• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh suhu dan waktu kontak terhadap stabilitas pigmen jingga angkak hasil ko kultur M purpureus TOS dengan E burton

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Strain Kapang dan Khamir

5. Pengaruh suhu dan waktu kontak terhadap stabilitas pigmen jingga angkak hasil ko kultur M purpureus TOS dengan E burton

Kestabilan intensitas pigmen jingga angkak (monokultur dan ko-kultur) oleh pengaruh suhu disajikan pada Gambar 7.5. Perlakuan suhu 70˚C, 100˚C dengan waktu kontak 15, 30 dan 45 menit dan suhu 121˚C dengan waktu kontak 15 dan 30 menit, tidak mempengaruhi secara nyata intensitas pigmen jingga angkak. Sedangkan suhu 121˚C dengan waktu kontak 45 menit menyebabkan penurunan intensitas pigmen jingga angkak hasil ko-kultur secara nyata (p<0,05).

( a ) ( b )

Gambar 7.5 Pengaruh suhu terhadap stabilitas pigmen jingga angkak (a), monokultur (b) ko-kultur M. purpureus TOS dengan E. burtonii

0 1 2 3 4 5 6 7 Kontrol 15 30 45 Absorbansi    470   nm

Waktu kontak (menit)

70˚C 100˚C 0 1 2 3 4 5 6 7 Kontrol 15 30 45 Absorbansi    470   nm

Waktu kontak (menit)

70˚C 100˚C 121˚C

 

104   

Suhu 70˚C, 100˚C dengan waktu kontak 15-45 menit dan suhu 121˚C dengan waktu kontak 15 dan 30 menit, belum menyebabkan kerusakan pada struktur penyusun pigmen jingga angkak. Sedangkan suhu 121˚C dengan waktu kontak 45 menit sudah menyebabkan kerusakan struktur pigmen jingga angkak. Pigmen jingga angkak tersusun oleh struktur rubropunktatin (C21 H22 O5) dan monaskorubrin (C23 H26 O5).

6. Pengaruh pH terhadap stabilitas pigmen jingga angkak

Stabilitas pigmen jingga angkak monokultur dan angkak hasil ko-kultur M.

purpureus TOS dengan E. burtonii oleh pengaruh pH disajikan pada Gambar 7.6.

Perlakuan pH 4,0, 6,0 dan 8,0 dengan waktu kontak 2, 4, 6, 8 jam tidak mempengaruhi secara nyata intensitas pigmen jingga angkak (p<0,05). Pigmen jingga angkak stabil pada pH 4,0, 6,0, dan 8,0 dengan waktu kontak 2, 4, 6, dan 8 jam.

( a ) ( b )

Gambar 7.6 Pengaruh perlakuan pH terhadap stabilitas pigmen jingga angkak, (a) monokultur (b) ko-kultur M. purpureus TOS dengan E. burtonii

Pigmen jingga angkak tersusun oleh komponen rubropunktatin (C21 H22 O5)

dan monaskorubrin (C23 H26 O5). Seperti halnya komponen penyusun pigmen merah

dan kuning angkak, rubropunktatin dan monaskorubrin juga tersusun oleh unit-unit gugus fungsional antara lain: gugus khromophor, gugus keton, gugus ester dan gugus amina. Gugus-gugus penyusun komponen pigmen tersebut mempunyai sifat fisik

0 1 2 3 4 5 6 7 8 2 4 6 8 Absorbansi    470   nm

Waktu kontak (jam)

pH 3,0 pH 5,0 pH 7,0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 2 4 6 8 Absorbansi    470    nm

Waktu kontak (jam)

pH 3,0 pH 5,0 pH 7,0

 

105   

spesifik yang akan mempengaruhi karakteristik pigmen secara umum. Pada penelitian ini perlakuan pH 4,0, 6,0 dan 8,0 dengan waktu kontak 2, 4, 6, 8 jam, ternyata belum mempengaruhi kestabilan pigmen jingga angkak.

7. Pengaruh suhu terhadap stabilitas kadar lovastatin angkak

Kadar lovastatin angkak (monokultur dan ko-kultur) oleh pengaruh suhu disajikan pada Gambar 7.7. Analisis secara statistik menunjukkan bahwa perlakuan suhu 70˚C, 100˚C, 121˚C dengan waktu kontak15-45 menit dan suhu 70˚C-121˚C dengan waktu kontak 15 dan 30 menit, tidak mempengaruhi kadar lovastatin angkak yang diproduksi secara monokultur maupun secara ko-kultur (p>0,05). Suhu 121˚C dengan waktu kontak 45 menit menyebabkan penurunan kadar lovastatin angkak ko- kultur (p<0,05).

( a ) ( b )

Gambar 7.7 Pengaruh suhu terhadap stabilitas kadar lovastatin angkak (a) monokultur (b) ko-kultur M. purpureus TOS dengan E. burtonii

Penurunan kadar lovastatin angkak akibat perlakuan sampai suhu tertentu, kemungkinan disebabkan oleh kerusakan pada struktur lovastatin. Lovastatin mempunyai kerangka utama poliketida, suatu cincin hidroksiheksahidronaptalen, pada rantai sisi C6 dan C8, terikat metilbutirat dan suatu hidroksilakton. Akibat

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 Kontrol 15 30 45 Kadar   lovastatin   (%)

Waktu kontak (menit)

70˚C 100˚C 121˚C 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 Kontrol 15 30 45 Kadar   lovastatin    (%)

Waktu kontak (menit)

70˚C 100˚C

 

106   

perlakuan panas dimungkinkan terjadi kerusakan pada gugus penyusun lovastatin, antara lain akibat terlepasnya gugus yang menyusun kerangka poliketida yang berupa cincin hidroksiheksahidronaptalen. Juga dimungkinkan terjadi kerusakan ikatan rangkap pada struktur tersebut atau menyebabkan ikatan rangkap terbuka (Simpson, 1985).

Meskipun terjadi penurunan kadar lovastatin angkak hasil ko-kultur M

purpureus TOS dengan E. burtonii oleh pengaruh perlakuan suhu121˚C dengan

waktu kontak 45 menit, namun kadar lovastatin angkak hasil ko-kultur tersebut masih lebih tinggi dibandingkan kadar lovastatin angkak penelitian-penelitian sebelumnya. Angkak hasil ko-kultur dengan kadar lovastatin yang masih relatif tinggi, memiliki potensi yang cukup tinggi untuk diaplikasikan pada produk-produk pangan sekaligus sebagai pangan fungsional. Disamping itu, produk angkak hasil ko-kultur berpeluang sebagai salah satu sumber lovastatin yang sangat potensial dan relatif murah. Lovastatin merupakan bahan bioaktif kelompok statin yang sangat penting dalam perkembangan biomedis (Altieri,2001). Sudah lama lovastatin dikenal sebagai senyawa penurun kolesterol dengan melakukan penghambatan enzim HMG-CoA reductase (3-hidroksi metilglutaril CoA reduktase) yang berperan penting dalam biosintesis kolesterol . Sampai saat ini Indonesia masih tergantung pada impor bahan ini.

8. Pengaruh pH terhadap stabilitas kadar lovastatin angkak

Kadar lovastatin angkak (monokultur dan ko-kultur) oleh pengaruh perlakuan pH disajikan pada Gambar 7.8. Perlakuan pH 3,0, 5,0 dan 7,0 pada semua waktu kontak tidak mempengaruhi kadar lovastatin angkak monokultur dan pH 7,0 pada semua waktu kontak terhadap angkak ko-kultur, tidak mempengaruhi kadar lovastatin angkak dan ko-kultur (p>0,05). Sedangkan pH 3,0 dan pH 5,0 pada semua waktu kontak, menyebabkan penurunan kadar lovastatin angkak hasil ko-kultur (p<0,05).

 

107   

Lovastatin angkak hasil ko-kultur M purpureus TOS dengan E. burtonii

memiliki karakteristik stabil pada pH netral, dan tidak stabil atau mengalami penurunan pada pH asam (3,0 dan 5,0).

Aplikasi angkak secara luas pada produk pangan diupayakan pada kondisi pH netral (7,0) dan dihindari penggunaan pada produk pangan yang mempunyai pH asam untuk mencegah penurunan kadar lovastatin angkak.

( a ) ( b )

Gambar 7.8 Pengaruh pH terhadap stabilitas kadar lovastatin (a) monokultur (b) ko-kultur M. purpureus TOS dengan E. burtonii

SIMPULAN

Perlakuan suhu 70˚C , 100˚C dan 121˚C dengan waktu kontak 15, 30, dan 45 menit, tidak mempengaruhi stabilitas pigmen merah angkak baik yang diproduksi oleh M. purpureus TOS secara monokultur maupun ko-kultur dengan E. burtonii. kuning dan jingga angkak. Akan tetapi suhu tinggi (121˚C) dengan waktu kontak yang lebih lama (45 menit) menyebabkan penurunan intensitas pigmen merah, kuning dan jingga angkak. Pigmen angkak hasil ko-kultur M. purpureus dengan E. burtonii cukup stabil pada pH netral (7,0) dengan waktu kontak 2, 4, 6 dan 8 jam. Pada pH asam (3,0 dan 5,0) dengan waktu kontak 2, 4, 6 dan 8 jam , menyebabkan

0 0,5 1 1,5 2 2,5 2 4 6 8 Kadar   lovastatin   (%)

Waktu kontak (jam)

pH 3,0 pH 5,0 pH 7,0 0 0,5 1 1,5 2 2,5 2 4 6 8 Kadar   lovastatin   (%)

Waktu kontak (jam)

pH 3,0 pH 5,0 pH 7,0

 

108   

penurunan intensitas pigmen merah angkak. Hasil ini berbeda untuk pigmen kuning dan jingga angkak yang relative stabil pada pH rendah (3,0)

Pengaruh suhu 70˚C, 100˚C dengan waktu kontak 15, 30, dan 45 menit, dan 121˚C dengan waktu kontak 15 dan 30 menit, juga tidak mempengaruhi kestabilan kadar lovastatin angkak hasil ko-kultur secara nyata dibanding kontrol. Hanya pada suhu lebih tinggi 121˚C dengan waktu kontak lebih lama (45 menit), menyebabkan penurunan kadar lovastatin angkak hasil ko-kultur secara nyata. Seperti halnya pigmen angkak, kadar lovastatin juga mengalami penurunan pada pH 3,0 dan 5,0.

DAFTAR PUSTAKA

Altieri DC. 2001. Statins’benefit begin to sprourt. J. Clin. Invest. 108:365-366.

Boelhasrin, M.P., S.T, Darijanto, N. Nurhayati, M. Nurhamidah, L, Widowati dan A. Rahmizar. 1982. Isolasi dan karakterisasi Monascorubrin dari Monascus purpureus Went. Laporan Penelitian. ITB, Bandung.

Hutchings JB. 1994. Food colour and appearance. Blackie Academic & Profesional. Wester Cleddens Road, Bishopbriggs, Glasgow G64 2NZ.

Kaur B, Deb Kumar Cakraborty, Harbinder Kaur. 2009. Production and evaluation of physicochemical properties of red pigment from Monascus pupureus MTCC 410. The Internet Journal of Microbiology: Vol. 7, Number 1.

Fabre CE, Santerre MO, Baberian R, Pereilleux A, Goma G, Balance PJ. 1993. Production and food application of the red pigment of Monascus ruber. J. Food Sci., 58:1099-1110.

Fessenden RJ, Joan S. Fessenden. 1994. Kimia Organik Jilid 2. Aloysius Hadyana P, alih bahasa. Ed ke 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Lee YK, Chen DC, Lim BL, Tay HS and Chua J. 1995. Fermentative production of natural food colorants by the fungus Monascus. Icheme symposium series. 137: 19-23.

Lee YK and Chen DC. 2000. Applications of Monascus pigment as food colorant. Disp.in:http://www.allok.com/literature.

Manjasari LV. 2005. Optimasi produksi pigmen angkak dan lovastatin oleh

Monascus purpureus. Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

 

109   

Miyake, T., Ohno, S. Sakai, S. 1984. Process for the production of Monascus

pigment. United States of Pattern. 4442 209.

Nurhidayat N. 2004. Angkak meningkatkan jumlah trombosit. Bogor: http://w.w.w.pikiran-rakyat.com

Simpson, K.L. 1985. Chemical changes in natural food pigments. Di dalam : Thomas R. (ed). Chemical changes in food during processing. Avi publishing Co., New York.

Sutrisno, A.D. 1987. Pembuatan dan peningkatan kualitas zat warna merah alami yang dihasilkan oleh Monascus sp. Di dalam: Risalah Seminar Bahan Tambahan Kimiawi (Food Additives). S. Fardiaz, R. Dewanti dan S. Budijanto (ed.). Jakarta, Indonesia, Oktober 3-4, 1986.

Shin, C.S., H-J. Kim, M-J. Kim, and J-Y Ju. 2005. Morphological change and enhanced pigmen production of Monascus when co-cultured with

Saccharomyces cereviseae or Aspergillus oryzae. Biotechnol. Bioeng. 59, 576- 581.

Timotius KH. 2004. Produksi pigmen angkak oleh Monascus. Jurnal. Teknol. Dan Industri Pangan, Vol. XV, No. 1.

110

8. PEMBAHASAN UMUM

Peningkatan intensitas warna dan kadar lovastatin angkak, diupayakan dengan melakukan ko-kultur M .purpureus dengan khamir amilolitik indigenus. Aplikasi ko-kultur pada produksi angkak dilakukan melalui beberapa tahapan meliputi : seleksi terhadap 16 strain khamir indigenus untuk mendapatkan khamir yang memiliki aktivitas amilolitik, ko-kultur enam strain M. purpureus dengan khamir terpilih, analisis intensitas pigmen, kadar lovastatin dan sitrinin angkak, analisis ekspresi gen yang berperan dalam biosintesis lovastatin, serta analisis stabilitas pigmen dan lovastatin oleh pengaruh suhu dan pH.

Sebanyak 16 isolat khamir telah diseleksi untuk mendapatkan khamir yang mempunyai aktivitas amilolitik. Hasil seleksi menunjukkan hanya satu isolat khamir yang memiliki aktivitas amilolitik yaitu Endomycopsis burtonii. Secara umum sebagian besar khamir tidak memiliki aktivitas amilolitik, aktifitas yang biasanya dimiliki adalah menghidrolisis gula menjadi alkohol Kelompok khamir yang mempunyai kemampuan amilolitik jumlahnya relatif sedikit antara lain Schwaniomyces occidentalis, Saccharomycopsis fibuliger, Sacch diastiticus, Candida dan Pichia. Jenis-jenis khamir lainnya tidak memproduksi amilase. Enzim amilase sebagai aktivitas amilolitik pada khamir, diproduksi secara ekstraseluler. (Roosifta 2004).

Aplikasi ko-kultur M .purpureus dengan E. burtonii ternyata berhasil meningkatkan intensitas pigmen dan lovastatin angkak. Produksi pigmen merah angkak menunjukkan peningkatan oleh penambahan E. burtonii pada waktu dan konsentrasi tertentu oleh semua strain M .purpureus dibanding tanpa ko-kultur (kontrol). Secara umum penambahan E.burtonii yang terlalu awal (hari ke 2) pada semua level konsentrasi, menyebabkan penurunan produksi pigmen merah oleh semua strain M .purpureus. Peningkatan intensitas pigmen merah baru terjadi pada penambahan E.burtonii hari ke 4 pada semua level konsentrasi oleh semua strain M .purpureus, sedangkan pada penambahan E.burtonii hari ke 6 respon strain M

111 .purpureusbervariasi. Strain-strain TOS dan JmbA masih menunjukkan peningkatan intensitas pigmen merah, di sisi lain strain AID, JmbA3M, JmbA5K dan As3K relatif tetap. Produksi pigmen merah tertinggi ditunjukkan oleh strain TOS dengan penambahan E.burtoniipada hari ke 6 dengan konsentrasi 104 cfu/ml.

Penurunan produksi pigmen merah oleh penambahan E.burtonii yang terlalu awal (hari ke 2) diduga disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut. Pada tahap awal mikroba membutuhkan fase adaptasi terhadap lingkungan pertumbuhannya. Penambahan khamir pada tahap awal fermentasi, dapat mengganggu pertumbuhan M. purpureus. Kehadiran khamir pada awal pertumbuhan dapat menjadi kompetitor bagi kapang. Lim et al. (2000) melaporkan bahwa masalah utama pada teknik ko-kultur, produksi pigmen dapat menurun disebabkan kehadiran S. cerevisiae dapat menekan pertumbuhan M. purpureus bila penambahan S. cerevisiae terlalu awal dan dalam jumlah yang terlalu tinggi.

. Penelitian terdahulu oleh Shin et al (1998) melakukan ko-kultur antara M. purpureusdengan Saccharomyces cerevisiaerekombinan yang diinsert gen penghasil enzim glukoamilase dari Aspergillus niger, dilaporkan terjadi peningkatan pigmen 30-40 kali dibanding monokultur pada kultur cair. Sebaliknya ko-kultur antara Monascus dengan Bacillus cereus tidak terjadi peningkatan produksi pigmen. Beberapa enzim hidrolitik diproduksi oleh S. cerevisiae rekombinan seperti glukoamilase berfungsi sebagai efektor. Enzim hidrolitik menyebabkan peningkatan produksi pigmen berkaitan dengan kemampuannya mendegradasi dinding sel Monascus. Dengan adanya gangguan tersebut, menyebabkan Monascus melakukan upaya pertahanan diri (defense mechanism) dengan memproduksi komponen- komponen hidrofobik seperti lovastatin dan pigmen.

Kandungan pigmen angkak terdiri dari pigmen merah, kuning dan jingga, namun produksi pigmen dalam angkak didominasi oleh pigmen merah dimana setelah 14 hari fermentasi, intensitas pigmen merah dapat mencapai 14,5 pada absorbansi 500 nm, disisi lain intensitas pigmen jingga dan kuning masing-masing hanya 8,5 pada absobansi 470 nm dan 8,9 pada absorbansi 410 nm

112 Kadar lovastatin angkak hasil ko-kultur menunjukkan, bahwa keenam strain M. purpureus memberikan respon yang bervariasi (spesifik strain) terhadap penambahanE. burtoniidengan jumlah dan waktu yang divariasikan. Beberapa strain seperti JmbA5K dan AID menunjukkan peningkatan produksi lovastatin mulai hari ke 2 sampai hari ke 6 penambahan E. burtonii pada semua level konsentrasi. Disisi lain strain TOS pada penambahan E. burtonii pada hari ke 2 dengan konsentrasi 103 cfu/ml, justru menyebabkan penurunan kadar lovastatin, pada penambahan dengan konsentrasi 103–104cfu/ml, produksi lovastatin relatif tetap, kemudian menunjukkan peningkatan pada penambahan E. burtonii pada hari ke 4 dengan konsentrasi 103 105cfu/ml serta hari ke 6 pada konsentrasi 104 cfu/ml. Berbeda lagi dengan strain

mutan JmbA3M dan As3K, penambahan E. burtonii pada semua waktu dan semua

level konsentrasi, menyebabkan penurunan produksi lovastatin. Strain JmbA memberikan respon yang berbeda pula, pada hari ke 2 penambahan E. burtonii dengan konsentrasi 103 cfu/ml menyebabkan penurunan kadar lovastatin, pada konsentrasi 104 cfu/ml produksi lovastatin menunjukkan peningkatan, kemudian menurun pada penambahan dengan konsentrasi 105 cfu/ml. Peningkatan produksi lovastatin terjadi pada penambahan E. burtonii pada hari ke 4 dengan konsentrasi 103–104cfu/ml, pada konsentrasi 105cfu/ml, dan penambahan pada hari ke 6 pada semua level konsentrasi menyebabkan penurunan produksi lovastatin.

Untuk mengetahui hubungan sifat fenotipik produksi lovastatin dengan sifat genotipiknya, dilakukan analisis ekspresi gen lov B dari M. purpureus. Gen lovB diketahui bertanggung jawab terhadap enzim lovastatin nonketida sintase (LNKS) yang menentukan tahap akhir perubahan ketida menjadi lovastatin (Stocking dan Williams, 2003). Dipilih tiga strain hasil ko-kultur yang menghasilkan lovastatin tinggi yaitu JMBA H4103, AID H2104, TOS H6104 disertai masing-masing strain kontrol tanpa ko-kultur yaitu: JMBA (k), AID (k), TOS (k). Isolasi dilakukan terhadap total RNA yang mengandung fragmen-fragmen tRNA (RNA transfer), rRNA (RNA ribosom), dan mRNA (messenger RNA), mengingat isolasi terhadap fragmen mRNA sebagai fragmen pembawa pesan sangat sulit dan sensitif. Total

113 RNA dari semua strain yang diisolasi, menghasilkan kemurnian yang baik ditunjukkan dengan rasio absorbansi A260nm/A280nm semua strain di atas 1,8.

Hasil pengukuran konsentrasi total RNA terhadap isolat JMBA H4103, AID H2103, TOS H6104 dan kontrol tanpa ko-kultur yaitu JMBA (k), AID (k), TOS (k), menunjukkan bahwa semua isolat mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi dari kontrol. Konsentrasi total RNA tertinggi ditunjukkan oleh strain TOS H6104 (strain TOS hasil ko-kultur dengan penambahan E. burtonii pada penambahan hari ke 6 dengan konsentrasi 104 ) yakni 1860 µg, konsentrasi tersebut tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan kontrol. Konsentrasi yang ditunjukkan oleh TOS H6104 ini sesuai dengan kadar lovastatin yang diproduksi oleh strain TOS H6104 (2,19%) sebagai pengaruh dari ko-kultur dengan E. burtonii yang mengalami peningkatan dibanding kontrol (0,8%). Demikian juga untuk strain AID H2104 dan JMBA H4103

memiliki konsentrasi total RNA sekitar dua kali lebih tinggi dibanding kontrol. Konsentrasi total RNA dengan produksi lovastatin yang tinggi pada strain TOS H6104 kemungkinan berkaitan dengan hal-hal berikut. Total RNA didalamnya terkandung fragmen mRNA atau messenger RNA yang berfungsi sebagai pembawa pesan atau informasi dalam sebuah gen untuk disampaikan kepada mesin pembuat protein atau enzim. Tiap-tiap mRNA dipergunakan sebagai cetakan untuk membentuk molekul yang sesuai. Dengan semakin banyak jumlah mRNA ditunjukkan dengan konsentrasi total RNA yang tinggi, maka akan semakin banyak pula molekul yang sesuai (dalam hal ini lovastatin) yang akan diproduksi (Murray et al, 2003).

Biosintesis lovastatin telah diketahui dimulai dari asetil KoA dan malonil koA menjadi beberapa ketida (2 sampai 9) dimana didalamnya terlibat beberapa gen-gen penting diantaranya lovB dan lovC (Stocking dan Williams, 2003). Gen lovB diketahui bertanggungjawab terhadap enzim lovastatin nonketide sintase (LNKS) yang menentukan tahap akhir perubahan ketida menjadi lovastatin, sedangkan lovC berperan dalam tahap awal perubahan asetil koA dan malonil koA menjadi triketida dan tetraketida. Semua strain menunjukkan ekspresi gen lov B yakni gen penghasil lovastatin. Ekspresi gen lov B yang ditunjukkan berukuran 200 pb (pasang basa).

114 Sifat fenotipik M. purpureus TOS H6104 yang mampu memproduksi lovastatin tinggi ko-kultur dengan E. burtonii, sejalan dengan sifat genotipiknya, yang ditunjukkan dengan tingginya intensitas ekspresi gen penghasil lovastatin.

Aplikasi angkak sebagai pigmen alami dan ingredien pangan fungsional secara luas pada bidang pangan, dibutuhkan informasi karakteristik kestabilannya terutama terhadap pengaruh temperatur dan pH. Dipilih satu strain M. purpureushasil ko-kultur yang menghasilkan pigmen merah dan lovastatin tertinggi yaitu TOS H6104 disertai kontrol (TOS) untuk dianalisis stabilitasnya terhadap berbagai variasi suhu (70, 100, 121˚C dengan berbagai waktu kontak 15, 30, dan 45 menit) dan pH (3,0, 5,0, 7,0 dengan berbagai waktu kontak 2, 4, 6, dan 8 jam). Pigmen merah angkak yang diproduksi oleh M. purpureus TOS baik secara monokultur maupun secara ko-kultur dengan E. burtonii bersifat stabil pada suhu tinggi (70-121˚C) dengan waktu kontak cukup lama (15-45 menit). Kestabilan pigmen merah angkak hasil ko-kultur M. purpureus TOS dengan E. burtonii oleh pengaruh suhu, sangat potensial untuk tujuan aplikasi secara luas pada produk olahan pangan, mengingat proses pengolahan pangan secara umum melibatkan penggunaan suhu yang relatif tinggi, misalnya pada makanan kaleng yang disterilisasi pada suhu 121˚C dengan lama waktu (15-45) menit. Aplikasi pigmen merah angkak juga dapat digunakan sebagai pengganti nitrit pada produk olahan daging. Fabre et al. (1993) melaporkan bahwa pigmen angkak lebih stabil dibanding pewarna yang biasa digunakan untuk mewarnai produk-produk daging seperti garam-garam nitrit. Shin (2005) juga melaporkan bahwa pigmen angkak secara umum mempunyai kemampuan mewarnai yang kuat dan produk pangan yang diberi warna angkak memiliki penampilan yang baik terhadap panas. Pigmen angkak juga stabil terhadap sinar radiasi maupun ultraviolet. Faktor-faktor seperti oksidasi, logam, alkalinitas dan keasaman berpengaruh kecil terhadap intensitas warna pigmen angkak.

Pengaruh pH terhadap stabilitas pigmen merah angkak (monokultur dan ko- kultur) menunjukkan bahwa, pH 7,0 dengan waktu kontak 2-8 jam tidak mempengaruhi stabilitas pigmen merah angkak monokultur maupun hasil ko-kultur (p>0,05). Sebaliknya pada pH asam (pH 3,0 dan 5,0) dengan waktu kontak 2-8 jam,

115 menyebabkan penurunan secara nyata intensitas pigmen merah angkak monokultur maupun hasil ko-kultur. Kestabilan intensitas pigmen merah angkak pada pH netral, sangat potensial untuk tujuan aplikasi pada produk olahan makanan dan minuman yang pHnya netral. Timotius (2004) juga melaporkan bahwa pigmen merah dan kuning angkak lebih stabil terhadap panas pada pH tinggi daripada pH asam. Fabre et al (1993) juga menyatakan bahwa pigmen merah angkak lebih stabil pada kondisi alkali dan paling sensitif terhadap pH asam. Carvalho et al (2005) menyatakan bahwa penurunan pigmen lebih cepat pada pH rendah, kemungkinan berhubungan dengan percepatan interaksi air dengan pigmen oleh adanya asam seperti rusaknya ikatan ester dari rubropunktamin atau monaskorubramin.

Kadar lovastatin angkak (monokultur dan ko-kultur) oleh pengaruh suhu menunjukkan bahwa perlakuan suhu 70˚C, 100˚C, 121˚C dengan waktu kontak15-45 menit dan suhu 70˚C-121˚C dengan waktu kontak 15 dan 30 menit, tidak mempengaruhi kadar lovastatin angkak yang diproduksi secara monokultur maupun secara ko-kultur (p>0,05). Apabila waktu pemanasan pada suhu 121˚C diperpanjang hingga 45 menit, maka menyebabkan penurunan kadar lovastatin angkak ko-kultur (p<0,05).

Penurunan kadar lovastatin angkak akibat perlakuan sampai suhu tertentu, kemungkinan disebabkan oleh kerusakan pada struktur lovastatin. Lovastatin mempunyai kerangka utama poliketida, suatu cincin hidroksiheksahidronaptalen, pada rantai sisi C6 dan C8, terikat metilbutirat dan suatu hidroksilakton. Akibat perlakuan panas dimungkinkan terjadi kerusakan pada gugus penyusun lovastatin, antara lain akibat terlepasnya gugus yang menyusun kerangka poliketida yang berupa cincin hidroksiheksahidronaptalen. Juga dimungkinkan terjadi kerusakan ikatan rangkap pada struktur tersebut atau menyebabkan ikatan rangkap terbuka (Simpson, 1985).

Meskipun terjadi penurunan kadar lovastatin angkak hasil ko-kultur M purpureus TOS dengan E. burtonii oleh pengaruh perlakuan suhu121˚C dengan waktu kontak 45 menit, namun kadar lovastatin angkak hasil ko-kultur tersebut masih lebih tinggi dibandingkan kadar lovastatin angkak penelitian-penelitian sebelumnya.

116 Angkak hasil ko-kultur dengan kadar lovastatin yang masih relatif tinggi, memiliki potensi yang cukup tinggi untuk diaplikasikan pada produk-produk pangan sekaligus sebagai pangan fungsional. Disamping itu, produk angkak hasil ko-kultur berpeluang sebagai salah satu sumber lovastatin yang sangat potensial dan relatif murah. Lovastatin merupakan bahan bioaktif kelompok statin yang sangat penting dalam perkembangan biomedis (Altieri,2001). Sudah lama lovastatin dikenal sebagai senyawa penurun kolesterol dengan melakukan penghambatan enzim HMG-CoA reductase (3-hidroksi metilglutaril CoA reduktase) yang berperan penting dalam biosintesis kolesterol . Sampai saat ini Indonesia masih tergantung pada impor bahan ini.

Kadar lovastatin angkak (monokultur dan ko-kultur) oleh pengaruh perlakuan pH. Perlakuan pH 3,0, 5,0 dan 7,0 pada semua waktu kontak tidak mempengaruhi stabilitas kadar lovastatin angkak monokultur dan pH 7,0 pada semua waktu kontak terhadap angkak ko-kultur, tidak mempengaruhi kadar lovastatin angkak dan ko-kultur (p>0,05). Sedangkan pH 3,0 dan pH 5,0 pada semua waktu kontak, menyebabkan penurunan kadar lovastatin angkak hasil ko-kultur (p<0,05).

Lovastatin angkak hasil ko-kultur M purpureus TOS dengan E. burtonii memiliki karakteristik stabil pada pH netral, dan tidak stabil atau mengalami penurunan pada pH asam (3,0 dan 5,0).

Aplikasi angkak secara luas pada produk pangan diupayakan pada kondisi pH netral (7,0) dan dihindari penggunaan pada produk pangan yang mempunyai pH