KAJIAN PUSTAKA
2.3 C-Reactive Protein
C-reactive protein (CRP) merupakan anggota dari protein pentraxin. Istilah CRP dikenalkan oleh Tillet dan Francis pada tahun 1930, disebabkan senyawa ini dapat bereaksi dengan polisakarida C somatik dari streptococus pneumonia. Kadarnya akan meningkat 100x dalam 24-48 jam setelah terjadi luka jaringan. Sebelas tahun kemudian, Mac Leod dan Avery mengenalkan istilah “fase akut” pada serum penderita infeksi akut, untuk menunjukkan sifat CRP (Whicher J. 1999). CRP disintesa di dalam hati. Peningkatan sintesa CRP dalam sel-sel parenkim hati oleh IL-1 karena rangsangan makrofag. CRP dapat meningkat seratus kali atau lebih dan berperan dalam imunitas non-spesifik yang dengan bantuan ion kalsium dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri dan jamur, kemudian menggerakkan sistem komplemen dan membantu merusak mikroorganisme patogen dengan cara opsonisasi dan dengan meningkatkan fagositosis. Selain itu CRP menimbulkan reaksi terhadap platelet serta membantu proses pelepasan lemak dalam proses jaringan mati. CRP menjadi aktif sebelum perubahan spesifik terjadi dalam proses yang patologis. Batas CRP dalam serum meningkat dalam enam sampai sembilan jam pascainfeksi atau kerusakan jaringan dan tetap meningkat setelah satu sampai tiga hari. Perluasan dan lamanya CRP meningkat berkembang sesuai beratnya reaksi peradangan akut. Peningkatan CRP hingga beberapa ratus mg/L merupakan penanda infeksi berat seperti meningitis, sepsis atau pyelonephritis (Whicher J. 1999).
12
Sekresi meningkat kuantitasnya dalam 6 jam pada stimulus akut inflamasi. Konsentrasi plasma dapat meningkat paling sedikit 2 kali lipat tiap 8 jam dan mencapai puncak setelah 50 jam. Pada orang sehat, CRP terdapat dalam plasma dalam jumlah yang sangat kecil (±0,8 mg/L) tetapi kadarnya dapat meningkat cepat hingga 300-500 mg/L dalam waktu 48 jam saat terjadi infeksi dan inflamasi. Waktu paruh biologi CRP adalah 19 jam, yang akan berkurang hingga 50% per hari setelah stimulus fase akut dihilangkan. Konsentrasi CRP dapat kembali normal pada penyakit-penyakit inflamasi kronis seperti sistemic lupus eritematousus (SLE), dermatomiosistis, kolitis ulseratif dan leukemia.
Perbaikan reaksi inflamasi umum memerlukan waktu sekitar 1-2 minggu dimana kadar CRP kembali normal. Salah satu keuntungan CRP adalah merupakan petanda reaksi inflamasi yang lebih cepat daripada Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) dan leukositosis. Akan tetapi peningkatan ESR dan jumlah hitung leukosit juga dapat ditemukan pada keadaan lain yang tidak berhubungan dengan inflamasi. Sehingga CRP merupakan penanda inflamasi yang lebih cepat dapat digunakan dan lebih sensitif (Lorentz, 1990).
13
Gambar 2.3 C-Reactive Protein sebagai penanda reaksi inflamasi (Rhodes, 2011)
2.4 Leukosit
Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Rata-rata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 5000-9000/mm3 (Effendi Z, 2003). Terdapat dua jenis leukosit, yaitu:
1. Agranuler:
- Limfosit: sel kecil, sitoplasma sedikit.
- Monosit: sel agak besar, mengandung sitoplasma lebih banyak. 2. Granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau eosinofil) yang dapat
dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna netral, basa dan asam. Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya). Leukosit mempunyai peranan dalam mempertahankan seluler dan humoral organsme terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan
14
melalui mekanisme diapedesis leukosit dapat meninggalkan kepiler dengan menerobos antara sl-sel endotel dan menembus ke dalam jaringan penyambung (Effendi Z., 2003).
Hidup sel leukosit tidak lama dan jumlahnya yang diperlukan ditempat inflamasi dipertahankan oleh infulk sel-sel baru dari persediaan di sumsum tulang. Pada infeksi akut neutrofil dalam sirkulasi dapat meningkat dengan segera, peningkatan tersebut disebabkan oleh migrasi netrofil ke sirkulasi dari sumsum tulang dan persediaan marginal intravasuler. Persediaan marginal ini merupakan sel-sel yang untuk sementara menempel pada dinding vaskuler. Komposisi leukosit adalah 45% dalam sirkulasi dan 55% marginal, atas pengaruh IL-1. TNF-α dan endotoksin leukosit dari sumsum tulang dikerahkan ke sirkulasi. Monosit hanya memiliki persediaan sedikit dalam sumsum tulang, mobilisasi monosit ke sirkulasi memerlukan waktu yang lebih lama untuk membagi diri dari sel asalnya. Monosit pada keadaan normal mempunyai tempat pemanen di dalam jaringan berupa makrofag. Eosinofil juga disimpan sebagai persediaan dalam sumsum tulang dan marginal dalam vaskuler. Eosinofil mempunyai komponen yang prominen, terutamaa pada jaringan ikat dibawah epitel seperti saluran nafas.
Sel-sel sistem imun non spesifik seperti sel mast, basophil, limfosit, eosinophil dan makrofag jaringan berperan dalam inflamasi, beberapa diantaranya menimbulkan vasodilatasi dan edema serta meningkatkan adhesi neutrophil dan monosit ke endotel. Vasodilatasi meningkatkan persediaan darah untuk memberikan lebih banyak molekul dan sel yang diperlukan untuk memerangi anti gen yang mencetuskan inflamasi. Kerusakan jaringan langsung disebabkan oleh
15
cedera atau endotoksin yang dilepaskan mikroba menimbulkan pelepasan mediator seperti prostaglandin dan leukotrien yang meningkatkan permeabilitas vaskuler. Sel mast dapat diaktifkan oleh kerusakan jaringan dan mikroba melalui komplemen (jalur alternatif atau klasik) dan komplek IgE allergen atau neuropeptida, mediator inflamasi yang dilepas menimbulkan vasodilatasi.
Endotoksin mikroba mengaktifkan makrofag untuk melepas TNF-α dan IL-1 dengan sifat vasodilatasi. Hasil pelepasan berbagai mediator tersebut adalah mengendurkan sel-sel endotel, peningkatan adhesi monosit dan keluarnya sel-sel jaringan sekitar untuk memakan mikroba, Sel endotel mengkerut bila terjadi inflamasi, sehingga molekul besar dapat melewati dinding vaskuler.
Penyebab peningkatan jumlah leukosit didasari dua penyebab dasar yaitu. pertama merupakan reaksi yang tepat dari sumsum tulang normal terhadap stimulasi eksternal yaitu infeksi, inflamasi (nekrosis jaringan, infark, luka bakar, arthritis), stres (over exercise, kejang, kecemasan, anestesi, obat (kortikosteroid), trauma (splenektomi), anemia hemolitik. Kedua adalah efek dari kelainan sumsum tulang primer, leukemia akut, leukemia kronis, kelainan mieloproliperatif.