• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2. Hasil Penelitian

4.3.3. Efek Dari Suhu Permukaan Daratan

Suhu permukaan daratan di Kota Pekalongan berkisar antara 26,870 sampai 32,090 C. Kelurahan Kauman dan Kelurahan Landungsari di Kecamatan Pekalongan Timur adalah kelurahan dengan persentase luasan tertinggi untuk wilayah bersuhu tinggi (diatas 320C). Suhu permukaan daratan hasil pengolahan citra dengan suhu permukaan daratan hasil pengukuran langsung memiliki korelasi sebesar 0,66 yaitu memiliki hubungan yang kuat.

Kota Vijayawada, India dengan citra satelit Landsat 7 ETM+. Hasil suhu permukaan daratan dihubungkan dengan nilai NDVI pada wlayah tersebut. Dari hasil tersebut didapat nilai sebesar -0.79 yang berarti bahwa semakin rendah nilai indeks vegetasi maka semakin tinggi nilai suhu permukaan daratannya. Untuk hasil pengolahan yang sesuai dengan kondisi dilapangan adalah dengan penentuan nilai emisivitas berdasarkan NDVI dan pengukuran dilapangan harus tepat saat proses perekaman citra terjadi.

Berdasarkan peta suhu permukaan daratan hasil pengoolahan citra, suhu tinggi di Kota Pekalongan adalah wilayah di pusat kota dengan tutupan lahan berupa lahan terbangun, sedangkan pada pinggiran kota dengan tutupan lahan berupa RTH suhu permukaan daratan cenderung menurun. Sehingga disimpulkan bahhwa suhu permukaan daratan tinggi dipengaruhi oleh RTHnya. Semakin tinggi persentase RTH maka semakin rendah suhu permukaan daratannya sedangkan semakin tinggi persentase lahan terbangunnya maka semakin tinggi suhu permukaan daratannya.

Suhu permukaan daratan yang tinggi pada daerah perkotaan tidak hanya disebabkan oleh tutupan lahan. Polusi udara juga menjadi penyebab dari suhu permukaan daratan yang tinggi. Weng Qihaodan Yang S (2006) menyatakan bahwa pola spasial polutan udara berkorelasi positif terhadap kepadatan bangunan kota dan suhu permukaan daratan yang berasal dari citra satelit. Band termal inframerah pada citra satelit dapat memainkan peran khusus dalam memonitoring dan pemodelan polusi udara. Selain itu

daratan dengan polutan udara (Nitro Oksida dan Sulfur Oksida) di DKI Jakarta. Dan hasil penelitian menujukkan terdapat asosiasi keduanya. Jadi pencemaran udara yang tinggi dapat menyebabkan suhu permukaan daratan yang tinggi pula selain itu suhu permukaan daratan dapat dijadikan indikator adanya pencemaran udara disuatu wilayah.

Estimasi suhu permukaan daratan dari citra satelit bisa dijadikan parameter dalam deteksi wilayah rawan kekeringan. Adiningsih (2014) melakukan tinjauan metode deteksi parameter kekeringan dengan citra satelit, indeks vegetasi yang dipakai adalah NDVI, EVI, MSAVI, PVI, TDI, Vegdri, TDVI, ITDVI dan RDRI. Indeks TDVI dan iTDVI adalah indeks vegetasi dengan suhu permukaan daratan sebagai indikatornya. Hasil menunjukkan bahwa parameter TVDI dan iTVDI direkomendasikan sebagai parameter kekeringan terutama pada sektor pertanian.

Suhu permukaan daratan yang tinggi pada perkotaan mengurangi tingkat kenyamanan kota itu sendiri. Selain itu suhu yang tinggi yang memusat pada tengah kota atau yang dikenal dengan fenomena urban heat island memiliki kontribusi besar dalam pemanasan global dan perubahan iklim, walaupun fenomena ini sendiri adalah dampak langsung dari pemanasan global dan perubahan iklim. Hal tersebut karena tingginya suhu perkotaan mempunyai efek meningkatnya kebutuhan untuk mendinginkan ruangan pada bangunan dan tempat tinggal. Bertambahnya kebutuhan akan energi dapat menambah anggaran yang harus dikeluarkan oleh kosumen dan

salah satu penyebab terbesar pemanasan global dan perubahan iklim. Zat Freon atau CFC dari AC dapat menipiskan lapisan ozon pada atmosfer sehingga radiasi ultra violet dari matahari yang tinggi dapat sampai ke bumi. Paparan radiasi ultra violet ini terutama radiasi ultraviolet B selain meningkatkan suhu bumi juga dapat menyebabkan kanker kulit.

Untuk itu cara terbaik dalam mengurangi peningkatan suhu adalah dengan mengembangkan RTH pada wilayah yang memiliki suhu yang tinggi. Vegetasi pada ruang terbuka hijau sangat berpengaruh dalam menciptakan iklim mikro sebagai efek dari proses fotosistesis dan respirasi tanaman (Andjelicus dalam Khairunnisa dan Natalivan. 2013:3). Suhu yang berada di bawah pohon teduh dapat lebih rendah 20C - 40C dibanding suhu disekitarnya (Purnomohadi dalam Khairunnisa dan Natalivan. 2013:3).

Bagi stakeholder terkait terutama BAPPEDA dan BLH dalam mengembangkan RTH sebaiknya tidak hanya sebatas untuk memenuhi batas persentase minimal berdasarkan peraturan tetapi harus benar-benar efektif sesuai dengan fungsi serta tujuan dari diberlakukannya peraturan perundangan tersebut. Pengembangan RTH sebagai pengatur iklim mikro kota akan lebih efektif jika dilakukan pada daerah dengan suhu tertinggi.

Rencana Tata Ruang Wilayah adalah sebuah pedoman suatu wilayah dalam penataan dan pembangunan wilayahnya. Untuk itu semua pembangunan disuatu wilayah harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah tersebut.

Berdasarkan hasil analisis, kelurahan yang menjadi prioritas pengembangan RTH berdasarkan suhu tertinggi adalah Kelurahan Bendan, Kelurahan Kergon, Kelurahan Medono, Kelurahan Pringlangu di Kecamatan Pekalongan Barat, Kelurahan Kradenan di Kecamatan Pekalongan Selatan, Kelurahan Landungsari dan Kelurahan Noyontaan di Kecamatan Pekalongan Timur. Bentuk RTH yang dikembangkan mengacu pada RTH yang direncanakan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah tetapi belum terealisasi pada wilayah prioritas tersebut. Yaitu berupa RTH sempadan, RTH sempadan sungai, RTH sempadan SUTT dan RTH pekarangan rumah.

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan. Rencana pengembangan RTH Privat seluas 585 Ha atau sekitar kurang lebih 12 (dua belas) persen dari luas wilayah kota, sedangkan RTH publik seluas 907 Ha atau sekitar kurang lebih 20(dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Total keselurahan RTH yang direncanakan adalah mencapai 32% dari luas wilayah Kota Pekalongan. Sedangkan RTH eksiting di Kota Pekalongan sebesar 12,796 Km2 atau 27,88% dari luas wilayahnya. Luasan eksiting ini masih kurang 4,12% dari luas wilayah.

baru. Menurut Nirwana Joga (Ardina, 2014) ada delapan (8) strategi untuk mewujudkan luasan RTH 30%, strategi itu antara lain:

1. Menetapkan daerah yang tidak boleh dibangun. Pertanyaan esensial dalam pembangunan kemudian bukan dimana boleh membangun namun justru dimana tidak boleh membangun karena secara teknologi hampir semua tempat dapat dibangun. Daerah-daerah yang sensitif terhadap perubahan harus dipreservasi atau dikonservasi agar fungsi lingkungan tetap terjaga, seperti habitat satwa liar, daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi, daerah genangan, dan penampungan air, daerah rawan longsor, tepian sungai dan tepian pantai sebagai pengaman ekologis dan daerah-daerah yang memiliki nilai pemandangan tinggi.

2. Membangun lahan hijau baru (hubs). Pemerintah daerah disii dapat membeli lahan yang kemudian dibangun RTH areal berupa taman lingkungan terutama di perkampungan padat penduduk, taman kota, taman makam, lapangan olah raga, hutan kota, kebun raya, hutan mangrove, dan situ atau danau buatan baru, serta RTH jalur untuk jalur hijau jalan, tepi sungai, situ, jalur rel kereta api, dan di bawah jalur listrik tegangan tinggi. Peremajaan kota di perkampungan padat penduduk dan bangunan maupun pembangunan kawasan terpadu ramah lingkungan kemudian menjadi perlu untuk dilakukan. Keterbatasan anggaran yang ada dapat disiasati dengan melibatkan partisipasi aktif

sosial korporasi (CSR) dalam membangun RTH kota.

3. Mengembangkan koridor ruang hijau kota (link). Program penanaman pohon besar secara massal dapat dilakukan untuk menciptakan koridor ruang hijau kota di sepanjang potensi ruang jalur hijau seperti di sempadan sungai, tepian situ atau waduk, tepi jalan tol, sempadan rel kereta api, saluran umum tegangan tinggi, jalur pipa gas, dan di jalur jalan baik itu jalur pantai utara maupun jalur pantai selatan. Untuk melakukan program ini, perlu dibuat sebuah Rencana Induk RTH sebagai media diskusi pada saat sosialisasi, koordinasi, dan konsolidasi antar instansi terkait. Lebih jauh, koridor jalur hijau dikembangkan sebagai urban park connector yang menghubungkan seluruh RTH kota yang dilengkapi dengan jalur sepeda dan pejalan kaki untuk menjadi jalur alternatif transportasi kendaraan tidak bermotor dan jalur wisata kota. Selain itu, diperlukan juga upaya restorasi ekologis dengan mengembalikan secara cepat lahan-lahan kosong yang belum terbangun seperti jalur tepian sungai, tepian jalan, tepi rel kereta api, tepian pantai, tepian situ, dan lainnya menjadi daerah hijau.

4. Melakukan akuisisi terhadap RTH privat untuk mengejar target RTH privat 10 persen. Selama ini pemerintah daerah dibayang-bayangi oleh kecenderungan penurunan RTH privat yang kemudian digunakan untuk berbagai keperluan bangunan. Untuk menghadapi hal tersebut, perlu peraturan ketat terhadap pelaksanaan Koefisien Dasar Hijau (KDH)

kompensasi berupa insentif dan disinsentif. Untuk keperluan tersebut, pemerintah daerah harus telah mendata, meningkatkan, dan menetapkan area RTH privat pekarangan rumah, sekolah, perkantoran, rumah sakit, pabrik, hingga kawasan terpadu, pusat perbelanjaan, hotel, apartement, dan rumah susun sebagai bagian dari RTH kota. Kompensasi berupa insentif dapat diberikan kepada pemilik bangunan yang secara konstan dan berkelanjutan mempertahankan RTH privat mereka dalam bentuk yang beraneka ragam seperti pemberian keringanan pengenaan pajak bumi dan bangunan, keringanan pajak air tanah, atau keringanan berbagai macam jenis pajak lain. Untuk pengembang yang kegiatannya adalah mengembangkan kawasan terpadu, terdapat kewajiban dalam penyediaan fasos dan fasum berupa taman di dalam kawasan yang dikembangkan, bukan di lokasi lain dan tidak dapat diganti dengan uang.

5. Merefungsi RTH yang telah ada. Dilakukan dengan merehabilitasi atau melakukan restorasi terhadap RTH dan melakukan penghijauan kembali kawasan hutan dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas RTH. Dalam melakukan upaya ini, pemerintah daerah dapat merevitalisasi situ, danau, waduk, dan hutan mangrove yang ada sebagai daerah resapan air. Refungsionalisasi RTH yang masih digunakan untuk fungsi lain seperti misalnya SPBU di jalur hijau dan sempada sungai yang masih diokupasi masyarakat. Revitalisasi dapat juga dilakukan di taman

diperkeras dengan diganti menjadi rumput agar berdaya serap air lebih besar.

6. Menghijaukan langit kota. Akibat keterbatasan lahan, pembangunan RTH dapat dilakukan di atap-atap bangunan bertingkat seperti hotel, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya menjadi taman atap dan dinding hijau. Penghijauan bangunan, meski tidak termasuk dalam kategori menambah luasan RTH privat namun upaya ini patut didukung karena secara ekologis mampu menurunkan suhu kota, menyerap gas polutan, meredam pemanasan pulau dan radiasi sinar matahari, meredam tingkat kebisingan, menyerap air hujan, menyimpan air sementara di lapisan tanah, mendinginkan atap dan bangunan melalui insulasi alami, serta menghasilkan oksigen. Sebagai usaha untuk mengurangi krisis pangan yang terjadi, taman atap dapat pula dijadikan kebun sayuran dan buah-buahan serta apotik hidup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

7. Menyusun kebijakan hijau. Kebijakan hijau yang dibuat pada akhirnya akan meningkatkan keyakinan jajaran pimpinan pemerintah daerah dan anggota dewan legislatif akan pentingnya pengembangan RTH serta menentukan kelancaran dalam penyediaan anggaran yang besar untuk pembangunan RTH-RTH baru. Pemerintah daerah dapat melakukan peningkatan kesadaran aparat lintas sektoral dalam pengembangan RTH. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong lahirnya Peraturan

kekuatan hukum yang jelas dan tegas. Perlu diberlakukan upaya kompensasi berupa insentif dan disinentif jika terjadi prestasi atau pelanggaran hukum oleh perorangan dan/atau badan hukum dalam pelaksanaan pengembangan RTH. Selain itu, perlu juga dibentuk tim audit RTH untuk menjaga keberadaan dan pelaksanaan pengembangan RTH.

8. Memberdayakan komunitas hijau. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan karena pada kenyataannya sebagian besar lahan hijau berada di bawah kepemilikan masyarakat dan swasta (RTH privat). Ini merupakan pergeseran model pembangunan kota dari tanggung jawab stakeholders menjadi tanggung jawab bersama. Program partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui penyuluhan dan pembinaan warga masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman terhadap arti penting eksistensi RTH, penyebarluasan fungsi dan manfaat RTH melalui kampanye lingkungan hidup, pelibatan masyarakat dan juga swasta dalam program pengembangan RTH (mitra hijau), serta pelibatan institusi pendidikan.

Salah satu permasalahan RTH di Indonesia adalah dari pemerintahnya sendiri, yaitu pemahaman pengertian pada RTH itu sendiri. Pemahaman pengertian RTH merupakan acuan dalam inventarisasi dan mengetahui luasan RTH eksisting di suatu wilayah. Luasan RTH eksiting hasil penelitian berbeda dengan data dari Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang

saat ini memiliki luasan RTH sekitar 6,91 km2 atau 15,39% dari luas wilayah yang terdiri dari taman kota, hutan kota, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, sempadan SUTT, perlindungan pantai, lapangan, makam dan taman fasilitas lain seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena belum terdapatnya aturan hukum dan perundangan yang tepat. Berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 2007 jenis RTH meliputi Taman Rekreasi, Taman Lingkungan Perumahan dan Permukiman, Taman Lingkungan Perkantoran dan Gedung Komersial, Taman Hutan Raya, Hutan Kota, Hutan Lindung, Bentang Alam, Kebun Raya, Kebun Binatang, Pemakaman Umum, Lapangan Olah Raga, Lapangan Upacara, Parkir Terbuka, Lahan Pertanian, Perkotaan, Sempadan Sungai dan SUTT, Kawasan dan Jalur Hijau, Taman Atap. Sedangkan menurut Permen PU NO.5/PRT/M/2008 Jenis RTH antara lain: RTH Pekarangan, RTH Halaman Perkantoran, Pertokoan, dan Tempat Usaha, RTH dalam Bentuk Taman Atap Bangunan (Roof Garden), RTH Taman Rukun Tetangga, RTH Taman Rukun Warga, RTH Kelurahan, RTH Kecamatan, Taman Kota, Hutan Kota, Sabuk Hijau, RTH Jalur Hijau Jalan, RTH Ruang Pejalan Kaki, RTH di Bawah Jalan Layang, RTH Fungsi Tertentu seperti sempadan.

Perbedaan pengertian dan jenis RTH pada tiap perundang-undangan semakin menyulitkan dalam melakukan pengembangan RTH kota dan manajemennya yang meliputi evaluasi dan pengendalian keberadaan RTH

petunjuk teknis resmi yang bisa dijadikan acuan dalam pemetaan untuk membangun basis data spasial RTH membuat peneliti menetapkan semua kenampakan vegetasi dalam citra satelit di interpretasikan dalam RTH seperti yang dipaparkan pada bab-bab sebelumnya.

Untuk itu diperlukan sebuah peraturan tentang pengertian RTH, jenisnya dan petunjuk teknis pemetaannya yang bersifat tunggal. Sehingga memudahkan pemerintah dan stakeholder dalam melakukan perencanaan, pengembangan dan pengendalian RTH.

. Pengembangan RTH bukan hanya kewajiban pemerintah dan stakeholder terkait. Masyarakat juga diharap untuk lebih sadar dalam pemanfaatan dan pelestarian RTH dilingkungannya. Salah satu contohnya adalah dengan menaman dan merawat pohon pada pekarangan rumah. Dan ini juga didukung oleh para pemuda melalui komunitas hijau , agar memberi sosialisasi mengenai pemanfaatan dan pengendalian RTH atau melaksanakan kegiatan penanaman pohon. Dengan begitu salah satu sasaran Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yaitu luasan RTH 30% di Kota Pekalongan bisa terwujud sehingga meningkatkan kenyamanan iklim kota.

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, terdapat beberapa kesimpulan yaitu:

1. Berdasarkan hasil dari analisis citra satelit Quickbird tahun 2009 daerah perekaman Kota Pekalongan dan sekitarnya proses intepretasi penutup lahan menghasilkan tingkat akurasi sebesar 92,5% dengan empat kelas penutup lahan, sehingga peta penggunaan lahan yang dihasilkan dapat dipergunakan untuk analisis selanjutnya. Dari intepretasi tutupan lahan diperoleh luasan RTH eksisting sebesar 12,796 Km2 atau 27,88% dari luas wilayah Kota Pekalongan. Dan pola persebaran RTH di Kota Pekalongan cenderung mengelompok dan tidak merata pada setiap wilayah. RTH di Kota Pekalongan paling banyak berkumpul di Kecamatan Pekalongan Barat dan Kecamatan Pekalongan Selatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa citra satelit Quickbird dapat dipergunakan sebagai sumber data utama untuk arahan pengembangan ruang terbuka hijau di daerah penelitian.

2. Suhu permukaan daratan hasil pengolahan citra di Kota Pekalongan pada tanggal 21 Mei 2015 pukul 09.47 berkisar antara 26,870 sampai 32,090C. Persebaran suhu didominasi suhu diantara 30-310C seluas 12,829 Km2 atau 27,95% dari luas wilayah dan suhu diantara 31-320C seluas 12,494 Km2

dipengaruhi oleh RTHnya. Semakin tinggi persentase RTH maka semakin rendah suhu permukaan daratannya sedangkan semakin tinggi persentase lahan terbangunnya maka semakin tinggi suhu permukaan daratannya. Korelasi suhu permukaan daratan hasil pengolahan citra dengan kondisi dilapangan adalah sebesar 0,66 (Kuat). Sehingga dapat disimpuulkan bahwa estimasi suhu permukaan daratan dari band 6.1 citra satelit Landsat 7 ETM+ dapat digunakan sebagai data utama untuk mengetahui suhu permukaan.

3. Wilayah yang menjadi prioritas arahan pengembangan RTH adalah Kelurahan Bendan, Kelurahan Kergon, Kelurahan Medono, Kelurahan Pringlangu di Kecamatan Pekalongan Barat, Kelurahan Kradenan di Kecamatan Pekalongan Selatan, Kelurahan Landungsari dan Kelurahan Noyontaan di Kecamatan Pekalongan Timur. dengan jenis RTH yang dikembangkan adalah RTH berupa sempadan jalan, sempadan SUTT, sempadan sungai dan pekarangan rumah maupun kantor dengan jenis vegatasi berkanopi besar.

5.2. Saran

1. Dalam memanfaatkan citra satelit untuk dalam mengkaji RTH bisa dilakukan dengan teknik fusi atau pan sharpening. Hal ini dapat dilakukan jika tidak ada citra dengan resolusi spasial tinggi yang terbaru.

estimasi suhu permukaan daratan adalah dengan penentuan nilai emisivitas berdasarkan NDVI dan pengukuran dilapangan harus tepat saat proses perekaman citra terjadi.

3. Penyajian peta pengembangan ruang terbuka hijau atau peta rencana disajikan dalam bentuk sistem informasi yang bisa diakses oleh siapapun dan dimanapun contohnya adalah webGIS.

4. Bagi stakeholder terkait terutama BAPPEDA dan BLH dalam mengembangkan RTH sebaiknya tidak hanya sebatas untuk memenuhi batas persentase minimal berdasarkan peraturan tetapi harus benar-benar efektif sesuai dengan fungsi serta tujuan dari diberlakukannya peraturan perundangan tersebut. Pengembangan RTH sebagai pengatur iklim mikro kota akan lebih efektif jika dilakukan pada daerah dengan suhu tertinggi. 5. Diperlukan sebuah peraturan tentang pengertian RTH, jenisnya dan

petunjuk teknis pemetaannya yang tunggal. Sehingga memudahkan pemerintah, stakeholder dan peneliti dalam melakukan perencanaan, pengembangan dan pengendalian RTH.

Dokumen terkait