• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK

Produksi pigmen angkak oleh enam strain Monascus purpureus ditumbuhkan bersama (ko-kultur) dengan khamir amilolitik terseleksi dari sejumlah 16 strain khamir indigenus yang digunakan. Khamir yang menunjukkan aktivitas amilolitik hanya satu yaitu Endomycopsis burtonii. Ko-kultur dilakukan dengan menginokulasi E. burtonii pada berbagai konsentrasi (103-105) cfu/ml dan waktu fermentasi yang berbeda (2, 4, dan 6 hari). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa produksi pigmen merah angkak dipengaruhi oleh konsentrasi dan waktu penambahan E. burtonii. Penambahan E. burtonii pada hari ke dua fermentasi, menyebabkan penurunan intensitas pigmen merah baik oleh semua strain M. purpureus indigenus maupun mutan. Produksi pigmen merah oleh semua strain M. purpureus, baru mengalami peningkatan yang nyata, bila penambahan E. burtonii dilakukan pada hari ke empat. Penambahan E. burtonii pada hari ke enam mampu meningkatkan produksi pigmen merah lebih lanjut hanya pada strain TOS dan JmbA, sedangkan untuk strain lainnya mengalami penurunan. Produksi pigmen merah tertinggi yang diukur sebagai absorbansi (500 nm) adalah 14,5 dihasilkan oleh strain M. purpureus TOS dengan ko-kultur E. burtonii 103 cfu/mlpada hari ke enam.

Key words: Pigmen, angkak, Monascus purpureus, Endomycopsis burtonii

PENDAHULUAN

Pigmen angkak adalah produk metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang Monascus purpureus. Pigmen angkak telah dibuktikan tidak berbahaya bagi kesehatan dan tidak menimbulkan alergi pada tikus percobaan (Wong dan Koehler, 2000). Pigmen angkak merupakan pewarna alami dan telah lama diaplikasikan pada berbagai jenis pangan di negara-negara Asia seperti Jepang, Cina, Thailand, Filipina dan Indonesia. Menurut Carels dan Shepherd (2001), beberapa galur yang mampu memproduksi pigmen angkak diantaranya M. purpureus, M. rubropunctatus. M. rubiginosus. M. anka, .M . major, dan M. bakeri. berbagai galur tersebut yang paling umum digunakan untuk produksi angkak adalah M. purpureus. Monascus purpureus merupakan fungi yang tidak patogen ( Chiu et al 2006; Lee et al. 2006).

45 Pigmen yang diproduksi oleh M. purpureus selama fermentasi angkak terdiri dari pigmen merah, kuning dan jingga. Pigmen angkak terdiri dari rubropunktamin dan monaskorubramin sebagai pigmen merah, sedangkan pigmen jingga terdiri dari rubropunktatin dan monaskorubrin, serta pada pigmen kuning adalah ankaflavin dan monaskin (Margalith, 2000).

Penelitian-penelitian untuk produksi pigmen angkak selama ini, dilakukan secara monokultur menggunakan berbagai spesies Monascus (Lee at al. 2006;; Miyake et al. 2005). Upaya peningkatan produksi pigmen merah melalui aplikasi ko-kultur dilakukan oleh Lim et al (2000). Ko-kultur dilakukan antara Monascus sp. dengan Saccharomyces cerevisiae rekombinan yang mengekspresikan gen glukoamilase dari Aspergillus niger. Produksi pigmen merah dilakukan pada fermentasi kultur cair dan hasil yang diperoleh menunjukkan peningkatkan produksi pigmen merah sebesar 19% dibandingkan ko-kultur Monascus dengan S. cerevisiae tanpa perlakuan rekombinan.

Aplikasi ko-kultur dengan spesies fungi yang dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan peningkatan enzim, produksi asam organik, dan reaksi biokonversi oleh mikroorganisme (Banerjee et al. 2005; Pandey et al. 1999; Temudo et al. 2007). Jenis-jenis khamir tertentu mampu memproduksi enzim amilase. Aplikasi ko-kultur dengan khamir penghasil amilase pada fermentasi angkak memberikan kondisi sebagai berikut: enzim amilase mendegradasi substrat menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana misalnya glukosa. Senyawa-senyawa sederhana yang terbentuk lebih mudah dikonsumsi M. purpureus untuk kebutuhan pertumbuhannya. Khamir juga membutuhkan substrat untuk pertumbuhan. Kebutuhan akan subtrat untuk pertumbuhan, memungkinkan terjadinya kompetisi antara M. purpureus dan khamir. Kondisi kompetisi memacu kapang M. purpureus memproduksi komponen metabolit-metabolit sekunder seperti pigmen.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pigmen angkak, melalui ko-kultur strain-strain M. purpureus dengan menggunakan khamir amilolitik indigenus terseleksi. Ko-kultur dilakukan dengan menginokulasi khamir amilolitik terseleksi pada berbagai konsentrasi (103-105) cfu/ml dan waktu fermentasi yang berbeda (2, 4, dan 6 hari). Dari penelitian ini akan diperoleh

46 informasi strain M. purpureus, konsentrasi dan waktu ko-kultur yang optimal dalam produksi pigmen angkak.

Metode Penelitian Strain kapang dan khamir

Kapang yang digunakan pada penelitian ini adalah enam strain M. purpureus yang terdiri dari tiga strain indigenus (TOS, JmbA, dan AID) dan tiga strain mutan (JmbA5K, JmbA3M, dan AS3K). Strain-strain tersebut merupakan koleksi laboratorium Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, Cibinong, Bogor. Khamir yang digunakan adalah 16 strain khamir indigenus. Lima strain khamir merupakan koleksi laboratorium Ilmu Hayati, ITB, Bandung, yaitu : Saccharomyces ceriviseae, Rhodotorula rubra, Endomycopsis burtonii, Candida utilis, Zygosaccharomyces rouxii, sedangkan 11 strain lainnya merupakan koleksi laboratorium Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, Cibinong, Bogor meliput i Saccharomyces cerevisiae Mka, Mkb, Unb, Mk, Imb, Gl, D5a, Mgb, Hm, Dmga, Kd. Peremajaan M. purpureus TOS, JmbA, AID, JmbA5K, JmbA3M dan AS3K dilakukan pada agar miring MEA (Malt Ekstrak Agar). Agar miring yang telah digores diinkubasi pada suhu 30°C selama 7 hari. Pada hari ke 7 jumlah spora mencapai 2.25 x 107 cfu/ml. Biakan agar miring tersebut kemudian disimpan dalam lemari pendingin sebagai kultur stok. Endomycopsis burtonii diremajakan pada media agar miring Yeast Malt Agar (YM agar). Agar miring yang telah digores diinkubasi pada suhu 30°C selama 2 hari. Biakan khamir yang telah tumbuh disimpan dalam lemari pendingin sebagai stok kultur.

Substrat fermentasi

Substrat yang digunakan untuk fermentasi angkak adalah beras IR 42, diperoleh dari pasar di daerah Bogor, Jawa Barat. Beras sebelumnya dicuci dan direndam ±1 malam, kemudian ditiriskan dan disterilisasi 121ºC selama 30 menit. Beras selanjutnya didinginkan dan siap digunakan sebagai substrat fermentasi.

47 Persiapan Starter Monascus purpureus

Tahap awal persiapan starter Monascus purpureus adalah pembuatan suspensi M. purpureus dari 6 strain yang digunakan yaitu TOS, JMBA 5K, AID dan JMBA 3M, JmbA dan AS3K. Akuades steril sebanyak 2,5 mL dimasukkan ke dalam masing-masing biakan agar miring M. purpureus yang berumur 14 hari, kemudian dilakukan penggoresan sampai biakan terlepas sehingga diperoleh suspensi biakan M. purpureus . Untuk membuat starter, sebanyak 25 g beras dalam cawan petri disterilisasi menggunakan otoklaf pada suhu 121C selama 15 menit. Setelah disterilisasi, beras didinginkan sampai suhu  36 C. Beras kemudian diinokulasi dengan suspensi M. purpureus sebanyak 2,5 mL dan diaduk merata menggunakan pengaduk steril, selanjutnya diinkubasi pada suhu 27-32 C selama 14 hari. Angkak yang diperoleh, siap digunakan sebagai starter untuk produksi angkak.

Kurva Pertumbuhan Monascus purpureus pada fermentasi angkak

Beras sebanyak 25 gr dalam jar, disterilkan pada 121°C 15 menit, kemudian didinginkan. Inokulum M. purpureus ditambahkan ke dalam beras ( setiap  2,5 g starter ( 10%) ditambahkan pada 25 g beras yang sudah disterilisasi). Beras kemudian difermentasi selama 14 hari. Mulai hari ke 0 dan setiap interval 2 hari dilakukan pengamatan pola pertumbuhannya dengan melakukan perhitungan jumlah koloni kapang.

Seleksi khamir amilolitik indigenus (Naiola, 2008)

Strain khamir (16 strain) diinokulasi pada cawan petri yang berisi media agar berpati (bakto agar, pati 2%, NaCl 5gr/l), kemudian diinkubasi ± 36 jam pada suhu 30ºC. Cawan petri yang sudah ditumbuhi khamir ditetesi Iod. Strain yang menunjukkan zona bening, mengindikasikan sebagai strain khamir penghasil amilase. Seleksi khamir penghasil amilase, didasarkan pada zone bening yang terbentuk. Khamir yang terpilih pada tahap ini selanjutnya akan digunakan untuk ditumbuhkan bersama (ko-kultur) dengan M. purpureus pada produksi lovastatin.

48 Persiapan starter khamir amilolitik

Biakan agar miring khamir amilolitik terseleksi berumur 48 jam, ditambahkan 2,5 ml akuades steril, kemudian dilakukan penggoresan sampai biakan terlepas sehingga diperoleh suspensi biakan khamir amilolitik. Tahap berikutnya dilakukan penghitungan total koloni khamir (diperkirakan sekitar 106 cfu/ml), kemudian untuk membuat inokulum 105 cfu/ml, diencerkan dengan menambahkan 10 ml akuades steril. Pembuatan 104 cfu/ml inokulum dengan menambahkan 100 ml akuades steril, dan untuk 103 cfu/ml dengan menambahkan 1000 ml akuades steril.

Produksi angkak oleh Monascus purpureus ko-kultur dengan khamir amilolitik indigenus

Produksi angkak menggunakan enam strain M. purpureus (107cfu/ml) dilakukan dengan fermentasi padat substrat beras IR 42 yang telah disterilisasi dahulu. Ko-kultur dilakukan dengan menambahkan khamir amilolitik indigenus pada hari fermentasi ke 2, 4, dan 6 dengan variasi konsentrasi 103,104,105cfu/ml. Fermentasi dilakukan pada suhu ± 30°C di dalam inkubator selama 14 hari. Setelah 14 hari dilakukan pemanenan, kemudian dikeringkan pada suhu 60°C sampai mencapai kadar air ± 5%.

Analisis Intensitas Warna Angkak (Miyake et al, 1984).

Angkak dihaluskan dengan mortar hingga menjadi bubuk. Bubuk pigmen angkak sebanyak 100 mg diekstraksi dengan 900l etanol 75%, dikocok dengan vortex mixer, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 9520 G selama 15 menit. Supernatan ditampung dalam tabung eppendorf, sedangkan pellet (biomassa) ditambah lagi dengan 900 l etanol 75%, dikocok dengan vortex mixer dan disentrifugasi kembali pada kecepatan 9520 G selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh digabungkan dengan supernatan hasil ekstraksi pertama dan dikocok dengan vortex mixer. Intensitas warna diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm untuk warna kuning, 470 nm untuk warna jingga dan 500 nm untuk warna merah dengan berbagai pengenceran untuk

49 memperoleh nilai absorbansi kurang dari satu. Produksi pigmen dinyatakan dalam nilai absorbansi dikalikan dengan faktor pengenceran (Miyake et al, 1984).

Hasil dan Pembahasan

Seleksi khamir amilolitik indigenus

Seleksi khamir bertujuan untuk mendapatkan khamir indigenus amilolitik. Dari 16 strain khamir yang diseleksi, hanya ditemukan satu strain yang menunjukkan zona bening pada media setelah ditambah Iod yaitu Endomycopsis burtonii. Zona bening yang terbentuk merupakan respon dari khamir E. burtonii dalam mengekspresikan aktivitas amilase yang dihasilkannya dalam memecah pati, menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana seperti glukosa. Amilase memiliki beberapa sisi aktif yang dapat mengikat 4 hingga 10 molekul substrat sekaligus. Amilase termasuk ke dalam golongan enzim kelas 13 glikosil hidrolase. Alfa-amilase akan memotong ikatan glikosidik α-1,4 pada molekul pati (karbohidrat) sehingga terbentuk molekul-molekul karbohidrat yang lebih pendek. Beta-amilase merupaka digunakan dalam proses permecahan makromolekul karbohidrat. Pemecahan makromolekul karbohidrat ini akan menghasilkan molekul karbohidrat rantai pendek atau molekul yang lebih sederhana (Anonim 2005).

Enzim amilase sebagai aktivitas amilolitik pada khamir, diproduksi secara ekstraseluler. Secara umum khamir bukan sebagai mikroba amiloliti, aktivitas yang biasa dimiliki khamir adalah memecah gula menjadi alkohol. Kelompok khamir yang mempunyai kemampuan amilolitik jumlahnya relatif sedikit antara lain Schwaniomyces occidentalis, Saccharomycopsis fibuliger, Sacch diastiticus, Candida dan Pichia. Jenis-jenis khamir lainnya tidak memproduksi amilase (Roosifta 2004), sehingga dari 16 khamir yang diseleksi, hanya satu khamir yang bersifat amilolitik yaitu E. burtonii. E. burtonii ini selanjutnya akan digunakan untuk ko-kultur dengan enam strain M. purpureus dalam produksi angkak.

Kurva Pertumbuhan Strain Monascus purpureus Pada Fermentasi Angkak Kurva pertumbuhan enam strain M. purpureus TOS, JmbA5K, AID, JmbA 3M, JmbA dan AS3K disajikan pada Gambar 4.1. Uji statistik menunjukkan tidak

50 terdapat perbedaan yang nyata diantara kurva pertumbuhan enam strain M. purpureus tersebut pada tingkat kepercayaan 95%. Kurva pertumbuhan M. purpureus secara umum mengikuti pola pertumbuhan mikroba pada umumnya. Pertumbuhan M. purpureus melalui fase-fase adaptasi, logaritmik, stasioner dan akhirnya menuju ke fase kematian. Fase logaritmik dimulai pada hari ke 2 sampai hari ke 4 fermentasi, kemudian setelah hari ke 4 mulai memasuki fase stasioner .

Pola pertumbuhan ke enam strain M. purpureus selama 14 hari relatif sama, yaitu pertumbuhan optimum (± 6,0-7,0 log cfu/g) pada umumnya dicapai pada hari ke 6 (H6) fermentasi. Informasi kurva pertumbuhan enam strain M. purpureus penting untuk mendukung penjelasan tahap penelitian berikutnya pada ko-kultur M. purpureus dengan khamir terpilih untuk produksi lovastatin.

Gambar 4.1 Pertumbuhan enam strain M. purpureus pada fermentasi angkak

Pengaruh ko-kultur Monascus purpureus dengan Endomycopsis burtonii terhadap pigmen merah angkak

Produksi pigmen merah angkak setelah fermentasi 14 hari yang diukur sebagai intensitas warna (absorbansi) disajikan pada Gambar 4.2.

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0 8,0 0 2 4 6 8 10 12 14 Ju m lah p rop agu l (l og c fu /g )

Lama fermentasi (hari)

JmbA AID TOS AS3K JmbA5K JmbA3M

51 Gambar 4.2 Pengaruh konsentrasi dan waktu penambahan Endomycopsis burtonii

52 Produksi pigmen merah angkak oleh strain-strain M.\purpureus kontrol tanpa ko-kultur secara statistik menunjukkan intensitas yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Aplikasi ko-kultur M. purpureus dengan E. burtonii secara umum dengan konsentrasi dan waktu penambahan E. burtonii tertentu, mampu meningkatkan produksi pigmen merah angkak.

Semakin awal (hari ke 2) penambahan E. burtonii, menyebabkan produksi pigmen merah pada semua strain menurun. Hal ini mungkin disebabkan karena terganggunya pertumbuhan dan produksi pigmen merah oleh M. purpureus. Penambahan E. burtonii pada hari ke 4 fermentasi mampu meningkatkan produksi pigmen merah pada semua strain. Di sisi lain, penambahan E. burtonii pada hari ke 6 (Gambar 4.2), menyebabkan penurunan produksi pigmen pada beberapa strain seperti JmbA5K, AID, AS3K dan JmbA3M, namun khususnya untuk strain TOS dan JmbA masih mampu meningkatkan produksi pigmen merah.

Pada strain-strain M. purpureus mutan yaitu JmbA5K, AS3K dan JmbA3M, pengaruh ko-kultur dengan penambahan E.burtonii dengan konsentrasi dan waktu yang divariasikan, juga menunjukkan pola produksi pigmen merah yang sama. Semakin awal (hari ke 2) penambahan E. burtonii, menyebabkan produksi pigmen merah pada semua strain menurun. Penambahan E.burtonii pada hari ke 4 fermentasi mampu meningkatkan produksi pigmen merah pada semua strain, sedangkan penambahan E.burtonii pada hari ke 6 menyebabkan penurunan produksi pigmen merah pada semua strain mutan.

Pengaruh konsentrasi penambahan E. burtonii terhadap produksi pigmen merah angkak strain-strain M. purpureus indigenus, menunjukkan semakin tinggi konsentrasi menyebabkan peningkatan produksi pigmen merah semakin tinggi khususnya untuk strain-strain TOS dan JmbA. Sedangkan untuk strain AID, penambahan E. burtonii sampai konsentrasi 104cfu/ml mampu meningkatkan produksi pigmen merah angkak, namun pada penambahan 105cfu/ml menyebabkan penurunan produksi pigmen merah angkak. Terhadap strain-strain mutan, aplikasi ko-kultur terhadap produksi pigmen merah menunjukkan pola produksi yang relatif sama. Konsentrasi 102cfu/ml E. burtonii menyebabkan penurunan produksi pigmen merah angkak, sedangkan pada konsentrasi

53 104cfu/ml mampu meningkatkan produksi pigmen merah, sedangkan pada konsentrasi 105

Pigmen merah angkak yang diproduksi M. purpureus strain TOS menunjukkan hasil tertinggi pada penambahan E. burtonii hari ke 6 dengan konsentrasi 10

cfu/ml justru menurunkan produksi pigmen.

4

cfu/ml yaitu sebesar 14,5 yang diukur pada absorbansi 500 nm. Dengan demikian strain TOS merupakan strain yang baik untuk memproduksi pigmen merah dengan penambahan E. burtonii hari ke 6 dengan konsentrasi 104

Penurunan produksi pigmen akibat penambahan E. burtonii pada awal fermentasi kemungkinan disebabkan hal-hal berikut. Kondisi awal fermentasi merupakan fase kritis pertumbuhan mikroba. Pada tahap awal mikroba membutuhkan fase adaptasi terhadap lingkungan pertumbuhannya. Penambahan khamir pada tahap awal fermentasi dapat mengganggu pertumbuhan M. purpureus. Kehadiran mikroba lain pada awal pertumbuhan memicu terjadinya kompetisi dalam memperbutkan substrat untuk kebutuhan pertumbuhan, sejalan dengan hasil penelitian Lim et al (2000) yang melaporkan bahwa kehadiran khamir pada awal pertumbuhan dapat menjadi kompetitor bagi kapang. Masalah utama pada teknik ko-kultur, produksi pigmen dapat menurun disebabkan Saccharomyces cereviseae dapat menekan pertumbuhan Monascus purpureus ketika penambahan S. cereviseae. terlalu awal dan dalam jumlah yang terlalu tinggi.

cfu/ml.

Peningkatan intensitas pigmen angkak setelah perlakuan ko-kultur M. purpureus dengan E. burtonii kemungkinan disebabkan oleh pengaruh enzim amilase yang dihasilkan oleh E. burtonii. Amilase akan mempercepat degradasi substrat menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana. Senyawa-senyawa sederhana yang terbentuk lebih mudah dikonsumsi M. purpureus untuk kebutuhan pertumbuhannya. E.burtonii juga membutuhkan substrat untuk pertumbuhan. Kebutuhan akan subtrat untuk pertumbuhan, memungkinkan terjadinya kompetisi antara M. purpureus dan E. burtonii. Kondisi kompetisi memicu kapang M. purpureus memproduksi metabolit-metabolit sekunder untuk bertahan dalam kompetisi.

54 Kemungkinan lain yang dapat memicu peningkatan intensitas pigmen adalah, strain-strain M. purpureus juga memproduksi enzim amilase. Produksi enzim amilase yang semakin banyak, baik berasal dari M. purpureus maupun dari E.burtonii menyebabkan semakin banyak pula amilosa yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa, dengan demikian produksi pigmen juga semakin meningkat. Glukosa dibutuhkan sebagai sumber energi selama pembentukan metabolit sekunder (Danuri 2008).

Menurut Chen dan Johns (1994), pigmen M. purpureus dihasilkan melalui jalur poliketida yang memerlukan asetil-koA. Asetil-koA dibentuk oleh asam piruvat, sedangkan asam piruvat berasal dari dekarboksilasi oksidatif molekul glukosa. Dengan semakin banyak glukosa yang disintesa oleh aktifitas amilase E. burtonii, maka semakin banyak pula asam piruvat yang dibentuk, demikian juga dengan asetil-koA. Dengan demikian produksi pigmen juga semakin banyak.

Monascus sp. mempunyai kemampuan memproduksi pigmen sebagai metabolit sekunder. Proses pembentukan metabolit pigmen tersebut melalui suatu jalur yang cukup panjang. Dimulai dengan tahapan katabolisme substrat oleh mikroba dengan cara memecah senyawa-senyawa makromolekul yang terkandung dalam substrat. Karbohidrat sebagai salah satu makromolekul merupakan sumber energi dominan bagi mikroba. Karbohidrat dalam bentuk polisakarida dipecah menjadi heksosa atau pentosa. Sumber energi kedua setelah karbohidrat adalah protein. Protein dipecah menjadi asam-asam amino. Tahap berikutnya merupakan pemecahan menjadi senyawa dengan dua atau tiga atom karbon.

Menurut Carels dan Shepherd (1978), pigmen merah angkak terbentuk karena keluarnya cairan granular melewati ujung hifa yang rusak pada M. purpureus. Ketika kultur masih muda, cairan ekstrusi yang dihasilkan tidak berwarna, tetapi secara bertahap terjadi perubahan menjadi kemerahan, merah kekuningan atau jingga. Pada kultur yang masih muda, pigmen angkak belum terbentuk karena semua nutrien digunakan untuk kebutuhan pertumbuhan. Setelah dewasa sebagian nutrien digunakan untuk pembentukan pigmen angkak.

Pigmen yang diproduksi oleh M. Purpureus diproduksi melalui jalur poliketida dan membutuhkan asetil-koA yang diproduksi dari glukosa oleh asam

55 piruvat. Konversi piruvat menjadi asetil-koA dalam metabolisme glukosa dikatalisis oleh komplek enzim piruvat dehidrogenase. Salah satu komponen penting dalam komplek enzim tersebut adalah vitamin B1(tiamin pirophosphat) yang terkandung dalam substrat beras. Vitamin B1 (tiamin pirophosphat) adalah koenzim atau grup prostetik di dalam komplek enzim piruvat dehidrogenase. Oleh karena itu, secara tidak langsung vitamin B1 terlibat dalam produksi asam piruvat dari glukosa selama proses biosintesis pigmen (Danuri, 2008).

Beras merupakan substrat terbaik untuk produksi pigmen. Keunggulan ini terutama karena komposisinya yang kompleks dan mungkin dapat menderepresi pembentukan pigmen, atau struktur mikroskopisnya yang baik untuk penetrasi hifa atau difusi pigmen.

Pengaruh ko-kultur Monascus purpureus dengan Endomycopsis burtonii terhadap pigmen jingga angkak

Produksi pigmen jingga hasil ko-kultur M. purpureus dengan E. burtonii disertai kontrol disajikan pada Gambar 4.3. Produksi pigmen jingga strain-strain M. purpureus kontrol tanpa ko-kultur secara statistik menunjukkan intensitas yang sama tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Produksi pigmen jingga yang diukur sebagai absorbansi (470 nm) tersebut, berkisar antara 5,69-7,26.

Aplikasi ko-kultur strain-strain M. purpureus dengan E. burtonii pada konsentrasi (103- 105) cfu/ml dan waktu penambahan E. burtonii pada hari ke 4 dan ke 6 fermentasi, secara umum menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi pigmen jingga oleh semua strain (p>0,05). Di sisi lain semakin awal (hari ke 2) penambahan E. burtonii, menyebabkan produksi pigmen jingga menurun.

56 Gambar 4.3 Pengaruh konsentrasi dan waktu penambahan E.burtonii terhadap

intensitas pigmen jingga angkak menggunakan strain Monascus purpureus 0 2 4 6 8 10 Int e ns it a s pi g m e n ji ng g a

Hari penambahan E. burtonii

JMBA