• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 EVALUASI INSENTIF PAJAK PENGHASILAN ATAS INDUSTRI

5.2 Evaluasi Pemberian Insentif Pajak Penghasilan atas Industri

5.2.2 Evaluasi Pemberian Insentif Pajak Penghasilan atas

5.2.2.3 Ketepatan

Menurut Easson dan Zolt (2001, hal. 11-12) ukuran sebuah insentif pajak yang sukses dan tepat adalah jika dapat menghasilkan investasi tambahan dalam bidang Bahan Bakar Nabati di suatu negara yang tidak akan terjadi tanpa adanya insentif pajak. Terkadang tambahan investasi tersebut, baik berupa penanaman modal kembali atau perluasan dari usaha yang telah ada, akan memperbaiki keadaan pasar Bahan Bakar Nabati yang saat ini masih berada di bawah Bahan Bakar fosil sehingga dapat menggantikan dominasi Bahan Bakar fosil. Namun yang terjadi di Indonesia saat ini adalah, dominasi tersebut masih belum bisa digantikan. Yang bisa dilakukan masih sebatas pencampuran Bahan Bakar Nabati dengan Bahan Bakar Minyak yang disubsidi.

Dari penjelasan mengenai efektifitas insentif investment allowance

sebelumnya, dapat diketahui bahwa insentif tersebut kurang efektif dalam tujuannya meningkatkan investasi baru bidang Bahan Bakar Nabati di Indonesia. Hal ini disebabkan investor asing maupun dalam negeri tersebut memiliki pertimbangan lain dalam menanam modal di bidang Bahan Bakar Nabati. Kriteria pertimbangan investasi menurut The Prosperity Papers #2 oleh Center for International Private Enterprise (2006, hal. 10) adalah: a) karakteristik pasar lokal, b) akses pasar, c) tenaga kerja, d) risiko keuangan, e) pengembalian modal, f) perlindungan Hak milik dan Hak Kekayaan Intelektual, f) kebijakan perdagangan, g) peraturan pemerintah, h) tarif dan insentif pajak, i) stabilitas politik, dan j) kerangka kebijakan makroekonomi.

Dalam kriteria tersebut, insentif pajak bukan merupakan pertimbangan investasi yang utama. Begitu pula yang terjadi pada investasi di bidang Bahan Bakar Nabati. Yang menjadi faktor utama pertimbangan investasi adalah adanya pasar atau demand untuk kebutuhan negara akan Bahan Bakar Nabati untuk diversifikasi energi dan mengurangi impor BBM. Namun pada dasarnya insentif pajak yang disediakan pemerintah yang memiliki tujuan baik, tidak dapat berjalan efektif tanpa faktor pendukung lain yang lebih menarik investasi. Hal ini sesuai pernyataan berikut.

“Fasilitas itu sangat bagus, tapi sebagus apapun fasilitasnya kalau tidak ada market, itu tidak bisa jalan. Jadi pada akhirnya fasilitas itu harus

Universitas Indonesia sesuai market. Sekali lagi kalau saya memberikan statement, kebijakan itu sangat bagus untuk pengembangan energi terbarukan, Bahan Bakar Nabati...Tapi harus ada jaminan, dukungan untuk hal non fiskal tadi, yaitu market. Kenapa saya bilang market, karena energi terbarukan ini dibutuhkan bagi negara. Tapi sekali lagi, hal-hal seperti kebijakan pajak tersebut kita memang butuhkan.”(Hasil wawancara dengan Paulus Tjakrawan, 21 Juni 2013)

Jika melihat pada tujuan lain pemberian insentif Pajak Penghasilan, yaitu mendorong perkembangan produksi Bahan Bakar Nabati sehingga dapat mempengaruhi konsumsi BBM, insentif yang telah berjalan pada praktiknya tidak memiliki peran signifikan. Hal tersebut disebabkan masih terdapatnya subsidi BBM dan kondisi politik lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi Bahan Bakar Nabati yang masih rendah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan menurut narasumber dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berikut.

“...isu pajak ini masih agak jauh. Jadi masalah utama saat ini adalah subsidi terhadap BBM yang hampir setengah harga tersebut. Jadi untuk kondisi saat ini, kalau mau insentif pajak itu ada perannya, itu setelah subsidi ini perlahan ditiadakan.” (Hasil wawancara Maslan Lamria, 7 Juni

2013)

Sebagai perbandingan, di negara lain yang menetapkan tarif pajak yang tinggi dan pajak tambahan seperti Pajak Lingkungan terhadap BBM, menjadikan insentif pajak yang disediakan pemerintah untuk mendorong perkembangan Bahan Bakar Nabati menjadi efektif. Hal ini karena penerimaan yang didapat dari pajak BBM yang tinggi dapat digunakan untuk menyediakan insentif pajak bagi Bahan Bakar Nabati, sehingga harga Bahan Bakar Nabati dijaga untuk selalu di bawah BBM dan mempengaruhi perilaku konsumen. Hal ini sesuai pernyataan berikut.

“Seperti di negara lain, ada pengenaan pajak terhadap bensin dan solar, ada juga yang mengenakan pajak lingkungan. Nah itu dilakukan di negara-negara yang tidak mensubsidi BBMnya. Jadi harga BBNnya dijaga di bawah BBM...Nah, masalah subsidi itu dulu yang dilihat. Jadi insentif pajak itu akan efektif jika masalah subsidi BBM dituntaskan dulu.

Kalau negara lain menikmati revenue yang mereka dapat dari BBM yang dijual di negaranya. Kalau negara lain itu makin banyak BBM yang dipakai, karena orang perlu, udah dibuat sistem (BBM yang dikenakan pajak), makin banyak pemasukannya. Nanti pemasukan itu untuk membangun mendukung sektor energi yang berkelanjutan...” (Hasil wawancara Maslan Lamria, 7 Juni 2013)

Jika melihat pada kenyataan yang ada di lapangan saat ini, harga Bahan Bakar Nabati telah berada di bawah harga BBM non subsidi untuk konsumsi industri. Berbeda dengan tahun awal perkembangan Bahan Bakar Nabati di Indonesia, harga saat itu masih di atas harga BBM karena biaya produksi yang masih tinggi. Industri dapat menggunakan Bahan Bakar Nabati secara massal, namun upaya ini masih butuh dorongan berupa kewajiban dari pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“Pernah harga Biodiesel itu lebih tinggi Rp 1.000,00 dari solar industri...Nah, kalau dilihat dari harga sekarang, itu Biodiesel harganya 924 USD per ton. Kalau dijadiin liter itu Rp 7.800,00 per liter. Kalau solar industri saat ini harganya Rp 8.400,00 per liter. Lebih murah kan? Industri akan lebih untung jika pakai BBN untuk saat ini. Jadi udah tidak ada alasan lagi. Pemerintah tinggal, mau pakai atau nggak industrinya.”

(Hasil wawancara Paulus Tjakrawan, 21 Juni 2013)

Usaha yang perlu dilakukan pemerintah untuk mendorong perkembangan industri Bahan Bakar Nabati saat ini adalah dengan menjadikan mandat pemanfaatan Bahan Bakar Nabati pada sektor transportasi dan industri sebagai kewajiban. Dengan adanya kewajiban pemanfaatan akan mempengaruhi produktifitas industri Bahan Bakar Nabati karena melihat adanya peluang pasar yang besar. Namun selain kewajiban, perlu diiringi pula dengan pengawasan serta sanksi, sehingga menjadikan peraturan yang ada dapat berjalan sebagaimana tujuan yang ingin dicapai pemerintah sehubungan perkembangan Bahan Bakar Nabati sebagai bahan bakar lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“Jadi karena cuma ada mandat, bukan kewajiban, sejak tahun 2008 sampai sekarang itu belum ada industri yang memanfaatkan BBN. Bar u

Universitas Indonesia ada yang mau ini satu. Kan kalau ada mandat dari pemerintah, tapi kalau nggak ada sanksi dan pengawasan itu suka nggak jalan.” (Hasil

wawancara Paulus Tjakrawan, 21 Juni 2013)

Kembali kepada insentif pajak yang diberikan pemerintah untuk mendorong perkembangan industri dan Bahan Bakar Nabati di Indonesia, menurut Easson dan Zolt (2010, hal. 1-2), insentif pajak dalam kebijaksanaan konvensional khususnya untuk menarik investasi luar negeri biasanya kurang baik secara teori dan praktek (bad in theory and bad in practice). Insentif pajak kurang baik secara teori karena menyimpangkan atau menjadikan distorsi suatu keputusan investasi. Insentif pajak kurang baik secara praktek karena biasanya tidak efektif, tidak efisien, dan cenderung mudah disalahgunakan dan dikorupsi. Insentif pajak juga cenderung bersifat dikriminatif karena hanya ditujukan bagi beberapa kondisi investasi. Contohnya bagi insentif investment allowance dalam PP No. 1 Tahun 2007 seperti telah diubah terakhir dengan PP No. 52 Tahun 2011 yang ditujukan bagi kondisi investasi dengan syarat tertentu; seperti jumlah penanaman modal, lokasi, lapangan usaha, dan investasi yang ditetapkan sebagaimana lampiran peraturan tersebut.

Namun demikian, hampir seluruh negara menggunakan insentif pajak. Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia yang memiliki fokus tambahan. Insentif pajak digunakan untuk mendorong industri dalam negeri dan menarik investasi asing. Instrumen yang sering dipilih pemerintah adalah tax holidays,

regional investment allowance, kawasan industri khusus, dan reinvestment incentives.

Bukti nyata tentang efektifitas menggunakan insentif pajak untuk menarik investasi tidak bisa diyakini. Dalam beberapa kasus menunjukkan peran penting dari insentif pajak dalam menarik investasi baru yang berkontribusi nyata meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Namun kasus lain secara relatif menunjukkan bahwa beberapa insentif pajak tidak memiliki peran signifikan dalam pertumbuhan investasi yang ada di suatu negara, salah satunya insentif Pajak Penghasilan yang ditujukan untuk menarik investasi pada industri Bahan Bakar Nabati di Indonesia. Dengan melihat pada penjelasan sebelumnya,

tanpa memanfaatkan insentif pajak pun industri Bahan Bakar Nabati dapat berkembang dengan faktor-faktor di luar pajak.

5.3 Upaya Penyempurnaan Pemberian Insentif Pajak Penghasilan atas

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA EVALUASI KEBIJAKAN riset (Halaman 110-114)

Dokumen terkait