RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN ESTIMASI
SUHU PERMUKAAN DARATAN
DI KOTA PEKALONGAN
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh
Trida Ridho Fariz NIM 3211411024
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Fenomena perubahan iklim telah menjadi perhatian utama negara-negara di seluruh dunia saat ini. Meskipun banyak pro kontra dari kalangan para ahli mengenai sebab fenomena perubahan iklim ini, tetapi yang pasti dampak dari perubahan iklim telah dirasakan sekarang. Dampak perubahan iklim di perkotaan berpotensi menyebabkan ancaman kenaikan permukaan laut, banjir dan peningkatan suhu udara yang menimpa kota-kota di pesisir dan menghancurkan infrastruktur sosial maupun ekonomi.
Peningkatan permukaan air laut disebabkan mencairnya es dikutub yang merupakan akibat dari peningkatan suhu bumi. Meningkatnya suhu bumi tak bisa dilepaskan dari fenomena Urban Heat Island. Urban Heat Island merupakan fenomena iklim di mana daerah perkotaan memiliki suhu udara lebih tinggi dari pinggiran mereka karena modifikasi antropogenik dari permukaan tanah (Abutaleb dkk, 2015). Urban Heat Island merupakan dampak dan penyebab dari meningkatnya suhu bumi. Urban Heat Island
akan menyebabkan peningkatan ketidaknyamanan manusia, sehingga meningkatnya kebutuhan pendingin seperti AC yang berdampak peborosan energi dan polusi, dan menyebabkan Green house effect. Pemakaian energi listrik akan meningkakan emisi yang dikenal sebagai gas rumah kaca yang akan berkontribusi pada pemanasan global.
Kota Pekalongan yang merupakan kota pesisir di utara Jawa Tengah ini adalah salah satu kota yang terdampak perubahan iklim berupa peningkatan suhu. Di pesisir utara Jawa Tengah dari tahun 2004 sampai 2014 terjadi peningkatan suhu sebesar 0,2530 C. (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Statklim Semarang), peningkatan suhu ini juga dibarengi dengan bertambahnya luas area terbangun di Kota Pekalongan, pada tahun 2011 luas area terbangunnya sebesar 25,61 km2 dan meningkat menjadi 25,71 km2 pada tahun 2012 (Badan Pusat Statistik Kota Pekalongan, 2013). Hal ini membuat Kota Pekalongan terdapat fenomena urban heat island dan mengurangi kenyamanan kota
Salah satu cara mengatasi femomena urban heat island adalah dengan ruang terbuka hijau atau bisa disingkat menjadi RTH. Kota Pekalongan saat ini memiliki luasan RTH sekitar 6,91 km2 atau 15,39% dari luas wilayah yang terdiri dari taman kota, hutan kota, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, sempadan SUTT, perlindungan pantai, lapangan, makam dan taman fasilitas lain seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, dan lain-lain (Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah, 2013). Tetapi jumlah ini belum memenuhi luasan minimal RTH menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu paling sedikit sebesar 30% dari luas wilayah kota. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan
ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.
Melihat kondisi tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk membuat suatu arahan dalam pengembangan RTH untuk menanggulangi dampak perubahan iklim di Kota Pekalongan berupa urban heat island.Salah satunya dapat dilakukan dengan pemanfaatan integrasi data citra satelit dan Sistem Informasi Geografis. Hal tersebut dikarenakan dalam penataan dan pengembangan wilayah sangat membutuhkan data dan informasi yang mengilustrasikan kondisi suatu wilayah. Citra satelit mampu menunjukkan gambaran obyek bahkan suhu suatu wilayah dan dengan sistem informasi geografis citra satelit tersebut dianalisis dan diolah bersama data lain sehingga mengahasilkan data keluaran berupa peta yang kita inginkan. Melalui data citra satelit, fenomena urban heat island dapat diketahui melalui deteksi persebaran suhu permukaan daratan, begitu juga dengan persebaran keruangan RTH. Hasil pengolahan citra satelit tersebut digabungkan dengan data-data yang mendukung ke dalam satu Sistem Informasi Geografis. Sehingga didapat hasil berupa arahan wilayah mana saja di Kota Pekalongan yang perlu ditingkatkan RTHnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya. Maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
2. Bagaimana persebaran suhu permukaan daratan di Kota Pekalongan? 3. Di wilayah manakah yang menjadi prioritas utama pengembangan RTH
di Kota Pekalongan?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kondisi persebaran RTH di Kota Pekalongan dengan menggunakan citra satelit dan sistem informasi geografis.
2. Mengetahui persebaran suhu permukaan daratan di Kota Pekalongan dengan menggunakan citra satelit dan sistem informasi geografis.
3. Mengetahui wilayah prioritas pengembangan RTH di Kota Pekalongan dengan sistem informasi geografis.
1.4. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan untuk pengembangan kajian tentang RTH dan suhu permukaan daratan dengan memanfaatkan citra satelit dan sistem informasi geografis.
2. Manfaat Praktis
Dinas terkait seperti Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan Badan Lingkungan Hidup (BLH). Penelitian ini dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk mengambil suatu kebijakan, terkait dengan pengembangan RTH di Kota Pekalongan.
1.5. Batasan Penelitian 1. Citra Satelit
Citra digital penginderaan jauh adalah citra yang menggambarkan kenampakan permukaan (atau dekat permukaan) bumi yang diperoleh melalui proses perekaman pantulan (reflectance), pancaran (emittance), maupun hamburan balik (backscatter) gelombang elektromagnetik dengan sensor optik-elektronik yang terpasang pada suatu wahana, baik itu wahana dimenara, pesawat udara maupun wahana luar angkasa (Danoedoro 2012:21). Jadi citra satelit adalah citra digital penginderaan jauh dari sensor optik-elektronik di wahana luar angkasa yaitu satelit. 2. Sistem Informasi Geografis
Menurut Rice (Suryantoro 2009:4), Sistem Informasi Geografis yang selanjutnya disingkat menjadi SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan (capturing), menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang berhubungan dengan permukaan bumi.
Penelitian ini menggunakan integrasi data citra satelit dengan sistem informasi geografis dimana citra satelit merupakan data masukan sedangkan sistem informasi geografis digunakan dalam pembuatan peta dari citra satelit tersebut dan menganalisisnya sehingga menghasilkan sebuah sebuah arahan pengembangan RTH di Kota Pekalongan.
3. Suhu Permukaan Daratan
Menurut Earth Observatory NASA (Risalah, 2011). Suhu permukaan daratan atau land surface temperature (LST) adalah panas permukaan bumi yang menyentuh di lokasi tertentu (dari titik pandang satelit, permukaan adalah apa saja yang terlihat melalui atmosfer ke tanah, berupa rumput di halaman, atap bangunan atau daun-daun pada kanopi tanaman hutan). Dengan demikian,suhu permukaan daratan berbeda dengan suhu udara yang disertakan dalam laporan cuaca harian.
Pada penelitian ini, suhu permukaan daratan didapat dari pengolahan band termal citra satelit Landsat 7 ETM+ dan peta suhu permukaan daratan hasil pengolahan citra hanya estimasi suhu permukaan daratan pada waktu dimana proses perekaman terjadi.
4. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan RTH Di Kawasan Perkotaan. RTH adalah area memanjang atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 (Khairunnisa dan Natalivan, 2013:2) RTH sebagai bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika. Sehingga RTH pada penelitian ini adalah semua tutupan
lahan bervegetasi baik itu vegetasi lebat seperti hutan maupun vegetasi jarang seperti rumput dan lahan pertanian yang hijau pada saat perekaman citra terjadi. Penelitian ini akan memberi arahan wilayah mana di Kota Pekalongan yang harus ditingkatkan kuantitas maupun kualitas ruang terbuka hijau (RTH) berdasarkan suhu permukaan daratan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Citra Satelit
Citra digital penginderaan jauh adalah citra yang menggambarkan kenampakan permukaan (atau dekat permukaan) bumi yang diperoleh melalui proses perekaman pantulan (reflectance), pancaran (emittance), maupun hamburan balik (backscatter) gelombang elektromagnetik dengan sensor optik-elektronik yang terpasang pada suatu wahana, baik itu wahana dimenara, pesawat udara maupun wahana luar angkasa (Danoedoro 2012:21). Jadi citra satelit adalah citra digital penginderaan jauh dari sensor optik-elektronik di wahana luar angkasa yaitu satelit.
. Karakteristik citra satelit penginderaan jauh perlu diketahui agar pemanfaatannya efektif dan efisien. Menurut Purwadhi dan Sanjoto (2009:24) karakteristik citra satelit meliputi:
1. Resolusi spasial yaitu ukuran obyek terkecil yang masih dapat terdeteksi terpisah oleh sensor.
2. Lebar sapuan yaitu lebar permukaan bumi yang diindera secara sekaligus pada saat penginderaan.
3. Resolusi spektral yaitu jumlah saluran spektral (band) dan makin sempitnya kanal-kanal spektral tersebut.
4. Resolusi temporal yaitu periode waktu (standar) satelit kembali berada diatas tempat yang sama di bumi.
5. Resolusi radiometrik dari datanya, pada umumnya adalah 8 bit.
2.1.1. Citra Satelit Landsat 7 ETM+
Citra Landsat 7 ETM+ adalah citra dari satelit Landsat seri ketujuh, satelit ini diluncurkan pada April 1999. Citra satelit ini memiliki resolusi spasial 30 m pada band 1 sampai 5 dan 7 multispektral, 15 m pada band 8 pankromatik dan 60 m band 6 termal.
Tabel 2.1. Spesifikasi citra satelit Landsat 7 ETM+
Band Panjang
Gelombang Aplikasi
1 0.45–0.52 Tanggap peningkatan peneterasi air dan mendukung analis sifat khas pengguna lahan, tanah, serta vegetasi.
2 0.53–0.61 Mengindera puncak pantulan vegetasi dan perbedaan vegetasi, dan nilai kesuburan.
3 0.63 -0.69 Memisahkan vegetasi vegetasi dan memperkuat kontras vegetasi dan bukan vegetasi.
4 0.78–0.90 Tanggap terhadap biomass vegetasi dan identifikasi tanaman. Memperkuat kontras tanaman, tanah dan air
5 1.55 -1.75 Menentukan jenis tanaman serta kandungan airnya dan menentukan kondisi kelembaban tanah.
6.1 & 6.2
10.40-12.50 Deteksi perubahan suhu obyek, analisa gangguan vegetasi dan perbedaan kelembaban tanah.
7 2.09 – 2.35 Formasi batuan dan analisis bentuk lahan
8 0.52 – 0.90 Resolusi spasial yang relatif lebih tinggi dan digunakan untuk aplikasi dengan akurasi tinggi Sumber: Purwadhi dan Sanjoto, 2008:60-61
Peluncuran Satelit Landsat 7 ETM+ hanya bertahan kurang dari 5 tahun, pada bulan Mei 2003 satelit tersebut mengalami kerusakan pada Scan Line Corrector (SLC). Kerusakan ini mengakibatkan munculnya strip atau garis hitam pada area perekaman sehingga citra tidak utuh.
Citra satelit Landsat 7 ETM+ masih dapat digunakan, salah satunya adalah dengan melakukan restorasi citra berupa pengisian strip atau garis hitam yang terdapat pada citra hasil perekaman. Citra pengisi yang dimaksudkan merupakan citra area tersebut yang berada pada waktu pengamatan yang berbeda tetapi masih pada musim yang sama dan tanggal perekamannya berdekatan dengan citra utamaernanya. Hal ini dikarenakan letak strip pada citra berbeda untuk tiap waktu pencitraannya.
Gambar 2.1. Tampilan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ SLC Off
Citra yang akan digunakan sebagai citra master sebaiknya dipilih citra yang daerah penelitiannya tidak tertutup oleh awan. Apabila tutupan awan terlalu lebar, sebaiknya memilih citra yang lain. Citra master merupakan citra acuan dan datanya paling banyak digunakan untuk pengolahan citra selanjutnya. Proses pengisian gap pada citra master dilakukan dengan cara menumpangtindihkan citra master dengan citra pengisi. Sebaiknya citra pengisi lebih dari satu sehingga semua gap pada citra dapat tertutup dengan maksimal.
Citra satelit Landsat 7 ETM+ terdapat Band IR Termal yaitu pada band 6. Band 6 Landsat 7 ETM+ dapat digunakan untuk aplikasi terkait suhu, salah satunya untuk mengetahui fenomena urban heat island melalui persebaran suhu permukaan daratan. Band 6 yang dipakai pada penelitian ini adalah band 6.1 (mode low-gain) karena pencitraan oleh citra Landsat 7 ETM+ dilakukan pada pagi hari.
Citra Landsat 7 ETM+ band 6.1 memiliki resolusi spasial sebesar 60 meter, lebih besar dari Band Termal Citra Aster yaitu sebesar 90 meter bahkan Band IR Termal Citra Landsat 8 OLI/TIRS yaitu sebesar 120 meter. Selain itu Citra Landsat 7 ETM+ saluran 6.1 memiliki akurasi paling tinggi dalam pengolahan suhu permukaan. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Wisnawa (2008) yang melakukan pengolahan suhu permukaan daratan menggunakan citra satelit Landsat dan citra satelit ASTER yang ditandai oleh rms difference band 6.1 untuk citra satelit Landsat 7 ETM+ sebesar 4,95, diikuti saluran 13 pada citra ASTER dengan rms difference sebesar 5,73. Oleh karena itu, walaupun terdapat stripping peneliti tetap menggunakan Band Termal citra Landsat 7 ETM+ dalam melakukan estimasi suhu permukaan daratan.
2.1.2. Citra satelit Quickbird
Citra Quickbird ialah citra digital hasil penginderaan sensor satelit Quickbird yang dikelola oleh Digital Globe. Berhasil diluncurkan di
SLC-2W, Vandenberg AFB California, Amerika Serikat pada tanggal 18 Oktober 2001.
Tabel 2.2. Karakteristik sistem satelit Quickbird Saluran Resolusi
Spektral
Resolusi Spasial
Sensor:
Linear array, pushbroom 1 0,45-0,52 2,44 m Swath: 16 km
2 0,52-0,60 2,44 m Rate: 50 Mb/detik
3 0,63-0,69 2,44 m Revisit: 1-5 hari, tergantung lintang 4 0,76-0,89 2,44 m Bit Coding: 11 bit (0-2047)
Pan 0,45-0,90 0,61 m Orbit: 600 km Sumber: Danoedoro, 2012:91
Berdasarkan karakteristiknya citra satelit Quickbird sangat cocok untuk pemetaan RTH, karena resolusi spasialnya yang tinggi sehingga dapat membedakan jenis tutupan lahan dengan mudah dibandingkan citra satelit Landsat. Ketelitian citra satelit Quickbird juga lebih tinggi dari foto udara pankromatik hitam putih. Rini dan Hadi (2013) melakukan penyusunan neraca perubahan lahan di Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta dengan menggunakan interpretasi foto udara pankromatik hitam putih skala 1:8900 tahun 1996 dan citra Quickbird berwarna skala 1:5400 tahun 2008. Hasil tingkat ketelitian untuk interpretasi penggunaan lahan di wilayah Kecamatan Umbulharjo masing-masing adalah 85% dan 90,02%. Ketelitian kategori hasil interpretasi citra Quickbird menunjukan hasil yang lebih teliti karena semua kategori memiliki ketelitian di atas 85%.
2.1.3. Interpretasi Citra
Interpretasi atau penafsiran citra pengindraan jauh merupakan perbuatan mengkaji citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek yang
tergambar dalam citra, dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital (Purwadhi dan Sanjoto, 2008:49).
Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti.
Interpretasi digital yang dilakukan oleh komputer memiliki keunggulan waktu yang singkat namun demikian, metode ini juga memiliki kelemahan-kelemahan yang cukup besar dibandingkan metode manual atau visual. Kelemahan yang paling menonjol bersumber dari keterbatasan kemampuan komputer untuk membaca kunci-kunci interpretasi obyek. Perkembangan teknologi komputer untuk penafsiran citra saat ini umumnya baru sampai pada tahap pemanfaatan rona dan warna sebagai penciri obyek. Jika kualitas citra kurang bagus, maka hasil interpretasi juga kurang bagus.
2.1.4. Pengolahan Citra Satelit Untuk Penutup Dan Penggunaan Lahan
Hal yang paling umum dari pemanfaatan citra satelit adalah untuk memperoleh informasi tentang penggunaan dan penutup lahan. Menurut Lillesand dan Kiefer (Purwadhi dan Sanjoto, 2008:8) penutup atau tutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan di permukaan bumi seperti
bangunan, danau, vegetasi. Sedangkan menurut Lindgren (Purwadhi dan Sanjoto, 2008:8) penggunaan lahan adalah semua jenis penggunaan atas lahan oleh manusia, mencakup penggunaan untuk pertanian hingga lapangan olahraga, rumah, rumah makan, rumah sakit hingga makam. Penutup lahan lebih sederhana dari penggunaan lahan karena penutup lahan hanya jenis kenampakan yang ada dipermukaan bumi berbeda dengan penggunaan lahan yang lebih spesifik yaitu penggunaan kegiatan manusia terhadap lahan. Oleh karena itu, peneliti dapat mengetahui persebaran RTH yang dijelaskan pada bab sebelumnya merupakan lahan bervegetasi dengan identifikasi penutup lahan. Untuk mengetahui informasi tentang penutup lahan di permukaan bumi, diperlukan interpretasi citra. Interpratasi tersebut dilakukan berdasarkan jenis citra satelit yang dipakai. Untuk citra satelit beresolusi spasial tinggi seperti Quickbird dan Pleaides maka interpretasi dilakukan secara manual visual. Sedangkan untuk citra satelit beresolusi spasial menengah seperti Landsat dan ASTER bahkan kebawah maka interpretasi dilakukan secara digital maupun secara hibrida.
Sebelum melakukan interpretasi, terlebih dahulu harus dilakukan skema klasifikasi penggunaan lahan. Danoedoro (2012:299) menyatakan bahwa di Indonesia, Bakosurtanal (sekarang Badan Informasi Geospasial/BIG) memiliki sistem klasifikasi penggunaan lahan yang secara konseptual tercampur. Begitu pula yang dikembangkan oleh Malingreau dan Chritiani (1982) Kementrian Kehutanan, dan berbagai BAPPEDA tingkat provinsi. Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga telah mengembangkan
sistem klasifikasi yang sudah lebih jelas mengarah ke penggunaan lahan dibandingkan dengan lembaga-lembaga lain. Meskipun demikian, sistem klasifikasi ini belum secara tegas mengaitkan metode penginderaan jauh (apalagi klasifikasi digital) dengan rincian kategori yang dispesifikasikan.
Tabel 2.4. Klasifikasi Penutup Lahan Dari Malingreau & Christiani
Sumber: Purwadhi dan Sanjoto, 2008
Danoedoro (2006) mengembangkan sistem klasifikasi multiguna (versatile) yang memuat aspek-aspek penutup dan penggunaan lahan sekaligus, serta dikembangkan dengan menggunakan citra penginderaan jauh sebagai sumber data utama. Klasifikasi ini menunjukkan bahwa secara konseptual penutup atau penggunaan lahan mempunyai enam dimensi, yaitu dimensi spektral, spasial, temporal, ekologis, fungsi sosial-ekonomi dan politis/legal. Dari keenam dimesi tersebut, hanya lima dimensi pertama yang dapat diekstrak melalui citra penginderaan jauh, dengan tingkat komplek-sitas dan kebutuhan data bantu nir-penginderaan jauh yang berbeda-beda. Secara ideal, setiap dimensi disajikan sebagai satu lapis atau layer informasi
yang berdiri sendiri sehingga suatu peta penggunaan lahan multidimensional atau multiguna. Setidaknya terdiri dari lima lapis informasi yang berturut-turut memuat aspek spektral, spasial, temporal, ekologis, fungsi sosial-ekonomi.
Gambar 2.2. Kategori Kelas Penutup dan Penggunaan Lahan Untuk Tiap Dimensi (Danoedoro, 2006)
Dalam penelitian ini menggunakan skema klasifikasi spectral-related cover dimension (dimensi spektral) level 1 dari Danoedoro (2006) dimana ada 4 pembagian kelas yaitu Tubuh Air, Vegetasi, Lahan Terbuka dan Lahan Terbangun. Skema klasifikasi ini dinilai peneliti cocok untuk diterapkan dalam mengetahui persebaran RTH karena hanya membedakan tutupan lahan berupa vegetasi yang merupakan RTH dengan lahan terbangun, lahan terbuka dan tubuh air yang merupakan non RTH.
2.1.5. Pengolahan Citra Satelit Untuk Suhu Permukaan Daratan
Fenomena urban heat island merupakan fenomena iklim di mana daerah perkotaan memiliki suhu udara lebih tinggi dari pinggiran mereka karena modifikasi antropogenik dari permukaan tanah (Abutaleb dkk, 2015). Salah satu cara untuk mengetahui fenomena ini secara keruangan adalah dengan pemetaan suhu permukaan daratan. Menurut Earth Observatory NASA (Risalah, 2011). Suhu permukaan daratan atau land surface temperature (LST) adalah panas permukaan bumi yang menyentuh di lokasi tertentu (dari titik pandang satelit, permukaan adalah apa saja yang terlihat melalui atmosfer ke tanah, berupa rumput di halaman, atap bangunan atau daun-daun pada kanopi tanaman hutan). Dengan demikian,suhu permukaan daratan berbeda dengan suhu udara yang disertakan dalam laporan cuaca harian. Suhu permukaan daratan bisa digunakan sebagai indikator dari suhu permukaan udara yang berasal dari pengukuran stasiun cuaca. Widyasamrati (2013) melakukan estimasi suhu permukaan daratan dengan suhu udara di DKI Jakarta dengan penginderaan
jauh. Koefesien determinasi antara suhu udara dengan suhu permukaan daratan adalah sebesar 0,74. Sehingga suhu permukaan daratan bisa dijadikan sebagai indikator pada suhu udara.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa suhu permukaan daratan didapat dari ekstrasi band termal citra satelit Landsat 7 ETM+. Konversi ini berbeda dengan indeks dan transformasi dari band tampak semacam indeks vegetasi seperti NDVI dan lain lain yang menggunakan nilai reflektan. Untuk band termal, level koreksi hanya pada konversi menjadi nilai radian spektral, hal tersebut dikarekan band termal bukanlah band pantulan, tetapi pancaran energi inframerah termal. Berbeda dengan band yang perlu dilakukan koreksi lanjutan yang berguna menurunkan variabilitas antar scene citra.
Berdasarkan Landsat-7 Science Data Users Handbook (2006) untuk mengkonversi band termal menjadi suhu sebenarnya hanya melalui dua tahapan, yaitu konversi menjadi nilai radiansi lalu konversi nilai menjadi suhu radian. Suhu radian bukan nilai suhu permukaan yang langsung dapat digunakan untuk analisis, tetapi hanyalah suhu pancaran obyek yang terekam pada sensor. Untuk mendapatkan suhu yang mendekati objek permukaan bumi atau suhu permukaan, maka beberapa koreksi harus dilakukan.
Salah satu metode untuk mengkonversi band termal menjadi suhu permukaan daratan antara lain adalah dengan menambahkan koreksi absorbsi dan re-emisi yang terjadi di atmosfer juga koreksi emisivitas dan
kekasaran permukaan. Metode ini digunakan Srivastava dkk (2009) untuk mengestimasi suhu permukaan daratan di Singhbhum Shear Zone di India.
Gambar 2.3. Diagram perbandingan suhu lapangan dengan suhu pengolahan citra (Srivastava dkk, 2009:1570)
Metode ini mendekati dengan hasil pengukuran dilapangan untuk jenis tutupan yaitu lahan campuran. Sehingga peneliti menyimpulkan metode ini sesuai untuk diterapkan pada daerah perkotaan.
Metode ini juga memerlukan nilai emisivitas obyek atau permukaan. Emisivitas atau daya pancar (ε) merupakan perbandingan antara tenaga pancar suatu obyek apabila dibandingkan dengan tenaga pancar benda hitam pada temperatur yang sama pada saat pemancaran terjadi. Karena merupakan perbandingan, maka besarnya ε radiasi benda hitam pada suhu bumi berkisar antara nol sampai dengan satu. Emisivitas juga dapat berarti sebuah fungsi panjang gelombang, yang biasanya mengacu kepada emisivitas spektral. Perkiraan nilai emisivitas untuk obyek di permukaan tanah dari data sensor pasif diukur menggunakan teknik yang berbeda. Semua teknik tersebut mengunakan metode normalisasi emisivitas, indeks
spektral termal, metode rasio spektral, metode residual alpha, metode NDVI, estimasi klasifikasi, dan metode pemisahan emisivitas temperatur (Weng, Q Dalam Widiastuti 2013:24)
Tabel 2.4. Nilai Emisivitas Berdasarkan Jenis Tutupan Lahan No Features Tractional
Vegetation Cover NDVI Emissivity 1. 2. 3. 4. 5. 6 Water Bodies Agricultural Cropland Dense Vegetation (Forest) Sparse Vegetation (Grass) Urban (Built-up)
Waste Land / Bare Soil
0,000 0,977 0,682 0,507 0,154 0,030 -0,070 0,472 0,377 0,320 0,107 0,027 0,989 0,972 0,967 0,957 0,912 0,896 Sumber: Alipour dkk, 2010
Dalam penelitian ini menggunakan nilai emisivitas dari Alipour dkk (2010) pada Tabel 2.4 yang didapat dari pendekatan estimasi klasifikasi tutupan lahan. Dikarenakan obyek penelitian adalah di Kota Pekalongan yang penutup lahan didominasi oleh lahan terbangun. Oleh karena itu nilai emisivitas yang dipakai pada penelitian ini adalah sebesar 0,912.
3.2.Sistem Informasi Geografis (SIG)
Menurut Purwadhi dan Sanjoto (2008:236) Sistem Informasi Geografis (SIG) sebenarnya adalah komputerisasi dari kartografi, oleh karena itu hasil SIG harus dapat memenuhi persyaratan kartografi baik menyangkut kaidah dan esensinya.
Dalam SIG data spasial maupun data atribut dapat diintegrasikan sehingga sistemnya dapat menjawab pertanyaan spasial maupun non spasial.
Sehingga SIG memiliki peran yang sangat stategis dalam beberapa bidang seperti penataan ruang dan analisis potensi wilayah.
2.2.1. Kemampuan dan Sistem SIG
Secara teknis SIG memiliki tugas utama melakukan analisis dan pemprosesan data geospasial. Adapun perannya dalam penyusunan informasi atau peta-peta adalah sebagai berikut:
1. Input data 2. Pembuatan peta. 3. Manipulasi data. 4. Manajemen data. 5. Analisis query.
6. Memvisualisasi hasil, baik dalam bentuk peta, grafik maupun sistem informasi.
Dalam melakukan peran tersebut, SIG jauh lebih unggul dibandingkan dengan pemetaan manual. Dengan SIG penyusunan informasi atau peta-peta dapat dilakukan dengan cepat, mudah dan murah. Dalam pemetaan tata ruang, SIG memiliki kemampuan antara lain: memetakan letak, memetakan kuantitas, memetaan densitas, memetakan perubahan (trend), dan memetakan apa yang ada didalam dan diluar area (Prasetyo dalam Muta’ali 2013:322). Oleh karena itu SIG dapat mencari tempat-tempat yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan dan diguakan untuk pengambilan keputusan, ataupun juga untuk mencari hubungan dari masing-masing tempat tersebut
Dalam penyusunan informasi atau peta-peta dengan SIG tidak bisa dipisahkan dari citra satelit penginderaan jauh. Citra satelit merupakan data masukan dalam analisis spasial dalam SIG, selain itu SIG juga menawarkan banyak banyak manfaat bagi sistem pengolahan citra satelit seperti proses analisis dan tampilan kartografis.
Gambar 2.4. Kedudukan Citra Satelit Dalam Sub Sistem SIG
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa antara penginderaan jauh yang meliputi citra satelit sudah merupakan satu kesatuan atau terintegrasi dengan SIG. Dalam Danoedoro (2012:356) SIG juga dapat membantu menigkatkan kinerja proses klasifikasi citra satelit. Integrasi pengolahan citra dengan SIG bisa dilakukan dengan cara. Pertama, integrasi yang bersifat longgar yaitu memanfaatkan produk klasifikasi spektral dalam proses tumpangsusun dengan SIG dan yang kedua adalah integrasi yang bersifat lebih ketat yang memandang bahwa pengolahan citra digital merupakan salah satu anggota dari keluarga besar SIG, khususnya SIG
berbasis raster. Dengan demikian proses penurunan informasi dari citra pun sudah dilakukan dalam konteks SIG.
2.2.2. Analisis Sistem Informasi Geografis
Secara umum dalam sistem informasi geografis terdapat dua analisis yaitu analisis data spasial dan analisis spasial. Contoh analisis data spasial antara lain, mencari luasan suatu area/poligon, geostatistika, interpolasi, analisis pola persebaran dan lain-lain. Dalam analisis pola persebaran terdapat beberapa metode antara lain:
1. Analisis Quadran
2. Kernel Density Estimation (K means) 3. Nearest Neighbor Distance.
Metode-metode tersebut hanya menganalisai penyebaran lokasi dari suatu titik namun tidak membedakan titik-titik berdasarkan atributnya. Dan untuk metode Kernel Density dapat menampilkan pola persebaran secara spasial dalam bentuk raster. Kernel density ini penggunaannya tidak terbatas hanya untuk mengetahui persebaran kepadatan penduduk. Banyak sekali hal - hal yg dapat dianalisis dengan bantuan perhitungan ini dalam konteks ilmu perencanaan wilayah dan kota. Persebaran kepadatan wilayah terbangun, perumahan, atau pun terkait dengan persebaran lokasi potensial terjadi tindak kejahatan, persebaran fasilitas, atau pun kemacetan dengan mengukur tingkat utilitas penggunaan jaringan ( line ) tertentu juga dapat dianalisis melalui perhitungan kernel density. Oleh karena itu peneliti
menggunakan analisis Kernel Density Estimation untuk mengetahui pola persebaran RTH.
Selain analisis data spasial, dalam sistem informasi geografis juga terdapat analisis spasial. Beberapa contoh analisis spasial antara lain:
1. Analisis Tumpang Susun (Overlay) 2. Pencarian Spasial (Spatial Search) 3. Operasi Buffer ( Buffer Operation) 4. Operasi Raster ( Raster Operation) 5. Operasi Jaringan ( Network Operation).
. Analisis tumpang susun (overlay) adalah teknik analisis yang penting dalam sistem informasi geografis. Muta’ali (2013:327) menyatakan bahwa dalam teknik ini data input yang berupa informasi spasial tematik dimanupulasi dengan teknik tumpangsusun untuk menghasilkan satu peta tematik utama sebagai output. Sebagai contoh, didalam Rencana Tata Ruang akan dihasilkan Peta Struktur Ruang Wilayah yang merupakan hasil overlay dari sejumlah data input dalam bentuk layer layer tematik seperti peta distribusi penduduk, peta permukiman, peta areal terbangun, peta jaringan infrastruktur wilayah (transportasi, irigasi, telekomunikasi, energi) dan peta keberadaan sarana dan prasarana sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan, peribadatan, ekonomi).
2.3. Ruang Terbuka Hijau (RTH) 2.3.1. Tipologi dan Fungsi RTH
Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, RTH kota luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. RTH memiliki beberapa tipologi berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan berikut ini adalah tipologi RTH berdasarkan klasifikasinya.
Tabel 2.5. Tipologi RTH
RTH (RTH)
Fisik Fungsi Struktur Kepemilikan RTH Alami Ekologis Pola
Ekologis RTH Publik Sosial Budaya RTH Non Alami Estetika Pola Planologis RTH Privat Ekonomi
Sumber: Permen PU No: 05/PRT/M/2008 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan RTH Perkotaan
Berdasarkan Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan Tahun 2008, Fungsi ekologis Ruang Terbuka Hijau di kawasan perkotaan antara lain sebagai berikut.
1. Memberi jaminan pengadaan RTH sebagai bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota).
2. Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar.
3. Ruang peneduh. 4. Produsen oksigen. 5. Penyerap air hujan. 6 Penyedia habitat satwa.
7. Penyerap polutan media udara, air, dan tanah. 8. Penahan angin.
2.3.2. Pengembangan RTH
Pengembangan RTH Kota sebenarnya harus sesuai dengan kondisi kota tersebut. Rushayati dkk (2011:26) menyatakan bahwa pengembangan RTH termasuk hutan kota sebaiknya tidak hanya sebatas untuk memenuhi batas persentase minimal berdasarkan peraturan perundang-undanganan tetapi harus benar-benar efektif sesuai dengan tujuan dari diberlakukannya peraturan perundangan tersebut. Oleh karena itu perlu pengembangan RTH dilokasi-lokasi dengan suhu udara tinggi agar kondisi iklim mikro kota menjadi lebih baik dan nyaman.
Selain itu Sari dan Kustiwan (45 dan 52, 2013) juga menyatakan Kota pesisir memiliki karakteristik kota sebagai konsentrasi kegiatan pembangunan karena posisinya yang strategis. Hal ini akan berpengaruh pada keberadaan RTH kota. Sebagai kota yang berada di wilayah hilir Daerah Aliran Sungai (DAS), kota pesisir tidak memiliki RTH hutan
lindung yang memiliki fungsi perlindungan pada kawasan di bawahnya, namun kota pesisir memiliki karakteristik RTH yang tidak dimiliki oleh kota pegunungan dan dataran rendah, yaitu sempadan pantai dan hutan mangrove. Dari beberapa aspek -aspek penting yang harus diperhatikan dalam penyediaan RTH publik pada kota- kota tersebut salah satunya adalah distribusi dan jangkauan pelayanan RTH publik, dimana harus terdistribusi merata pada wilayah kota sehingga setiap orang tercukupi dan tipe vegetasi pengisi RTH publik, dimana peningkatan penyediaan dapat dilakukan dengan menanam atau mengganti jenis vegetasi menjadi dominan bertajuk pohon serta vegetasi sesuai dengan iklim pesisir.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan. Rencana pengembangan RTH Privat seluas 585 Ha atau sekitar kurang lebih 12 (dua belas) persen dari luas wilayah kota, sedangkan RTH publik seluas 907 Ha atau sekitar kurang lebih 20(dua puluh) persen dari luas wilayah kota, meliputi:
a. Taman kota terdistribusi di Kecamatan Pekalongan Utara, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kecamatan Pekalongan Barat dan Kecamatan Pekalongan Timur, dengan luas kurang lebih Ha
b. Sempadan pantai dipesisir kota, dengan luas kurang lebih 61 Ha c. Sempadan sungai di seluruh kota, dengan luas kurang lebih 359 Ha d.Sempadan SUTT terletak di Kecamatan Pekalongan Selatan dan
e. Sempadan rel kereta api terletak di Kecamatan Pekalongan Timur dan Kecamatan Pekalongan Barat, dengan luas kurang lebih 8 Ha.
f. Kawasan hutan kota terletak di Kelurahan Yosorejo Kecamatan Pekalongan Selatan, di Kelurahan Sokorejo, Kelurahan Landungsari dan Kelurahan Poncol Kecamatan Pekalongan Timur, di Kelurahan Podosugih Kecamatan Pekalongan Barat, dan di Kelurahan Krapyak Lor Kecamatan Pekalongan Utara, dengan luas kurang lebih 5 Ha. g. Sempadan saluran drainase primer tersebar di seluruh wilayah Kota,
dengan luas kurang lebih 159 Ha
h. Lapangan olah raga tersebar di seluruh wilayah kota, dengan luas kurang lebih 24Ha
i. Taman makam pahlawan terletak di Kelurahan Panjang Baru Kecamatan Pekalongan Utara dan pemakaman umum tersebar di seluruh wilayah Kota Pekalongan, dengan luas kurang lebih 41 Ha
j. RTH kawasan pariwisata terletak di Kelurahan Krapyak Lor dan KelurahanPanjang Wetan Kecamatan Pekalongan Utara, dengan luas kurang lebih 4 Ha
k. RTH kawasan perkantoran pemerintah terletak di Kelurahan Podosugih Kecamatan Pekalongan Barat, dengan luas kurang lebih 2Ha;
l. RTH fasilitas pendidikan tersebar di seluruh wilayah Kota, dengan luas kurang lebih 5Ha
m.RTH fasilitas kesehatan tersebar di seluruh wilayah Kota, dengan luas kurang lebih 1) Ha
n. RTH fasilitas peribadatan tersebar di seluruh wilayah Kota, dengan luas kurang lebih 0,5Ha
o. Sempadan polder terletak di Kelurahan Kandang Panjang dan KelurahanKrapyak Lor Kecamatan Pekalongan Utara,dengan luas kurang lebih 6 Ha
p. Sempadan jalan tersebar di seluruh wilayah Kota, dengan luas kurang lebih 124 Ha
q. RTH Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan terletak di Kelurahan Krapyak Lor danKelurahanPanjang Wetan Kecamatan Pekalongan Utara, dengan luas kurang lebih 4 Ha.
r. RTH kawasan terminal bis terletak di Kelurahan Gamer Kecamatan Pekalongan Timur, dengan luas kurang lebih 0,3Ha.
s. Kawasan konservasi pantai (mangrove) terletak dipesisir utara Kota, dengan luas kurang lebih 60 Ha.
2.4. Pemanfaatan Citra Satelit dan SIG
Integrasi data citra satelit dan sistem informasi geografis (SIG) merupakan dua sistem teknologi yang revolusioner pada abad ini. Kedua sistem ini sama-sama berlatar belakang ilmu kebumian, sehingga keberadaan satu sama lainnya sebenarnya banyak mempunyai keterkaitan.
Maimaitiying dkk (2014) menganalisis pengaruh pola sebaran RTH terhadap suhu permukaan daratan pada area terbangun seluas 28,1 Km2 di Kota Aksu, Tiongkok. Data yang digunakan adalah Citra Landsat 5 TM dan
mengetahui pola sebaran RTH melalui metrik lanskap PLAND, Patch Density dan Edge Density. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konfigurasi RTH secara signifikan mempengaruhi suhu permukaan daratan . Selain itu, varian nilai dari suhu permuukaan daratan sebagian besar ditunjukkan oleh komposisi dan konfigurasi RTH.
Kridalaksana (2011) memanfaatkan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam penentuan lokasi hutan kota di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi berdasarkan suhu permukaan , kemiringan lahan, jarak dari pemukiman dan jenis tanah. Hasil overlay menunjukkan bahwa daerah yang masuk dalam kelas prioritas pertama pengembangan hutan kota adalah sebesar 5,494% (303,466 Ha), kelas prioritas kedua sebesar 45,762% (2.527,465 Ha) dan kelas prioritas ketiga sebesar 48,744% (2.692,175 Ha). Tapak yang dipilih untuk pembangunan hutan kota adalah Pantai Boom.
Kumar dkk. (2012) menggunakan metode pengindraan jauh untuk menduga distribusi suhu permukaan tanah dan korelasinya dengan indeks kehijauan vegetasi di Kota Vijayawada, India dengan data berupa Citra Landsat 7 ETM+. Hasil interpretasi dan analisis menunjukkan bahwa tutupan lahan mempengaruhi suhu permukaan Kota Vijayawada yang didapat berdasarkan estimasi band 6 pada Citra Landsat. Suhu permukaan tertinggi yaitu 320oK pada bangunan perkotaan sedangkan terendah yaitu 299oK pada lahan terbuka hijau. Suhu permukaan tanah berkorelasi negatif terhadap indeks kehijauan vegetasi.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Penelitian ini menggunakan integrasi antara data citra satelit dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Citra satelit merupakan data masukan sedangkan SIG digunakan dalam pembuatan peta dari citra satelit tersebut dan menganalisisnya untuk mencapai tujuan utama dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui wilayah yang menjadi prioritas pengembangan RTH.
3.1. Lokasi dan Obyek Penelitian
Lokasi yang menjadi wilayah penelitian adalah di Kota Pekalongan. Secara astronomis Kota Pekalongan terletak pada 6º50’42”–6º55’44” LS dan 109º37’55”–109º42’19” BT. Sedangkan obyek pada penelitian ini adalah RTH dan suhu permukaan daratan di Kota Pekalongan tersebut.
3.2. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau niilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono 2007:3). Variabel pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kondisi sebaran RTH dengan indikator yang meliputi: persebaran RTH, luasan RTH dan persentasenya terhadap luas wilayah.
2. Persebaran suhu permukaan daratan dengan indikator yang meliputi: persebaran suhu tertinggi, terendah serta luasanya.
3. Wilayah Prioritas Pengembangan RTH
Pengembangan RTH berdasarkan wilayah yang memiliki suhu permukaan daratan yang tinggi dengan rencana pengembangan RTH berdasarkan Peta Rencana Pola Ruang dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan yang belum terealisasi.
3.3. Data Dan Peralatan Dalam Penelitian
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Data Spasial yaitu data beracuan dengan lokasi yaitu:
Citra Satelit Quickbird Tahun 2010 dari BAPPEDA Kota Pekalongan
Citra satelit Landsat 7 ETM+ Tahun 2015 dari USGS
Data Spasial Vektor (Shapefile) Batas Administrasi Se-Provinsi Jawa Tengah dari Badan Informasi Geospasial
Peta Rencana Pola Ruang Skala 1:25.000 dari BAPPEDA Kota Pekalongan
2. Data atribut, yaitu data yang merupakan keterangan yaitu:
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan
Data Kota Pekalongan Dalam Angka
Sedangkan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Laptop ASUS A43T dengan spesifikasi RAM 6GB, prosesor AMD A6-3400M dengan Radeon HD Graphic.
2. Program Arc GIS 10.1 ESRI. 3. Program ENVI 5.1
4. GPS Garmin untuk memploting titik survey lapangan.
5. Termometer Inframerah LT Lutron TM-2000 untuk pengukuran suhu permukaan daratan.
6. Smartphone Sony Experia M untuk mengambil foto dilapangan
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Dokumentasi
Mengumpulkan data-data terkait dalam penelitian yaitu data spasial dan atribut. Data yang diperoleh merupakan data yang diperoleh dari dinas maupun instansi, serta referensi yang masih relevan dengan penelitian.
Data yang merupakan data sekunder adalah data citra Landsat 7 ETM+ perekaman 21 Mei 2015, 22 Juni 2015 dan 24 Juli 2015 yang diunduh dari website USGS (United States Geological Survey). Citra citra dipilih pada tanggal perekamam tersebut karena perekaman terjadi pada saat musim kemarau dan tidak ada tutupan awannya pada lokasi penelitian. Selain itu juga data citra Quickbird Kota Pekalongan perekaman tahun 2010 dan data spasial album peta Kota Pekalongan Tahun 2012 dari BAPPEDA Kota Pekalongan, data spasial batas administrasi tahun 2013
dari BAPPEDA Provinsi Jawa Tengah, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan Tahun 2009 – 2029 dan Permen No 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan yang diunduh dari website Kementrian Pekerjaan Umum.
2. Teknik Survey Lapangan
Survey lapangan atau ground check dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi suhu dilapangan dan perubahan penutupan lahan. Pengambilan titik sampel ini tidak dilakukan secara menyeluruh melainkan hanya pada beberapa tempat yang dianggap mewakili masing-masing kelas penutupan lahan, misalnya kelas untuk daerah lahan terbangun, RTH, lahan kosong dan tubuh air. Setiap lokasi survey yang mewakili masing-masing kelas penutupan lahan diambil titik koordinatnya dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Sedangkan untuk mengetahui kondisi suhu dilapangan adalah dengan dilakukan pengukuran suhu menggunakan thermometer inframerah. Survey dilaksanakan pada saat hari dimana satelit Landsat 7 ETM+ diduga merekam lokasi penelitian atau maksimal dua hari setelah waktu perekaman. Srivastava dkk (2009) melakukan pengukuran suhu dilapangan dalam pengolahan suhu permukaan daratan menggunakan citra satelit di India bagian timur, pengukuran suhu lapangan dilakukan pada pukul 10.00 sampai 11.00 atau setengah jam sebelum dan sesudah waktu perekaman citra, sedangkan Hidayati (2014) pada pengukuran suhu dilapangan hasil
pengolahan suhu permukaan daratan di Kota Yogyakarta dilakukan pada pukul 08.00 sampai 10.00. Pada penelitian ini waktu survey dilakukan pada pukul 09.00 sampai 10.30, waktu 45 menit sebelum dan sesudah waktu perekeman citra pada jam 09.47 dinilai peneliti masih sesuai karena dalam selisih waktu tersebut tidak terjadi perbedaan suhu yang jauh.
Hasil dari survey lapangan ini digunakan untuk re-interpretasi penutup lahan dengan dibantu oleh data yang didapat dari Google Earth dan untuk mengetahui tingkat korelasi suhu dilapangan dengan suhu hasil pengolahan citra.
3.5.Teknik Penentuan Sampel
Metode penentuan sampel yang digunakan adalah proporsional stratified random sampling. Menurut Sugiyono (2007) teknik ini digunakan bila populasi/obyek mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen dan berstrata secara secara proporsional. Jadi sampel pada penelitian ini adalah tutupan lahan hasil interpretasi citra satelit Quickbird yang terdiri dari lahan terbangun, RTH, lahan terbuka dan tubuh air. Pembagian jumlah sampel tiap kelas tutupan lahan dibagi secara proporsional berdasarkan luasan tiap kelas tutupan lahan.
Sedangkan penentuan jumlah titik sampel diadopsi dari Pedoman Teknis Pengumpulan Dan Pengolahan Data Spasial Mangrove dari Badan Informasi Geospasial. Metode ini berbeda dari metode penentuan sampel oleh Anderson dan Lo (Rini dan Hadi 2013:144), yaitu
Metode penentuan jumlah sampel dari Pedoman Teknis Pengumpulan Dan Pengolahan Data Spasial Mangrove dari Badan Informasi Geospasial mempertimbangkan nilai skala dan luas wilayah yang dipetakan sehingga dinilai peneliti lebih relevan dibandingkan metode dari Anderson dan Lo. Rumus yang digunakan dalam penentuan jumlah sampel adalah:
A = Jumlah Sampel
TSM = Total Sampel Minimal
Tabel 3.1 Total Sampel Minimal Berdasarkan Skala Peta Skala Total Sampel Minimal
1: 25.000 50
1: 50.000 30
1: 250.000 20
Sumber: Petunjuk Teknis Pengumpulan & Pengolahan Data Spasial Mangrove. BIG 2014
Berdasarkan rumus tersebut dengan luas Kota Pekalongan sekitar 4590 Ha, jumlah titik sampel adalah sebanyak 33 titik. Dengan pembulatan maka jumlah titik sampel yang diambil adalah sebanyak 40 titik sampel.
3.6. Diagram Alir Tahapan Penelitian
Overlay
Prioritas Pengembangan RTH di Kota Pekalongan berdasarkan
suhu permukaan
Citra Satelit Quickbird Terkoreksi
Koreksi Geometrik
Koreksi Geometrik Citra Satelit Landsat 7 ETM+
(Band 6) Radian Spektral Koreksi Geometrik Suhu Radian Koreksi Geometrik
Suhu Permukaan Daratan
Koreksi Geometrik Interpretasi manual Koreksi Geometrik Klasifikasi Suhu Koreksi Geometrik Cek Lapangan Re-Interpretasi Koreksi Geometrik Cek Lapangan
Peta Suhu Permukaan Daratan Peta Tutupan Lahan Peta Rencana Pola Ruang Kota Pekalongan Peta Pola Persebaran RTH Peta Ruang Terbuka Hijau
3.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian ini terdapat beberapa tahapan dalam pengolahan dan analisis data, yaitu:
1. Pra-pengolahan Citra
Operasi pra-pengolahan citra merupakan merupakan pengondisian supaya citra yang akan digunakan benar-benar memberikan informasi secara akurat secara geometris dan radiometris (Danoedoro, 2012:167). Proses ini terdiri dari koreksi geometri dan radiometri.
Koreksi geometri dilakukan dengan retifikasi citra ke citra terkoreksi. Proses koreksi ini dilakukan dengan memilih pasangan titik-titik koordinat pada citra dan pada citra terkoreksi. Pada penelitian ini, citra terkoreksi adalah citra satelit Quickbird Kota Pekalongan dari BAPPEDA Kota Pekalongan. Dimana citra satelit tersebut sesuai dengan peta rupabumi indonesia dan data spasial batas administrasi dari Badan Informasi Geospasial. Perbedaan ukuran piksel antara citra satelit Quickbid dengan citra satelit Landsat mengharuskan peneliti menggunakan metode
tryngulation dalam proses koreksi geomteri. Metode trynglation digunakan untuk koreksi geometrik data yang banyak mengalami pergeseran skew
dan yaw atau data yang tidak sama ukuran pikselnya pada satu set data (Purwadhi dan Sanjoto, 2009:87). Sedangkan koreksi radiometri berupa pengisian garis hitam atau strip pada citra satelit Landsat 7 ETM+ agar citra dapat digunakan untuk pengolahan selanjutnya. Proses pra-pengolahan citra terlampir pada Lampiran 2.
2. Pembuatan Peta Tutupan Lahan, Peta RTH Dan Persebaran RTH
Pada penelitian ini, peta tutupan lahan dan peta RTH berasal dari hasil interpretasi manual citra satelit Quickbird Kota Pekalongan. Telah dijelaskan bahwa RTH pada penelitian ini adalah tutupan lahan berupa lahan bervegetasi, jadi kunci interpretasi tutupan lahan berupa RTH adalah lahan yang bervegetasi baik itu pepohonan maupun padang rumput. Tutupan lahan di Kota Pekalongan dibagi dalam empat kelas berdasarkan klasifikasi tutupan lahan dimensi spektral dari Danoedoro (2006) yaitu lahan terbangun, tubuh air, RTH dan lahan kosong. Berdasarkan Gambar 3.4 ditunjukkan masing-masing kunci interpretasi tiap tutupan lahan.
Hasil dari interpretasi kemudian disesuaikan dengan hasil uji lapangan. Proses ini dinamakan re-interpretasi yaitu proses interpretasi kembali yang bertujuan untuk membenarkan hasil interpretasi yang sesuai dengan di lapangan. Pada proses re-interpretasi juga dibantu dengan Google Earth.
Dari peta RTH ini, dapat dianalisis persebaran RTH dengan metode
Kernell Density. untuk mengetahui pola persebaran RTH. Proses terlampir pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.
3. Pembuatan Peta Distribusi Suhu Permukaan
Pembuatan peta distribusi suhu permukaan dari band 6 landsat 7 terdiri atas 3 tahap (Terlampir pada lampiran 4). Dalam tiap tahap terdapat rumus antara lain:
a. Konversi digital number menjadi radiansi spektral dengan formula dari USGS (2002) sebagai berikut:
min min) ( min max min max L QCAL QCAL x QCAL QCAL L L L
Keterangan: L : Spektral Radiansi
L max : Radiansi Spektral ke QCAL max L min : Radiansi Spektral ke QCAL min QCALmin : Nilai minimum piksel
QCALmax : Nilai maksimum piksel QCAL : Digital Number
Dengan diketahui nilai radiansi spektral maka dilanjutkan dengan koreksi dengan memasukkan faktor emisivitas obyek dengan rumus dari Barsi dkk, 2003 (Srivastava dkk, 2009) sebagai berikut:
down L up L L LT 1
Keterangan: LT : Spektral Radiansi terkoreksi L : Spektral Radiansi
up
L : upwelling radiance (Lampiran 5)
down
L : downwelling radiance (Lampiran 5) : Transmisi Atmosfer (Lampiran 5)
: Emisivitas Obyek
Nilai transmisi radiansi atas dan bawah didapat dari Atmospheric Correction Parameter Calculator (http://atm-corr.gsfc.nasa.gov/) yang dikembangkan oleh NASA. Seperti yang tertulis pada bab sebelumnya, penelitian dilakukan di Kota Pekalongan dimana penutup lahan
didominasi oleh lahan terbangun maka menggunakan nilai emisivitas sebesar 0,912.
b. Konversi radiansi spektral menjadi temperatur radian. Temperatur radian adalah suhu yang terekam dalam gelombang. Dengan rumus dari USGS (2002), yaitu: 1 1 1 2 T B L K n K T
Keterangan: TB : Suhu Radian K2 : 1282.71 (Kelvin)
K1 : 666.09 (W/(m2*ster*μm))
T
L : Radiansi Spektral Terkoreksi
c. Konversi Temperatur Radian ke Temperatur Permukaan
Temperatur Permukaan merupakan temperature permukaan obyek sesuai dengan emisivitasnya. Rumus temperatur permukaan daratan dari Artis dan Carnahan, 1982 (Srivastava dkk, 2009) sebagai berikut:
273 ) )ln / ( 1 (
B B S T T TKeterangan: Ts : Suhu Permukaan (Celcius) TB : Suhu Radian
: Panjang gelombang dari radiasi yang di pancarkan sebesar 11.5 µm.
: hc/K (1.438 x 10-2 mK)
h : Konstanta Planck’s (6.26 x 10-3) c : Kecepatan cahaya (2.998 x 108 m.scc-1)
K : Konstanta Stefan Boltzman (1.38 x 10-23 JK-1) : Emisivitas Obyek (0,912)
Selanjutnya, suhu permukaan daratan hasil pengolahan citra dianalisis korelasinya dengan suhu permukaan daratan dilapangan. Sugiyono (2007:224) menyatakan bahwa korelasi merupakan angka yang menunjukkan arah dan kuatnya hubungan antar dua variabel atau lebih. Arah dinyatakan dalam bentuk hubungan positif negatif, sedangkan kuatnya hubungan dinyatakan dalam besarnya koefisien korelasi. Persamaan analisis korelasi adalah sebagai berikut:
Keterangan: r = Korelasi
X = Suhu lapangan
Y = Suhu Hasil Pengolahan Citra
n = Jumlah Data
Untuk dapat memberikan penafsiran dalam koefesien korelasi yang ditemukan tersebut besar atau kecil, maka dapat berpedoman pada tabel 3.1 sebagai berikut.
Tabel 3.2. Tingkat Hubungan Koefisien Korelasi
Interval Koefesien Tingkat Hubungan
0,00-0,199 0,20-0,399 0,40-0,599 0,60-0,799 0,80-1,000 Sangat Rendah Rendah Sedang Kuat Sangat Kuat Sumber :Sugiyono (2007 : 231)
4. Tumpang Susun (overlay)
Merupakan metode analisis data melalui peta sehingga didapat beberapa informasi yang berkenaan dengan data yang diperlukan pada penelitian ini. Tumpang susun dilakukan antara layer suhu permukaan daratan dengan layer penutup lahan berupa RTH dan layer rencana pola ruang.
Wilayah yang termasuk dalam prioritas pengembangan RTH adalah kelurahan yang memiliki persentase luasan yang tinggi untuk suhu permukaan daratan yang tinggi. Dan untuk alternatif pengembangan RTH berdasarkan rencana pengembangan RTH dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan yang belum terealisasi yang diketahui dari tumpang susun (overlay) peta RTH dan peta rencana pola ruang.
Hasil dari tumpang susun (overlay) ini diharapkan cukup untuk mendekripsikan lokasi mana saja yang perlu dikembangkan RTHnya secara kuantitas maupun kualitas untuk menanggulangi dampak perubahan iklim berupa fenomena urban heat island di Kota Pekalongan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian
Kota Pekalongan adalah salah satu kota pesisir di Provinsi Jawa Tengah. Secara astronomis Kota Pekalongan terletak pada 6º50’42”–6º55’44” LS dan 109º37’55”–109º42’19” BT. Secara administratif Kota Pekalongan sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa, sebelah timur dibatasi oleh Kabupaten Batang, sebelah barat dan selatan dibatasi oleh Kabupaten Pekalongan. Kota dengan luas sekitar 45,90 Km2 ini secara admininistratif terdiri dari 4 Kecamatan yaitu:
1. Kecamatan Pekalongan Utara dengan luas wilayah sekitar 15,02 Km2. dengan kelurahan sebanyak 12 Kelurahan.
2. Kecamatan Pekalongan Barat dengan luas sekitar 10,12 Km2. Dengan kelurahan sebanyak 13 Kelurahan.
3. Kecamatan Pekalongan Timur dengan luas sekitar 9,92 Km2. Dengan kelurahan sebanyak 11 Kelurahan.
4. Kecamatan Pekalongan Selatan dengan luas sekitar 10,82 Km2 dengan kelurahan sebanyak 10 Kelurahan.
4.1.1.Kondisi Fisik
Informasi kondisi fisik suatu wilayah seperti topografi, morfologi dan iklim merupakan salah satu informasi penting yang perlu tersedia dalam pembangunan fisik maupun pengembangan wilayah. Dengan diketahuinya kondisi morfologi suatu wilayah maka kegiatan pembangunan fisik yang akan dilaksanakan dapat disesuaikan dengan karakteristik morfologi setempat khususnya kemiringan lereng. Besarnya kemiringan lereng suatu wilayah atau lokasi proyek perlu diidentifikasi karena dapat berpengaruh terhadap stabilitas lereng dan biaya pembangunan.
Morfologi Kota Pekalongan adalah dataran rendah yang merupakan daerah pesisir dengan lereng yang relatif datar. Kota yang memiliki ketinggian rata-rata sekitar 3 meter diatas permukaan laut ini terdapat sungai yang bermuara di Laut Jawa bernama Sungai Kupang.
Berdasarkan iklim matahari, Kota Pekalongan termasuk dalam iklim tropis. Sedangkan berdasarkan klasifikasi iklim menurut Koppen, Kota Pekalongan termasuk dalam iklim Af dengan memiliki curah hujan yang rendah. Jumlah hari dan curah hujan selama setahun sangat bervariasi. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012) jumlah hari hujan dan curah hujan paling banyak terjadi pada tahun 2010. Selama tahun 2012 jumlah hari hujan sebanyak 95 hari dan curah hujan sebanyak 1.554 mm. Hari hujan dan curah hujan paling banyak terjadi pada bulan Januari yaitu 22 hari dan 14 mm.
Kondisi topografi dan curah hujan Kota Pekalongan yang rendah mempengaruhi jenis tanahnya. Sehingga jenis tanah di Kota Pekalongan adalah aluvial. Tanah aluvial dibentuk dari lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah yang memiliki sifat tanah yang subur dan cocok untuk lahan pertanian.
4.1.2.Kondisi Kependudukan
Jumlah penduduk di Kota Pekalongan adalah sebanyak 327.256 jiwa. Kota Pekalongan adalah kota/kabupaten dengan pertumbuhan penduduk terendah di Provinsi Jawa Tengah yaitu sebesar 0,09% per tahun Walaupun Kota Pekalongan adalah kota terpadat ketiga di Provinsi Jawa Tengah dengan 7.232 jiwa/km2. Kelurahan Kauman di Kecamatan Pekalongan Timur adalah kelurahan terpadat dengan jumlah penduduk sebesar 17.060 jiwa.
Kota Pekalongan dikenal sebagai Kota Batik, hal ini karena kota ini terkenal dengan indutri batiknya dan juga mata pencaharian penduduknya mayoritas adalah pembatikan dan pentekstilan
Selain itu, Kota Pekalongan juga dikenal sebagai salah satu kota dengan tingkat religius yang tinggi. Selain mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama islam yaitu sebanyak 292.364 jiwa, indikator lainnya adalah banyaknya jumlah pondok pesantren yaitu sebanyak 44 buah dengan jumlah santri mencapai 4.706 jiwa.
4.1.3.Kondisi Jaringan Transportasi
Kota Pekalongan yang merupakan bagian dari Kawasan Perkotaan Petanglong (Pekalongan-Batang-Kabupaten Pekalongan) ini dilalui oleh jalur pantai utara jawa yang menghubungi kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya. Dan Kota Pekalongan memiliki sebuah terminal kelas A di Kecamatan Pekalongan Timur dan Pelabuhan Perikanan Nusantara.
Berdasarkan Gambar 4.4. kepadatan jaringan jalan tertinggi berada pada bagian tengah Kota Pekalongan. Hal tersebut dikarenakan wilayah tenngah Kota Pekalongan adalah pusat kegiatan ekonomi kota. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan Tahun 2009-2029 pusat pelayanan kota meliputi Kawasan Alun-alun Pekalongan disebagian Kelurahan Kauman, sebagian Kelurahan Keputran dan sebagian Kelurahan Sugih Waras di Kecamatan Pekalongan Timur sebagai pusat kegiatan perdagangan-jasa skala regional dan pusat pelayanan peribadatan skala regional.
4.2. Hasil Penelitian
4.2.1.Kondisi Sebaran RTH Di Kota Pekalongan
RTH pada penelitian ini mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan RTH Di Kawasan Perkotaan yaitu area memanjang atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sehingga dapat diartikan bahwa semua tutupan lahan bervegetasi adalah RTH baik itu lahan bervegetasi rapat seperti hutan maupun lahan bervegetasi jarang seperti padang rumput.
Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pemetaan sebaran RTH berdasarkan peta tutupan lahan dibuat dari interpretasi manual citra satelit Quickbird tahun 2010. Hasil interpretasi ini selanjutnya diuji kebenarannya dilapangan, bila hasil interpretasi berbeda dengan kondisi dilapangan maka dilakukan interpretasi ulang pada daerah tersebut. Interpretasi ulang dilakukan berdasarkan hasil uji lapangan dan dibantu dengan Google Earth sehingga didapat peta tutupan lahan yang diharapkan sesuai dengan kondisi sebenarnya dilapangan. (Lampiran 3). Hasil interpretasi diuji kebenaran berdasarkan 40 titik sampel (Lampiran 7) dan didapatkan hasil uji kebenaran yang sangat tinggi, yaitu 92,5%. Kesalahan interpretasi disebabkan oleh berubahnya tutupan lahan dilapangan karena perbedaan waktu perekaman citra dengan survey lapangan. Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa citra satelit Quickbird sangat baik
untuk mengetahui penutup lahan susatu wilayah karena memiliki resolusi spasial yang sangat tinggi.
Kota Pekalongan yang mempunyai luas sebesar 45,90 Km2, berdasarkan peta tutupan lahan Kota Pekalongan sebaran tutupan lahan Kota Pekalongan yaitu:
1. Lahan Terbangun
Dalam interpretasi citra, tipe tutupan lahan berupa lahan terbangun meliputi permukiman, area industri, pertokoan/perdagangan dan perkantoran. Tipe tutupan lahan ini adalah tipe tutupan lahan yang mendominasi wilayah Kota Pekalongan dan tersebar maerata. Tipe tutupan lahan ini seluas 17,713 Km2 atau 38,58% dari luas wilayah.
Gambar 4.6. Tutupan lahan berupa lahan terbangun pada citra satelit Quickbird dan di lapangan di Kecamatan Pekalongan Utara.
2. Tubuh Air
Tipe tutupan lahan berupa tubuh air yang meliputi sungai, tambak dan empang. Tutupan lahan ini yang paling sedikit jumlahnya di Kota Pekalongan karena tipe tutupan lahan ini tersebar di bagian dekat laut. Tutupan lahan ini seluas 6,799 Km2 atau 14,81% dari luas wilayah.
Gambar 4.7. Kenampakan tutupan lahan berupa tubuh air pada citra satelit Quickbird dan di lapangan di Kecamatan Pekalongan Utara
3. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Tipe tutupan lahan berupa RTH adalah tipe tutupan lahan berupa lahan bervegetasi yang meliputi sawah hijau, ladang hijau, kebun campuran, jalur hijau, semak belukar, hutan, taman dan TPU seluas 12,709 Km2 atau 27,68% dari luas wilayah.
Gambar 4.8 (a) Kenampakan tutupan lahan berupa RTH pada citra satelit Quickbird dan di lapangan Kecamatan Pekalongan Barat (b) Kenampakan tutupan lahan berupa RTH pada citra satelit
4. Lahan Terbuka
Tipe tutupan lahan ini berupa lahan kosong tanpa bangunan maupun vegetasi yang meliputi sawah kering, ladang kering, areal proyek pembangunan dan pasir pantai. Sawah dan ladang kering masuk kedalam tipe penggunaan lahan ini karena sawah dan ladang kering merupakan lahan bekas sawah dan ladang saat setelah panen, sehingga lahan tersebut kosong tidak bervegetasi. Tipe tutupan lahan ini seluas 8,686 Km2 atau 18,92% dari luas wilayah.
Gambar 4.9. Kenampakan tutupan lahan berupa lahan terbuka pada citra satelit Quickbird dan di lapangan Kecamatan Pekalongan Timur
Dari hasil interpretasi tutupan lahan dari citra satelit Quickbird, diketahui bahwa luasan tutupan lahan berupa RTH adalah sebesar 12,796 Km2 atau 27,88% dari luas wilayah Kota Pekalongan. Persentase luasan RTH sebesar 27,88% hampir mencukupi proporsi minimal RTH kota yaitu sebesar 30% dari luas wilayah kota. Luasan ini berbeda jauh dengan luasan RTH di Kota Pekalongan dari Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 yaitu sekitar 6,91 km2 atau 15,39% dari luas wilayah. Hal ini karena RTH yang dihitung Dinas Cipta Karya dan Tata
Ruang adalah RTH yang terdiri dari taman kota, hutan kota, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, sempadan SUTT, perlindungan pantai, lapangan, makam dan taman fasilitas lain seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Berbeda dengan penelitian ini yang mengklasifikasikan semua vegetasi kedalam RTH seperti pekarangan rumah.
Kota Pekalongan yang memiliki empat kecamatan juga memiliki fungsi dan karakteristik yang berbeda tiap kecamatan, berikut adalah tipe tutupan lahan dan luasanya di Kota Pekalongan.
Tabel 4.1. Tipe tutupan lahan dan luasannya di Kota Pekalongan
Kecamatan Tutupan Luas
(Km2) Pesentase (%) Pekalongan Barat Lahan Terbangun 5,189 11,30 Lahan Terbuka 0,805 1,75 RTH 3,889 8,47 Tubuh Air 0,241 0,52 Pekalongan Selatan Lahan Terbangun 3,226 7,03 Lahan Terbuka 3,665 7,98 RTH 3,840 8,37 Tubuh Air 0,097 0,21 Pekalongan Timur Lahan Terbangun 4,699 10,24 Lahan Terbuka 3,022 6,58 RTH 2,188 4,77 Tubuh Air 0,16 0,35 Pekalongan Utara Lahan Terbangun 4,657 10,14 Lahan Terbuka 1,194 2,60 RTH 2,879 6,27 Tubuh Air 6,289 13,70 Jumlah 45,90 100
Sumber: Interpretasi citra satelit Quickbird Tahun 2015
Berdasarkan Tabel 4.1 dihasilkan luasan tutupan lahan tiap kecamatan di Kota Pekalongan. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Pekalongan Utara dengan 15,02 Km2 dan kecamatan terkecil adalah
Kecamatan Pekalongan Timur dengan luas 10 Km2. Tutupan lahan berupa lahan terbangun paling banyak terdapat di Kecamatan Pekalongan Barat dengan luas 5,189 Km2 begitu juga dengan tutupan lahan berupa RTH paling banyak terdapat di Kecamatan Pekalongan Barat dengan luas 3,826 Km2 dengan persebaran yang merata. Jadi, persentase luasan RTH di Kecamatan Pekalongan Barat adalah sebesar 38,02% dari luas wilayah. Kecamatan Pekalongan Selatan memiliki luasan RTH seluas 3,777 Km2. Persebarannya RTH di kecamatan ini tidak terlalu merata. RTH banyak terdapat pada daerah sekitar sempadan sungai dan pada kecamatan ini memiliki banyak lahan terbuka berupa lahan pertanian kering seluas 3,665 Km2. Persentase RTH di kecamatan ini adalah sebesar 28,5% dari luas wilayah. Jumlah ini belum memenuhi luasan minimal RTH yaitu sebesar 30% dari luas wilayah.
Kecamatan Pekalongan Timur memiliki RTH seluas 2,188 Km2 atau 21% dari luas wilayah. Hal ini dikarenakan Kecamatan Pekalongan Timur yang merupakan pusat kegiatan perdagangan dan jasa skala kota dan juga memiliki luasan sawah yang besar.
Kecamatan Pekalongan Utara adalah kecamatan pesisir sehingga didominasi tipe tutupan lahan berupa tubuh air terluas dengan 6,2 Km2. Oleh karena itu di kecamatan ini terdapat jenis RTH berupa sempadan pantai seperti hutan mangrove dan cemara laut. RTH di Kecamatan ini seluas 2,879 Km2 atau sebesar 0,19% dari luas wilayahnya.