• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALGESIA PREVENTIF PARECOXIB 40 MG INTRAVENA MENEKAN PENINGKATAN KADAR CREACTIVE PROTEIN DAN LEUKOSIT PASCABEDAH EKSTREMITAS BAWAH DENGAN ANESTESI EPIDURAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALGESIA PREVENTIF PARECOXIB 40 MG INTRAVENA MENEKAN PENINGKATAN KADAR CREACTIVE PROTEIN DAN LEUKOSIT PASCABEDAH EKSTREMITAS BAWAH DENGAN ANESTESI EPIDURAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR."

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

ANALGESIA PREVENTIF PARECOXIB 40 MG

INTRAVENA MENEKAN PENINGKATAN KADAR

C-REACTIVE PROTEIN

DAN LEUKOSIT PASCABEDAH

EKSTREMITAS BAWAH DENGAN ANESTESI

EPIDURAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR

HAPPY ROSYALYNDA NIM 1114108206

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

ANALGESIA PREVENTIF PARECOXIB 40 MG

INTRAVENA MENEKAN PENINGKATAN KADAR

C-REACTIVE PROTEIN

DAN LEUKOSIT PASCABEDAH

EKSTREMITAS BAWAH DENGAN ANESTESI

EPIDURAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

HAPPY ROSYALYNDA NIM 1114108206

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 20 APRIL 2016

Pembimbing I,

dr. I G.P. Sukrana Sidemen, Sp.An, KAR NIP. 19620713 198803 1 004

Pembimbing II,

dr. I M.G.Widnyana,Sp.An.M.Kes.,KAR NIP.19720201 200801 1 017

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP. 19580521 198503 1 002

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

(4)

iv

Tesis ini Telah Diuji Pada Tanggal 19 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,

No: 1602/UN14.4/HK/2016 Tertanggal 15 April 2016

Ketua: dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, Sp.An.,KAR

Anggota: dr. I Made Gede Widnyana, Sp.An, M.Kes, KAR Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC, KAODr. dr. I Putu

(5)
(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

Rahmat -Nya maka tesis ini dapat diselesaikan.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen,

Sp.An, KAR dan dr. I Made Gede Widnyana, Sp.An, KAR, M.Kes selaku

pembimbing tesis, dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid selaku pembimbing

statistik, atas bimbingan, dukungan, tuntunan, dan saran dengan penuh kesabaran dan

perhatian dalam penyusunan tesis ini.

Kepada Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, Sp.An, KMN, KNA, M.Kes, selaku

pembimbing akademis, penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan, dukungan

semangat, pengajaran, pencerahan rohani, dan masukan saran selama menjalani

proses pendidikan.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan atas kesempatan, bimbingan, dukungan,

fasilitas dalam mengikuti dan menyelesaikan pendidikan ini kepada Prof. Dr. dr.

Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD selaku Rektor Universitas Udayana (Unud); Prof. Dr.

dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Unud;

dr. I Nyoman Semadi, Sp.B, Sp.BTKV selaku Ketua Tim Koordinasi Pelaksanaan

Program Pendidikan Dokter Spesialis I FK Unud; dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes

selaku Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar; Prof.

Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Direktur Program Pascasarjana

Unud; Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK selaku Ketua Program

Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Unud; dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC

(7)

vii

Sanglah Denpasar; dr. Ida Bagus Gde Sujana, Sp.An, M.Si selaku Sekretaris

Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar;

Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC, KAO selaku Ketua Program Studi Ilmu

Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud; dr. I Made Gede Widnyana, Sp.An, KAR,

M.Kes selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FK Unud.

Kepada seluruh Guru: dr. I Wayan Sukra, Sp.An, KIC; dr. Ida Bagus Gde

Parami, Sp.An, MARS; dr. I Putu Kurniyanta, Sp.An; dr. Kadek Agus Heryana Putra,

Sp.An; dr. Cynthia Dewi Sinardja, Sp.An, MARS; dr. I Made Agus Kresna Sucandra,

Sp.An; dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, Sp.An, M.Kes; dr. Tjahya Aryasa E. M.,

Sp.An; penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan penghargaan atas

bimbingan, dukungan, tuntunan selama mengikuti pendidikan dan menyelesaikan

tesis ini.

Terimakasih kepada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Badan

Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan atasdukungan

finansial berupa beasiswa PPDS BK selama penulis menjalani pendidikan sehingga

meringankan beban penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada seluruh teman sejawat residen anestesi FK Unud, terutama rekan

(8)

viii

Peregrinus Adithira Prajogi, dr. Marilaeta Cindryani, dr. Elisma Nainggolan, dan dr.

Andi Kusuma Wijaya, penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan dan

kebersamaan yang telah kita jalani.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada staf pegawai di lingkungan

Bagian/SMF dan Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar atas

bantuan dan dukungan selama menjalani pendidikan.

Ucapan terimakasih kepada orangtua penulis, Bapak Drs. H. Ibnu Hadjar (Alm.)

dan Ibu Hj. Azizah Sp.Pd yang telah mengasuh, membesarkan, mengajarkan, dan

mendidik penulis hingga saat ini. Kepada suami tercinta I Gede Diatmika SE., dan

anak-anak terkasih Ni Putu Aishwarya Devi, I Made Bijanatha, Ni Nyoman Cening

Gitayani, terimakasih atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan untuk

menyelesaikan pendidikan dan tesis ini. Kepada saudara penulis Ir. Ikhwan

Hermasnyah Sp.Pd, Ifrans Hendra Sp.Pd, Susi Herlynda SE.MM, Indra Noverlyna

ST, Ida Eva Sari SE, Lynda Kurnia Sari SE. Akt, Terimakasih atas dukungannya

selama ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya

kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menjalani pendidikan dan

menyelesaikan tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.

Denpasar, April 2016

(9)

ix ABSTRAK

ANALGESIA PREVENTIF PARECOXIB 40 MG INTRAVENA MENEKAN KADAR C-REACTIVE PROTEIN DAN LEUKOSIT

PASCABEDAH EKSTREMITAS BAWAH DENGAN ANESTESI EPIDURAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Analgesia preventif menghasilkan efek yang positif dibandingkan preemtif. Hal ini menggambarkan bahwa pencegahan yang menyeluruh terhadap sensitisasi memiliki klinis yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian preventif analgesia parecoxib 40 mg iv pada operasi ekstremitas bawah dengan anestesi epidural dapat menekan peningkatan kadar CRP dan leukosit pascabedah.

Sebanyak 36 sampel yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik konsekutif. Sampel penelitian adalah pasien yang akan menjalani pembedahan ekstermitas bawah dengan status fisik ASA I dan II, yang dibagi secara acak ke dalam 2 kelompok. Kelompok 1 yang mendapatkan perlakuan dengan parecoxib 40 mg iv dan kelompok 2 yang menggunakan larutan NaCl 0,9 %. Sampel darah CRP dan Leukosit diambil pada 30 menit sebelum teknik anestesi epidural dilakukan dan 24 jam pascabedah. Normalitas karakteristik sampel diuji dengan menggunakan Shapiro-Wilk dan homogenitas data menggunakan Lavene’test. Analisis hasil menggunakan uji t independen dan Mann-Whitney dengan tingkat kemaknaan p ≤ 0,05. Data diolah menggunakan software SPSS 20.0.

Kadar CRP dan leukosit prabedah tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok perlakuan (p > 0,05). Pascabedah kadar CRP dan leukosit meningkat pada kedua kelompok, namun kadar CRP dan leukosit pascabedah pada kelompok

parecoxib lebih rendah daripada kelompok plasebo (p ≤ 0,05).

Disimpulkan analgesia preventif parecoxib 40 mg iv efektif menekan peningkatan kadar CRP dan leukosit pascabedah.

(10)

x ABSTRACT

INTRAVENOUS PARECOXIB 40 MG AS PREVENTIVE ANALGESIA ATTENUATE C-REACTIVE PROTEIN AND LEUCOCYTE LEVEL IN POSTOPERATIVE LOWER EXTREMITY SURGERY WITH EPIDURAL

ANESTHESIA AT SANGLAH HOSPITAL DENPASAR

Preventive analgesia more often produce positive effects than preemptive. This means that comprehensive prevention of sensitization have better clinical. This study impact aims to determine that administration of intravenous parecoxib 40 mg as preventive analgesia attenuate elevated c-reactive protein and leucocyte level in postoperative lower extremity surgery with epidural anesthesia at sanglah hospital.

A total of 36 subject were included in this study. Patient who will undergoing lower extremity surgery with ASA physical status I and II, were divided randomly into two groups. Group 1 receive parecoxib 40 mg iv and group 2 receive NaCl 0.9% intavenous. Test of data were tested using the Shapiro-Wilk and homogeneity test of were tested using Lavene'test. Statistic analysis were using independent t test and Mann-Whitney test with significance level of p < 0.05. The data were processed using SPSS 20.0 software.

Preoperative CRP and leucocyte levels did not significantly in both treatment groups (p> 0.05). Postoperative CRP and leucocytes levels increased in both groups, but the levels of CRP and leukocyte postoperative the parecoxib group is

lower than the placebo group (p ≤ 0.05).

We concluded that preventive analgesia with parecoxib 40 mg iv effective attenuate elevated postoperative CRP and leucocyte levels.

(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... …. 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat akademis ……….5

(12)

xii BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ekstermitas Bawah ... 7

2.1.1 Pelvis ……… 7

2.1.2 Femur ………... 7

2.1.3 Tibia ……….. 8

2.1.4 Fibula ……… 8

2.1.5 Tarsal ………. 8

2.1.6 Metatarsal ……….. 8

2.1.7 Phalangs ………..9

2.2 Analgesia Preventif ... 9

2.3 C-Reactive Protein ... 11

2.4 Leukosit ... 13

2.5 Anestesi Epidural ... 15

2.5.1 Anatomi ruang epidural ………... 16

2.5.2 Kontraindikasi teknik epidural ………. 17 2.5.3 Teknik pemasangan epidural ……… 18

2.5.4 Komplikasi ……… 22

2.5.5 Mekanisme kerja ……… 23

2.5.6 Efek fisiologis ………... 27

2.6 Parecoxib ... …. 29

2.6.1 Farmakokinetik ………... 29

(13)

xiii

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir ... 35

3.2 Kerangka Konsep ... 37

3.3 Hipotesis ... 38

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 39

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

4.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 41

4.4 Penentuan Sumber Data ... 41

4.4.1 Populasi target ………. 41

4.4.2 Populasi terjangkau ……….. 41

4.5 Sampel ... 41

4.5.1 Kriteria eligibilitas ……… 42

4.5.1.1 Kriteria inklusi ………. 42

4.5.1.2 Kriteria eksklusi ……… 42

4.5.1.3 Kriteria drop out ……… 42

4.5.2 Tehnik pengambilan sampel ……….. 43

4.5.3 Perhitungan besar sampel ………. 43

4.6 Tehnik Penyamaran ... 44

4.7 Variabel Penelitian ... 45

4.8 Definisi Operasional ... 45

(14)

xiv

4.10 Alur Penelitian ... 49

4.11 Prosedur Penelitian ... 50

4.12 Persiapan Penelitian ... 52

4.13 Pelaksanaan Penelitian ... 52

4.14 Tehnik Pengolahan Data ... 52

4.14.1 Analisis statistik deskriptif ……… 52

4.14.2 Uji normalitas data ……….. 53

4.14.3 Uji homogenitas data ……….. 53

4.14.4 Analisa perbedaan mean ……….. 53

4.15 Etika Penelitian ... 54

BAB V HASIL PENELITIAN ... 55

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ……….. 55

5.2 Hasil Analisis Kadar C-Reactive Protein ………. 57

5.3 Hasil Analisis Kadar Leukosit ………. 58

BAB VI PEMBAHASAN ... 60

6.1 Perbandingan Kadar C-Reactive Protein………. 62

6.2 Perbandingan Kadar Leukosit ………. 64

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

7.1 Kesimpulan ………. 68

7.2 Saran ………... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 5.1 Gambaran karakteristik subyek berdasarkan kelompok perlakuan…. 56 Tabel 5.2 Kadar CRP prabedah dan pascabedah berdasarkan kelompok

perlakuan ...……… 57 Tabel 5.3 Kadar leukosit prabedah dan pascabedah berdasarkan kelompok

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi ekstermitas bawah ... 9

Gambar 2.2 Perbandingan cara pemberian analgesia. ... 10

Gambar 2.3 C-Reactive Protein sebagai penanda reaksi inflamasi ... 13

Gambar 2.4 Anatomi ruang epidural ... 17

Gambar 2.5 Teknik loss of resistance ... 19

Gambar 2.6 Tehnik hanging drop ... 20

Gambar 2.7 Struktur kimia Parecoxib ... 30

Gambar 2.8 Produksi dan jalur prostaglandin dan tromboxan ... 34

Gambar 3.1 Kerangka kosep ... 37

Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian ... 40

(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

ACTH : Adrenocorticotropin Hormon

ASA : American Society of Anesthesiologist

BB : Berat Badan

HPA : Hypophisis-Pituary-Adrenal IL : Interleukin

NS : Nociceptive-specifiic

(18)

xviii PGE2 : Prostaglandin E2

PGI2 : Prostasiklin

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat SD : Standar Deviasi

SIM : Surat izin mengemudi

SMP : Sympathetically Maintained Pain SSP : Sistem Saraf Pusat

TB : Tinggi Badan

(19)

xix

Lampiran 1. Keterangan kelaikan etik ... 72

Lampiran 2. Surat izin penelitian ... 73

Lampiran 3. Penjelasan dan informasi penelitian ... 74

Lampiran 4. Surat pernyataan persetujuan uji klinik ... 75

Lampiran 5. Lembar penelitian ... 76

Lampiran 6. Lembar hasil evaluasi ... 79

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.Sesuai dengan anatominya, pembedahan ekstremitas bawah terdiri atas pembedahan tulang pelvis, femur, tibia, fibula, tarsal, metatarsal, dan tulang-tulang phalangs.

Inflamasi adalah respons proteksi setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Respons inflamasi berkaitan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi biomarker inflamasi c-reactive protein (CRP), tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin

1β(IL-1β), interleukin 6(IL-6), reseptor-reseptor leukosit dan nyeri hebat.

Pembedahan akan menimbulkan responsstres pada tubuh pasien. Respons stres terdiri dari dua komponen utama, yaitu sitokin dan respons neuroendokrin. Sitokin utama yang dilepaskan adalah TNF-α, IL-1β,IL-6. Interleukin 6 merupakan sitokin utama yang bertanggungjawab dalam menginduksi perubahan sistemik yang dikenal dengan respons fase akut. Salah satu dari respons fase akut adalah produksi protein fase akut oleh hepar, yaitu c-reactive protein (CRP), fibrinogen,

α2 makroglobulin. Peningkatan kadar CRP dalam serum akan mengikuti

(21)

2

mengarah pada aktivasi respons stres neuroendokrin akan berperan pada efek samping luaran perioperatif. Terdapat dua bentuk input dari jaringan inflamasi ke SSP. Pertama, dimediasi oleh aktivitas elektrik dalam serabut saraf yang tersensitisasi. Kedua, respons humoral yang berasal dari jaringan inflamasi, pelepasan sitokin setelah 2–4 jam akan ditemukan dalam cairan serebrospinal dan juga akan bekerja pada neuron susunan saraf pusat yang berperan pada signal interneuron, neuroimun, dan regulator imun di asrosit akhirnya menginduksi COX-2 dan prostaglandin. Input ini tidak terpengaruh oleh anestesi regional serta hanya dapat dihambat dengan inhibitor COX-2 yang bekerja sentral (Reuben, S. & Buvanendran, A. 2009).

(22)

3

dengan sifat vasodilatasi. Hasil pelepasan berbagai mediator tersebut adalah mengendurkan sel-sel endotel, peningkatan adhesi monosit dan keluarnya sel-sel jaringan sekitar untuk memakan mikroba. Sel endotel mengkerut bila terjadi inflamasi, sehingga molekul besar dapat melewati dinding vaskuler (Effendi Z, 2003).

Anestesi epidural merupakan teknik anestesi yang menempatkan obat anestesi lokal di dalam ruang epidural. Blokade epidural dapat menekan respons adrenocorticotropin hormone (ACTH) serta kortisol plasma, dan efek blokade neuroendokrin. Hal ini memperlihatkan input neural yang berasal dari luka operasi penting di dalam mekanisme aktivasi aksis hypophisis-pituary-adrenal (HPA) di tingkat otak, hipofisis, dan kelenjar adrenal (Kawasaki dkk. 2007). Samad dkk. (2002), melalui penelitiannya menyatakan bahwa, epidural hanya dapat menghambat jalur neural dan tidak dapat menghambat jalur humoral.

(23)

4

melaporkan bahwa cara analgesia preventif menghasilkan efek yang positif lebih sering dibandingkan preemtif. Hal ini menggambarkan bahwa pencegahan yang menyeluruh terhadap sensitisasi (tidak hanya dari luka sayatan tetapi juga karena trauma inflamasi) memiliki klinis yang lebih baik. Seiring dengan dipahaminya bahwa sensitisasi sentral tidak hanya berkaitan dengan nyeri saat dilakukan insisi, melainkan juga berkaitan dengan luka selama operasi dan inflamasi pascabedah. Fokus perhatian dialihkan dari masalah waktu pemberian analgesia ke konsep pencegahan (analgesia preventif). Analgesia preventif bertujuan menghambat induksi dari sensitisasi sentral sehingga menurunkan intensitas nyeri dan mengurangi kebutuhan analgetik. Efektifitas preventif multimodal analgesia tidak hanya bermanfaat dalam menurunkan nyeri akut namun dapat mencegah nyeri kronik paska bedah (Reuben dkk. 2009). Konsep daripada analgesia preventif sebenarnya adalah mencegah terjadinya nyeri pascabedah, dimana nyeri kronik yang persisten bisa terjadi pada 10-50% kasus yang tidak mendapat adekuat analgetik setelah operasi. Diharapkan melalui pemberian analgetik secara menyeluruh sebelum nyeri timbul dan sesudah operasi, maka dapat mengurangi intensitas dan durasi nyeri pada nyeri akut paska operasi, yang pada akhirnya mencegah timbulnya nyeri persisten.

(24)

5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian singkat dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah pemberian analgesia preventif parecoxib 40 mg iv pada operasi ekstremitas bawah dengan anestesi epidural dapat menekan peningkatan kadar CRP pascabedah.

2. Apakah pemberian analgesia preventif parecoxib 40 mg iv pada operasi ekstremitas bawah dengan anestesi epidural dapat menekan peningkatan kadar leukosit pascabedah.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah pemberian analgesia preventif parecoxib 40 mg iv pada operasi ekstremitas bawah dengan anestesi epidural dapat menekan peningkatan kadar CRP pascabedah.

2. Untuk mengetahui apakah pemberian analgesia preventif parecoxib 40 mg iv pada operasi ekstremitas bawah dengan anestesi epidural dapat menekan peningkatan kadar leukosit pascabedah.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

(25)

6

2. Penelitian ini dapat memberikan penjelasan ilmiah mengenai penggunaan parecoxib 40 mg iv sebagai analgesia preventif pada operasi ekstremitas bawah dengan anestesi epidural dapat menekan peningkatan kadar CRP dan leukosit pascabedah.

1.4.2 Manfaat praktis

(26)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ekstremitas Bawah

Anatomi ekstremitas bawah terdiri atas tulang pelvis, femur, tibia, fibula, tarsal, metatarsal, dan tulang-tulang phalangs.

2.1.1 Pelvis

Pelvis terdiri dari sepasang tulang panggul (hip bone) yang merupakan tulang pipih. Tulang pinggul terdiri atas 3 bagian utama yaitu ilium, pubis dan ischium. Ilium terletak di bagian superior dan membentuk artikulasi dengan vertebra sakrum, ischium terletak di bagian inferior-posterior, dan pubis terletak di bagian inferior-anterior-medial. Bagian ujung ilium disebut sebagai puncak iliac (iliac crest). Pertemuan antara pubis dari pinggul kiri dan pinggul kanan disebut simfisis

pubis. Terdapat suatu cekungan di bagian pertemuan ilium-ischium-pubis disebut acetabulum, fungsinya adalah untuk artikulasi dengan tulang femur.

2.1.2 Femur

(27)

8

2.1.3 Tibia

Tibia merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih medial dibanding dengan fibula. Di bagian proksimal, tibia memiliki condyle medial dan lateral di mana keduanya merupakan facies untuk artikulasi dengan condyle femur. Terdapat juga facies untuk berartikulasi dengan kepala fibula di sisi lateral. Selain itu, tibia memiliki tuberositas untuk perlekatan ligamen. Di daerah distal tibia membentuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal dan malleolus medial.

2.1.4 Fibula

Fibula merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih lateral dibanding dengan tibia. Di bagian proksimal, fibula berartikulasi dengan tibia. Sedangkan di bagian distal, fibula membentuk malleolus lateral dan facies untuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal.

2.1.5 Tarsal

Tarsal merupakan 7 tulang yang membentuk artikulasi dengan fibula dan di proksimal dan dengan metatarsal di distal.Terdapat 7 tulang tarsal, yaitu calcaneus (berperan sebagai tulang penyanggah berdiri), talus, cuboid, navicular, dan cuneiform (1, 2, 3).

2.1.6 Metatarsal

(28)

9

2.1.7 Phalangs

Phalangs merupakan tulang jari-jari kaki.Terdapat 2 tulang phalangs di ibu jari dan 3 phalangs di masing-masing jari sisanya. Karena tidak ada sendi pelana di ibu jari kaki, menyebabkan jari tersebut tidak sefleksibel ibu jari tangan.

Gambar 2.1 Anatomi ekxtermitas bawah

2.2 Analgesia Preventif

(29)

10

oleh input nosisepsi sebelum, selama dan setelah pembedahan sehingga pendekatan preventif bertujuan meminimalkan sensitisasi yang diinduksi oleh rangsangan perioperatif yang timbul sebelum, operasi, intraoperatif dan pasca operatif (katz dkk. 2011).

Katz (2008), baru-baru ini membandingkan outcome dari penelitian dengan pendekatan yang dirancang untuk membuktikan pencegahan hipersensitif dari nyeri. Dia melaporkan bahwa cara preventif analgesia menghasilkan efek yang positif lebih sering dibandingkan preemtif. Hal ini menggambarkan bahwa pencegahan yang menyeluruh terhadap sensitisasi (tidak disebabkan oleh luka sayatan tetapi juga karena trauma inflamasi) memiliki klinis yang lebih baik.

(30)

11

2.3 C-Reactive Protein

C-reactive protein (CRP) merupakan anggota dari protein pentraxin. Istilah

(31)

12

Sekresi meningkat kuantitasnya dalam 6 jam pada stimulus akut inflamasi. Konsentrasi plasma dapat meningkat paling sedikit 2 kali lipat tiap 8 jam dan mencapai puncak setelah 50 jam. Pada orang sehat, CRP terdapat dalam plasma dalam jumlah yang sangat kecil (±0,8 mg/L) tetapi kadarnya dapat meningkat cepat hingga 300-500 mg/L dalam waktu 48 jam saat terjadi infeksi dan inflamasi. Waktu paruh biologi CRP adalah 19 jam, yang akan berkurang hingga 50% per hari setelah stimulus fase akut dihilangkan. Konsentrasi CRP dapat kembali normal pada penyakit-penyakit inflamasi kronis seperti sistemic lupus eritematousus (SLE), dermatomiosistis, kolitis ulseratif dan leukemia.

(32)

13

Gambar 2.3 C-Reactive Protein sebagai penanda reaksi inflamasi (Rhodes, 2011)

2.4 Leukosit

Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Rata-rata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 5000-9000/mm3 (Effendi Z, 2003). Terdapat dua jenis leukosit, yaitu:

1. Agranuler:

- Limfosit: sel kecil, sitoplasma sedikit.

- Monosit: sel agak besar, mengandung sitoplasma lebih banyak. 2. Granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau eosinofil) yang dapat

(33)

14

melalui mekanisme diapedesis leukosit dapat meninggalkan kepiler dengan menerobos antara sl-sel endotel dan menembus ke dalam jaringan penyambung (Effendi Z., 2003).

Hidup sel leukosit tidak lama dan jumlahnya yang diperlukan ditempat inflamasi dipertahankan oleh infulk sel-sel baru dari persediaan di sumsum tulang. Pada infeksi akut neutrofil dalam sirkulasi dapat meningkat dengan segera, peningkatan tersebut disebabkan oleh migrasi netrofil ke sirkulasi dari sumsum tulang dan persediaan marginal intravasuler. Persediaan marginal ini merupakan sel-sel yang untuk sementara menempel pada dinding vaskuler. Komposisi leukosit adalah 45% dalam sirkulasi dan 55% marginal, atas pengaruh IL-1. TNF-α dan endotoksin leukosit dari sumsum tulang dikerahkan ke sirkulasi. Monosit

hanya memiliki persediaan sedikit dalam sumsum tulang, mobilisasi monosit ke sirkulasi memerlukan waktu yang lebih lama untuk membagi diri dari sel asalnya. Monosit pada keadaan normal mempunyai tempat pemanen di dalam jaringan berupa makrofag. Eosinofil juga disimpan sebagai persediaan dalam sumsum tulang dan marginal dalam vaskuler. Eosinofil mempunyai komponen yang prominen, terutamaa pada jaringan ikat dibawah epitel seperti saluran nafas.

(34)

15

cedera atau endotoksin yang dilepaskan mikroba menimbulkan pelepasan mediator seperti prostaglandin dan leukotrien yang meningkatkan permeabilitas vaskuler. Sel mast dapat diaktifkan oleh kerusakan jaringan dan mikroba melalui komplemen (jalur alternatif atau klasik) dan komplek IgE allergen atau neuropeptida, mediator inflamasi yang dilepas menimbulkan vasodilatasi.

Endotoksin mikroba mengaktifkan makrofag untuk melepas TNF-α dan IL-1 dengan sifat vasodilatasi. Hasil pelepasan berbagai mediator tersebut adalah mengendurkan sel-sel endotel, peningkatan adhesi monosit dan keluarnya sel-sel jaringan sekitar untuk memakan mikroba, Sel endotel mengkerut bila terjadi inflamasi, sehingga molekul besar dapat melewati dinding vaskuler.

Penyebab peningkatan jumlah leukosit didasari dua penyebab dasar yaitu. pertama merupakan reaksi yang tepat dari sumsum tulang normal terhadap stimulasi eksternal yaitu infeksi, inflamasi (nekrosis jaringan, infark, luka bakar, arthritis), stres (over exercise, kejang, kecemasan, anestesi, obat (kortikosteroid), trauma (splenektomi), anemia hemolitik. Kedua adalah efek dari kelainan sumsum tulang primer, leukemia akut, leukemia kronis, kelainan mieloproliperatif.

2.5 Anestesi Epidural

(35)

16

sebagai suatu adjuvant analgetik pada anestesi umum dan untuk analgesia pascabedah pada prosedur-prosedur operasi ekstremitas bawah, pelvis, perineum, abdomen bawah, dan mungkin saja dapat dikerjakan pada prosedur-prosedur pembedahan thorak dan abdomen atas. Kelebihan anestesi epidural adalah kemampuan untuk memelihara anestesi kontinu setelah penempatan kateter epidural, jadi membuatnya pantas untuk digunakan dalam prosedur-prosedur pembenahan yang berdurasi panjang. Anestesia epidural dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal kedalam ruang epidural di daerah lumbal atau thorakal.

Blokade epidural menghasilkan blokade sistim saraf simpatis, analgesia atau anestesia sensorik dan blokade motorik yang tergantung pada dosis, kosentrasi atau volume anestesi lokal setelah pemberian melalui jarum atau kateter ke plana neuroaksila.

2.5.1 Anatomi ruang epidural

(36)

17

berhubungan dengan pembuluh vena intracranial, karena itu obat anestesi lokal atau udara dapat langsung naik ke otak. Vena menjadi distensi pada keadaan batuk, mengedan atau gravida aterm, sehingga ruangan ini mengecil pada keadaan tersebut.

Gambar 2.4 Anatomi ruang epidural

2.5.2 Kontraindikasi teknik epidural

Kontraindikasi Absolut - Pasien menolak - Koagulopathy

- Infeksi/peradangan di derah suntikan - Peningkatan tekanan intrakranial - Syok hipovolemia berat

(37)

18

1. Posisi pasien posisi duduk atau lateral dekubitus.

2. Tusukan jarum epidural biasanya dikerjakan pada ketinggian L3-L4, karena jarak antara ligamentum flavum dan duramater pada ketinggian ini adalah yang terlebar. analgesia epidural thoracalis dapat dilakukan pada abdomen bagian atas dengan dosis analgesia lokal yang lebih kecil.

3. Jarum epidural yang digunakan ada dua macam

a. Jarum ujung tajam (Crawford). Untuk dosis tunggal.

b. Jarum ujung khusus (Tuohy). Untuk pemandu memasukkan kateter keruang epidural. Jarum ini biasanya ditandai setiap cm.

4. Metode: Baik metode dari midline maupun paramedian, jarum sebaiknya masuk keruang epidural pada midline, sebagai ruang yang paling luas dan mengurangi resiko pada penusukan vena epidural, arteri spinalis, atau akar saraf spinalis semuanya melewati bagian lateral ruang epidural.

(38)

19

a. Tehnik loss of resistance.

Tehnik ini menggunakan semprit kaca atau plastik rendah resistensi yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak ± 3 ml. Setelah diberikan anestetik lokal pada tempat suntikan, jarum epidural ditusukkan sedalam 1-2 cm . Kemudian udara atau NaCl disuntikkan perlahan-lahan secara terputus-putus (intermiten) sambil mendorong jarum epidural sampai terasa menembus jaringan keras (ligamentum flavum) yang disusul hilangnya resistensi. Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis (test dose).

Gambar 2.5Teknik loss of resistance

b. Tehnik hanging drop.

(39)

20

Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural dilakukan uji dosis (test dose).

Gambar 2.6 Tehnik hanging drop

6. Pemasangan kateter :

Kateter dimasukkan sepanjang 2-5 cm kedalam ruang epidural. Pasien dapat mengalami parastesia secara tiba-tiba yang bersifat sementara, bila keadaan ini menetap maka kateter seharusnya dicabut dari jarum. Jika kateter harus dicabut, kateter dan jarum harus dibuka bersama-sama. Jika kateter telah dimasukkan,jarum dicabut perlahan-lahan, kateter ini ditarik sampai sekitar 2-5 cm didalam ruang epidural.

7 Tes Dosis

(40)

21

dan untuk dosis berulang (kontinyu) melalui kateter. Hal ini terdiri dari 3 mlanestetik lokal dari konsentrasi yang sama untuk anestesi spinal dan mengandung 15 µg epinefrin (lidokain 1,5 % dan epinefrin 1 : 200.000 yang sering digunakan). Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum atau kateter benar.

- Jika terjadi blokade spinal, menunjukkan obat masuk keruang subarachnoid karena terlalu dalam.

- Jika terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30 %, kemungkinan obat masuk vena epidural.

8. Cara penyuntikan :

Setelah diyakini posisi jarum atau kateter benar, suntikkan anestetik lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml sampai tercapai dosis total. Suntikan terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural mendadak tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan intrakranial, nyeri kepala dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.

9. Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6ml/segmen yang tentunya bergantung pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis dikurangi sampai 50 % dan pada wanita hamil dikurangi sampai 30 % akibat pengaruh hormon dan mengecilnya ruang epidural akibat banyaknya vaskularisasi darah dalam ruang epidural.

10.Uji keberhasilan epidural.

Keberhasilan analgesia epidural :

(41)

22

b. Tentang blok sensorik dari uji tusuk jarum. c. Tentang blokade motorik dari skala bromage. 2.5.4 Komplikasi

Komplikasi analgesia epidural hampir sama dengan analgesia spinal. Ada beberapa resiko tambahan, yaitu :

1. Toksisitas anestetik lokal.

Dosis anestetik besar yang digunakan pada anestesi epidural menentukan resiko terhadap cepat dan lambatnya toksisitas. Reaksi toksisitas segera diakibatkan oleh pemberian secara langsung anestetik lokal secara intravaskuler, dan reaksi toksisitas lambat mengikuti absorbsi dari anestetik lokal. Pasien mungkin mengeluh rasa pahit pada lidah, sakit kepala berat, mendenging, irritability, kejang-kejang, hipotensi dan hilangnya kesadaran. Dengan penambahan epinefrin kedalam obat-obatan akan mengurangi absorbsi obat pada ruang epidural.

2. Punksi duramater dengan jarum besar.

Resiko sakit kepala yang mengikuti punksi duramater yang tidak hati-hati sangat besar, karena diameter jarum epidural yang digunakan lebih besar. Jika duramater dipunksi dengan jarum epidural ada empat tindakan yang dapat diambil :

(42)

23

total spinal bila disuntikkan lebih dari 7 ml obat analgesia lokal. Dosis anestetik tunggal dapat diberikan untuk membuat analgesia spinal. - Jarum dapat ditarik, dan analgesia epidural dicoba di interspace yang

lain. Dalam situasi ini dosis anestetik yang dibutuhkan lebih sedikit untuk memperoleh tingkat yang diinginkan sebab punksi duramater membiarkan anestetik lokal masuk keruang subarachnoid.

- Jarum dapat ditarik keruang epidural dan epidural kateter dilewatkan pada tempat yang sama. Jika kateter epidural ditempatkan dengan tepat mengikuti punksi duramater, profilaksis blood patch dapat dilakukan lewat kateter.

3. Trauma langsung batang spinal mungkin dapat terjadi jika injeksi epidural diatas L2.

4. Perdarahan terbuka, perforasi pada satu vena epidural oleh jarum akan mengakibatkan perdarahan tiba-tiba. Jarum seharusnya dibuka dan direposisi pada interspace yang berbeda.

2.5.5 Mekanisme kerja

Anestesi lokal yang ditempatkan pada epidural lumbal atau ruang sacral kaudal menyebabkan terjadinya anestesi epidural melalui mekanisme :

(43)

24

2. Anestesi lokal juga berdifusi kedalam area paravertebral melalui foramina intervertebralis menyebabkan terjadinya blok saraf paravertebralis multipel.

Proses difusi lambat ini berlangsung 15 sampai 30 menit yang menunda terjadinya onset anestesi sensoris setelah pemberian anestesi lokal pada ruang epidural. Intensitas blok sensorik dan motorik sangat kurang dan analgesia menjalar secara segmental dan blokade selektif dapat tercapai. 3. Penelitian pelacak radioaktif menunjukkan bahwa anestesi lokal pada

subarachnoid dan epidural bereaksi secara tepat di tempat yang sama, yaitu kornu spinalis, kumpulan saraf spinal dan permukaan korda spinalis pada kedalaman 1 mm atau lebih, tergantung pada kelarutan lemak dari suatu anestesi lokal.

4. Keuntungannya adalah bahwa pada analgesia epidural secara fisik duramater tidak ditembus oleh jarum, maka sakit kepala akibat dari kebocoran cairan serebrospinalis tidak terjadi dan bahaya meningitis juga dikurangi.

(44)

25

6. Perbedaan lain dari anestesi spinal adalah lebih besarnya dosis yang dibutuhkan untuk anestesi epidural sehingga terjadi absorbsi sistemik anestesi lokal yang lebih substansial.

7. Penentuan level blokade epidural dapat berbeda-beda tergantung dari : a. Volume anestetik lokal. Untuk induksi blokade digunakan dosis

maksimal 1,6 ml anestetik lokal persegmen sampai setinggi segmen yang diinginkan. Pasien umur tua, pasien hamil, dan pasien dengan tekanan intra abdominal yang meningkat diperlukan volume anestetik lokal lebih sedikit untuk mencapai distribusi yang diinginkan.

b. Kecepatan injeksi. Injeksi yang cepat menghasilkan blok yang kurang dibanding yang lambat, injeksi bertahap kira-kira 0,5 ml/detik. c. Posisi pasien. Pasien duduk tegak dapat menyebabkan penyebaran

blokade kearah kaudal lebih besar.

(45)

26

8. Obat-obat untuk anestesi epidural. a. Anestetik lokal.

Pilihan obat anestetik lokal untuk analgesia epidural ditentukan oleh lamanya prosedur operasi dan intensitas blok motorik yang dikehendaki.

- Lidokain. sering dipergunakan untuk anestesi epidural karena memiliki kemampuan difusi yang bagus melalui jaringan. Umumnya digunakan 1-2 %, dengan mula kerja 10 menit dan relaksasi otot baik. Satu persen blokade sensorik baik tanpa blokade motorik. Satu setengah persen lazim digunakan untuk pembedahan. Dua persen untuk relaksasi blokade motorik.

- Bupivakain sering dipilih jika diperlukan anestesi epidural yang lebih lama, tapi tidak bisa digunakan pada prosedur yang membutuhkan blok motoris (relaksasi) untuk setiap blok sensorik. Konsentrasi 0,5 % tanpa epinefrin, analgesianya > 180 menit. Volume yang digunakan < 20 ml.

b. Epinefrin

(46)

27

akan membentuk efek beta adrenergik, penurunan tahanan pembuluh darah dan peningkatan denyut jantung.

2.5.6 Efek fisiologis

1. Blokade neural

Penyuntikan anestetik lokal dalam ruang epidural bereaksi secara langsung pada akar saraf yang berlokasi pada bagian lateral ruang epidural, akar saraf ini ditutupi oleh lapisan duramater dan selanjutnya memasuki CSS setelah menembus duramater. Onset blok lebih lambat dari anestesi spinal dan intensitas blok sensorik dan motorik sangat kurang. analgesia menjalar secara segmental dan blokade selektif dapat dicapai.

2. Kardiovaskuler

Hipotensi akibat blokade simpatik adalah sama pada anestesi spinal. Hanya efeknya lebih lambat dari analgesia spinal. Dosis yang besar dari anestesi lokal yang digunakan dapat diabsorbsi secara sistemik, diikuti oleh terjadinya depresi miokard. Epinefrin yang ditambahkan pada anestesi lokal dapat diabsorbsi dan memberikan efek takikardia dan hipertensi.

3. Anestesi epidural mengurangi terjadinya thrombosis vena dan embolisme pulmoner pada pembedahan ortopedi. Hal ini mungkin akibat peningkatan perfusi ekstremitas inferior. Selanjutnya terdapat kecenderungan terjadinya penurunan koagulasi, penurunan agregasi platelet dan perbaikan fungsi fibrinolitik sepanjang anestesi epidural.

(47)

28

makin tinggi. Apneu yang terjadi mungkin menunjukkan paralysis iskemia pada pusat ventilasi di medulla spinalis akibat hipotensi yang diikuti dengan penurunan aliran darah serebral.

5. Gastrointestinal. Pengaruh simpatik pada saluran cerna (T5-L1) adalah menurunnya peristaltik, mempertahankan tonus otot spingter dan melawan kerja nervus vagus. Dengan blok simpapatik, kerja nervus vagus yang dominan, menyebabkan peningkatan peristaltik, sehingga dapat terjadi mual dan muntah. Pengosongan lambung tidak dipengaruhi, jarang terjadi distensi lambung dan usus selama operasi.

6. Hati. Aliran darah ke hati menurun dengan menurunnya tekanan darah arteri. Namun demikian, karena hati mengambil oksigen dari aliran darah arteri yang masuk ke hati, sehingga tidak terjadi iskemia. Enzim-enzim hati tidak dipengaruhi.

7. Traktus urinarius. Kecuali selama terjadi hipotensi, aliran darah ginjal dipertahankan selama blok sentral oleh autoregulasi. Oleh karena itu, produksi urine tidak dipengaruhi. Tonus otot buli-buli menurun dan terjadi retensi urine akut .

(48)

29

yang membawa nyeri. Menyebabkan menurunnya tekanan darah, stres myocardial dan hiperglikemia.

9. Termoregulasi. Vasodilatasi pada ekstremitass bawah merupakan predisposisi terjadinya hypothermia, terutamaa jika tungkai bawah terbuka.

2.6 Parecoxib

2.6.1 Farmakokinetik

Parecoxib adalah jenis obat dalam sediaan injeksi yang larut air. Beredar dipasaran dengan merk dagang Dynastat™ dalam kemasan 20 mg dan 40 mg.

Obat ini merupakan prodrug dari valdecoxib, suatu generasi kedua dari COX-2 inhibitor selektif. Konversi secara cepat di hepar oleh enzim hidrolisis menjadi bentuk aktif yaitu valdecoxib. Metabolitnya juga merupakan COX-2 inhibitor selektif yang lemah, yang selanjutnya dimetabolisme oleh jalur non-cytochrome P-450 menjadi metabolit glukoronide, dan di ekresi melalui ginjal (Cheer dkk. 2001).

(49)

30

pemberian. Memiliki waktu paruh 8 jam dan akan memanjang jika ada gangguan fungsi hepar. Ikatan dengan protein sangat tinggi yaitu hingga 98% (Padi dkk. 2004).

Parecoxib adalah pro-drug tak aktif yang diberikan secara parenteral yang mengalami hidrolisis amida cepat in-vivo menjadi penghambat COX-2 yang aktif secara farmakologis (Ibrahim dkk. 2002). Valdecoxib dimetabolisme primer menjadi 1-hidroksivaldecoxib oleh enzim sitokrom P450 hepar. Karena parecoxib dan valdecoxib keduanya merupakan inhibitor P450, maka ada potensi bahwa penghambat COX-2 ini menghambat metabolisme obat lain. Efek menguntungkan penghambat COX-2 menyebabkan penggunaan luas obat ini untuk berbagai indikasi terutama untuk kondisi yang berkaitan dengan inflamasi dan nyeri.

A

Gambar 2.7 Struktur kimia parecoxib (Dikutip dari Ibrahim dkk., 2002. Effects of parecoxib, a parenteral COX-2-spesific inhibitor, on the pharmacokinetics and the pharmacodynamics of propofol. Anesthesiology 2002;96(1);88-95)

2.6.2 Farmakodinamik

(50)

31

lipid yang merupakan turunan dari membrane fosfolipid) menjadi zat peradangan prostaglandin. Enzim fosfolipase A2 membebaskan asam lemak bebas dari membran fosfolipid dan mengatur alur ketersediaan dari asam arakhidonat untuk pembentukan prostaglandin. Prostaglandin E2 (PGE2) secara bermakna meningkatkan nyeri yang dihasilkan oleh mediator perangsang nyeri seperti bradikinin atau histamin (Simmons dkk, 2004). PGE2 memberikan kontribusi kepada sensitisasi perifer dan hiperalgesia dengan cara berikatan pada reseptor protein-g berpasangan yang mana meningkatkan level dari cAMP pada nosiseptor. Peradangan perifer dimediasi melalui IL1β saraf spinal, perangsangan COX-2,

peningkatan PGE2 saraf spinal.PGE2 berinteraksi dengan reseptor pada terminal sentral dari nosiseptor dan menghasilkan sensitisasi sentral. Perangsangan PGE2 pada reseptor prostaglandin pada dorsal horn, meningkatkan pembukaan dari saluran NMDA, penguatan efek eksitasi dari efek glutamat. Hal ini menjelaskan bahwa penghambat COX memperkuat efek penghilang nyerinya dengan cara memodulasi nosisepsi baik pada perifer maupun pada daerah sentral (Svennson dan Yaksh, 2002). Juga terdapat bukti yang kuat untuk efek peran pronosiseptif dari PGI2 pada nyeri inflamasi (Zeilhofer dan Brune, 2006). Produksi PGI2 yang dikatalisasi oleh COX-1 kelihatannya ikut berperan pada nyeri peritoneal (Simmons dkk. 2004). Juga COX-1 meningkat pada saraf spinal setelah trauma perifer (Zhu dkk. 2005).

(51)

32

golongan coxib akan secara selektif menghambat COX-2 di jaringan perifer dan di SSP. Golongan coxib juga menghambat inducible nitric oxide synthase (iNOS), nitric oxide (NO) yang bertugas sebagai mediator inflamasi dan juga molekul sinyal intraselular yang terlibat dalam sensitisasi dari sel saraf (Fermor dkk, 2002). Inhibisi dari COX-2 menurunkan stimulasi PGE2 dari prostaglandin reseptor di kornu posterior dan oleh sebab itu menurunkan pembukaan jalur NMDA dan efek eksitasi dari glutamat (Svennson dan Yaksh, 2002).

(52)

33

pada agregasi platelet, waktu perdarahan atau kehilangan darah pascabedah. Resiko terjadinya episode trombotik atau infark miokard dapat meningkat pada pasien yang mendapat terapi penghambat COX-2 (Mukherjee dkk, 2001). Hal ini mungkin karena inhibitor COX-2 selektif menekan prostaglandin I2 (vasoprotektif) tanpa mempengaruhi tromboksan A2 (prokoagulan). Prostaglandin memodulasi tekanan darah sistemik dengan berdasarkan pada efek terhadap tonus vaskular dalam otot polos arteriolar dan kontrol terhadap volume cairan ekstraselular.

(53)

34

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi ekxtermitas bawah
Gambar 2.2 Perbandingan cara pemberian analgesia dengan penekanan pada pencegahan sensitisasi saraf selama perioperatif
Gambar 2.3 C-Reactive Protein sebagai penanda reaksi inflamasi (Rhodes, 2011)
Gambar 2.4 Anatomi ruang epidural
+5

Referensi

Dokumen terkait