BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
H. Etika Penelitian
1. Prinsip Dasar Etika Penelitian
Menurut Organizations & Sciences (2002), semua penelitian yang melibatkan makhluk hidup khususnya pada manusia harus mempertimbangkan tiga prinsip dasar etika penelitian, respect for persons, beneficence, dan justice. Nomor etik penelitian ini: 349/H4.8.4.5.3.1/PP36-KOMETIK/2017
a. Respect for persons 1) Menghormati autonomy
Responden dipersilahkan untuk menentukan keterlibatannya dalam penelitian tanpa adanya paksaan. Responden yang memenuhi kriteria inklusi diberikan lembar persetujuan (informed concent).
2) Anonymity
Peneliti menjaga kerahasiaan data responden dengan tidak mencantumkan nama responden dalam pengisian kuesioner dan observasi serta pada tabulasi data. Peneliti hanya memberikan kode atau inisial.
3) Confidentiality
Data responden yang telah diperoleh oleh peneliti tidak boleh disebarluaskan untuk kepentingan apapun.
b. Beneficence
Prinsip beneficence mengarah pada manfaat dari penelitian. Menjelaskan prosedur pelaksanaan treatment (Transcranial magnetic stimulation), manfaat yang akan diperoleh dan tidak merugikan responden (non malebeneficence).
53 c. Justice
Memperlakukan responden secara adil tanpa membedakan status sosial, ras, suku, agama, dan sebagainya. setelah responden bersedia maka Kelompok intervensi akan diberikan terapi rTMS selama 10 hari dengan frekuensi 1-5 Hz sedangkan kelompok kontrol akan mendapatkan terapi rTMS setelah pengumpulan data selesai.
2. Prosedur Etik Sebelum Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan proposal atau protokol penelitian ke komisi etik penelitian Universitas Hasanuddin. Setelah diperoleh keterangan lulus dari komisi etik kampus, peneliti mengambil surat pengantar izin penelitian yang kemudian dibawa ke RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Klinik Inggit Medika untuk memperoleh izin meneliti dan pengambilan data responden.
Melakukan kunjungan rumah responden dan memberikan informed concent kepada responden yang berisi:
a. Deskripsi tentang penelitian
b. Risiko ketidaknyaman yang mungkin terjadi c. Tujuan dan Manfaat penelitian
d. Jaminan kerahasiaan,Nomor kontak peneliti. Partisipasi sukarela tanpa adanya paksaan. Kesediaan responden dengan membubuhkan tanda tangan.
e. Responden berhak mengundurkan diri dari penelitian kapan saja
54 BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengolahan Data
Proses pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan di dua Tempat yakni di RSUP DR.Wahidin Sudirohusodo dan Klinik Inggit Medika Makassar.
1. Analisis Univariat
Data yang dikumpulkan mencakup karakteristik responden yakni usia, pendidikan, jenis kelamin, lama menderita pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Tabel 6.
Karakteristik Demografi Responden Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol (n=30)
Karakteristik
Kelompok kontrol (n= 15)
Kelompok intervensi (n=
15) p
n % n %
Usia (tahun) (min-max=
40-75)
45.40 ± 6.475 45.07 ± 6.435 0.738a Pendidikan
SD SMP SMA Sarjana
1 3 6 5
6.7 20.0 40.0 33.3
8 1 4 2
53.3 6.7 26.7 13.3
0.541b
Pekerjaan PNS Petani
Wiraswasta/honorer Buruh
Tidak Bekerja
11 0 1 2 1
73.3 0 6.7 13.3
6.7
11 1 2 1 0
73.3 6.7 13.3
6.7 0
0.767b
*Keterangan: homogenitas variabel >0.05, a= Independent t test, b= Pearson Chi-Square Hipertensi
Tidak hipertensi
9 6
60.0 40.0
10 5
66.7 33.3
0.186b
Lama menderita stroke (1mgg-3bulan)
15.27 ± 11.701 13.53 ± 8.254 0.456a
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
9 6
60.0 40.0
9 6
60.0 40.0
0.186b
55
Tabel 6 menunjukkan bahwa usia rata-rata responden pada kelompok kontrol dan intervensi masing-masing adalah 45.40 tahun (SD= 6.475) dan 45.07 tahun (SD= 6.435), Sebagian besar responden pada kelompok kontrol memiliki tingkat pendidikan SMA (40%) dan pada kelompok intervensi memiliki tingkat pendidikan SD (53.3%), Pekerjaan responden sebagian PNS baik pada kelompok kontrol maupun intervensi yaitu 73.3%. Responden pada kelompok kontrol masing-masing 40%
menderita stadium 3 dan stadium 4 sedangkan pada kelompok intervensi 40% menderita stadium 4. 26.7% responden pada kelompok kontrol menderita kanker selama 12 bulan dan 33.3% yang menderita kanker selama 12 bulan pada kelompok intervensi, lama menderita untuk kedua kelompok 15.27 (SD=11.701) dan intervensi 13.53 (SD=8.254), hipertensi untuk kelompok intervensi 10 orang (66.7%) sedangkan kelompok kontrol responden yang mengalami hipertensi 9(60.0%), jenis kelamin perempuan yang terbanyak untuk masing-masing kelompok 9( 60.0%) 2. Analisis Bivariat
Tabel 7.
Hubungan karakteristik demografi dan klinik dengan peningkatan kemandirian Karakteristik Peningkatan Kemandirian
r P
Usia 0.134b 0.481b
Pekerjaan 0.234b 0.213b
Jenis kelamin -0.265a 0.157a
Pendidikan 0.653b 0.000b
Lama menderita -0.023a 0.904a
Hipertensi 0.284a 0.128a
Keterangan: uji korelasi ρ<0.05, a= uji pearson correlation, b= uji sperman correlation
Tabel 7 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik demografi dan klinik responden yang mencakup usia, pendidikan
56
pekerjaan, jenis kelamin, lama menderita dan riwayat hipertensi dengan peningkatan kemandirian responden ditemukan nilai ρ > 0.05.
Tabel 8
Hubungan karakteristik demografi dan klinik dengan perbaikan depresi Karakteristik Perbaikan Depresi
r P
Usia 0.294b 0.481b
Pekerjaan 0.249b 0.213b
Jenis kelamin 0.265a 0.187a
Pendidikan 0.653b 0.080b
Lama menderita 0.093a 0.094a
Hipertensi 0.084a 0.078a
Keterangan: uji korelasi ρ<0.05, a= uji pearson correlation, b= uji sperman correlation
Tabel 8 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik demografi dan klinik responden yang mencakup usia, pendidikan pekerjaan, jenis kelamin, lama menderita dan riwayat hipertensi dengan perbaikan depresi responden ditemukan nilai ρ > 0.05.
Tabel 9.
Efek rTMS terhadap Kemampuan Mandiri dan Perbaikan Depresi pada kelompok Intervensi
*Keterangan: uji Comparison= paired t test ˂ 0.05
Tabel 9 menunjukkan efek pemberian terapi rTMS terhadap peningkatan kemampuan mandiri dan perbaikan depresi, hasil yang diperoleh nilai p 0.001 yang artinya ada perbedaan kemampuan Mandiri pasien pasca stroke iskemik sebelum (mean 6.73 ± SD 3.195) dan sesudah (mean 12.67 ±SD 3.266) diberikan terapi, untuk perbaikan
BI/HDRS Pre
Mean±SD
Post
Mean±SD p
Kemampuan
Mandiri 6.73 ± 3.195 12.67 ± 3.266 0.001*
0.002*
Perbaikan 18.27 ± 6.508 11.33 ± 4.967 Depresi
57
depresi terdapat perbedaan yang signifikan sebelum (mean18.27 ± SD 6.508) dan sesudah (mean 11.33 ± SD 4.967) terapi dengan nilai p 0,002
Tabel 10.
Peningkatan Kemampuan Mandiri dan Perbaikan Depresi pada Kelompok Kontrol
Uji comparison= Paired t test
Tabel di 10 menunjukkan nilai peningkatan kemampuan mandiri, hasil yang diperoleh nilai p=1.000 yang artinya tidak ada peningkatan kemampuan mandiri responden, sedangkan untuk perbaikan depresi dengan nilai p 0,892 yang artinya tidak ada perbedaan nilai HDRS pre dan HDRS post.
Tabel 11
Perbandingan kelompok kontrol dan kelompok intervensi BI/HDRS Pre
Kontrol (mean±SD)
Pre Intervensi (mean±SD)
p Post
Kontrol (mean±SD)
Post Intervensi (mean±SD)
p
Kemampuan Mandiri
Perbaikan Depresi
6.37
±3.195 18.27 ± 6.707
6.37
±3.195 17.87
± 6.508
1.000*
0.870*
6.00
±2.808 19.67
± 4.590
12.67
±3.266 11.33
± 4.967
0.001*
0.001*
* Keterangan: Uji T independent ˂ 0.05
BI/HDRS Pre
Mean±SD
Post
Mean±SD p
Kemampuan
Mandiri 6.73 ± 3.195 12.67 ± 2.266 1.000*
0.892*
Perbaikan 18.27 ± 6.508 21.63 ± 7.670 Depresi
58
Tabel 11 menunjukkan perbandingan kelompok kontrol dan kelompok intervensi sebelum dan sesudah diperoleh hasil p 0.001 untuk kemampuan mandiri post kontrol (mean 6.00 ± SD 2.808) dan post Intervensi (mean 12.67
± SD 3.266) yang artinya terdapat perbedaan kelompok yang diberikan terapi gelombang elektromagnetik dengan tidak.
Terdapat perbedaan untuk perbaikan depresi antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi dengan hasil p 0,001 post kontrol (mean 19.67 ± SD 4.590) dan post intervensi (mean 11.33 ± SD 4.967)
Tabel 12
Selisih Nilai Tingkat Kekuatan Mandiri Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi
BI Mean Min-Max Mean
Rank p
Kelompok
Intervensi 5,73 3-9 8,65
0,003*
Kelompok 1,67 -2-(9) 3,75
Kontrol
*Uji t Independent selisih nilai tingkat kekuatan motorik untuk kedua kelompok adalah 5,73
0 5 10 15 20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Barthel Index
Nilai Tingkat Kemandirian Post
Intervensi kontrol
59
Tabel 13
Selisih Nilai HDRS Pre & Post Pada Kelompok Kontrodan Intervensi l HDRS
Mean Min-Max Mean
Rank p
Kelompok
Intervensi -7,60 (-16) - (-2) 1,50
0,002*
Kelompok 0,00 -5 – (7) 8,46
Kontrol
*Uji t Independent Selisih Nilai HDRS Pre dan Post untuk kedua kelompok adalah -7,6
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation terhadap kekuatan motorik dan perbaikan depresi pasca stroke iskemik di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Klinik Inggit Medika Makassar Tahun 2017, maka berikut ini pembahasan mengenai variabel-variabel yang diteliti :
1. Karakteristik demografi yang ditemukan dalam penelitian ini antara lain; usia, jenis kelamin, pendidikan, lama menderita stroke dan riwayat hipertensi, hasil penelitian menunjukkan bahwa data demografi homogen tidak mempengaruhi peningkatan kemandirian pasca stroke iskemik hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Taeuchi et al, 2008) dengan sampel 30 orang ia mendapatkan bahwa usia, jenis kelamin, lama menderita stroke tidak berpengaruh terhadap peningkatan kemandirian. Begitu pula pada perbaikan depresi dalam penelitian ini, karekteristik demografi yang ditemukan terkait usia, jenis kelamin, pendidikan, lama menderita tidak mempengaruhi penurunan depresi, (Robinson, 2004) penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa neurotransmitter berperan dalam mempengaruhi
60
perbaikan depresi pasca stroke bukan usia, jenis kelamin, riwayat kesehatan dan lama rawat.
2. Penelitian ini membandingkan kemampuan mandiri sebelum dan setelah diberikan terapi rTMS ditemukan post terjadi peningkatan kekuatan kemandirian setelah diberikan rangsangan rTMS, tabel 3 juga menunjukkan adanya peningkatan kemandirian sebelum dilakukan terapi, dimana didapatkan responden yang mengalami ketergantungan ringan sebanyak 1 orang setelah mendapatkan terapi rTMS terjadi peningkatan yaitu sebanyak 10 orang penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Khedr, Ahmed,Fathy, Rothwell, 2005) menggunakan sampel sebanyak 36 dimana 14 orang sampel diantaranya mengalami peningkatan kemandirian seperti dapat berjalan sendiri yang sebelumnya menggunakan walker dan kursi roda, ia menemukan bahwa dengan pemberian terapi rTMS secara rutin selama 2 minggu dapat merangsang perbaikan sel-sel neuron yang telah rusak dan mati untuk beregenerasi kembali dengan membuat lintasan baru yang dapat meningkatkan kemampuan motorik pascastroke. Penelitian ini menjelaskan penderita yang mengalami kelumpuhan sebelum mendapatkan intervensi gelombang elekromagnetik memperoleh nilai barthel index dibawah <10 poin dan mengalami peningkatan nilai barthel index ˃10 poin setelah mendapatkan rangsangan dari gelombang elektromagnetik 10 Hz selama 15 sesi. Penelitian lain yang mendukung adanya perbaikan sinaps pasca stroke dijelaskan oleh (Taeuchi, et al 2005) dalam penelitiannya ia menyebutkan bahwa rTMS memberikan stimulasi
61
neuron sehingga mengakibatkan terjadinya pergeseran ion di sekitar daerah neuron yang dirangsang, selanjutnya pergeseran yang terjadiakan bermanifestasi menjadi perubahan platisitas sinaps, yang menstimulus cortex cerebri sehingga menyebabkan kontraksi pada otot bersamaan dengan itu (Bulter 2007) juga menyatakan bahwa rTMS mengatur transmisi sinaps yang bersifat kimiawi, remodeling sinaps terjadi pasca pemberian stimulus elektromagnetik selama 10 sesi, pada 15 orang yang mengalami iskemik. Dalam penelitian ini didapatkan data sebelum dilakukan rTMS pada responden dengan stroke iskemik antara lain; yang tidak depresi sebanyak 1 orang atau sedangkan setelah mendapatkan terapi rTMS dengan frekuensi 5-10 Hz diperoleh data sebanyak 4 orang hal ini membuktikan terjadinya perbaikan depresi setelah diberikan rangsangan gelombang elektromagnetik sebab rTMS mampu meregenerasi sel neuron yang mengalami iskemik sehingga tidak terjadi disfungsi neurotransmitter dan terjadi perbaikan depresi secara kontinue. (Robinson, 2004) menggunakan HDRS (Hamilton Depression Rating Scale) untuk megukur perbaikan depresi pasien stroke iskemik, setelah mendapatkan terapi rTMS selama 10 sesi diperoleh penurunan depresi dari total sampel 50 orang pasien depresi menjadi 28.
3. Dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok khusus kelompok intervensi terjadi peningkatan kemampuan kemandirian dibandingkan dengan kelompok kontrol, perbaikan depresi juga terlihat pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol, hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya
62
(Jin et al, 2002) yang menyatakan bahwa seluruh proses perubahan terjadi akibat rangsangan gelombang elektromagnetik berfrekuensi 5-10 Hz yang terinduksi masuk ke otak dan menstimulus neuron melakukan regenerasi sel-sel dineuron postsinaptik yang dikendalikan oleh berbagai faktor fisiologik dan setidaknya secara teori dapat dipengaruhi oleh rangsangan gelombang elektromagnetik. Karena itu TMS dapat mengatur kegiatan motorik somatik dan viseral, maupun mengatur emosi, perilaku, serta semua fungsi otak yang kompleks.
Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi rTMS dapat meningkatkan kemampuan motorik dan memperbaiki depresi, memberikan perasaan tenang, rileks, dan bebas dari kecemasan (Takeuchi et al, 2005; Daskalakis, Levinson, & Fitzgerald, 2008;
(Butler & Wolf, 2007).
Perasaan rileks dan tenang adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku sehat. Individu yang ingin merubah perilaku mereka menjadi perilaku sehat harus bebas dari rasa cemas untuk membuat rencana-rencana dalam melaksanakan perilaku sehat (Sarafino & Smith, 2011). Self-efficacy mempengaruhi individu dalam berpikir untuk membuat rencana yang teratur dan strategis untuk mencapai tujuan mereka, dan berusaha untuk mengejar segala tantan-gan-tantangan (Bandura, 2002). Berdasarkan teori dari Bandura (2002) tersebut jika dikaitkan dengan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penderita stroke yang mempunyai self-efficacy tinggi mampu untuk berkomitmen untuk mencapai tujuan mereka dan mampu untuk membuat rencana yang strategis untuk dapat melaksanakan perilaku
63
sehat, seperti melakukan aktivitas ringan secara mandiri. Dalam self-efficacy kunci utama dalam mengatur semangat manusia adalah motivasi, dengan motivasi yang akan mempengaruhi setiap fase perubahan dalam diri mereka Bandura (1998). Semakin kuat self-efficacy dirasakan dan ditanamkan, semakin besar individu termotivasi untuk merubah dan mempertahankan upaya yang diperlukan untuk mengadopsi, mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.
Berdasarkan hasil penelitian ini penderita stroke yang mendapatkan terapi rTMS di Klinik Inggit Medika mempunyai self-efficacy yang tinggi dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan terapi rTMS, motivasi untuk merubah perilaku mereka menjadi perilaku yang lebih sehat,dan mampu untuk mempertahankan upaya-upaya untuk melaksanakan dan meningkatkan perilaku sehat mereka, seperti memotivasi diri sendiri untuk dapat mandiri dan tidak terpuruk dengan stroke yang dialami saat ini.
rTMS merupakan terapi gelombang eletrokamgentik yang frekuensinya disesuaikan dengan kondisi pasien, gelombang elektromagnetik tersebut dapat menurunkan hormon stress dan meningkatkan hormon endorfin yang merupakan morfin alami tubuh yang berperan dalam rileksasi (Daskalaski, 2008). Gelombang elekromagnetik yang keluar berupa getaran, getaran tersebut akan mempengaruhi sel dan membuatnya bergetar dengan frekuensi getaran yang tepat (Robinson, 2004). Pada saat pasien pascastroke yang depersi diberikan rtMS akan mempengaruhi hypotalamus dan menyebabkan terjadinya proses adaptasi kognator (persepsi, informasi,
64
emosi) dan regulator (kimiawi, saraf, endokrin) yang mempengaruhi korteks serebral dalam aspek kognitif dan emosi sehingga meningkatkan relaksasi serta persepsi positif terhadap perbaikan depresi, yang secara tidak langsung menjaga keseimbangan homeostatis tubuh melalui HPA (Hypotalamus Pytuitary Adrenal) axis untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF) yang berfungsi merangsang kelenjar pituari untuk menurunkan produksi ACTH (Adreno Cortico Tropin Hormone)
C. Keterbatasan Penelitian
Peneliti telah berusaha semaksimal mungkin dalam melakukan penelitian ini, namun seperti penelitian lainnya penelitian ini masih memiliki keterbatasan yang tidak dapat dihindari. Mulai dari desain sampai pelaksanaan intervensi masih mengakibatkan biasnya penelitian ini. Desain lokasi penelitian ini di ruang klinik, sehingga responden yang mendapatkan intervensi kemungkinan mendapat sedikit gangguan dari pasien lain maupun keluarga pasien lain yang ada disekitarnya. Selain itu, lamanya waktu pemberian intervensi hanya 2 minggu menyebabkan pengukuran untuk kemandirian dan perbaikan depresi tidak mengalami perubahan yang besar setelah diberikan intervensi. Hal ini disebabkan karena lama terapi responden rata-rata hanya 2 minggu sehingga tidak memungkinkan melakukan pengukuran lebih lama selain itu biaya untuk terapi yang cukup mahal.
Jumlah sampel dalam penelitian ini juga masih tergolong sedikit serta untuk outcome penilaian kemandirian dan perbaikan depresi juga masih
65
menggunakan kuesioner sehingga diperlukan gold standar untuk lebih memperlihatkan kualitas hasil intervensi tersebut.
65 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan
Penelitian ini membuktikan bahwa pemberian stimulus gelombang elektromagnetik atau repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS) secara signifikan dapat membantu peningkatan aktivitas mandiri dan sekaligus perbaikan depresi. Stimulus gelombang elektromagnetik dengan frekuensi 5-10 Hz ini dapat diimplementasikan untuk pasien pascastroke yang mengalami ketergantungan fisik dengan depresi berat, dan rTMS juga berperan sebagai terapi paliatif. Hasil ini memberikan tambahan pengetahuan yang berkaitan dengan intervensi pemberian stimulus gelombang elektromagnetik pada pasien pascastroke dan menjadi dasar bagi tenaga perawat untuk melakukan pengembangan penelitian di masa akan datang.
Selain itu, hasil ini juga memberikan gambaran bahwa rTMS dapat membantu dalam penurunan kecemasan dan peningkatan kenyamanan pasien stroke.
B. Saran
Penelitian ini dapat dijadikan dasar ilmu untuk pengetahuan Stimulus gelombang elektromagnetik ke depan, dapat dijadikan salah satu intervensi dalam meningkatkan kekuatan otot serta memperbaiki gangguan lain pascastroke dengan menggunakan alat ukur yang gold standar
DAFTAR PUSTAKA
Al Rasyid. (2007). “Unit Stroke Manajemen Stroke Komperehensif” Pustaka Cendekia Press. Jogyakarta
Butler, A. J., & Wolf, S. L. (2007). in Rehabilitation Putting the Brain on the Map : Use of Transcranial Magnetic Stimulation to Upper-Extremity Movement. Neuroimaging in Rehabilitation, 87(6)
Cheung, Yan, & Ming. (2012) Rehabilitation Medicine: repetitive Transcranial Magnetic Stimulation to Depression. Chochrane Database of systematic Reviews,(2).
https://doi.org/10.1102/14651858.2012.008862.
Constatntino, R,L., (2011). Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation for motor Function in Stroke: A Review. The Canadian Journal of Psychiatry, 53(9), 236–264.
Cortes,M., Black-Shacffer,R.M., Edward,J.( 2012). Transcranial Magnetic Stimulation as an Investigative Tool for Motor Dysfunction and Recovery in Stroke: An Overview for Neurorehabilitation Clinicians. Neuromudulation. (Onlinelibrary. Wiley. com) .http://doi.org: 10.1111/j.1525-1403.2012.00459 .
Creswell, J.W. (2014). Research design: qualitative, quantitative and mixed methode approach (4th ed). Los Angeles: SAGE.
Daskalakis, Z. J., Levinson, A. J., & Fitzgerald, P. B. (2008). Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation for Major Depressive Disorder: A Review. The Canadian
Journal of Psychiatry, 53(9), 555–566.
https://doi.org/10.1177/070674370805300902
Hemond, C. C., & Fregni, B. S. F. (2007). Transcranial Magnetic Stimulation in
Neurology : What We Have Learned From Randomized Controlled Studies.
Neuromodulation Technology At The Neural Interface, 10(4)
I.-N., T. (2012). The effect of repetitive transcranial magnetic stimulation on upper extremity motor function in stroke patients: A meta-analytical review. Journal of Food and Drug Analysis, 20(1), 1–5+166.Retrieved from
http://www.embase.com/search/results?subaction=viewrecord&from=export&id=
L364929291
Jin X, Wu X, Wang J, Huang B , Wang Q, Zhang T, . (2002). Effect of transcranial magnetic stimulation on rehabilitation of motor function in patients with cerebral infarction. Chinese Medical Journal
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. http://doi.org/351.770.212 Ind P
Khedr, E. M., Ahmed, M. A., Fathy, N., Rothwell, J.C. (2005). Therapeutic trial of repetitive transcranial magnetic stimulation after acute ischemic stroke.
Neurology
Kim, Y.H., You, S.H., Ko, M.H., Park, J.W., Lee, K.H., Jang, S.H, .(2006). repetitive Transcranial Magnetic Stimulationinduced corticomotor excitability and associated motor skill acquisition in chronic stroke. Neurology
Mark, S., Eric, M., Tim, A., & John, T. (1997). Mood improvement following daily left prefrontal repetitive. 154, 12; ProQuest
Peterson, S. J., & Bredow, T. S. (2013). Middle Range Theories. Application to nursing research. (Third). New York: Wolter Kluwer.
Riwanti, Y. (2006). Pengaruh Depresi Pada Awal Stroke (Minggu I) Terhadap Waktu Perbaikan Deficit Neurologi Penderita Stroke Non Hemoragik Di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Semarang : UNDIP
Rossi Hallett S. (2009). Safety, ethical considerations, and application guidelines for the use of transcranial magnetic stimulation in clinical practice and research. Clinical Neurophysiology
Robinson Jorge. (2004). “ Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation as Treatment of Poststroke Depression”. Berlin Heidelberg
Robinson RG. (2003). Post-stroke depression: prevalence, diagnosis, treatment, and disease progression. Biol Psychiatry
Ruhe, H. H., Dekker, J. J., Peen, J., Holman, R & Jonghe F. (2005). Clinical use of the Hamilton Depression Rating Scale: is increased efficiency possible? A post hoc comparison of Hamilton Depression Rating Scale, Maier and Bech subscales, Clinical Global Impression, and Symptom Checklist-90 scores. Amsterdam.
Elseiver
Sarafino, E.P., & Smith, T. W. (2011). Health Psychology: Biopsycossocial Interaction.
John Willey and Sons.
Shafi, M. M., Westover, M. B., Fox, M. D., & Pascual-Leone, A. (2012). Exploration and modulation of brain network interactions with noninvasive brain stimulation in combination with neuroimaging. European Journal of Neuroscience, 35(6), 805–
825. https://doi.org/10.1111/j.1460-9568.2012.08035.x
Sugiono. (2016). Metode Penelitian Kuantitas, Kualitas dan R& B. Bandung. Alfabeta
Takeuchi N., Tada T, Toshima M, Chuma T, Matsuo Y,Ikoma K. (2008). Inhibition of the Unaffected motor cortex by repetitive Transcranical Magnetic Stimulation enhances motor performance and training effect of the paretic hand in patients with chronic stroke. Journal of Rehabilitation Medicine5(3), 405–415.
https://doi.org/10.101111/j.1460-8453.2012.08035.x.
Tammasse,J. (2010). Buku Stroke dan Pencegahannya. Kampus Unhas Tamalanrea.
Makassar. 30-35
Widjaja H, Putra IBK, & Nuartha AABN. (2015). Neurorestorasi pasca stroke. Program Studi Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali. Indonesia
World Heart Federation. (2017). World Heart Federation Stroke. Retrieved from http://www.world-heart-federation.org/cardiovascular-health/stroke/
Zilong, H., Deren, W., Yan, Z., & Ming, L. (2013). Repetitive transcranial magnetic stimulation for improving function after stroke. Cochrane Database of Systematic Reviews, (5). https://doi.org/10.1002/14651858.CD008862.pub2