• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 EVALUASI INSENTIF PAJAK PENGHASILAN ATAS INDUSTRI

5.2 Evaluasi Pemberian Insentif Pajak Penghasilan atas Industri

5.2.2 Evaluasi Pemberian Insentif Pajak Penghasilan atas

5.2.2.2 Efektifitas

Mahmudi (2010) berpendapat bahwa efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif sebuah kebijakan atau program. Suatu kebijakan atau program dinilai efektif apabila output yang dihasilkan bisa memenuhi tujuan yang diharapkan. Jika dihubungkan dengan insentif Pajak Penghasilan, maka dapat dikatakan efektif jika output yang dihasilkan bisa memenuhi tujuan insentif, yaitu penambahan realisasi investasi di bidang usaha Bahan Bakar Nabati.

Adapun kriteria untuk mengukur efektivitas pemberian insentif Pajak Penghasilan kepada industri Bahan Bakar Nabati, pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Sasaran (goals approach) dari Martani dan Lubis (1987, hal.55), yaitu efektivitas berpusat perhatian pada output, dengan mengukur keberhasilan insentif Pajak Penghasilan untuk mencapai hasil yang sesuai dengan

Universitas Indonesia rencana. Pengukuran efektivitas menurut Mahmudi (2010) adalah mengukur hasil akhir suatu pelayanan dikaitkan dengan outputnya. Karena output yang dihasilkan oleh organisasi pemerintah lebih banyak bersifat tidak berwujud (intangible) yang tidak mudah dikuantifikasi, maka pengukuran efektivitas insentif Pajak Penghasilan dinyatakan secara kualitatif dalam bentuk pernyataan (judgment).

Pada tahun 2007, pada saat awal Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan, terdapat 17 investor yang menanamkan modal di bidang Bahan Bakar Nabati baik berupa Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalan Negeri (PMDN). Hal ini merupakan pertumbuhan jumlah perusahaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“Iya, dan jumlahnya signifikan. Jadi PP 52 ini sebelumnya kan PP 62 tahun 2008. Sebelumnya lagi ada PP nomor 1 tahun 2007. Di tahun 2007, investasinya semakin meningkat, hanya pada Biodiesel. Bioetanol ya, nggak terlalu menggembirakan lah.” (Hasil wawancara dengan Lila

Harsyah, 29 April 2013)

Khusus pemberian insentif kepada industri Bahan Bakar Nabati cukup berjalan baik dengan melihat kepada jumlah industri yang memperoleh persetujuan insentif investment allowance tersebut. Hal ini dijelaskan dengan pernyataan berikut.

“Implementasinya sejauh ini sudah cukup berjalan baik kalau dari kita, yang diberikan juga sudah cukup banyak. Penerapan di lapangan ya, sudah ada beberapa Wajib Pajak yang memanfaatkan...Sejauh ini untuk industri kimia dasar dari olahan hasil pertanian seperti biofuel (Bahan Bakar Nabati), itu kita paling banyak memberikan fasilitas. Sekitar 21-22 Wajib Pajak yang kita berikan, cuma kan itu macam-macam seperti minyak goreng, bukan hanya biofuel. Secara umum kita paling banyak memberikan kepada industri tersebut dibanding industri yang lain.” (Hasil wawancara

dengan Rienal Yaffid, 7 Juni 2013)

Dari 22 Wajib Pajak industri kimia dasar dari olahan hasil pertanian yang telah mendapatkan insentif investment allowance pada tahun 2007, 16 diantaranya

merupakan industri yang bergerak pada usaha Bahan Bakar Nabati, baik sebagai usaha utama maupun diversifikasi dari produk utama. Hal ini menunjukkan investor industri Bahan Bakar Nabati cukup tertarik dengan insentif yang disediakan oleh pemerintah. Untuk melihat pertumbuhan industri Bahan Bakar Nabati pada tahun 2007, berikut adalah tujuh belas investor yang menanamkan modal pada bidang usaha Bahan Bakar Nabati di Indonesia.

Tabel 5.11

Realisasi Investasi Bahan Bakar Nabati di Indonesia Tahun 2007

NO PERUSAHAAN STATUS LOKASI INVESTASI (dalam JUTA)

1 PT. PAAI PMA Riau Rp. 626.000,00

2 PT. MS PMA Riau Rp. 515.000,00

3 PT. DB PMA Jawa Barat Rp.423.000,00

4 PT. SDS PMA Riau Rp.422.000,00

5 PT. EBCE PMA Banten Rp. 399.000,00

6 PT. ENG PMA Jawa Timur Rp. 357.000,00

7 PT. CP PMA Riau Rp. 293.000,00

8 PT. MPM PMA Bengkulu Rp. 146.000,00

9 PT. AIGN PMA Jawa Timur Rp. 123.000,00

10 PT. BFJ PMA Riau Rp. 115.000,00 11 PT. ASP PMDN Jambi Rp. 709.000,00 12 PT. BSA PMDN Sumsel Rp. 709.000,00 13 PT. BEM PMDN Riau Rp. 611.000,00 14 PT. BEA PMDN Sumut Rp. 575.000,00 15 PT. BA PMDN Sumut Rp. 575.000,00 16 PT. NEM PMDN Sumut Rp. 570.000,00 17 PT. ILBM PMDN Lampung Rp. 500.000,00

Sumber: Tim Nasional Pengembangan BBN, 2007

Dari 17 perusahaan yang menanamkan modal pada bidang usaha Bahan Bakar Nabati pada tahun 2007, terdapat 12 perusahaan yang memanfaatkan insentif yang disediakan pemerintah. Berikut adalah data perusahaan Bahan Bakar Nabati yang telah mendapatkan insentif investment allowance, nilai investasi dan tahun persetujuan dari BKPM dan Dirjen Pajak.

Universitas Indonesia

Tabel 5.12

Daftar Perusahaan Bahan Bakar Nabati yang Memanfaatkan Insentif

Investment allowance Tahun 2007

No. Nama

Perusahaan

Nilai Investasi (dalam juta) Produk Tahun

Persetujuan 1. PT. BLE Rp. 120.900,00 Biodiesel 2007 2. PT. ENG Rp. 357.000,00 Biodiesel 2007 3. PT. BSE Rp. 709.935,00 Biodiesel 2007 4. PT. AKP Rp. 709.935,00 Biodiesel 2007 5. PT. HAI Rp. 268.450,00 Bioetanol 2007 6. PT. WHG Rp. 268.450,00 Bioetanol 2007 7. PT. IHK Rp. 321.600,00 Biodiesel 2007 8. PT. IMK Rp. 321.600,00 Biodiesel 2007 9. PT. SM Rp. 247.000,00 Bioetanol 2007 10. PT. WCN Rp. 225.000,00 Biodiesel 2007 11. PT. SMM Rp. 3.650,00 Biodiesel 2007 12. PT. MS Rp. 515.000,00 Biodiesel 2007

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2012

Sebelumnya dapat dijelaskan bahwa dari 22 industri kimia organik hasil pertanian yang menurut data dari Direktorat Jenderal Pajak merupakan kelompok industri paling banyak menerima persetujuan insentif investment allowance, lebih dari setengahnya merupakan industri Bahan Bakar Nabati yaitu 8 perusahaan penghasil Biodiesel dan 4 perusahaan penghasil Bioetanol pada tahun 2007. Dengan menggunakan ukuran efektivitas oleh Steers yaitu pencapaian tujuan, jika dibandingkan dengan jumlah investor bidang usaha Bahan Bakar Nabati yang melakukan penanaman modal di Indonesia selama tahun 2007 pada tabel 5.10 yaitu sejumlah 17 perusahaan, jumlah ini menunjukkan insentif investment allowance tahun 2007 efektif karena dapat menarik 12 dari 17 investor untuk memanfaatkannya.

Jumlah investor baru yang menanamkan modal pada bidang Bahan Bakar Nabati tahun 2008 sampai 2013 bertambah dibandingkan jumlah investor tahun 2007, sehingga saat ini terdapat lebih dari 20 perusahaan Biodiesel dan 7 perusahaan Bioetanol di Indonesia. Berikut adalah data perusahaan baru bidang

Biodiesel yang merealisasikan penanaman modal di Indonesia pada rentang waktu 2008 sampai Juni 2013.

Tabel 5.13

Perusahaan Baru Biodiesel di Indonesia Tahun 2008-2013

No Nama Perusahaan Kapasitas

per Tahun

1 PT Musim Mas 850.000 MT

2 PT Petro Andalan Nusantara 150.000 kl

3 PT Cemerlang Energi Perkasa 400.000 MT

4 PT Oil Tanking 504.000 MT

5 PT Bioenergy Pratama Jaya 66.000 MT

6 PT Sumi Asih Oleochemical 100.000 MT

7 PT Wahana Abdi Tirta 13.200 kl

8 PT Ala Mada Perkasa 11.000 kl

9 PT Sintong Abadi 35.000 kl

10 PT Pasadena Biofuel Mandiri 10.240 kl

11 PT Tjengkareng Djaya 72.000 MT

12 PT Multikimia Inti Pelangi 14.000 kl

13 PT Energi Alternatif 7.000 MT

14 PT Primanusa Palma Energi 24.000 kl

15 PT Damai Sejahtera Sentosa 120.000 MT

Sumber: Ditjen EBTKE, 2013

Namun dari tahun ke tahun terlihat penurunan jumlah penerima persetujuan insentif investment allowance tersebut. Penurunan cukup signifikan yaitu dari 12 perusahaan Bahan Bakar Nabati yang memanfaatkan insentif pada tahun 2007 menjadi 4 perusahaan saja pada tahun 2008. Berikut adalah data perusahaan Bahan Bakar Nabati yang memanfaatkan insentif Pajak Penghasilan pada tahun 2008.

Tabel 5.14

Daftar Perusahaan Bahan Bakar Nabati yang Memanfaatkan Insentif

Investment allowance Tahun 2008

No Nama

Perusahaan

Nilai Investasi (dalam juta) Produk Tahun

Persetujuan 1. PT. WBI Rp 90.000,00 Biodiesel 2008 2. PT. BKR Rp 895.000,00 Biodiesel 2008 3. PT. PN Rp 13.557,736 Biodiesel 2008 4. PT. SAP Rp 105.700,00 Biodiesel 2008 Sumber: BKPM, 2013

Universitas Indonesia Pada tabel di atas dapat dijelaskan terdapat 4 perusahaan yang memanfaatkan insentif investment allowance pada tahun 2008. Namun menurut data APROBI, ada lebih dari 4 perusahaan baru bidang Bahan Bakar Nabati yang berproduksi pada tahun tersebut. Sehingga apabila dibandingkan, pemanfaatan pada tahun 2008 cukup menarik minat investor namun tidak signifikan karena jumlahnya berkurang drastis dari pemanfaatan tahun 2007.

Dari beberapa perusahaan yang merealisasikan penanaman modal pada tahun 2008 sampai dengan Juni 2013 di atas, tidak terdapat perusahaan yang memanfaatkan insentif investment allowance dari rentang waktu 2009 sampai 2013. Hal ini disebabkan berkurangnya investor yang mengajukan izin untuk memperoleh insentif tersebut, seperti dijelaskan dalam pernyataan berikut.

“Namun seiring berjalannya waktu itu sedikit yang mengajukan...jumlah permohonan yang dikirimkan dan yang diteruskan ke DJP PP II itu semakin berkurang, jadi otomatis yang mendapatkan fasilitas semakin sedikit...” (Hasil wawancara dengan Rienal Yaffid, 7 Juni 2013)

Sebab insentif Pajak Penghasilan tidak efektif terhadap industri Bahan Bakar Nabati pada rentang 2009-2013 dilihat dari minimnya pemanfaatan menurut Badan Kebijakan Fiskal disebabkan oleh dua hal. Pertama, pengusaha tidak butuh fasilitas tersebut karena masalah birokratis. Masalah birokratis berasal dari pemeriksaan yang harus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk penentuan industri yang memenuhi syarat untuk memperoleh investment allowance. Pemeriksaan pada umumnya hanya berupa penyesuaian barang modal dengan dokumen rencana penanaman modal dan realisasi produksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“Untuk fasilitas yang pengurangan penghasilan neto 5% selama 6 tahun itu kan tidak otomatis ya mendapatkannya. Di PP nomor 1 tahun 2007 dan di PP nomor 62, dia sudah harus berproduksi secara komersil. Artinya ketika dia sudah berproduksi dan barang tersebut sudah bisa dijual, dia sudah masuk kategori berproduksi secara komersil. Itu penentuannya ada di direktorat Penagihan dan Pemeriksaan yang berhak menentukan, dia sudah bisa memanfaatkan atau tidak.” (Hasil wawancara dengan Rienal

Menurut evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), bagi Wajib Pajak dalam hal ini perusahaan Bahan Bakar Nabati, pemeriksaan tersebut disalahtafsirkan sebagai audit secara keseluruhan yang akan membuka rahasia perusahaan. Hal ini cenderung dihindari oleh perusahaan sehingga mereka memilih tidak memanfaatkan insentif tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepala Bidang Penerimaan Kemenko Perekonomian berikut.

“Ketika mereka akan mendapatkan fasilitas, mereka kan ada sedikit intervensi, semacam pemeriksaan dari Dirjen Pajak. Artinya mereka sedikit sensitif. Mereka menganggap itu semacam audit, akan mengganggu privasi pengelolaan perusahaan mereka. Itu yang menjadi persoalan juga...Mereka pikir bakal di cek sampai ke dalam-dalamnya, padahal tidak. Teman-teman di Dirjen Pajak kan hanya melihat, menyesuaikan usulan mereka, catatan-catatan dan rencana investasi mereka, bener nggak yang ada...Wajib Pajak mensalahtafsirkannya sehingga mereka enggan untuk mengajukannya. Daripada rahasia perusahaannya terbuka, mending nggak usah terima fasilitas. Begitu biasanya.” (Hasil wawancara dengan Amar Yasir, 25 Juni 2013)

Penyebab kedua yang menyebabkan insentif Pajak Penghasilan tidak efektif dari tahun ketiga pelaksanaannya menurut ukuran efektivitas kedua, yaitu Integrasi (Steers, 1985) yang berhubungan dengan kegiatan sosialisasi. Insentif Pajak Penghasilan tidak efektif karena kurangnya sosialisasi atau promosi pada calon investor yang akan menanamkan modal usaha Bahan Bakar Nabati di Indonesia. Hal ini disebabkan sosialisasi yang belum dilakukan di seluruh wilayah di Indonesia, karena keterbatasan waktu, khususnya daerah tertentu yang ditetapkan dalam lampiran PP No. 1 Tahun 2007 maupun PP No. 52 Tahun 2011. Keterbatasan waktu tersebut berasal dari proses antara penetapan dengan dimulainya pelaksanaan peraturan yang singkat, sehingga sosialisasi tak dapat dilakukan secara menyeluruh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asisten Deputi Fiskal Kemenko Perekonomian berikut.

“Sudah dilakukan, cuma kurang. Kalau kita refer ke negara lain itu kan, sebelum peraturan berjalan, 2 tahun sudah ada sosialisa si kan? tapi kita

Universitas Indonesia baru di beberapa tempat. Ya, perencanaan sih, Mbak. Perencanaan mungkin akan kita perbaiki, karena keterbatasan anggaran juga. Sosialisasi itu kan permasalahan laten ya Mbak, kalau peraturannya bagus tapi tidak ada yang memanfaatkan, mau bagaimana juga.” (Hasil

wawancara dengan Andie Megantara, 19 Juni 2013)

Menurut Easson dan Zolt (2001, hal.6), efektifitas dari insentif pajak tertentu biasanya tergantung pada tipe investasi yang diharapkan dapat ditarik oleh pemerintah. Untuk investasi pada bidang usaha Bahan Bakar Nabati sendiri, tipenya merupakan investasi yang terjadi karena adanya peluang pasar atau

demand yang tinggi sehingga menarik investor untuk menanamkan modalnya pada bidang usaha ini. Sehingga insentif investment allowance yang disediakan pemerintah sebenarnya tidak terlalu menarik perhatian investor dan bukan merupakan faktor utama adanya penanaman modal pada industri Bahan Bakar Nabati. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut

“Insentif pajak itu perannya tidak signifikan terhadap industri BBN. Jadi pertumbuhan industri BBN itu faktor utamanya karena calon investor itu melihat peluang demand, ada demand begitu. Jika perusahaan berkecimpung di Biodiesel itu memang iya demand nya akan semakin meningkat. Pengaruhnya pajak itu ada, tapi belum signifikan. Faktor utamanya karena ada demand dari mandatory ini...” (Hasil wawancara

dengan Maslan Lamria, 7 Juni 2013)

Sehingga secara umum bagi industri Bahan Bakar Nabati khususnya dalam hal peningkatan investasi, insentif Pajak Penghasilan tidak menjadi alasan utama meningkatnya penanaman modal. Pada kenyataannya, realisasi investasi pada bidang ini meningkat setiap tahunnya, namun berbanding terbalik dengan investor yang memanfaatkan insentif pajak. Hal ini karena investor tidak melihat pada insentif yang disediakan pemerintah ketika akan melakukan penanaman modal di bidang Bahan Bakar Nabati di Indonesia, melainkan menimbang faktor-faktor lain di luar insentif pajak.

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA EVALUASI KEBIJAKAN riset (Halaman 102-110)

Dokumen terkait