• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.5 Anestesi Epidural

2.5.6 Efek fisiologis 1.Blokade neural 1.Blokade neural

Penyuntikan anestetik lokal dalam ruang epidural bereaksi secara langsung pada akar saraf yang berlokasi pada bagian lateral ruang epidural, akar saraf ini ditutupi oleh lapisan duramater dan selanjutnya memasuki CSS setelah menembus duramater. Onset blok lebih lambat dari anestesi spinal dan intensitas blok sensorik dan motorik sangat kurang. analgesia menjalar secara segmental dan blokade selektif dapat dicapai.

2. Kardiovaskuler

Hipotensi akibat blokade simpatik adalah sama pada anestesi spinal. Hanya efeknya lebih lambat dari analgesia spinal. Dosis yang besar dari anestesi lokal yang digunakan dapat diabsorbsi secara sistemik, diikuti oleh terjadinya depresi miokard. Epinefrin yang ditambahkan pada anestesi lokal dapat diabsorbsi dan memberikan efek takikardia dan hipertensi.

3. Anestesi epidural mengurangi terjadinya thrombosis vena dan embolisme pulmoner pada pembedahan ortopedi. Hal ini mungkin akibat peningkatan perfusi ekstremitas inferior. Selanjutnya terdapat kecenderungan terjadinya penurunan koagulasi, penurunan agregasi platelet dan perbaikan fungsi fibrinolitik sepanjang anestesi epidural.

4. Respirasi. Pada daerah yang lebih rendah tidak memberikan efek pada ventilasi. Makin tinggi blok pada daerah thoraks, paralisis otot interkostal

28

makin tinggi. Apneu yang terjadi mungkin menunjukkan paralysis iskemia pada pusat ventilasi di medulla spinalis akibat hipotensi yang diikuti dengan penurunan aliran darah serebral.

5. Gastrointestinal. Pengaruh simpatik pada saluran cerna (T5-L1) adalah menurunnya peristaltik, mempertahankan tonus otot spingter dan melawan kerja nervus vagus. Dengan blok simpapatik, kerja nervus vagus yang dominan, menyebabkan peningkatan peristaltik, sehingga dapat terjadi mual dan muntah. Pengosongan lambung tidak dipengaruhi, jarang terjadi distensi lambung dan usus selama operasi.

6. Hati. Aliran darah ke hati menurun dengan menurunnya tekanan darah arteri. Namun demikian, karena hati mengambil oksigen dari aliran darah arteri yang masuk ke hati, sehingga tidak terjadi iskemia. Enzim-enzim hati tidak dipengaruhi.

7. Traktus urinarius. Kecuali selama terjadi hipotensi, aliran darah ginjal dipertahankan selama blok sentral oleh autoregulasi. Oleh karena itu, produksi urine tidak dipengaruhi. Tonus otot buli-buli menurun dan terjadi retensi urine akut .

8. Metabolik dan endokrin. Nyeri dan pembedahan menyebabkan aktifitas simpatik yang menghasilkan respons hormonal dan metabolik. Katekolamin dikeluarkan dari medulla adrenal. Blokade simpatik pada T5 menghambat baik bagian komponen neural pada stresrespons. Selanjutnya memblok afferen simpatik medulla adrenal maupun blokade jalur simpatik dan somatik

29

yang membawa nyeri. Menyebabkan menurunnya tekanan darah, stres myocardial dan hiperglikemia.

9. Termoregulasi. Vasodilatasi pada ekstremitass bawah merupakan predisposisi terjadinya hypothermia, terutamaa jika tungkai bawah terbuka.

2.6 Parecoxib

2.6.1 Farmakokinetik

Parecoxib adalah jenis obat dalam sediaan injeksi yang larut air. Beredar dipasaran dengan merk dagang Dynastat™ dalam kemasan 20 mg dan 40 mg. Obat ini merupakan prodrug dari valdecoxib, suatu generasi kedua dari COX-2 inhibitor selektif. Konversi secara cepat di hepar oleh enzim hidrolisis menjadi bentuk aktif yaitu valdecoxib. Metabolitnya juga merupakan COX-2 inhibitor selektif yang lemah, yang selanjutnya dimetabolisme oleh jalur non-cytochrome P-450 menjadi metabolit glukoronide, dan di ekresi melalui ginjal (Cheer dkk. 2001).

Sebelumnya telah disebutkan bahwa COX bertanggung jawab terhadap sintesa prostaglandin. Terbagi atas 2 bentuk isoform yaitu COX-1 dan COX-2. COX-2 adalah bentuk isoform yang diinduksi oleh sitokin proinflamasi dan paling berperan pada sintesa prostanoid yang merupakan mediator nyeri inflamasi dan demam. Pada dosis terapeutik bekerja menghambat secara selektif COX-2 baik di sentral maupun perifer. Pemberian dosis 40 mg iv akan memberikan efek analgesia dalam waktu 7-13 menit namun efek analgesia klinis terlihat dalam kurun waktu 23-29 menit dan mencapai puncak efek setelah 2 jam paska

30

pemberian. Memiliki waktu paruh 8 jam dan akan memanjang jika ada gangguan fungsi hepar. Ikatan dengan protein sangat tinggi yaitu hingga 98% (Padi dkk. 2004).

Parecoxib adalah pro-drug tak aktif yang diberikan secara parenteral yang mengalami hidrolisis amida cepat in-vivo menjadi penghambat COX-2 yang aktif secara farmakologis (Ibrahim dkk. 2002). Valdecoxib dimetabolisme primer menjadi 1-hidroksivaldecoxib oleh enzim sitokrom P450 hepar. Karena parecoxib dan valdecoxib keduanya merupakan inhibitor P450, maka ada potensi bahwa penghambat COX-2 ini menghambat metabolisme obat lain. Efek menguntungkan penghambat COX-2 menyebabkan penggunaan luas obat ini untuk berbagai indikasi terutama untuk kondisi yang berkaitan dengan inflamasi dan nyeri.

A

Gambar 2.7 Struktur kimia parecoxib (Dikutip dari Ibrahim dkk., 2002. Effects of parecoxib, a parenteral COX-2-spesific inhibitor, on the pharmacokinetics and the pharmacodynamics of propofol. Anesthesiology 2002;96(1);88-95)

2.6.2 Farmakodinamik

Efektifitas penghambat COX-2 selektif (coxibs) secara umum ditujukan pada penghambatan enzim siklooksigenase yang merubah asam arakidonat (sejenis

31

lipid yang merupakan turunan dari membrane fosfolipid) menjadi zat peradangan prostaglandin. Enzim fosfolipase A2 membebaskan asam lemak bebas dari membran fosfolipid dan mengatur alur ketersediaan dari asam arakhidonat untuk pembentukan prostaglandin. Prostaglandin E2 (PGE2) secara bermakna meningkatkan nyeri yang dihasilkan oleh mediator perangsang nyeri seperti bradikinin atau histamin (Simmons dkk, 2004). PGE2 memberikan kontribusi kepada sensitisasi perifer dan hiperalgesia dengan cara berikatan pada reseptor protein-g berpasangan yang mana meningkatkan level dari cAMP pada nosiseptor. Peradangan perifer dimediasi melalui IL1β saraf spinal, perangsangan COX-2, peningkatan PGE2 saraf spinal.PGE2 berinteraksi dengan reseptor pada terminal sentral dari nosiseptor dan menghasilkan sensitisasi sentral. Perangsangan PGE2 pada reseptor prostaglandin pada dorsal horn, meningkatkan pembukaan dari saluran NMDA, penguatan efek eksitasi dari efek glutamat. Hal ini menjelaskan bahwa penghambat COX memperkuat efek penghilang nyerinya dengan cara memodulasi nosisepsi baik pada perifer maupun pada daerah sentral (Svennson dan Yaksh, 2002). Juga terdapat bukti yang kuat untuk efek peran pronosiseptif dari PGI2 pada nyeri inflamasi (Zeilhofer dan Brune, 2006). Produksi PGI2 yang dikatalisasi oleh COX-1 kelihatannya ikut berperan pada nyeri peritoneal (Simmons dkk. 2004). Juga COX-1 meningkat pada saraf spinal setelah trauma perifer (Zhu dkk. 2005).

Obat anti inflamasi non steroid menghambat siklooksigenase pada perifer dan sentral (Zhu dkk. 2005), begitu juga halnya terhadap COX-2 pada sistem saraf pusat (SSP), dan secara perifer di jaringan yang terluka dan meradang. Obat-obat

32

golongan coxib akan secara selektif menghambat COX-2 di jaringan perifer dan di SSP. Golongan coxib juga menghambat inducible nitric oxide synthase (iNOS), nitric oxide (NO) yang bertugas sebagai mediator inflamasi dan juga molekul sinyal intraselular yang terlibat dalam sensitisasi dari sel saraf (Fermor dkk, 2002). Inhibisi dari COX-2 menurunkan stimulasi PGE2 dari prostaglandin reseptor di kornu posterior dan oleh sebab itu menurunkan pembukaan jalur NMDA dan efek eksitasi dari glutamat (Svennson dan Yaksh, 2002).

Penghambat COX-2 berguna dalam manajemen pasien yang mengalami nyeri yang disebabkan oleh osteoartritis, artritis reumatoid, gout akut, dan dismenore. Efikasi penghambat COX-2 untuk nyeri dental sudah terbukti. Nyeri berasosiasi dengan kondisi muskuloskeletal dapat diobati secara efektif oleh penghambat COX-2 (White, 2002). Analgesia pascabedah yang dihasilkan oleh penghambat COX-2 mirip dengan OAINS non selektif konvensional (Gilron dkk. 2003). Keuntungan primer penghambat COX-2 bila dibandingkan dengan OAINS non-selektif adalah tidak adanya efek pada fungsi platelet dan perdarahan sehingga memungkinkan untuk diberikan preoperatif dan paska operatif. Terlebih lagi, penghambat COX-2 dapat digunakan (berdasarkan data pengobatn kronis pada pasien artritis) untuk pasien dengan riwayat gastritis atau ulkus lambung yang tidak dapat menerima OAINS konvensional. Penghambat COX-2 dapat menjadi alternatif yang lebih aman dari OAINS non-selektif karena dapat ditoleransi oleh pasien asma.Insidensi efek samping gastrointestinal (ulkus lambung dan duodenum) menurun sekitar 50% pada pasien yang diterapi dengan penghambat selektif COX-2 (Bombardier, 2002). Penghambat COX-2 tidak memiliki efek

33

pada agregasi platelet, waktu perdarahan atau kehilangan darah pascabedah. Resiko terjadinya episode trombotik atau infark miokard dapat meningkat pada pasien yang mendapat terapi penghambat COX-2 (Mukherjee dkk, 2001). Hal ini mungkin karena inhibitor COX-2 selektif menekan prostaglandin I2 (vasoprotektif) tanpa mempengaruhi tromboksan A2 (prokoagulan). Prostaglandin memodulasi tekanan darah sistemik dengan berdasarkan pada efek terhadap tonus vaskular dalam otot polos arteriolar dan kontrol terhadap volume cairan ekstraselular.

Penggunaan penghambat selektif COX-2 secara luas pada kasus perioperatif, tidak menemukan komplikasi renal dan kardiovaskular pada penggunaannya secara singkat pada pasien dengan kasus bedah non kardiak pada pasien sehat. Tetapi, pada pasien bedah kardiak, walaupun digunakan secara singkat, penggunaan coxib meningkatkan resiko dari komplikasi yang ada (Nusmeier dkk, 2005). Reaksi alergi pada senyawa sulfonamida adalah kontraindikasi pada beberapa coxib yang mengandung senyawa sulfonamida (celecoxib dan valdecoxib). Reaksi alergi pada bidang dermatologis yang serius terjadi pada pemberian regimen ini pada individu yang sesuai (Marques dkk, 2004).

34

Gambar 2.8 Produksi dan jalur prostaglandin dan tromboxan (diikutip dari: Fitzgerald GA, Patrono C. The Coxibs, selective inhibitors of cyclooxygenase-2. N Engl J Med 2001; 345(6): 433-40.)

Dokumen terkait