EFEK REPETITIVE TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION TERHADAP PENINGKATAN KEMANDIRIAN DAN PERBAIKAN
DEPRESI PASCA STROKE ISKEMIK DI POLIKLINIK RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO DAN
KLINIK INGGIT MEDIKA MAKASSAR
REPETITIVE TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION EFFECTS AGAINST INCREASING INDEPENDENCE AND IMPROVEMENT OF POST-ISCHEMIC
DEPRESSION IN POLYCLINIC RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO AND INGGIT MEDIKA CLINIC
MAKASSAR
HALMINA ILYAS P4200215406
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
EFEK REPETITIVE TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION TERHADAP PENINGKATAN KEMANDIRIAN DAN PERBAIKAN
DEPRESI PASCA STROKE ISKEMIK DI POLIKLINIK RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO DAN
KLINIK INGGIT MEDIKA MAKASSAR
REPETITIVE TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION EFFECTS AGAINST INCREASING INDEPENDENCE AND IMPROVEMENT OF POST-ISCHEMIC
DEPRESSION IN POLYCLINIC RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO AND INGGIT MEDIKA CLINIC
MAKASSAR
HALMINA ILYAS P4200215406
Pembimbing 1: dr. Cahyono Kaelan,Sp.PA(K),PhD,Sp.S Pembimbing 2: Dr. Kadek Ayu Erika S.Kep, Ns. M.Kes
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
ABSTRAK
HALMINA ILYAS. Efek Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation Terhadap Peningkatan Kemandirian dan Perbaikan Depresi Pasca Stroke Iskemik di Poliklinik RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo dan Klinik Inggit Medika Makassar (dibimbing oleh Cahyono Kaelan dan Kadek Ayu Erika)
Latar Belakang: Stroke bisa terjadi karena kelainan pada pembuluh darah serebral. Sisa gejala yang disebabkan oleh stroke seperti menurunnya kemandirian dan depresi. Bila hal ini dibiarkan dan tidak mendapatkan perawatan atau terapi yang tepat maka akan mempelambat proses pemulihan. Salah satu terapi stroke yang diyakini mampu meningkatkan kemandirian dan memperbaiki depresi adalah Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation, Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS) merupakan terapi complementer dengan stimulus gelombang elektromagnetik. Metode: Penelitian Cross sectional dengan menggunakan Desain Kelompok Kontrol Nonequivalent, dimana ada 2 kelompok kelompok kontrol dan kelompok intervensi, masing - masing kelompok diukur 2 kali yaitu pra dan pasca selama 2 minggu. Jumlah sampel untuk masing-masing kelompok terdiri dari 15 orang.
Hasil: ada perbedaan peningkatan kemandirian antara kelompok intervensi dan kontrol p(0.001) dengan nilai BI (Barthel Index) untuk kelompok intervensi ketergantungan ringan 10 (66.7%), ketergantungan sedang 4 (26.7%) dan ketergantungan berat 1(6.7%) sedangkan pada kelompok kontrol ketergantungan ringan 1(6.7%), ketergantungan sedang 1(6.7%) ketergantungan berat 10 (66.7%), dan ketergantungan total 3 (20.0%) begitu pula pada perbaikan depresi antara kedua kelompok terdapat perbedaan dengan p(0.001) dengan nilai HDRS (Hamilton Depression Rating Scale) untuk kelompok intervensi tidak depresi 4 (26.7%), depresi ringan 7 (46.7%), dan depresi sedang 4 (26.7%) sedangkan kelompok kontrol depresi ringan 1(6.7%), depresi sedang 4 (26.7%), depresi berat 6 (40.0%) dan depresi sangat berat 4 (26.7%)
Kata Kunci: Stroke, Transcranial Magnetic Stimulation, Peningkatan Kemandirian dan Depresi
ABSTRACT
Background: Stroke can occur due to abnormalities in the cerebral blood vessels. The rest of the symptoms caused by a stroke such as decreased independence and depression. If this is allowed and does not get proper treatment or therapy it will slow down the recovery process. One of the stroke therapy that is believed to increase independence and improve depression is Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation, Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS) is complementary therapy with electromagnetic wave stimulus. Method: Cross sectional study using Nonequivalent Control Group Design, where there were 2 groups of control groups and intervention groups, each group measured 2 times ie pre and post for 2 weeks. The sample size for each group consists of 15 people.
Result: there was a difference of independence increase between intervention group and control p (0.001) with BI score (Barthel Index) for mild dependency intervention group 10 (66.7%), medium dependence 4 (26.7%) and heavy dependence 1 (6.7%) while on control group 1 (6.7%), medium dependence 1 (6.7%) heavy dependence 10 (66.7%), and total dependence 3 (20.0%) as well as on the improvement of depression between the two groups there is difference with p (0.001) HDRS (Hamilton Depression Rating Scale) for 4 non-depressed intervention groups (26.7%), mild depression 7 (46.7%), and moderate depression 4 (26.7%) while control group of mild depression 1 (6.7%), moderate depression 4 (26.7 %), severe depression 6 (40.0%) and very severe depression 4 (26.7%)
Keywords: Stroke, Transcranial Magnetic Stimulation, Increased Independence and Depression
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWt yang telah melimpahkan Segala rahmat, hidayah dan petunjuk-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Proposal Tesis. Dimana Penulisan dan penyusunan tesis merupakan tugas akhir dari semester ini serta merupakan syarat kelulusan dari Program Studi Magister Ilmu Keperawatan, Judul dalam proposal tesis ini adalah “repetitive TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN MOTORIK DAN PERBAIKAN DEPRESI PASIEN PASCA STROKE ISKEMIK.
Tesis ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan tesis. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan tesis ini. Terutama buat keluarga yakni kedua orang tuaku ayah M.Ilyas Yamba dan ibunda tercinta Andi Nurmi Alam yang selalu mendo’akan penulis serta suami dan anak-anakku. Tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr.Elly L,sjattar, S.Kp.,M.Kes sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan dan juga selaku penguji pertama
2. dr. Cahyono Kaelan, Sp. PA(K),Phd,Sp.S sebagai pembimbing pertama 3. Dr. Kadek Ayu Erika S.Kep, Ns.,M.Kes sebagai pembimbing kedua 4. Dr.dr. Ilham Jaya, M. Kes, sebagai penguji kedua
5. Saldy Yusuf, S.Kep,Ns., MHS.,Ph.D sebagai penguji ketiga
6. Serta seluruh staf PSMIK dan Teman-teman PSMIK angkatan 2015 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki proposal tesis lmiah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga proposal ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Makassar, 20 Maret 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR TABEL ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penulisan ... 7
D. Manfaat Penulisan ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stroke Iskemik ... 10
B. Perubahan yang Terjadi Pasca Stroke ... 12
C. Transcranial Magnetic Stimulation ... 15
D. Efek dari Transcranial Magnetic Stimulation ... 18
E. Teori Self Efficacy ... 23
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL A. Kerangka Konseptual Penelitian ... 31
B. Variabel Penelitian ... 32
C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif ... 33
D. Hipotesis Penelitian ... 36
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 37
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38
C. Populasi dan Sampel ... 38
D. Teknik Pengambilan Sampel ... 40
E. Instrumen dan Pengumpulan Data ... 40
F. Metode dan Prosedur Pengumpulan Data ... 45
G. Analisa Data ... 51
H. Etika Penelitian ... 52
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 54
B. Pembahasan ... 59
C. Keterbatasan Penelitian ... 64
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... vi Lampiran
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar. 1 Hasil Ct-Scan stroke iskemik hemisfer kanan ... 7
Gambar. 2 Alat Transcranial Magnetic Stimulation ... 12
Gambar 3 Rekaman Gelombang Elektromagnetik ... 14
Gambar 4 Aktivasi Sel Kortokospinal ... 15
Gambar 5 Gelombang elektromagnetik terinduksi ke neuron ... 17
Gambar 6 Stimulus gelombang elektromagnetik dari TMS ... 19
Gambar 7 Teori Keperawatan Self Efficacy ... 23
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel. 1 Kerangka Teori ... 16
Tabel. 2 Kerangka Konsep Penelitian ... 17
Tabel. 3 Tabel Instrumen Barthel Indeks ... 25
Tabel. 4 Tabel Instrumen Hamilton Depression Rating Scale ... 26
Tabel. 5 Prosedur Pelaksanaan ... 33
Tabel. 6 Karakteristik Demografi Kelompok Intervensi dan Kontrol ... 50
Tabel. 7 Hubungan Karakteristik Demografi dan klinik pada Kemandirian 52 Tabel .8 Hubungan Karakteristik Demografi dan klinik pada Depresi... 54
Tabel. 9 Efek rTMS terhadap kemampuan mandiri dan perbaikan depresi ... 55
Tabel. 10 Kemampuan mandiri dan perbaikan depresi kelompok kontrol 56 Tabel. 11Perbandingan Kelompok Intervensi dan Kontrol ... 57
Tabel. 12 Selisih Nilai Barthel Index kedua kelompok ... 58
Tabel. 13 Selisih Nilai HDRS kedua kelompok ... 59
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Stroke merupakan penyakit gangguan pembuluh darah otak yang dapat menyebabkan kematian mendadak, selain itu stroke juga penurunan kekuatan fisik yang berujung pada ketergantungan pada orang lain, dibiarkan maka dapat menganggu psikologi dan mengarah pada depresi, stroke menempati urutan ke dua penyebab kematian setelah penyakit jantung. Di negara berkembang angka kejadian stroke meningkat, salah satu negara berkembang yang ada di Asia yaitu Cina tercatat 1.3 juta yang mengalami stroke setiap tahun dan 75% hidup dengan berbagai tingkat kecacatan pascastroke. Stroke dikenal sebagai penyebab umum untuk kecacatan, Kecacatan yang ditimbulkan oleh stroke berupa disabilitas jangka panjang (World Hearth Federation 2017).
Berdasarkan data dari Riskesdas untuk kasus stroke, daerah tertinggi berada di Sulawesi Utara (10.8%), diikuti DI Yogyakarta (10.3%), Bangka Belitung dan DKI Jakarta yang sama-sama (9.7) per mil. Setelah serangan stroke kondisi aktivitas pasien mengalami kemunduran dan menjadi tergantung pada keluarga, dimana didapatkan sekitar 30-50%
ketergantungan aktivitas akibat kelumpuhan pasca stroke. Kelumpuhan pasca stroke diakibatkan dari kematian jaringan pada saraf (Depkes RI, 2013).
Kelumpuhan pasca stroke menyebabkan masalah fisik dan mental yang dapat dilihat sebagai cacat fisik dan mungkin memiliki dampak yang
2
besar pada nilai fungsional atau kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari, dimana lebih dari 40% penderita pasca stroke tidak dapat mandiri dalam aktivitas kesehariannya dan 25% menjadi tidak dapat berjalan secara mandiri. Kesulitan dalam beraktivitas ini akan mempengaruhi timbulnya depresi setelah stroke sehingga dapat menurunkan kualitas hidup dan lambatnya proses penyembuhan. tingkat prevalensi untuk depresi pasca stroke, (18% -61%). Depresi mungkin menetap dari beberapa minggu sampai beberapa bulan dan bahkan bertahun-tahun setelah stroke (Fatimah, 2014)
Prevalensi depresi pasca stroke jauh lebih tinggi dibandingkan dengan populasi depresi pada umumnya, depresi pasca stroke berkisar 9- 60% untuk studi populasinya, sedangkan insiden stroke berkisar 23-30%, untuk hospital based study sebesar 35-53% dan terakhir 9-23% pada studi komunitas (Daskalakis, Levinson, & Fitzgerald, 2008)
Berbagai upaya telah dilakukan untuk dapat mengembangkan terapi yang efektif untuk pasca stroke, didapatkan hanyalah berupa bagaimana penderita pasca stroke tidak mengalami perluasan yang lebih jauh dengan kata lain terbatas pada neuroproteksi sel otak yang berujuan mencegah perluasan kerusakan yang disebabkan oleh stroke, proses tersebut dilakukan dengan pemberian farmakologi, fisioterapi berulang (Al Rasyid, 2007)
Menurut (Tamasse, 2010) ia menyatakan bahwa sistem saraf pusat yang rusak akibat stroke dapat diperbaiki secara bertahap. Hal tersebut
3
terbukti lewat penelitian neuroscience yang sejauh ini telah membenarkan adanya proses aktivitas neurogenesis dan neuroplatisitasi serta angiogenesis disusunan saraf pusat pada mamalia dan manusia pasca stroke, proses ini dapat berjalan dan mengalami peningkatan melalui terapi repetitive transcranial magnetic stimulation, fakta inilah yang akan memberikan harapan baru bagi para penderita stroke kedepan (Widjaja, Putra, & Nuartha. 2015)
Terapi repetitive transcranial magnetic stimulation Salah satu terapi komplementer yang bisa meningkatkan kemandirian dan memperbaiki depresi setelah serangan stroke. rTMS merupakan prosedur invasive, dilakukan oleh dokter dan perawat, tidak membutuhkan waktu yang lama seiktar 30 menit, bisa dilakukan pada posisi duduk maupun berbaring.
Rangsangan gelombang elektomagnetik yang diberikan akan memperbaiki sirkulasi darah dan menyeimbangkan aktivitas sel saraf bagian kiri dan kanan, menstimulasi sekresi neurotransmitter dan mediator saraf yang mengatur proses fisik, mempertahankan fungsi normal tubuh serta membuat tubuh menjadi rileks. rTMS selain dapat meningkatkan kemandirian juga akan membantu memperbaiki depresi serta pertumbuhan sinaps baru. Diketahui keterbatasan fisik dan perubahan psikologi pasca stroke akibat dari sel-sel saraf yang mengalami kematian dan kerusakan yang cukup lama, dengan dilakukannya perangsangan berupa gelombang elektromagnetik, maka akan membantu terbentuknya
4
sinaps-sinaps baru dan berujung pada peningkatan kemampuan bergerak (Lazzaro et al ,2003; Fitzgerald, 2013).
Rangsangan gelombang eletromagnetik dikenal dengan terapi rTMS, terapi ini akan menstimulus pertumbuhan sel saraf yang baru.Terapi rTMS merupakan metode yang dipercaya bisa meningkatkan kemandirian dan memperbaiki depresi pada pasian pasca stroke iskemik, walau demikian, Di Indonesia belum banyak rumah sakit yang memiliki fasilitas TMS. Sedangkan, di luar negeri TMS sudah banyak digunakan di klinik-klinik kesehatan otak karena merupakan terobosan baru dalam bidang klinik otak dan saraf. Pada kasus gangguan psikis seperti depresi, dan juga beberapa penyakit neurology lainnya. TMS mampu menurunkan tingkat depresi, dengan terapi selama 10 sesi maka akan terjadi perbaikan depresi (Butler & Wolf, 2007; Zilong, Deren, Yan, & Ming, 2013)
Menurut penelitian (Khedr, Ahmed,Fathy, Rothwell, 2005) dengan jumlah sampel sebanyak 36 subjek, menjelaskan bahwa pemberian terapi TMS dapat meningkatkan kemampuan motorik pascastroke dengan menggunakan Barthel Index. Penelitian ini menjelaskan penderita yang mengalami kelumpuhan sebelum mendapatkan intervensi gelombang elekromagnetik memperoleh nilai dibawah <10 poin dan mengalami peningkatan ˃10 poin setelah mendapatkan rangsangan dari gelombang elektromagnetik 10 Hz selama 10 sesi. Terapi repetitive Transcranial Magnetic Stimulation sangat baik diberikan pada pasien stroke yang mengalami keterbatasan fisik dan depresi dibandingkan dengan fisioterapi,
5
sebab rTMS mampu merangsang langsung sel saraf yang mengalami iskemik, gelombang elektromagnetiknya mampu menembus tulang kepala dan melakukan pijatan-pijatan kecil pada saraf. Selanjutnya Pijatan tersebut akan menstimulasi neuron sehingga ion-ion mengalami pergeseran dan bermanifestasi menjadi plastisitas sinaps. Keuntungan dari plastisitas sinaps adalah terbentuknya sel-sel saraf baru yang telah mati, sel-sel saraf yang baru akan menggantikan aktivitas dari sel saraf yang telah rusak.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan menilai efek dari rTMS terhadap peningkatan kemandirian serta perbaikan depresi pascastroke iskemik yang ditemukan pada populasi stroke iskemik di Wilayah Makassar
B. Rumusan Masalah
Efek pasca stroke pada umumnya menyebabkan gangguan fisik seperti kelumpuhan, baik sebelah atau seluruh anggota gerak sehingga mengalami ketergantungan aktivitas, cenderung pasien pasca stroke banyak mendapatkan bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari terutama dari orang terdekatnya, selain itu pasca stroke juga mempengaruhi psikis antara lain depresi. Keterbatasan fisik dan depresi pada pasien pasca stroke iskemik ada yang bersifat sementara namun ada juga yang menetap bila tidak ditangani dengan baik. Depresi pasca stroke sangat berdampak pada aktivitas dan kualitas hidup penderitanya.
6
Ternyata depresi merupakan penyulit bagi penderita untuk mengatasi ketidak-berdayaan fisiknya. Depresi pasca-stroke menyebabkan dampak negatif terhadap pulihnya kemampuan motorik pasca stroke, sebaliknya penanganan yang efektif terhadap gejala depresi menunjukkan perbaikan yang nyata terhadap motorik dan kemandirian.
Peningkatan kemandirian dan perbaikan depresi sangat bergantung pada perawatan dan jenis terapi yang diberikan pasca stroke, karena Banyak terapi alternative pasca stroke namun belum cukup memberikan dampak terhadap peningkatan kemandirian dan perbaikan depresi.
Diyakini bahwa dengan pemberian rangsangan gelombang elektromagnetik dapat memperbaikan jaringan saraf yang mengalami kerusakan. Penelitian tentang terapi (rTMS) stimulus gelombang elektromagnetik sudah lama diperkenalkan oleh Barker et al di tahun 1985 dengan subjek penelitian penderita stroke sebanyak 57 sampel.
Hingga saat ini penelitian tersebut masih terus dikembangkan di beberapa negara salah satunya Cina,. Namun di Indonesia sendiri belum banyak penelitian terkait stimulus gelombang elektromagnetik pascastroke.
Pemberian stimulus gelombang elektromagnetik dengan frekuensi rendah dapat menurunkan depresi pada pasien pasca stroke, begitu pula pemberian dengan frekuensi sedang akan berefek pada peningkatan kemampuan motorik, selain itu belum ada juga penelitian yang mengkombinasikan keduanya. Stroke yang bersifat lebih kompleks dengan segala permasalahan yang ditimbulkan akan berdampak pada
7
proses penyembuhan maka dengan terapi stimulus gelombang elektromagnetik diharapkan mampu mengubah status kesehatan penderita pascastroke. Dengan demikian pertanyaan penelitian ini adalah apakah ada pengaruh RTMS (Repetitive Transcaranial Magnetic Stimulation) terhadap peningkatan kemampuan motorik dan depresi pasca stroke iskemik.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh terapi Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation terhadap peningkatan kemampuan motorik dan perbaikan depresi pasca stroke iskemik
2.
Tujuan Khususa. Untuk mengetahui peningkatan kemandirian dan perbaikan depresi pasca stroke iskemik sebelum dan setelah pemberian terapi repetitive transcranial magnetic stimulation pada kelompok intervensi.
b. Untuk mengetahui peningkatan kemandirian dan perbaikan depresi pasca stroke iskemik sebelum dan setelah pemberian perawatan standar pada kelompok kontrol.
c. Untuk mengetahui perbandingan peningkatan kemandirian dan perbaikan depresi pasca stroke iskemik pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
8 D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan pencegahan dan penanganan khusus pada pasien stroke yang mengalami gangguan kekuatan motorik (lumpuh) dan juga gangguan psikologis (depresi) dengan menggunakan stimulus gelombang elektromagnetik sebagai terapi.
2. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation sebagai salah satu terapi pada peningkatan aktivitas dan perbaikan depresi pasca stroke iskemik.
b. Dengan diketahuinya efek Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation pada penderita pasca stroke iskemik maka dapat dipertimbangkan dan dikembangkan dalam usaha untuk rehabilitasi penderita pasca stroke iskemik sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat kecacatan akibat stroke.
c. Sebagai bahan masukan dalam proses belajar mengajar mengenai pentingnya pengaruh Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation terhadap penderita pasca stroke iskemik.
9
d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya tentang pengembangan Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation pada kasus-kasus neurologi lainnya.
e. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar evidence bagi perawat terhadap program TMS pada pasien pasca stroke untuk perbaikan setelah serangan stroke.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Stroke Iskemik
Stroke iskemik merupakan kondisi defisit neurologis yang terjadi secara tiba- tiba tanpa diketahui, sehingga mengakibatkan terjadinya oklusi pembuluh darah dan membuat berkurangnya suplai O2 (oksigen) serta glukosa menuju ke otak selanjutnya berdampak pada kegagalan proses metabolisme di daerah yang terlibat, stroke dapat menyebabkan paralysis, kehilangan pengelihatan, gangguan bicara, kehilangan daya ingat dan daya pikir, koma atau kematian (Tammasse.
2010)
Setelah aliran darah berkurang atau terhenti karena oklusi atau hipoperfusi pada pembuluh darah otak dan jika keadaan tersebut tidak dapat diatasi maka akan terjadi kematian sel dalam beberapa menit. Otak akan menerima kira-kira 15- 20% dari cardiac output dan cerebral blood flow (CBF) pada keadaan istirahat 50- 60/menit per 100gram otak. Jika CBF berkurang menjadi 20 ml/menit per 100 gram otak maka akan terjadi iskemik di otak sehingga gangguan fungsi otak terganggu. Dalam kedaan CBF menjadi normal maka akan terjadi pemulihan fungsi otak namun jika CBF berkurang menjadi 8-10mml/menit per 100 gram otak, sel otak berada dalam keadaan infark dan sel otak akan mati beberapa menit. Jika hal ini tidak diatasi dengan segera akan menimbulkan deficit neurologis dan menyebabkan kecacatan atau bahkan kematian (Al Rasyid, 2007)
11
Gambar 1.hasil ct-scan stroke iskemik pada hemisfer kanan dikutip dari Hemond 2007
Progresivitas dan luasnya daerah iskemik dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu durasi iskemik, sistem sirkulasi kolateral, tekanan darah iskemik yang terkait dengan CBF, Faktor hematologi seperti kondisi sistem pembekuan darah, suhu dan metabolisme glukosa baik hipoglikemia maupun hiperglikemia sama-sama dapat mempengaruhi ukuran infark, pada stroke iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel-sel otak beserta sel-sel pendukungnya (Berg .2009)
Dari segi biologi molekuler terdapat 2 mekanisme kematian sel yakni;
1) proses nekrosis koagulasi dan
2) proses apoptosis atau kematian otak terprogram. Proses nekrosis koagulasi merupakan suatu kematian sel akut dikarenakan penghancuran dari sitoskeleton sal yang berakibat timbulnya reaksi inflamasi dan proses fagositosis debris nekrotik sedangkan apoptosis atau kematian otak terprogram adalah menciutnya skeleton sel neuron tanpa adanya inflamasi seluler, mekanismenya terjadi mulai dari 1 jam setelah iskemik dan proses nekrosis koagulasi 6 jam setelah okulasi arteri (Al Rasyid, 2007).
12
Iskemik berhubungan dengan penghancuran produksi ATP mitokondria yang berakibat pada gangguan regulasi transport ion, depolarisasi neuron, perpindahan kalsium intraseluler, influx air secara pasif, dan akhirnya menyebabkan lisis osmotic dan kematian sel nekrotik (Constantino, 2011)
B. Perubahan yang Terjadi Pasca Stroke
Perubahan yang terjadi pasca stroke yang paling banyak dikeluhkan adalah Kerusakan atau kelumpuhan yang dikarenakan lesi pada kapsula interna, dan hampir selamanya disertai hipertonus yang khas hal ini dikarenakan pada kapsula interna dilewati serabut serabut ekstrapiramidal. Tergantung pada arteri yang terkena maka lesi vaskular yang terjadi di kapsula interna dapat mengakibatkan kerusakan area disekitarnya seperti radiasio optika, nucleus kaudatus dan putamen. Hemiplegia akibat lesi kapsula interna akan memperlihatkan kelumpuhan upper motor neuron yang disertai rigiditas, atetosis, distonia tremor atau hemianopi. Kerusakan pada vertebro basilaris (sirkulasi posterior) mengakibatkan terjadinya kelemahan pada satu atau keempat anggota gerak, peningkatan reflek tendon, ataksia, tanda babinsky bilateral, disfagia, disartria, koma, gangguan daya ingat, gangguan penglihatan dan muka baal (Khedr, Ahmed,Fathy, Rothwell, 2005)
Secara patofisiologi perubahan yang diakibatkan oleh stroke selain kelumpuhan adalah depresi pasca stroke itu sendiri dan dianggap sebagai defisiensi katekolamin serebral dalam tubuh. Korteks serebri menerima katekolamin melalui lintasan katekolamin yang berinduk dibatang otak menuju ke
13
cortex melalui lobus frontalis yang berjalan ke anterior melalui hipotalamus dan ganglia basalis. Oleh karena itu bila terdapat lesi maka akan memotong lintasan tersebut sehingga akan berakibat katekolamin menurun dan membuat korteks serebri kekurangan katekolamin akhirnya terjadilah depresi (Bech. 2002)
Setelah terjadinya sumbatan pada pembuluh darah otak maka akan terjadi berbagai proses yang sangat kompleks yakni diantaranya proses kimiawi dan hormonal sebagai tanda akibat dari keadaan iskemik itu sendiri. Selain mempengauhi sitokin dan mediator proinflamasi, keadaan iskemik sendiri akan membuat aksis hipotalamik-pituitari-adrenal dan aksis tiroid saling berinteraksi untuk mempengaruhi berbagai system tubuh. Proses kimiawi yang terjadi pasca stroke iskemik berupa abnormalitas berbagai neurotransmitter secara luas yang selanjutnya akan menimbulkan tergangguanya fungsi signal neuronal (Qamar, 2011)
Depresi pasca stroke dapat terjadi bisa disebabkan infark pada otak atau kemungkinan dari keterbatasan fisik, selain itu beberapa penelitian menjelaskan bahwa perilaku emosional dan reaksi katastrofik paling banyak pada penderita dengan lesi di daerah hemisfer kiri, sedangkan pada penderita dengan kerusakan hemisfer kanan terdapat pola reaksi indiferen, selanjutnya (Robinson 2003) menyebutkan sekitar 64% pasien pasca stroke mengalami depresi dengan lesi pada hemisfer kiri dan sisanya 14% menderita depresi pada daerah hemisfer kanan. Temuannya yang lain adalah atrofi subkortikal berkaitan dengan depresi pasca-stroke. Penderita-penderita stroke dengan depresi dan ansietas lebih sering menunjukkan lesi kortikal (sebelah kiri) dibandingkan dengan kelompok
14
penderita stroke yang hanya dengan depresi saja. Pada kelompok penderita stroke yang hanya dengan depresi saja ini lebih banyak ditemukan kerusakan subkortikal, sedangkan penderita stroke dengan ansietas sering berkaitan dengan lesi hemisfer kanan. Sebaliknya (Rossi, 2009) menyebutkan bahwa pasien pasca stroke dengan lesi pada hemisfer kiri tidak memberikan nilai yang besar terhadap depresi. Depresi pasca-stroke tidak dipengaruhi oleh lokasi dari lesi. Oleh karena itu, (Rossi,2009) menganjurkan agar supaya berhati-hati di dalam melihat hubungan tersebut.
Mekanisme terjadinya depresi pasca stroke iskemik diduga disebabkan oleh disfungsi biogenic-amin, badan sel serotoningenik dan noradrenergic terletak di batang otak dan akan mengirimkan proyeksinya ke korteks frontal atau ganglia basalis sehingga dapat merusak serabut-serabut ini. Kuat dugaan depresi diakibatkan depresi berat akibat lesi frontal dan ganglia basalis. Dari penelitian pada hewan coba yang mengkaji penurunan kadar norepinefrin dan serotonin pasca stroke, didapatkan bahwa penurunan kadar monoamine pada jaringan yang paling mencolok diperlihatkan oleh hemisfer ipsilateral, sementara pada hemisfer yang sehat juga terjadi namun lebih rendah penurunannya (Bech, 2002).
15 C. Transcranial Magnetic Stimulation
Transcranial magnetic stimulation (TMS) yakni sebuah proses yang menggunakan medan magnet untuk menstimulasi sel saraf di otak untuk membantu meningkatkan aktivitas motorik dan menyembuhkan depresi. TMS merupakan salah satu dari sekian banyaknya tipe terbaru model atau metode stimulasi otak yang dirancang untuk mengatasi keluhan pasca stroke seperti penurunan aktivitas fisik dan gangguan psikologis, TMS sendiri adalah tipe terbaru dikelasnya ketika pengobatan standar tidak berhasil. TMS adalah metode dengan tingkat invasi terkecil dalam proses stimulasi otak karena tidak membutuhkan operasi, tidak membutuhkan pembiusan, dan tanpa implantasi elektroda atau stimulator saraf. Selain itu, rTMS merupakan metode neurorehabilitatif efektif untuk pasien dengan gejala sisa akibat trauma dan stroke serta berbagai gangguan system saraf pusat lainnya. (Jin et al, 2002).
Gambar 2. Alat Transcranial magnetic stimulation dikutip dari Hemond 2007
Dalam melakukan TMS secara umum yaitu dengan menggunakan sebuah kumparan elektromagnetik yang besar dan diletakkan di ubun-ubun dekat dahi penderita yang melakukan terapi. Gelombang elektromagnetik tersebut menciptakan arus listrik tanpa rasa sakit yang menstimulasi sel saraf otak yang mengatur mood dan depresi serta cortex motorik. Stimulasi magnetik transkranial melibatkan penggunaan bolak-balik medan magnet untuk merangsang neuron di
16
otak dan rekaman tanggapan rangsangan yang diinduksikan dengan menggunakan electromyography (Khedr, Ahmed,Fathy, Rothwell, 2005)
Gambar. 3 Rekaman Gelombang Elektromagnetik Saat Masuk Ke Target dikutip dari Cortes,M. Black-Shacffer,RM. Edward,J. 2012
Respon terhadap TMS arus-tunggal tergantung pada daerah kortikal yang dirangsang, misalnya stimulasi cortex motorik menyebabkan kontraksi pada otot- otot ekstermitas, sedangkan stimulasi cortex utama visual menginduksi kilatan cahaya mata saat mata orang coba ditutup. Ada 2 tipe pengobatan rTMS yakni rTMS frekuensi rendah dengan menggunakan stimulasi frekuensi 1-5 Hz dan rTMS frekuensi tinggi 5-10 yang didefenisikan sebagai stimulasi pada frekuensi lebih dari 5 Hz (Fregni et al, 2006) Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) merupakan metode non-invasif stimulasi otak yang bekerja melalui induksi elektromagnetik yang diproduksi oleh medan magnet. Sebuah kumparan TMS mampu mengubah aktivitas listrik di dekat konduktor. Dalam hal ini yang merupakan area otak bawah coil TMS. Medan magnet dapat dengan aman menembus kepala tanpa rasa sakit.
Ketika pulsa magnet yang dihasilkan oleh kumparan TMS diberikan dengan cepat dan tepat pada daerah sasaran disebut sebagai “TMS” apa bila berulang disebut dengan ‘rTMS’, yang dapat menghasilkan perubahan lebih tahan lama dalam aktivitas otak. rTMS telah terbukti menjadi prosedur yang
17
aman dan ditoleransi dengan baik, serta disepakati bahwa TMS baik untuk terapi gangguan saraf (Shen et.al. 2016)
Gambar dikutip dari American Medical Association from Ward
NS, Cohen LG. Mechanisms underlying recovery of motor function after stroke. Arch Neurol. 2004
rTMS merangsang Modulasi Plastisitas
Ransangan Masuk Ransangan Masuk
18
D. Efek dari Transcranial Magnetic Stimulation pada Stroke
1. Plastisitas Sinaps dan Perbaikan pada Aparatur Genetic Neuron
Plastisitas merupakan kemampuan dari system saraf pusat beradaptasi terhadap kebutuhan fisiologis tubuh, Kapasitas dari sistem saraf pusat untuk beradaptasi dan memodifikasi organisasi struktural dan fungsional terhadap kebutuhan, yang bisa berlangsung terus sesuai kebutuhan atau stimulasi. Mekanisme plastisitas ini merupakan mekanisme kompleks yang melibatkan perubahan kimia saraf, kelistrikan saraf, penerimaan saraf, perubahan struktur neuron saraf, reorganisasi otak, hal dapat terjadi bila dilakukan TMS (Kim et al, 2006)
Gambar 4: Aktivasi Sel Kortokospinal dengan menggunakan teknik TMS (Gelombang Elektromagnetik) di kutip dalam Lazarro et al 2003
Menurut teori saat ini bahwa efek dari TMS adalah memberikan stimulasi neuron sehingga mengakibatkan terjadinya pergeseran ion di sekitar daerah neuron yang diberikan rangsangan, Selanjutnya pergeseran yang terjadi akan bermanifestasi menjadi perubahan plastisitas sinaps, nilai positif dari plastisitas sinaps yakni besarnya peluang akan peningkatan motorik dan pebaikan depresi pasca stroke (Takeuchi et al, 2005; Fitzgerald, 2013)
19
Kenyataan bahwa transmisi pada sebagian besar sinaps bersifat kimiawi, merupakan hal yang penting di dalam terapi Transcranial Magnetic Stimulation. Ujung-ujung saraf secara anatomi dan fisiologi akan mengubah energi listrik menjadi energi kimiawi. Proses pengubahan energi ini meliputi proses sintesis zat-zat transmiter, penyimpanannya di vesikel-vesikel sinaptik dan pelepasannya oleh impuls saraf, ke dalam celah sinaptik. Transmiter yang dilepaskan ini kemudian bekerja pada reseptor yang sesuai di membran sel postsinaptik dan dengan cepat disingkirkan dari celah sinaptik melalui proses difusi, metabolisme, dan pada beberapa keadaan, dikembalikan ke neuron presinaptik. Seluruh proses ini terjadi akibat rangsangan gelombang elektromagnetik berfrekuensi 10 Hz yang terinduksi masuk ke otak dan menstimulus neuron melakukan regenerasi sel-sel, dan proses-proses pasca reseptor di neuron postsinaptik, dikendalikan oleh berbagai faktor fisiologik dan setidaknya secara teori dapat dipengaruhi oleh rangsangan gelombang elektromagnetik. Karena itu TMS dapat mengatur kegiatan motorik somatik dan viseral, maupun mengatur emosi, perilaku, serta semua fungsi otak yang kompleks (Jin et al, 2002)
20
Secara fisiologis depresi terjadi akibat dari katekolamin cerebral, cortex cerebri menerima katekolamin melalui lintasan katekolamin yang disebut dengan sinaps, lintasan tersebut berpusat pada batang otak menuju ke cortex melalui lobus frontalis yang bermuara ke anterior selanjutnya ke hipotalamus dan ganglia basalis (Bech, 2002), Mekanisme kerja dari Transcranial Magnetic Stimulation memberikan efek terhadap plastisitas sinaps sehingga lintasan yang mengalami infark atau sebelumnya terputus dapat terbentuk kembali (Fitzgerald, 2013)
Gambar 5.gelombang elektromagnetik terinduksi ke neuron dikutip dari Butler, A. J., Steven, L., Wolf. (2007)
Sejumlah penelitian telah menjelaskan bahwa sinyal dari TMS dapat merangsang dan maupun menginduksi ekspresi gen serta meningkatkan produksi enzim. Efek ini mungkin dapat mendasari durasi panjang dari efek terapi TMS seperti peningkatan aktivitas fisik, stimulasi gelombang elektromagnetik atau terapi dengan rTMS jauh lebih kuat membantu perbaikan kerusakan sel saraf akibat pasca stroke dan beberapa perubahannya dapat diukur/diamati setelah pemberian rTMS 10 sesi (Kim et al, 2013).
Rangsang gelombang elektromagnetik dengan frekuensi 10 Hz yang terinduksi masuk pada setiap akson neuron motor spinal, yang mempersarafi
21
otot rangka, perangsangan gelombang listrik tersebut mampu membuat kontraksi otot.
RTMS meningkatkan ekspresi mRNA c-fos dalam inti paraventikular thalamus pada frekuensi rendah, selanjutnya pada serangkaian 14 hari pemberian terapi TMS ditemukan adanya peningkatan ekspresi mRNA c-fos di korteks parietal (Teakuchi et al, 2005)
2. Membantu Pertumbuhan Dendritik dan Neurotropik
Sebagian besar penelitian tentang efek rTMS telah difokuskan pada peningkatan aktivasi BDNF (Brain Derived Neurotrophic)yang berperan dalam perkembangan/pembentukan sinaps, meregulasi sel-sel agar dapat survive akibat kerusakan SSP, selain itu fungsinya juga meliputi neurogenesis, migrasi, diferensiasi neuron, pertumbuhan dendrit dan akson (Hemond, 2007)
Selubung myelin memiliki resistensi kelistrikan yang tinggi sehingga pada saat gelombang elektomagnetik terinduksi ke nueron terjadi proses depolarisasi sehingga impuls saraf akan melewati bagian konduktor pada Nodus Ranvier dengan cara meloncat dari satu Nodus ke Nodus lainnya, Penghantaran impuls dengan cara ini akan merangsang cortex motor dan mengirimkan stimulus ke otot untuk berkontraksi (Fridman, Hanakawa, Chung, Wu, Choen, 2002)
22 3. Mencegah Kematian Neuron
Aspek penting lain dari pemberian TMS ini yaitu manfaat yang diberikan seperti mencegah kematian neuron. Otak memiliki kemampuan menyembuhkan dirinya sendiri dan menumbuhkan sel-sel baru melalui proses yang disebut neurogenesis. Beberapa penelitian menjelaskan efek dari TMS dapat melindungi neuron terhadap kematian dan mengubah aliran darah serta metabolisme pada otak. rTMS juga membantu dalam pemulihan fungsi saraf otak termasuk cedera iskemik pada percobaan tikus, dimana hasilnya berupa peningkatan adenosine triposfat (ATP) di striatum pada daerah iskemik (Fitzgerald, 2013)
Selanjutnya studi lain menunjukkan efek rTMS mampu mencegah terjadinya apoptosis di zona infark ataupun area iskemik (Robinson, 2004)
Gambar 6 . Stimulus gelombang elektromagnetik dari TMS dikutip dari Hemond 2007
Pada manusia, dari hasil pemeriksaan dengan Positron emissin tomography (PET) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan bahwa daerah penumbra iskemik ada selama beberapa jam atau lebih setelah onset gejala. Dengan berlalunya waktu, terjadi pengurangan volume daerah penumbra iskemik dan mulai munculnya inti infark. Diyakini bahwa pemberian
23
stimulus gelombang elektromagnetik dengan frekuensi rendah dibawah 5 Hz dapat meningkatkan pO2 jaringan penumbra iskemik sehingga mengurangi volume daerah infark dan defisit neurologis yang ditimbulkannya. Selain itu, penerapan TMS pada stroke diyakini dapat meningkatkan hasil pemulihan motorik pasca stroke
E. Teori Konsep Keperawatan Self Efficacy
Self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuannya untuk dan melaksanakan program kerja. Inti dari teori self-efficacy adalah asumsi yang dapat memberikan pengaruh atas apa yang mereka lakukan, melalui pemikiran reflektif, pengetahuan generatif dan keterampilan untuk melakukan perilaku tertentu, dan alat-alat lain yang mempengaruhi diri seseorang untuk memutuskan bagaimana berperilaku (Bandura, 1977, 1986, 1995, 1997 dalam Peterson & Bredow, 2013). Untuk menentukan self-efficacy, seorang individu harus berkesempatan untuk mengevaluasi diri atau kemampuan untuk membandingkan output individu sebagaimana kriteria evaluasi. Ini adalah proses perbandingan yang memungkinkan seorang individu untuk menilai kemampuan kinerja dan membangun ekspektasi efikasi diri (Peterson & Bredow, 2013).
Bandura, seorang ilmuwan sosial, membedakan antara dua komponen teori self-efficacy: self-efficacy dan harapan hasil akhir. harapan self-efficacy adalah penilaian tentang kemampuan pribadi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Harapan hasil adalah penilaian tentang apa yang akan terjadi jika tugas yang diberikan berhasil dicapai. Harapan self-efficacy dan hasil
24
dibedakan karena individu dapat percaya bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan hasil tertentu; Namun, mereka mungkin tidak percaya bahwa mereka mampu melakukan perilaku yang diperlukan untuk terjadinya hasil yang diinginkan (Peterson & Bredow, 2013).
Tipe hasil akhir orang mengantisipasi umumnya tergantung pada penilaian mereka tentang seberapa baik mereka akan dapat melakukan perilaku. Mereka yang menganggap dirinya sangat berkhasiat dalam mencapai suatu perilaku tertentu akan mengharapkan hasil akhir menguntungkan bagi perilaku itu. hasil yang diharapkan tergantung pada penilaian self-efficacy.
Oleh karena itu, Bandura mendalilkan bahwa hasil akhir yang diharapkan tidak menambahkan banyak pada mereka sendiri pada prediksi perilaku (Peterson
& Bredow, 2013).
Hasil yang diharapkan juga sebagian dipisahkan dari penilaian self- efficacy ketika hasil akhir ekstrinsik adalah tetap. Sebagai contoh, ketika seorang perawat memberikan perawatan untuk enam pasien selama 8 jam, perawat menerima gaji tertentu. Ketika perawat yang sama peduli untuk 10 pasien selama shift yang sama, dia menerima gaji yang sama. Ini dapat berdampak negatif terhadap kinerja. Hal ini juga mungkin bagi seorang individu untuk percaya bahwa ia/dia mampu melakukan perilaku tertentu, tetapi tidak percaya bahwa hasil dari melakukan perilaku adalah berharga.
Misalnya, orang dewasa dalam rehabilitasi mungkin percaya bahwa mereka mampu melakukan latihan dan kegiatan yang terlibat dalam proses rehabilitasi, tetapi mungkin tidak percaya bahwa melakukan latihan akan
25
menghasilkan peningkatan kemampuan fungsional. Beberapa orang dewasa yang lebih tua percaya bahwa beristirahat daripada berolahraga akan menyebabkan pemulihan. Dalam situasi ini, harapan hasil akhir mungkin memiliki dampak langsung pada kinerja (Peterson & Bredow, 2013).
Harapan hasil adalah sangat relevan dengan orang dewasa yang lebih tua. Orang-orang ini mungkin memiliki harapan efikasi diri yang tinggi untuk latihan, tetapi jika mereka tidak percaya pada hasil yang berhubungan dengan olahraga, misalnya, perbaikan kesehatan, kekuatan, atau fungsi, maka tidak mungkin bahwa akan ada kepatuhan terhadap program olahraga teratur (Peterson & Bredow, 2013).
Bandura (1986) dalam Peterson & Bredow (2013) mengemukakan bahwa penilaian tentang self-efficacy seseorang berdasarkan empat sumber informasi: (1) pencapaian enactive, yang merupakan kinerja sebenarnya dari perilaku; (2) vicarious experience atau memvisualisasikan orang lain yang sejenis melakukan suatu perilaku; (3) persuasi lisan atau nasihat; dan (4) kondisi fisiologis atau umpan balik fisiologis selama perilaku, seperti rasa sakit atau kelelahan. Penilaian kognitif dari faktor-faktor ini menghasilkan persepsi tingkat kepercayaan pada kemampuan individu untuk melakukan perilaku tertentu. Kinerja positif dari perilaku ini memperkuat ekspektasi self-efficacy (Bandura, 1995 dalam Peterson & Bredow, 2013).
26
Gambar 7. Empat landasan penilaian dalam teori self efficacy dikutip dari Peterson &
Bredow (2013)
a. Pencapaian Enactive
Pencapaian enactive digambarkan sebagai sumber yang paling berpengaruh informasi self-efficacy (Bandura, 1977, 1986 dalam Peterson
& Bredow, 2013). Telah ada pengulangan dalam verifikasi empiris yang benar-benar melakukan kegiatan memperkuat keyakinan self-efficacy.
Secara khusus, self-efficacy dan harapan hasil memainkan peran berpengaruh dalam kinerja kegiatan fungsional, Adopsi dan pemeliharaan perilaku latihan, dan manajemen diri optimal dari berbagai masalah klinis seperti gagal jantung kongestif, diabetes, dialisis peritoneal, depresi, dan nyeri punggung. Pencapaian enactive umumnya menghasilkan penguatan yang lebih besar dari ekspektasi self-efficacy daripada sumber informasi (Peterson & Bredow, 2013).
Namun, kinerja saja tidak membangun keyakinan self-efficacy. Faktor- faktor lain, seperti prasangka kemampuan, kesulitan yang dirasakan dari tugas, jumlah usaha yang dikeluarkan, bantuan eksternal yang diterima, keadaan situasional, dan kesuksesan masa lalu dan kegagalan semua dampak penilaian kognitif individu dari self-efficacy (Bandura, 1995 dalam
27
Peterson & Bredow, 2013). Seorang dewasa yang lebih tua yang sangat percaya bahwa ia mampu untuk mandi dan berpakaian secara independen karena ia telah melakukannya selama 90 tahun tidak akan mungkin mengubah harapan self-efficacy jika dia bangun dengan rematik yang parah akan mengubah pada suatu pagi dan akibatnya tidak dapat mengenakan kemeja. Namun, berulang kegagalan untuk melakukan aktivitas akan memengaruhi harapan self-efficacy.
Stabilitas relatif dari harapan self-efficacy yang kuat adalah penting;
sebaliknya, kegagalan sesekali atau kemunduran parah bisa berdampak baik pada harapan self-efficacy dan perilaku (Peterson & Bredow, 2013).
b. Vicarious Experience
Harapan self-efficacy juga dipengaruhi oleh pengalaman perwakilan atau melihat orang lain yang sejenis berhasil melakukan kegiatan yang sama. Ada beberapa kondisi, namun, yang berpengaruh pengalaman perwakilan, jika individu belum terkena perilaku ketertarikan, atau memiliki sedikit pengalaman dengan itu, pengalaman perwakilan cenderung memiliki dampak yang lebih besar. Selain itu, ketika panduan yang jelas untuk kinerja tidak dieksplisitkan, self-efficacy akan lebih cenderung dipengaruhi oleh kinerja orang lain.
Demikian juga, self-modeling telah dicatat untuk mempengaruhi ekspektasi self-efficacy dan hasil dan secara khusus tidak memperkuat harapan self-efficacy dan perilaku terkait pada orang dewasa yang lebih tua dengan diabetes. hal tersebut disimpan sebagai catatan pribadi dari
28
kebiasaan (Resnick, Shaughnessy et al, 2009;. Siebolds, Gaedeke, Schwedes, & SMBG Study Group, 2006 dalam Peterson & Bredow, 2013).
c. Persuasi Verbal
Persuasi verbal melibatkan perkataan seorang individu bahwa ia memiliki kemampuan untuk menguasai perilaku tertentu. Persuasi lisan telah terbukti efektif dalam mendukung pemulihan dari penyakit kronis dan dalam penelitian promosi kesehatan. Pengaruh persuasif kesehatan memimpin orang-orang dengan rasa self-efficacy tinggi untuk mengintensifkan upaya perubahan mandiri perilaku kesehatan berisiko.
Misalnya, dalam pengaturan rehabilitasi, persuasi verbal oleh perawat memiliki dampak positif pada harapan self-efficacy dan partisipasi dalam rehabilitasi, serta partisipasi dalam latihan (Galik et al, 2008 (Hiltunen et al., 2005);. Resnick, Gruber-Baldini, Zimmerman, et al., 2009 dalam Peterson
& Bredow, 2013).
Dalam keperawatan, intervensi pendidikan sering digunakan sebagai cara untuk memberikan dorongan verbal. Beberapa contoh ini ada di bidang-bidang seperti manajemen diabetes, menyusui dan perawatan bayi (Peterson & Bredow, 2013).
29 d. Fisiologis
Individu mengandalkan sebagian pada informasi dari keadaan fisiologis mereka untuk menilai kemampuan mereka. indikator fisiologis sangat penting dalam kaitannya dengan mengatasi stres, pencapaian fisik, dan fungsi kesehatan. Individu mengevaluasi kondisi fisiologis mereka, atau rangsangan, dan jika aversif, mereka dapat menghindari melakukan perilaku.
Misalnya, jika orang dewasa yang lebih tua memiliki rasa takut jatuh atau terluka saat berjalan, keadaan rangsangan tinggi yang terkait dengan rasa takut dapat membatasi kinerja, dan mengurangi rasa percaya diri individu dalam kemampuan untuk melakukan aktivitas. Demikian juga, jika kegiatan rehabilitasi mengakibatkan kelelahan, sakit, atau sesak napas, gejala-gejala ini dapat ditafsirkan sebagai inefficacy fisik, dan dewasa yang lebih tua mungkin tidak merasa mampu melakukan aktivitas (Peterson &
Bredow, 2013).
Intervensi dapat digunakan untuk mengubah penafsiran tanggapan fisiologis dan membantu individu mengatasi sensasi fisik, meningkatkan self-efficacy dan sehingga meningkatkan kinerja. Intervensi mencakup hal- hal seperti menghilangkan rasa sakit, takut jatuh, atau sesak napas yang berhubungan dengan aktivitas fisik (Landsman-Dijkstra, Van Wijck, &
Groothoff, 2006; Resnick, Pretzer-Aboff et al, 2008 dalam Peterson &
Bredow, 2013).
30
Gambar . Kerangka Konseptual Self Efficacy Pada Kasus Stroke Health
Care Needs
Gangguan Motorik Depresi
Nursing Intervention
TMS
Transcranial Magnetic Stimulation
Intervening Variables
Tenaga kesehatan/
perawat/dokter
Health Seeking behaviors
Result Enhanced Self Efficacy over time
Peningkatan kekuatan dan perbaikan secara pencapaian
enactive,experience,persuasiverbal, fisiologis
Kepercayaan Diri untuk melakukan aktivitas
Peningkatan kekuatan dan perbaikan depresi dihubungkan
dengan Kemandirian
31 BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
A. Kerangka Konseptual Penelitian
Berbagai penanganan pada keterbatasan fisik dan depresi pasca stroke iskemik tersebut telah dilakukan baik itu terapi farmakologi maupun terapi non farmakologi. Salah terapi non farmakologi yang dinilai dapat meningkatkan kemampuan motorik dan perbaikan depresi yaitu stimulus gelombang elektromagnetik dengan frekuensi 5-10 Hz. Akan tetapi, pemberian stimulus tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga dapat digambarkan kerangka konsep dalam penelitian ini, yaitu:
Variabel Kontrol
Variabel Independen Variabel Dependen
Variabel Moderator
Gambar .1 Kerangka konsep penelitian Frekuensi 5-10 Hz
Waktu 30 menit
Peningkatan Kemandirian Perbaikan depresi Stimulus
gelombang elektromagnetik
1. Umur
2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan 4. Onset
32 B. Variabel Penelitian
Variabel dari penelitian ini terdiri dari variabel dependen, veriabel indipenden dan variabel moderat. Yang termasuk ke dalam variabel tersebut yaitu:
1. Variabel dependen merupakan variabel yang menjadi akibat atau yang dipengaruhi setelah pemberian perlakuan (Sugiyono, 2016). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan motorik dan perbaikan depresi.
2. Variabel independen merupakan variabel yang dapat mempengaruhi atau menjadi stimulus terjadinya perubahan pada variabel dependen (Sugiyono, 2016). Variabel independen dalam penelitian ini yaitu pemberian terapi transcranial magnetic stimulation.
3. Variabel moderator merupakan variabel yang memperkuat atau memperlemah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen (Sugiyono, 2016). Variabel moderator dalam penelitian ini adalah. Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan, Onset.
33 C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Variabel Independen: Stimulus Gelombang Elektromagnetik
Definisi operasional : Pemberian Intervensi yang menggunakan rangsangan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi 5-10 Hz durasi 30 menit untuk 1 kali pemberian, dilakukan selama 2 minggu.
2. Variabel Dependen: Peningkatan Kekuatan Motorik dan Perbaikan Depresi
Definisi operasional : Peningkatan kemandirian adalah terjadinya perubahan kemampuan gerak dari hanya berbaring di tempat tidur sampai dapat duduk, dan berdiri serta berpindah, selain itu terjadi peningkatan kemandirian dalam aktifitas sehari-hari tanpa bantuan penuh dari orang sekitar (menyisir rambut, memegang pulpen, makan, pakai baju sendiri dan sebagainya)
Perbaikan Depresi adalah terjadinya penurunan tingkat depresi kearah lebih baik yang dirasakan responden pasca stroke.
Kriteria Objektif : Peningkatan kemandirian ini akan dinilai dengan menggunakan BI, dimana ≥ 20 menyatakan tidak ada masalah/mandiri (responden dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya), skala 12-19 menyatakan ketergantungan ringan (mengganggu sedikit aktivitas responden dan sedikit mengalami penurunan
34
kemampuan motorik), skala 9-11 menyatakan ketergantungan sedang (secara signifikan mengganggu aktivitas sehari-sehari responden terjadi penurunan kemampuan motorik), skala 5-8 menyatakan ketergantungan berat (responden tidak dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari namun dapat bergerak). Skala 0- 4 ketergantungan total (responden tidak dapat bergerak dengan dan mengandalkan orang lain) . Dan untuk Perbaikan Depresi dinilai dengan HDRS. HDRS terdiri dari 23 pernyataan dimana untuk skala ≤7 normal (repsponden tidak mengalami depresi), skala 8-13 depresi ringan (responden mengalami depresi namun masih dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar), skala 14-18 depresi sedang (responden mungkin megalami depresi sedang namun mampu untuk mengontrol perasaan putus asa) skala 19-22 depresi berat (respon mengalami ketidakberdayaan), skala ≥ 23 depresi sangat berat (responden mengalami putus asa yang berat, akan sulit untuk dilakukan komunikasi biasanya disertai kecenderungan untuk mengakhiri hidup)
Skala : interval
35 3. Usia
Definisi Operasional : umur responden dari awal kelahiran sampai penelitian ini dilakukan
Kriteria objektif : usia dalam penelitan ini diberikan skor 1. 20 tahun - 80 tahun
Instrumen : lembar kuesioner data demografi responden
Skala : Interval
4. Pendidikan
Definisi operasional : jenis pendidikan formal terakhir yang diselesaikan oleh responden
Kriteria objektif : pendidikan dalam penelitian ini diberikan skor:
1. SMA 2. Diploma 3. Sarjana
Skala : Ordinal
5. Jenis Kelamin
Definisi operasional : jenis kelamin adalah identitas sejak lahir yang diakui oleh responden dan masyarakat serta berdasarkan pada KTP Kriteria Objektif : Jenis kelamin diberikan skor untuk membedakan, yaitu:
1. Laki-laki 2. Perempuan
Skala : Nominal
36 6. Onset
Definisi Operasional : Onset adalah lama serangan yang dialami oleh responden Kriteria Objektif : Pascastroke 1minggu-3 bulan dan diberikan skor yaitu:
1. (1 minggu- 2 minggu) 2. ( >2minggu - 3 bulan) Skala : Interval
D. Hipotesis Penelitian 1. H1
a. Terjadi peningkatan kemampuan motorik dan perbaikan depresi pada kelompok intervensi setelah diberikan rTMS (repetitive Transcranial Magnetic Stimulation)
b. Terjadi peningkatan kemampuan motorik dan perbaikan depresi pada kelompok intervensi setelah diberikan rTMS (repetitive transcranial magnetic stimulation) dibandingkan dengan kelompok kontrol
37 BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan yaitu penelitian Quasi Experimental dengan menggunakan Nonequivalent Control Group Design. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh stimulus dari gelombang elektromagnetik (TMS) terhadap peningkatan kekuatan motorik dan perbaikan depresi pasien pasca stroke. Desain penelitian adalah sebagai berikut:
Pre test Post test Kelompok kontrol O1 O2
Kelompok intervensi O3 X O4
Keterangan:
O1 adalah data dasar untuk menilai tingkat kemampuan motorik dan tingkat depresi responden dalam grup kontrol yang tidak diberikan perlakukan
O2 adalah data tingkat kemampuan motorik dan perbaikan depresi responden setelah mendapatkan terapi standar yang masuk dalam grup kontrol
O3 adalah data dasar menilai kemampuan motorik dan tingkat depresi responden sebelum diberi intervensi.
X adalah intervensi berupa pemberian stimulus gelombang elektromagnetik selama 10 hari atau 2 paket dengan frekuenzi 5-10 Hz
O4 adalah data kemampuan motorik dan perbaikan depresi responden setelah diberi intervensi selama 2 paket atau 10 hari.
38 B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat
Penelitian ini akan dilakukan di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo dan Klinik Inggit Medika
2. Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada bulan 26 Juni – 28 Juli 2017
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini yaitu responden dengan pasca stroke iskemik 2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 orang yang terdiri dari 15 orang dalam 1 kelompok yang memenuhi kriteria inklusi dan diambil secara consecutive sampling.
1. Kriteria Inklusi:
a) Usia 20-80 tahun
b) Penderita pasca stroke iskemik setelah 1 minggu sampai 3 bulan c) Hasil CT-Scan mendukung sampel penderita stroke iskemik
d) Tidak ada gangguan kesadaran, kelainan fungsi hati, jantung dan ginjal yang berat.
e) Menyatakan bersedia atau tidak keberatan dalam penelitian dan menandatangani surat pernyataan setuju baik penderita langsung atau diwakili keluarga.
39 2. Kriteria Eksklusi
a) Pada pemeriksaan CT-Scan kepala ditemukan adanya tumor, abses atau proses desak ruang yang lain selain stroke.
b) Menderita stroke serangan kedua c) Penderita Stroke Haemoragik
d) Menggunakan pacu jantung dan ring otak, ada riwayat kejang, mempunyai riwayat penyakit atau kelaian pada otak, mempunyai ganggua kejiwaan sesuai dengan criteria DSM IV
e) Tidak bersedia untuk memenuhi informed Consent dan seluruh prosedur penelitian
3. Kriteria Drop Out
a) Mengundurkan diri sebagai responden sebelum penelitian selesai b) Responden Meninggal sebelum 2 minggu
c) Tidak ada kabar setelah 1 minggu intervensi
40 D. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel menggunakan rumus wilcoxon dengan tingkat kemaknaan 5% yaitu minimal 6 sampel, untuk power sampel penelitian diambil 15 sampel dalam 1 kelompok. Jadi, untuk 2 kelompok terdapat 30 sampel. Peneliti akan menggunakan teknik consecutive sampling untuk membagi sampel ke dalam kelompok kontrol atau intervensi.
E. Instrumen, Metode & Prosedur Pengumpulan Data 1. Instrumen
a. Lembar data demografi responden
Lembar data demografi responden yang terdiri dari pernyataan pilihan ganda dan essai. Lembaran ini dikembangkan oleh peneliti untuk mengumpulkan data demografi responden yang terdiri dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama menderita stroke iskemik.
b. Instrumen penilaian kemampuan motorik dan depersi 1) Barthel Index
Indeks Barthel merupakan suatu instrument pengkajian yang berfungsi mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas serta dapat juga digunakan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan fungsional bagi pasien-pasien yang mengalami gangguan keseimbangan.
Dimana ada 10 indikator penilaian. Indeks Barthel telah menunjukkan keandalan yang tinggi IB sudah dikenal secara luas, memiliki keandalan dan kesahian yang tinggi. Koefisien konsisten internal alfa 0,87 sampai 0,92
41
yang menunjukkan keandalan intra dan inter-rater yang sangat baik. Pada penelitian yang dilakukan Wartski dan Green menguji 41 pasien yang mengalami gangguan fungsional dasar dengan interval 3 minggu, ternyata hasilnya sangat konsisten. Ada 35 pasien yang skornya turun 10 poin, begitu pula Collin & Kendall menerangkan untuk Barthel Index memiliki koefisien konkordasi (kesesuaian) dengan menunjukkan angka 0,93 yang berarti pengamatan berulang dari orang yang berbeda akan menghasilkan kesesuaian yang sangat memadai, dengan kata lain baik perawat, dokter, fisioterapi, serta petugas kesehatan lainnya akan sama penilaian dalam menggunakan instrumen Barthel Index. Kesahihan prediktif IB terbukti baik hal ini ditunjukkan Pada penelitian yang dilakukan Wade dari 976 pasien stroke yang mengalami keterbatasan fisik ,kesahian IB yang dibuktikan dengan angka korelasi 0,73 dan 0,77 dengan kemampuan motorik..
(Sugiarto,2005).
Tabel 2. Instrument pengkajian dengan Indeks Barthel.
No Item yang dinilai
Kriteria Skor Nilai
1 Makan (F eeding)
Tidak mampu
1 = Butuh bantuan memotong, mengoles mentega dll.
Mandiri
0 1 2
2 Mandi
(Bathing)
Tergantung dengan orang lain Mandiri
0 1 3 Perawatan Diri
(Grooming)
Membutuhkan bantuan orang lain Mandiri
0 1 4 Berpakaian
(Dressing)
Membutuhkan bantuan sepenuhnya Sedikit dibantu (mengancing baju) Mandiri
0 1 2 5 Buang Air
Kecil (Bladder)
Terpasang Kateter, Inkontinensia (mengompol)
Kadang-kadang dalam sehari (24 jam) Kontinensia (teratur)
0 1 2
42 6 Buang Air
Besar (Bowel)
Tidak teratur (membutuhkan enema)
Kadang-kadang dalam seminggu tidak teratur Teratur
0 1 2 7 Penggunaan
Toilet
Tergantung dengan orang lain
Membutuhkan bantuan hanya sebagian Mandiri
0 1 2 8 Transfer Tidak mampu
Membutuhkan bantuan besar (2 orang untuk duduk)
Membutuhkan bantuan kecil Mandiri
0 1 2 3 9 Mobilitas Tidak mampu
Berjalan dengan menggunakan kursi roda Berjalan dengan bantuan 1 orang
Mandiri (meskipun memakai alat bantu seperti tongkat)
0 1 2 3
10 Naik
turun tangga
Tidak mampu
Membutuhkan bantuan atau alat bantu Mandiri
0 1 2
Interpretasi hasil : ≥20 : Mandiri, 12-19 : Ketergantungan Ringan , 11-9 : Ketergantungan Sedang, 5-8 :Ketergantungan Berat, 0-4: Ketergantungan Total
2) Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)
Hamilton depression rating scale atau HDRS merupakan salah satu dari instrumen yang digunakan untuk menilai tingkat depresi. suatu skala pengukuran depresi terdiri dari 23 item pernyataan dengan fokus primer pada gejala somatik dan penilaian dilakukan oleh pemeriksa. Skala HDRS itu sendiri telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi untuk melakukan pengukuran depresi pada penelitian trial clinic yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran pada tingkat depresi dengan menggunakan skala HDRS akan diperoleh hasil yang valid dan reliable. (Berg, 2009). Selain itu berdasarkan pada penelitian yang dilakukan pada penderita depresi berat sebanyak 482 sampel didapatkan bahwa Hamilton Depression Rating Scale sangat relevan dan efisien digunakan dalam pengukuran depresi serta memiliki nilai konsistensi interval moderat