BAB II TINJAUAN PUSTAKA
D. Efek dari Transcranial Magnetic Stimulation
1. Plastisitas Sinaps dan Perbaikan pada Aparatur Genetic Neuron
Plastisitas merupakan kemampuan dari system saraf pusat beradaptasi terhadap kebutuhan fisiologis tubuh, Kapasitas dari sistem saraf pusat untuk beradaptasi dan memodifikasi organisasi struktural dan fungsional terhadap kebutuhan, yang bisa berlangsung terus sesuai kebutuhan atau stimulasi. Mekanisme plastisitas ini merupakan mekanisme kompleks yang melibatkan perubahan kimia saraf, kelistrikan saraf, penerimaan saraf, perubahan struktur neuron saraf, reorganisasi otak, hal dapat terjadi bila dilakukan TMS (Kim et al, 2006)
Gambar 4: Aktivasi Sel Kortokospinal dengan menggunakan teknik TMS (Gelombang Elektromagnetik) di kutip dalam Lazarro et al 2003
Menurut teori saat ini bahwa efek dari TMS adalah memberikan stimulasi neuron sehingga mengakibatkan terjadinya pergeseran ion di sekitar daerah neuron yang diberikan rangsangan, Selanjutnya pergeseran yang terjadi akan bermanifestasi menjadi perubahan plastisitas sinaps, nilai positif dari plastisitas sinaps yakni besarnya peluang akan peningkatan motorik dan pebaikan depresi pasca stroke (Takeuchi et al, 2005; Fitzgerald, 2013)
19
Kenyataan bahwa transmisi pada sebagian besar sinaps bersifat kimiawi, merupakan hal yang penting di dalam terapi Transcranial Magnetic Stimulation. Ujung-ujung saraf secara anatomi dan fisiologi akan mengubah energi listrik menjadi energi kimiawi. Proses pengubahan energi ini meliputi proses sintesis zat-zat transmiter, penyimpanannya di vesikel-vesikel sinaptik dan pelepasannya oleh impuls saraf, ke dalam celah sinaptik. Transmiter yang dilepaskan ini kemudian bekerja pada reseptor yang sesuai di membran sel postsinaptik dan dengan cepat disingkirkan dari celah sinaptik melalui proses difusi, metabolisme, dan pada beberapa keadaan, dikembalikan ke neuron presinaptik. Seluruh proses ini terjadi akibat rangsangan gelombang elektromagnetik berfrekuensi 10 Hz yang terinduksi masuk ke otak dan menstimulus neuron melakukan regenerasi sel-sel, dan proses-proses pasca reseptor di neuron postsinaptik, dikendalikan oleh berbagai faktor fisiologik dan setidaknya secara teori dapat dipengaruhi oleh rangsangan gelombang elektromagnetik. Karena itu TMS dapat mengatur kegiatan motorik somatik dan viseral, maupun mengatur emosi, perilaku, serta semua fungsi otak yang kompleks (Jin et al, 2002)
20
Secara fisiologis depresi terjadi akibat dari katekolamin cerebral, cortex cerebri menerima katekolamin melalui lintasan katekolamin yang disebut dengan sinaps, lintasan tersebut berpusat pada batang otak menuju ke cortex melalui lobus frontalis yang bermuara ke anterior selanjutnya ke hipotalamus dan ganglia basalis (Bech, 2002), Mekanisme kerja dari Transcranial Magnetic Stimulation memberikan efek terhadap plastisitas sinaps sehingga lintasan yang mengalami infark atau sebelumnya terputus dapat terbentuk kembali (Fitzgerald, 2013)
Gambar 5.gelombang elektromagnetik terinduksi ke neuron dikutip dari Butler, A. J., Steven, L., Wolf. (2007)
Sejumlah penelitian telah menjelaskan bahwa sinyal dari TMS dapat merangsang dan maupun menginduksi ekspresi gen serta meningkatkan produksi enzim. Efek ini mungkin dapat mendasari durasi panjang dari efek terapi TMS seperti peningkatan aktivitas fisik, stimulasi gelombang elektromagnetik atau terapi dengan rTMS jauh lebih kuat membantu perbaikan kerusakan sel saraf akibat pasca stroke dan beberapa perubahannya dapat diukur/diamati setelah pemberian rTMS 10 sesi (Kim et al, 2013).
Rangsang gelombang elektromagnetik dengan frekuensi 10 Hz yang terinduksi masuk pada setiap akson neuron motor spinal, yang mempersarafi
21
otot rangka, perangsangan gelombang listrik tersebut mampu membuat kontraksi otot.
RTMS meningkatkan ekspresi mRNA c-fos dalam inti paraventikular thalamus pada frekuensi rendah, selanjutnya pada serangkaian 14 hari pemberian terapi TMS ditemukan adanya peningkatan ekspresi mRNA c-fos di korteks parietal (Teakuchi et al, 2005)
2. Membantu Pertumbuhan Dendritik dan Neurotropik
Sebagian besar penelitian tentang efek rTMS telah difokuskan pada peningkatan aktivasi BDNF (Brain Derived Neurotrophic)yang berperan dalam perkembangan/pembentukan sinaps, meregulasi sel-sel agar dapat survive akibat kerusakan SSP, selain itu fungsinya juga meliputi neurogenesis, migrasi, diferensiasi neuron, pertumbuhan dendrit dan akson (Hemond, 2007)
Selubung myelin memiliki resistensi kelistrikan yang tinggi sehingga pada saat gelombang elektomagnetik terinduksi ke nueron terjadi proses depolarisasi sehingga impuls saraf akan melewati bagian konduktor pada Nodus Ranvier dengan cara meloncat dari satu Nodus ke Nodus lainnya, Penghantaran impuls dengan cara ini akan merangsang cortex motor dan mengirimkan stimulus ke otot untuk berkontraksi (Fridman, Hanakawa, Chung, Wu, Choen, 2002)
22 3. Mencegah Kematian Neuron
Aspek penting lain dari pemberian TMS ini yaitu manfaat yang diberikan seperti mencegah kematian neuron. Otak memiliki kemampuan menyembuhkan dirinya sendiri dan menumbuhkan sel-sel baru melalui proses yang disebut neurogenesis. Beberapa penelitian menjelaskan efek dari TMS dapat melindungi neuron terhadap kematian dan mengubah aliran darah serta metabolisme pada otak. rTMS juga membantu dalam pemulihan fungsi saraf otak termasuk cedera iskemik pada percobaan tikus, dimana hasilnya berupa peningkatan adenosine triposfat (ATP) di striatum pada daerah iskemik (Fitzgerald, 2013)
Selanjutnya studi lain menunjukkan efek rTMS mampu mencegah terjadinya apoptosis di zona infark ataupun area iskemik (Robinson, 2004)
Gambar 6 . Stimulus gelombang elektromagnetik dari TMS dikutip dari Hemond 2007
Pada manusia, dari hasil pemeriksaan dengan Positron emissin tomography (PET) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan bahwa daerah penumbra iskemik ada selama beberapa jam atau lebih setelah onset gejala. Dengan berlalunya waktu, terjadi pengurangan volume daerah penumbra iskemik dan mulai munculnya inti infark. Diyakini bahwa pemberian
23
stimulus gelombang elektromagnetik dengan frekuensi rendah dibawah 5 Hz dapat meningkatkan pO2 jaringan penumbra iskemik sehingga mengurangi volume daerah infark dan defisit neurologis yang ditimbulkannya. Selain itu, penerapan TMS pada stroke diyakini dapat meningkatkan hasil pemulihan motorik pasca stroke
E. Teori Konsep Keperawatan Self Efficacy
Self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuannya untuk dan melaksanakan program kerja. Inti dari teori self-efficacy adalah asumsi yang dapat memberikan pengaruh atas apa yang mereka lakukan, melalui pemikiran reflektif, pengetahuan generatif dan keterampilan untuk melakukan perilaku tertentu, dan alat-alat lain yang mempengaruhi diri seseorang untuk memutuskan bagaimana berperilaku (Bandura, 1977, 1986, 1995, 1997 dalam Peterson & Bredow, 2013). Untuk menentukan self-efficacy, seorang individu harus berkesempatan untuk mengevaluasi diri atau kemampuan untuk membandingkan output individu sebagaimana kriteria evaluasi. Ini adalah proses perbandingan yang memungkinkan seorang individu untuk menilai kemampuan kinerja dan membangun ekspektasi efikasi diri (Peterson & Bredow, 2013).
Bandura, seorang ilmuwan sosial, membedakan antara dua komponen teori self-efficacy: self-efficacy dan harapan hasil akhir. harapan self-efficacy adalah penilaian tentang kemampuan pribadi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Harapan hasil adalah penilaian tentang apa yang akan terjadi jika tugas yang diberikan berhasil dicapai. Harapan self-efficacy dan hasil
24
dibedakan karena individu dapat percaya bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan hasil tertentu; Namun, mereka mungkin tidak percaya bahwa mereka mampu melakukan perilaku yang diperlukan untuk terjadinya hasil yang diinginkan (Peterson & Bredow, 2013).
Tipe hasil akhir orang mengantisipasi umumnya tergantung pada penilaian mereka tentang seberapa baik mereka akan dapat melakukan perilaku. Mereka yang menganggap dirinya sangat berkhasiat dalam mencapai suatu perilaku tertentu akan mengharapkan hasil akhir menguntungkan bagi perilaku itu. hasil yang diharapkan tergantung pada penilaian self-efficacy.
Oleh karena itu, Bandura mendalilkan bahwa hasil akhir yang diharapkan tidak menambahkan banyak pada mereka sendiri pada prediksi perilaku (Peterson
& Bredow, 2013).
Hasil yang diharapkan juga sebagian dipisahkan dari penilaian self-efficacy ketika hasil akhir ekstrinsik adalah tetap. Sebagai contoh, ketika seorang perawat memberikan perawatan untuk enam pasien selama 8 jam, perawat menerima gaji tertentu. Ketika perawat yang sama peduli untuk 10 pasien selama shift yang sama, dia menerima gaji yang sama. Ini dapat berdampak negatif terhadap kinerja. Hal ini juga mungkin bagi seorang individu untuk percaya bahwa ia/dia mampu melakukan perilaku tertentu, tetapi tidak percaya bahwa hasil dari melakukan perilaku adalah berharga.
Misalnya, orang dewasa dalam rehabilitasi mungkin percaya bahwa mereka mampu melakukan latihan dan kegiatan yang terlibat dalam proses rehabilitasi, tetapi mungkin tidak percaya bahwa melakukan latihan akan
25
menghasilkan peningkatan kemampuan fungsional. Beberapa orang dewasa yang lebih tua percaya bahwa beristirahat daripada berolahraga akan menyebabkan pemulihan. Dalam situasi ini, harapan hasil akhir mungkin memiliki dampak langsung pada kinerja (Peterson & Bredow, 2013).
Harapan hasil adalah sangat relevan dengan orang dewasa yang lebih tua. Orang-orang ini mungkin memiliki harapan efikasi diri yang tinggi untuk latihan, tetapi jika mereka tidak percaya pada hasil yang berhubungan dengan olahraga, misalnya, perbaikan kesehatan, kekuatan, atau fungsi, maka tidak mungkin bahwa akan ada kepatuhan terhadap program olahraga teratur (Peterson & Bredow, 2013).
Bandura (1986) dalam Peterson & Bredow (2013) mengemukakan bahwa penilaian tentang self-efficacy seseorang berdasarkan empat sumber informasi: (1) pencapaian enactive, yang merupakan kinerja sebenarnya dari perilaku; (2) vicarious experience atau memvisualisasikan orang lain yang sejenis melakukan suatu perilaku; (3) persuasi lisan atau nasihat; dan (4) kondisi fisiologis atau umpan balik fisiologis selama perilaku, seperti rasa sakit atau kelelahan. Penilaian kognitif dari faktor-faktor ini menghasilkan persepsi tingkat kepercayaan pada kemampuan individu untuk melakukan perilaku tertentu. Kinerja positif dari perilaku ini memperkuat ekspektasi self-efficacy (Bandura, 1995 dalam Peterson & Bredow, 2013).
26
Gambar 7. Empat landasan penilaian dalam teori self efficacy dikutip dari Peterson &
Bredow (2013)
a. Pencapaian Enactive
Pencapaian enactive digambarkan sebagai sumber yang paling berpengaruh informasi self-efficacy (Bandura, 1977, 1986 dalam Peterson
& Bredow, 2013). Telah ada pengulangan dalam verifikasi empiris yang benar-benar melakukan kegiatan memperkuat keyakinan self-efficacy.
Secara khusus, self-efficacy dan harapan hasil memainkan peran berpengaruh dalam kinerja kegiatan fungsional, Adopsi dan pemeliharaan perilaku latihan, dan manajemen diri optimal dari berbagai masalah klinis seperti gagal jantung kongestif, diabetes, dialisis peritoneal, depresi, dan nyeri punggung. Pencapaian enactive umumnya menghasilkan penguatan yang lebih besar dari ekspektasi self-efficacy daripada sumber informasi (Peterson & Bredow, 2013).
Namun, kinerja saja tidak membangun keyakinan self-efficacy. Faktor-faktor lain, seperti prasangka kemampuan, kesulitan yang dirasakan dari tugas, jumlah usaha yang dikeluarkan, bantuan eksternal yang diterima, keadaan situasional, dan kesuksesan masa lalu dan kegagalan semua dampak penilaian kognitif individu dari self-efficacy (Bandura, 1995 dalam
27
Peterson & Bredow, 2013). Seorang dewasa yang lebih tua yang sangat percaya bahwa ia mampu untuk mandi dan berpakaian secara independen karena ia telah melakukannya selama 90 tahun tidak akan mungkin mengubah harapan self-efficacy jika dia bangun dengan rematik yang parah akan mengubah pada suatu pagi dan akibatnya tidak dapat mengenakan kemeja. Namun, berulang kegagalan untuk melakukan aktivitas akan memengaruhi harapan self-efficacy.
Stabilitas relatif dari harapan self-efficacy yang kuat adalah penting;
sebaliknya, kegagalan sesekali atau kemunduran parah bisa berdampak baik pada harapan self-efficacy dan perilaku (Peterson & Bredow, 2013).
b. Vicarious Experience
Harapan self-efficacy juga dipengaruhi oleh pengalaman perwakilan atau melihat orang lain yang sejenis berhasil melakukan kegiatan yang sama. Ada beberapa kondisi, namun, yang berpengaruh pengalaman perwakilan, jika individu belum terkena perilaku ketertarikan, atau memiliki sedikit pengalaman dengan itu, pengalaman perwakilan cenderung memiliki dampak yang lebih besar. Selain itu, ketika panduan yang jelas untuk kinerja tidak dieksplisitkan, self-efficacy akan lebih cenderung dipengaruhi oleh kinerja orang lain.
Demikian juga, self-modeling telah dicatat untuk mempengaruhi ekspektasi self-efficacy dan hasil dan secara khusus tidak memperkuat harapan self-efficacy dan perilaku terkait pada orang dewasa yang lebih tua dengan diabetes. hal tersebut disimpan sebagai catatan pribadi dari
28
kebiasaan (Resnick, Shaughnessy et al, 2009;. Siebolds, Gaedeke, Schwedes, & SMBG Study Group, 2006 dalam Peterson & Bredow, 2013).
c. Persuasi Verbal
Persuasi verbal melibatkan perkataan seorang individu bahwa ia memiliki kemampuan untuk menguasai perilaku tertentu. Persuasi lisan telah terbukti efektif dalam mendukung pemulihan dari penyakit kronis dan dalam penelitian promosi kesehatan. Pengaruh persuasif kesehatan memimpin orang-orang dengan rasa self-efficacy tinggi untuk mengintensifkan upaya perubahan mandiri perilaku kesehatan berisiko.
Misalnya, dalam pengaturan rehabilitasi, persuasi verbal oleh perawat memiliki dampak positif pada harapan self-efficacy dan partisipasi dalam rehabilitasi, serta partisipasi dalam latihan (Galik et al, 2008 (Hiltunen et al., 2005);. Resnick, Gruber-Baldini, Zimmerman, et al., 2009 dalam Peterson
& Bredow, 2013).
Dalam keperawatan, intervensi pendidikan sering digunakan sebagai cara untuk memberikan dorongan verbal. Beberapa contoh ini ada di bidang-bidang seperti manajemen diabetes, menyusui dan perawatan bayi (Peterson & Bredow, 2013).
29 d. Fisiologis
Individu mengandalkan sebagian pada informasi dari keadaan fisiologis mereka untuk menilai kemampuan mereka. indikator fisiologis sangat penting dalam kaitannya dengan mengatasi stres, pencapaian fisik, dan fungsi kesehatan. Individu mengevaluasi kondisi fisiologis mereka, atau rangsangan, dan jika aversif, mereka dapat menghindari melakukan perilaku.
Misalnya, jika orang dewasa yang lebih tua memiliki rasa takut jatuh atau terluka saat berjalan, keadaan rangsangan tinggi yang terkait dengan rasa takut dapat membatasi kinerja, dan mengurangi rasa percaya diri individu dalam kemampuan untuk melakukan aktivitas. Demikian juga, jika kegiatan rehabilitasi mengakibatkan kelelahan, sakit, atau sesak napas, gejala-gejala ini dapat ditafsirkan sebagai inefficacy fisik, dan dewasa yang lebih tua mungkin tidak merasa mampu melakukan aktivitas (Peterson &
Bredow, 2013).
Intervensi dapat digunakan untuk mengubah penafsiran tanggapan fisiologis dan membantu individu mengatasi sensasi fisik, meningkatkan self-efficacy dan sehingga meningkatkan kinerja. Intervensi mencakup hal-hal seperti menghilangkan rasa sakit, takut jatuh, atau sesak napas yang berhubungan dengan aktivitas fisik (Landsman-Dijkstra, Van Wijck, &
Groothoff, 2006; Resnick, Pretzer-Aboff et al, 2008 dalam Peterson &
Bredow, 2013).
30
Gambar . Kerangka Konseptual Self Efficacy Pada Kasus Stroke Health
Care Needs
Gangguan Motorik Depresi
Nursing Intervention
TMS
Transcranial Magnetic Stimulation
Intervening Variables
Tenaga kesehatan/
perawat/dokter
Health Seeking behaviors
Result Enhanced Self Efficacy over time
Peningkatan kekuatan dan perbaikan secara pencapaian
enactive,experience,persuasiverbal, fisiologis
Kepercayaan Diri untuk melakukan aktivitas
Peningkatan kekuatan dan perbaikan depresi dihubungkan
dengan Kemandirian