atau hutan konservasi -berada dalam kondisi kritis. Kondisinya diperburuk dengan terseraknya lahan kritis di luar kawasan hutan, yang tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Sumber di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa- Madura menyebutkan bahwa jumlah kawasan hutan yang harus dihijaukan mencapai 10.731 juta hektar, atau 84, 16 persen dari luas seluruh daratan Pulau Jawa. Dengan begitu, bisalah kita bayangkan bila di masa depan,

Pulau Jawa akan semakin “kehausan”. Dengan jumlah hutan yang minim, hanya sekitar 20 persen air hujan yang bisa diserap tanah. Sisanya mengalir percuma ke laut.

Padahal, menurut data di Kementerian Lingkungan Hidup, pada tahun 2003 saja, kebutuhan air di pulau terpadat se Indonesia ini sudah mencapai 38 milyar meter kubik. Bila air yang tersedia hanya sekitar 25,3 miliar meter kubik, terjadi defi sit air bersih dalam jumlah yang cukup banyak, dalam satu periode saja.

Penyebaran Potensi Air

Berdasarkan teori, Indonesia memiliki potensi air tawar sebesar 1.957 miliar meter kubik/tahun. Dengan total populasi saat ini mencapai 228 juta jiwa, jumlah air tawar tersebut setara dengan 8.583 meter kubik/kapita/ tahun. Jumlah tersebut berada di atas nilai rata-rata dunia, yaitu 8.000 meter kubik/kapita/tahun (Bappenas, 2006). Namun, ketersediaan air ini sangat bervariasi, baik antarwilayah/kawasan maupun antarwaktu.

Dari jumlah tersebut, hampir 87 persen di antara potensi aliran air permukaan umumnya terkonsentrasi di Pulau Kalimantan, Papua, dan Sumatra. Sisanya tersebar secara tidak merata di Jawa-Madura-Bali, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan wilayah lainnya. Pulau Jawa yang memiliki luas kurang dari 7 persen dari total

luas daratan Indonesia dan dihuni oleh 65 persen (148 juta jiwa) dari

total penduduk Indonesia hanya memiliki lebih dari 4,5 persen dari total cadangan air tawar nasional.

Dari segi kuantitas dan penyebarannya, sudah jelas terlihat adanya ketidakseimbangan. Dari segi kualitas, justru lebih memprihatinkan lagi karena sangat terkait dengan bisa atau tidaknya air tawar tersebut dimanfaatkan. Hampir sebagian besar sumber-sumber air perkotaan kita, khususnya di Pulau Jawa, terus tercemar oleh limbah. Sebagai gambaran, dari 13 sungai/kali yang mengalir di wilayah DKI Jakarta, kecuali Kali Krukut, hampir semuanya sudah tidak layak dijadikan sumber air baku untuk keperluan air bersih/minum oleh PAM Jaya.

Akibat gangguan kualitas terhadap sumber air tawar tersebut, biaya pengolahan air bersih, baik akibat kebutuhan bahan kimia maupun biaya energi untuk pengolahan dan untuk mendistribusikan air, terus mengalami kenaikan yang cukup signifi kan dari waktu ke waktu. Sehingga, ini akan dapat menyebabkan masyarakat harus membayar lebih mahal untuk bisa mendapatkan air bersih, seperti yang sedang terjadi di beberapa kawasan di Jakarta.

Sementara itu, kemampuan pemerintah melalui 372 Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) untuk memenuhi kebutuhan air bersih masih jauh dari yang diharapkan. Sampai hari ini, Indonesia baru memiliki sekitar 7,1 juta sambungan air bersih yang secara kasar baru mampu melayani sekitar 35,5 juta jiwa yang mayoritas bermukim di daerah perkotaan. Sehingga, sebagian besar masyarakat yang belum mempunyai akses ke air bersih terpaksa mengantungkan kebutuhan mereka kepada sumber lain permukaan lain, seperti kali, empang, air hujan, sumur dangkal, tanah dalam, dan bahkan air payau sekalipun. Pemanfaatan sumber air alternatif tersebut tentunya mengandung risiko, terutama jika dikaitkan dengan jaminan keamanan kualitas (aspek kesehatan) dan ancaman terjadinya bencana ekologi perkotaan (akibat eksploitasi berlebihan air tanah dalam yang mengakibatkan turunnya muka tanah atau land subsidence ).

Beberapa masalah utama yang menandai terjadinya krisis air antara lain adalah tak tersedianya sumber air minum yang cukup saat ini bagi sekitar 1,1 miliar penduduk dunia. Kedua, pengambilan air tanah yang berlebihan ikut berperan bagi penyusutan lahan pertanian. Ketiga, polusi dan penggunaan mata air yang berlebihan mencederai keanekaragaman hayati yang ada. Keempat, mulai muncul berbagai konfl ik regional yang diakibatkan oleh berbagai kebijakan dan politisasi yang bersumber pada masalah penguasaan sumber air bersih. POKJA

Dokumen terkait