• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sitrinin efektif untuk penanggulangan beberapa penyakit pada tumbuhan seperti penyakit akar hitam pada kol (kubis) karena serangan Xanthomonas campestris. Selain itu juga mempunyai kemampuan sebagai inhibitor pada khamir (Saccharomyces cereviseae) serta Candida albicans. Aktifitas antibiotika terhadap protozoa Paramesia sp. Juga dimiliki oleh sitrinin (Wiley dan Morehouse 1977).

25 Tabel 2.2 Nilai LD50

Jenis Hewan

sitrinin terhadap beberapa jenis hewan percobaan

LD50 (mg/kg) Cara pemberian

Tikus 67,0 Suntikan pada subkutan

atau pada intraperitoneal

Babi 37,0 Suntikan pada subkutan

Kelinci 19,0 Suntikan pada intravenous

Marmut 35,0

110,0

Suntikan pada subkutan Suntikan intraperitoneal oral Sumber: Wiley dan Morehouse (1977)

Biosintesis sitrinin

Percobaan dengan [ 1-14C] asetat dan [ 14C] format Aspergilus candidus menunjukkan bahwa sitrinin berasal dari kondensasi 5 unit asetat, dan introduksi terhadap tiga-satu unit karbon pada C-11 dan C-13 . Biosintesa asal yang serupa diperlihatkan untuk produksi sitrinin dari P. citrinum. Biosintesa sitrinin dari P. citrinum adalah [ 114C] dan [ 6-14

Reduksi sitrinin

C] glukosa. Keduanya mempunyai atom C dengan posisi yang sama. Pola label pada radioaktif sitrinin membukt ikan asal molekul- molekul skeleton dari 2 unit karbon. Atom C-10 lebih aktif mendukung lintasan asesat malonal. Penggabungan satu unit karbon tampaknya berurutan C-11, C-12 dan C-13. Okhratoksin A dan sitrinin yang keduanya berasal dari P.viridicatum cenderung mendukung penggabungan yang dimulai pada C-11. Sitrinin ditemukan bersama okhratoksin pada bebijian (gandum, jawawut), yang terkontaminasi oleh P. citricum. Selain itu sitrinin juga dijumpai pada buah apel yang tercemar P. expansus dan juga patulin. Pada kacang tanah sitrinin ditemukan bersama aflatoksin yang terinfeksi A. flavus, P. citrinum dan A. terreus (Hajjaj 2000).

Secara alami kandungan metabolit sekunder yang diproduksi oleh strain Monascus purpureus baik berupa pigmen, lovastatin dan sitrinin bervariasi. Beberapa strain mempunyai intensitas warna dan kadar lovaatatin yang tinggi, dengan kadar sitrinin rendah. Beberapa strain yang lain mempunyai kadar lovastatin

26 rendah, intensitas warna tinggi dan kadar sitrinin yang relatiif tinggi juga. Kadar sitrinin yang terkandung dalam Monascus purpureus dapat direduksi dengan perlakuan penambahan asam lemak rantai medium seperti yang dilaporkan oleh Hajjaj et al (2000). Percobaan yang dilakukan Hajjay dengan penambahan beberapa jenis asam lemak dengan panjang rantai yang bervariasi, menunjukkan hasil yang bervariasi. Hasil terbaik ditunjukkan penambahan asam lemak rantai medium yaitu asam oktanoat.

Prinsip dasar yang menjadi pertimbangan penambahan asam lemak untuk tujuan reduksi sitrinin adalah memotong jalur metabolism pembentukan metabolit sekunder pada Monascus sp. Percobaan menggunakan 13C

Tabel 2.3 Efek asam lemak dengan variasi panjang rantai karbon pada produksi pigmen dan sitrinin menggunakan M. ruber dengan adanya glukosa dan MSG

nuclear magnetic resonance menunjukkan bahwa biosintesis pigmen merah pada Monascus ternyata menggunakan sekaligus dua jalur (pathway) seperti terlihat pada gambar 4, yaitu jalur pembentukan struktur kromophore (polyketide synthase) dan jalur sintesis asam lemak (the fatty acid synthesis pathway). Dengan memotong jalur sintesis asam lemak dengan cara menambahkan asam lemak dari luar, ternyata dapat mereduksi kandungan sitrinin pada Monascus sp. Hasil penelitian Hajjay (2000) tersaji pada tabel berikut .

a

Tipe asam lemak yang ditambahkan

Konsentrasi (mg/g biomasa) b

Pigmen merah Sitrinin

Kontrol 54 14 Asam heksanoat 43,5 10 Asam oktanoat 114 7,4 Asam dekanoat 52,5 9,0 Asam dodekanoat 51 3,6 Asam miristat 54 14,6 Asam stearat 51 11,6 Asam oleat 55,5 13

Keterangan: a. Masing-masing pada konsentrasi 5 gram/liter. Level sitrinin dan

pigmen diukur setelah 95 jam pertumbuhan M. Ruber.b. pada 1 mM. Sumber : Hajjay et al 1999

27 Perlakuan lain yang juga sering dilakukan untuk tujuan reduksi sitrinin adalah mutagenesis. Mutagenesis dilakukan misalnya dengan penyinaran menggunakan sinar UV, perendaman dengan larutan kimia etidibium bromid dan sebagainya. Upaya- upaya tersebut terbukti dapat mereduksi kandungan sitrinin dengan hasil bervariasi. Meskipun upaya reduksi sitrinin sering dilakukan pada produksi angkak, secara alami strain-strain Monascus purpureus memiliki kandungan sitrinin yang cukup rendah.

Khamir Amilolitik

Khamir merupakan mikroorganisme golongan fungi yang dibedakan bentuknya dari mould (kapang) karena ber sel tunggal (uniseluler).

Reproduksi vegetatif pada khamir terutama dengan cara pertunasan. Sebagai sel tunggal, khamir tumbuh dan berkembang biak lebih cepat dibanding dengan mould yang tumbuh dengan pembentukan filamen. Khamir sangat mudah dibedakan dengan mikroorganisme yang lain misalnya dengan bakteri, khamir mempunyai ukuran sel yang lebih besar dan morfologi yang berbeda. Sedangkan dengan protozoa, khamir mempunyai dinding sel yang lebih kuat serta tidak melakukan photosintesis bila dibandingkan dengan ganggang atau algae. Dibandingkan dengan kapang dalam pemecahan bahan komponen kimi, khamir lebih efektif memecahnya dan lebih luas permukaan serta volume hasilnya lebih banyak. Khamir dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan sifat metabolismenya yaitu bersifat fermentatif dan oksidatif. Jenis fermentatif dapat melakuka n fermentasi alkohol yaitu memecah gula (glukosa) menjadi alkohol dan gas contohnya pada produk roti. Sedangkan oksidatif (respirasi) akan menghasilkan karbon dioksida dan air. Keduanya bagi khamir dipergunakan untuk energi walaupun energi yang dihasilkan melalui respirasi lebih tinggi dari yang melalui fermentasi (Fardiaz 1992).

Secara umum memiliki bentuk elipsoidal, dengan ukuran diameter 5 sampai 10 mikron (untuk sel yang besar), dan 1-3 mikron untuk ukuran sel yang kecil. Mikrooorganisme ini memiliki beberapa organel sel antara lain nukleus, sitoplasma dan membran sitoplasma, vakuola, mitokondria, globula lipid serta dinding sel yang tebal (25 nm) dengan komponen terbesar glukan, juga terdapat kitin dan protein. Morfologi khamir secara umum disajikan pada Gambar 2.9.

28 Gambar 2.9 Bagian-bagian khamir (Anonim, 2004)

Identifikasi khamir untuk kepentingan klasifikasi sedikit berbeda dengan kapang. Pada kapang idintifikasi biasanya didasarkan atas bentuk morfologinya, sedangkan identifikasi khamir selain didasarkan pada morfologi juga ditentukan oleh sifat-sifat lainnya yaitu sifat kultur, fisiologi dan reproduksi seksual.

Berdasarkan sifat-sifat tersebut khamir dapat dibedakan atas tiga kelas, yaitu: 1. Kelas Ascomycetes atau khamir askosporogenous, dimana spora tumbuh di dalam

askus.

2. Kelas Basidiomycetes yang membentuk spora pada basidium.

Aktivitas khamir pada bahan pangan dikelompokkan menjadi beberapa kelompok meliputi : aktivitas pada glukosa, aktivitas dalam senyawa nitrogen, 3. Kelas Deuteromycetes, yaitu khamir yang tidak memproduksi spora seksual, disebut juga fungi imperfecti dan terdiri dari famili: Sporobolomycetaceae yang memproduksi ballistospora dan Cryptococcaceae yang tidak memproduksi ballistospora maupun spora seksual.

29 aktivitas pada asam-asam organik, aktivitas dalam degradasi protein, aktivitas dalam degradasi lemak, aktivitas dalam degradasi selulosa, pektin dan xilan, serta aktivitas dalam degradasi pati. Khususnya khamir yang memiliki kemampuan dalam degradasi pati, telah menjadi subyek penelitian-penelitian di seluruh dunia. Penelitian yang dilakukan adalah berkaitan dengan sifat amilolitik khamir pada pati dalam memproduksi etanol dan biomassa khamir untuk memproduksi minuman dan makanan. Enzim amilase sebagai aktivitas amilolitik pada khamir, diproduksi secara ekstraseluler. Secara umum kelompok khamir yang mempunyai kemampuan amilolitik jumlahnya relatif sedikit antara lain Schwaniomyces occidentalis, Saccharomycopsis fibuliger, Sacch diastiticus, Candida dan Pichia Sedangkan jenis- jenis khamir lainnya tidak memproduksi amilase (Roosifta 2004).

Khamir amilolitik memiliki potensi penting pada produk-produk dimana pati digunakan sebagai bahan utamanya sehingga dapat menyumbangkan flavor yang dikehendaki. Peran amilase khamir yang cukup familiar pada produk fermentasi Indonesia adalah pada tape ketan atau tape singkong (ubi kayu). Pada fermentasi sayur asin dan asam terdapat beberapa yeast jenis Candida sake dan C. guilliermondii yang menggunakan substrat maltosa dan pati untuk diubah menjadi glukosa, kemudian dimetabolisme lebih lanjut menjadi asam-asam organik seperti asam laktat, asetat, suksinat, etanol dan gliserol (Puspito & Fleet 1985). Takeuchi et al (2006), melakukan purifikasi dan karakterisasi α-amilase dari Pichia burtonii yang diisolasi dari starter tradisional “Murcha” dari Nepal. P. burtonii memproduksi enzim amilolitik ekstraseluler katika dikulturkan pada media yang mengandung pati. Enzim hasil purifikasi diberi nama Pichia burtoniiα-amilase (PBA) suatu glikoprotein yang memiliki berat molekul 51 kDa, mempunyai aktivitas optimal pada pH 5,0 pada suhu 40˚C, dan aktivitasnya dihambat oleh ion-ion logam seperti Cd2+, Cu2+, Hg2+, Al2+, dan Zn2+.

Kebanyakan khamir yang digunakan dalam industri termasuk kelas Ascomycetes terutama jenis Saccharomyces. Beberapa khamir makanan dideskripsikan sebagai berikut.

30 Schizosaccharomyces

Schizosaccharomyces melakukan reproduksi aseksual dengan cara pembelahan dan membentuk empat atau delapan askospora per askus setelah melakukan konjugasi isogamik. Khamir jenis ini sering ditemukan pada buah-buahan tropis, molase, tanah, madu, dan sumber-sumber lainnya. Spesies yang paling umum dijumpai adalah S. pombe.

Kelompok khamir ini tidak memproduksi etanol dalam konsentrasi tinggi. S. pombe juga dikenal sebagai ”fission yeast”. Khamir ini digunakan sebagai model organisme dalam biologi dan sel molekuler. Merupakan eukaryote unicellullar, berbentuk batang berukuran diameter 3-4 mikrometer dan panjang 7-14 mikrometer. Khamir ini juga merupakan eukariot yang memiliki genom terpendek yaitu sekitar 13,8 million pasangan basa.

S. pombe memfermentasi asam malat menjadi etanol dan CO2 dan telah digunakan secara komersial dalam fermentasi champagne. Fermentasi dengan S. pombe menghasilkan wine yang titrat keasaman dapat dikurangi karena mempunyai kemampuan memfermentasi asam malolaktat, tetapi menghasilkan wine dengan kualitas buruk.

Pichia

Sel khamir ini berbentuk oval sampai silinder, dan kemungkinan juga membentuk pseudomiselium. Asckospora berbentuk bulat atau seperti topi, dengan jumlah satu sampai empat per askus. Genus Pichia terdiri dari 56 spesies. Pichia membranefaciens mampu survive pada konsentrasi alkohol tinggi. Pichia merupakan khamir nitrat-negatif tetapi beberapa genus seperti Hansenula menunjukkan nitrat- positif.

Kemampuan beberapa genus Pichia tumbuh pada metanol sebagai sumber karbon dan energi sangat penting dalam industrial standpoint. Karakteristik ini ditemukan pada genera Candida, Hansenula, dan Torulasora. Penggunaan jalur metanol pada jenis khamir ini mimpunyai kemiripan dengan permulaan oksidasi metanol menjadi formaldehid, suatu reaksi yang dikatalisasi oleh alkohol oksidase. Reaksi menghasilkan reduksi secara simultan oksigen menjadi hidrogen peroksida.

31 Maka dari itu adanya sequester alkohol oksidase di dalam organel sub seluler peroksisom berfungsi mencegah toksisitas dari hidrogen peroksida.

Saccharomyces

Sel khamir yang termasuk jenis ini mungkin berbentuk bulat, oval, atau memanjang dan mungkin membentuk pseudomiselium. Reproduksi khamir dilakukan dengan cara pertunasan multipolar, atau melalui pembentukan askospora. Spesies yang paling umum digunakan dalam industri makanan adalah Saccharomyces cerevisiae, misalnya dalam pembuatan roti, anggur, brem, gliserol, enzim invertase.

Koloni S. cerevisiae berwarna putih kekuningan, agak berlendir, dan mempunyai aroma khas seperti aroma roti. Untuk pertumbuhannya membutuhkan oksigen, cahaya, dan suhu. Suhu optimum pertumbuhannya adalah 30C, suhu maksimum 35-37C, dan suhu minimumnya adalah 9-11C (Judo amidjojo, et al, 1992).

Saccharomyces cerevisiae melakukan perbanyakan diridengan pertunasan (budding) atau pada beberapa kasus dengan melakukan pembelahan (fission), meskipun beberapa khamir seperti Candida albicans dapat tumbuh sebagai filament- filamen (miselium) sederhana yang tidak beraturan. Mereka juga dapat bereproduksi secara seksual, membentuk asci yang megandung lebih dari 8 askospora-askospora.

Saccharomyces cerevisiae dikenal sebagai "bakers yeast" atau "brewers yeast". Khamir memfermentasi gula yang ada pada tepung atau yang ditambahkan pada adonan, menghasilkan karbon dioxida (CO2) dan alkohol (ethanol). Pada adonan roti CO2 terperangkap sebagai gelembung-gelembung udara kecil dalam adonan, sehingga adoanan kelihatan mengembang.

Endomycopsis

Endomycopsis merupakan kelompok khamir sejati (true yeast), sel berbentuk pseudomiselium dengan jumlah spora 1-4, bereproduksi secara vegetatif (aseksual) melalui pembentukan spora blastospora. Hanya beberapa khamir yang dapat memfermentasi polisakarida termasuk khamir jenis ini dapat memfermentasi

32 pati, contohnya Endomycopsis fibuliger. Jenis Endomycopsis burtonii dapat diisolasi dari produk fermentasi tape baik tape singkong maupun tape ketan

Sifat Fisiologi Khamir

Sifat fisiologi khamir secara umum berkaitan erat dengan kondisi pertumbuhan, metabolisme, dan substrat untuk pertumbuhan khamir. Kondisi pertumbuhan yang berkaitan dengan batas aktivitas air berkisar 0,88-0,94. Kisaran suhu untuk pertumbuhan kebanyakan khamir pada umumnya hampir sama dengan kapang, yaitu mempunyai kisaran suhu optimum 25-30°C dan kisaran suhu maksimum pertumbuhan 35-47°C. Kebanyakan khamir lebih menyukai tumbuh pada keadaan asam, yaitu pada pH 4-4,5, dan tidak dapat tumbuh dengan baik pada medium alkali, kecuali jika telah beradaptasi. Khamir tumbuh baik pada kondisi aerobik.

Metabolisme dan substrat untuk pertumbuhan khamir berkaitan erat dengan hal-hal sebagai berikut: Khamir dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan sifat metabolismenya, yaitu yang bersifat fermentatif dan oksidatif. Khamir fermentatif dapat melakukan fermentasi alkohol, yaitu memecah glukosa melalui jalur glikolisis (Embden Meyerhoff-Parnas).

Penelitian yang dilakukan oleh Suha et al (2000), berkaitan dengan analisis fisiologi ko-kultur Monascus sp J101 dengan S. cereviseae menunjukkan bahwa selama proses fermentasi Monascus sp. J101 dengan S. cereviseae kultur filtrat distimulasi untuk membentuk spora reproduktif yang secara bertahap menghasilkan akselerasi reproduksi dan proliferasi sel. Juga dideteksi aktivitas protein kinase C. Khitinase (EC 3.2.1.14), suatu protein 120-kDa yang disekresikan dimurnikan dari kultur filtrat S. cereviseae sebagai efektor. Kultur filtrat mengandung total lipid

Khamir yang digunakan pada roti dan bir bersifat fermentatif kuat. Akan tetapi dengan adanya oksigen , dapat melakukan respirasi yaitu mengoksidasi gula menjadi karbón dioksida dan air. Kedua sistem tersebut menghasilkan energi, meskipun energi yang dihasilkan melalui respirasi lebih tinggi dibandingkan dengan melalui fermentasi.

33 kira-kira 4 kali lebih banyak dibanding tanpa kokultur (terutama asam oleat dan asam linoleat). Penambahan asam lemak dari luar hanya berkontribusi pada peningkatan masa sel.

Perubahan morfologi dan peningkatan produksi pigmen Monascus selama ko- kultur dengan S. cerevisiae atau A. oryzae diteliti oleh Shin et al.(1998). Dilaporkan terjadi perubahan morfologi yang signifikan pada kultur Monascus. Dengan kokultur menunjukkan peningkatan masa sel dua kali lipat dan pigmen mengalami peningkatan 30-40 kali dibanding monokultur. Sebaliknya kokultur antara Monascus dengan Bacillus cereus tidak terjadi perubahan morfologi, peningkatan pertumbuhan sel, dan peningkatan produksi pigmen.

Kokultur antara Monascus dan S. cerevisiae lebih efektif dalam meningkatkan produksi pigmen dibanding dengan A. oryzae. Dilaporkan bahwa peningkatan pertumbuhan sel dan peningkatan produksi pigmen terjadi berhubungan dengan perubahan morfologi.

Beberapa enzim hidrolitik diproduksi oleh S. cerevisiae seperti amilase dan kitinase yang berfungsi sebagai efektor. Penambahan enzim komersial amilase dan protease dari A. oryzae keduanya menyebabkan perubahan morfologi di dalam sel Monascus dan efektif dalam meningkatkan produksi pigmen. Sebaliknya lisozim, amilase dan protease dari spesies Bacillus, protease dari Staphylococcus, dan khitinase dari Streptomyces tidak efektif. Enzim hidrolitik menyebabkan perubahan morfologi dan peningkatan produksi pigmen berkaitan dengan kemampuannya mendegradasi dinding sel Monascus. Terjadi peningkatan produksi pigmen sekitar 10 kali lipat dengan menggunakan kokultur S. cerevisiae pada fermentasi cair oleh Monascus.

Aplikasi Ko-kultur pada Proses Fermentasi

Ko-kultur merupakan pertumbuhan bersama dua atau lebih jenis sel mikroba yang berbeda pada suatu media fermentasi. Ko-kultur juga diartikan sebagai campuran tipe-tipe sel yang berbeda dalam suatu kultur yang memungkinkan merupakan pendekatan suatu model interaksi secara in vivo ( Mark 2005). Aplikasi ko-kultur secara umum bertujuan untuk meningkatkan aspek-aspek positif tertentu

34 yang diharapkan dari kegiatan fermentasi. Beberapa peneliti telah mengaplikasikan ko-kultur pada topik penelitian mereka. Mays et al. 1984, melakukan ko-kultur antara Lactobacillus dengan Veillonella untuk produksi asam propionat. Prinsip ko-kultur tersebut adalah suatu proses untuk produksi asam laktat atau garamnya dan asam propionat dan atau asam asetat atau garamnya oleh katabolisme suatu substrat karbohidrat melalui proses fermentasi bakteri dua tahap secara simultan. Tahap pertama, karrbohidrat dikonversi menjadi asam laktat oleh bakteri sakarolitik seperti Lactobacillus casei subspesies rhamnosus. Pada tahap ke dua, asam laktat secara resultante difermentasi menjadi asam propionat dan asam asetat, karbon dioksida dan hidrogen oleh bakteri kedua yang diadaptasi untuk mampu tumbuh dengan keberadaan bakteri pertama, misalnya jenis-jenis bakteri yang mampu mengkatabolisme asam laktat seperti Veillonella criceti.

Simove et al. 2004 menggunakan kultur campuran Rhodotorula rubra GED10 dan bakteri yoghurt (Streptococcus thermophilus 13a+Lactobacillus bulgaricus 2-11) untuk produksi beberapa eksopolisakarida. Metode yang digunakan adalah campuran mikroba tersebut dikultivasi pada media whey keju yang telah diultrafiltrasi (WU). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa laktosa yang terdapat di dalam substrat WU dapat secara efektif digunakan oleh campuran mikroba Rhodotorula rubra GED10 dan bakteri yoghurt (Streptococcus thermophilus 13a+Lactobacillus bulgaricus 2-11) untuk sintesis beberapa eksopolisakarida.

Ko-kultur antara M. purpureus dan M. ruber dilakukan oleh Panda et al., (2010) untuk optimasi parameter-parameter fermentasi untuk meningkatkan produksi lovastatin angkak. Ko-kultur M. purpureus MTCC 369 dengan M. ruber MTCC 1880 dilakukan pada fermentasi padat. Optimasi parameter- parameter proses fermentasi yang berbeda seperti temperatur, waktu fermentasi, volume inokulum, dan pH dari subtrat padat dirancang dengan metodologi respon permukaan dari rancangan Box-Behnken’s faktorial untuk memaksimalkan produksi lovastatin. Hasil yang diperoleh menunjukkan produksi lovastatin tertinggi adalah 2,83 mg/g diprediksi pada 14 hari fermentasi pada substrat padat dibawah kondisi proses yang dioptimasi.

35 3. METODOLOGI UMUM

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bidang Mikrobiologi LIPI Cibinong, dan Laboratorium Pengujian, VEDCA, Cianjur. Penelitian berlangsung dari bulan Desember 2007 sampai dengan April 2009.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan sebagai substrat fermentasi Monascus purpureus adalah beras jenis IR 42 yang diperoleh di sekitar pasar Bogor, Jawa Barat. Kultur mikroba untuk produksi angkak menggunakan enam strain M. purpureus (koleksi laboratorium Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, Cibinong, Bogor) yang terdiri dari TOS, AID, JmbA, JmbA5K, JmbA3M, dan dan AS3K. Khamir indigenus yang digunakan adalah 16 strain yaitu lima strain koleksi Lab. Ilmu Hayati ITB : Saccharomyces cerevisiae, Pichia, Schizosaccharomyces, Endomycopsis burtonii, Candida utilis dan 11 strain koleksi laboratorium Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, Cibinong, Bogor: S. cerevisiae Mka, Mkb, Unb, Mk, Imb, Gl, D5a, Mgb, Hm, Dmga, dan Kd.

Bahan-bahan kimia yang digunakan meliputi etanol 70%, media Malt Ekstrak Agar (MEA), bacto agar, pati 2%, NaCl 5gr/l, NaOH 1M, HCL 1M, buffer Tris HCl 20 mM (pH 7,0) , akuades, metanol, standar lovastatin, standar sitrinin. 0,1 mol/l NaOH, asetonitril, H3PO4, etil asetat, bahan-bahan kimia untuk

isolasi m. RNA meliputi : TRIzol, kloroform, isopropil alkohol, etanol 75% (perlakuan DEPC-treated water) RNase free water (water add diethylpyrocarbonate /DEPC), Stock buffer (200 mM NaCl ; 200 mM Tris-Cl pH 7,5 ; 1,5 mM MgCl ; 2% SDS, buffer TAE, gel agarosa.

Alat-alat yang digunakan meliputi autoklaf, High Pressure Liquid Chromatography (HPLC), laminar air flow, perangkat gel elektroforesis, inkubator shaker, inkubator, pipet mikro, bunsen, ose, oven, neraca analitik, pH meter, vorteks, spektrofotometer, perangkat program densitometer (CS analyzer) sentrifuse, tabung eppendorf, , alat-alat gelas, serta alat-alat lainnya.

36 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam 4 tahap seperti terlihat pada Gambar 3.1, meliputi:

1). Seleksi 16 isolat khamir indigenus untuk mendapatkan khamir amilolitik dan pengamatan kurva pertumbuhan enam strain M. purpureus

2). Produksi angkak oleh M. purpureus ko-kultur dengan khamir indigenus terpilih (khamir amilolitik). Angkak yang dihasilkan kemudian dilakukan analisis intensitas warna, kadar lovastatin dan kadar sitrinin.

3). Analisis intensitas ekspresi gen yang bertanggung jawab pada biosintesis lovastatin dari M. purpureus penghasil lovastatin tertinggi setelah di ko-kultur dengan khamir amilolitik. Tahap ini dilakukan dengan melalui serangkaian analisis meliputi : isolasi total RNA, transkripsi balik menggunakan PCR ( Reverse-Transcription Polymerase Chain Reaction), elektroforesis, dan pengukuran densitas.

4). Mempelajari stabilitas pigmen dan lovastatin angkak oleh pengaruh suhu dan pH.

Seleksi khamir amilolitik indigenus (Naiola, 2008)

Seleksi terhadap 16 isolat khamir indigenus untuk mendapatkan khamir yang memiliki aktivitas amilolitik, dilakukan pengujian secara kualitatif. Strain khamir (16 isolat) ditumbuhkan pada cawan petri yang berisi media agar berpati (bacto agar, pati 2%, NaCl 5gr/l), kemudian diinkubasi ± 36 jam pada suhu 30ºC. Cawan petri yang sudah ditumbuhi khamir ditetesi lugol. Isolat yang menunjukkan zona bening, mengindikasikan sebagai isolat khamir amilolitik. Khamir amilolitik terpilih akan digunakan sebagai ko-kultur pada tahap prod uksi angkak oleh M. purpureus.

37 Seleksi khamir amilolitik

Khamir amilolitik terpilih

Fermentasi angkak oleh 6 strain M. purpureus indigenus (Mp) ko-kultur dengan khamir amilolitik

• Konsentrasi khamir : 103, 104, 105 • Waktu penambahan khamir : hari ke 2, 4, 6

fermentasi

cfu/ml

• Analisis intensitas pigmen merah, kuning, jingga • Analisis kadar lovastatin

• Analisis kadar sitrinin

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 16 strain

khamir indigenus

Produksi angkak

Analisis stabilitas pigmen dan lovastatin oleh pengaruh suhu dan pH

Analisis intensitas ekspresi gen penghasil lovastatin

(Isolasi total RNA, RT- PCR, elektroforesis)

38 Produksi Angkak oleh M. purpureus Ko-kultur

dengan Khamir Amilolitik Persiapan Starter Monascus purpureus

Tahap awal persiapan starter Monascus purpureus adalah pembuatan suspensi M. purpureus dari 6 strain yang digunakan yaitu TOS, JMBA 5K, AID dan JMBA 3M, JmbA dan AS3K. Akuades steril sebanyak 2,5 mL dimasukkan ke dalam masing-masing biakan agar miring M. purpureus yang berumur 14 hari, kemudian dilakukan penggoresan sampai biakan terlepas sehingga diperoleh suspensi biakan M. purpureus . Untuk membuat starter, sebanyak 25 g beras dalam cawan petri disterilisasi menggunakan otoklaf pada suhu 121C selama 15 menit. Setelah disterilisasi, beras didinginkan sampai suhu  36 C. Beras kemudian diinokulasi dengan suspensi M. purpureus sebanyak 2,5 mL dan diaduk merata menggunakan pengaduk steril. Selanjutnya diinkubasi pada suhu (27-32) C selama 14 hari. Setelah berumur 14 hari atau lebih, siap digunakan sebagai starter untuk produksi angkak. Angkak kemudian dikeringkan sampai kadar air 5%.

Persiapan Inokulum Khamir Amilolitik

Biakan agar miring khamir amilolitik terseleksi berumur 48 jam, ditambahkan 2,5 ml akuades steril, kemudian dilakukan penggoresan sampai biakan terlepas sehingga diperoleh suspensi biakan khamir amilolitik. Tahap berikutnya dilakukan penghitungan total koloni khamir (umumnya sekitar 106 cfu/ml), kemudian untuk membuat inokulum 105 cfu/ml, diencerkan dengan menambahkan 10 ml akuades steril. Pembuatan 104 cfu/ml inokulum dengan