• Tidak ada hasil yang ditemukan

V GAMBARAN UMUM

6.1 Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk

Pupuk merupakan komponen yang cukup penting dalam produksi padi. Seperti halnya telah dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai karakteristik petani responden bahwa pengeluaran terbesar kedua pada biaya produksi adalah pupuk. Sehingga program kebijakan fiskal sangat diperlukan dalam rangka agar terpenuhinya kebutuhan pupuk petani dengan harga murah dan mudah didapat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Kebijakan pupuk yang saat ini diterapkan oleh pemerintah adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk yang diterapkan saat ini adalah Harga Eceran Tertinggi (HET) yang diterima oleh petani pada setiap jenis pupuk.

Adapun penyaluran subsidi pupuk diatur oleh pemerintah yaitu dengan sistem terbuka, dimana petani dapat langsung membeli pupuk ke pengecer resmi. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui efektivitas kebijakan subsidi pupuk.Efektivitas tersebut dapat diketahui melali enam prinsip tepat yaitu harga, jumlah, waktu, tempat, jenis, dan mutu. Pada penelitian iniuntuk mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk menggunakan empat dari enam indikator dengan studi kasus di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.

Indikator pertama yang digunakan untuk mengetahui efektivitas subsidi pupuk adalah tepat harga. Indikator ini dapat diperoleh berdasarkan selisih antara harga yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden. Secara rinci rata-rata harga pada setiap jenis pupuk yang diterima responden dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Rata-Rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden

Uraian Urea TSP/SP-36 NPK

Harga rata-rata pembelian (Rp/kg) 2150 2450 2600

Harga eceran tertinggi (Rp/kg) 1800 2000 2300

Deviasi Absolut (Rp/kg) 350 450 300

Deviasi Relatif (%) 19,44 22,5 13,04

Sumber : Data primer, 2012 dan Deptan, 2012

Harga aktual dan harga yang harus diterima oleh responden dapat dilihat pada Tabel 6.1. Adapun jenis pupuk yang digunakan oleh responden adalah pupuk Urea, TSP/SP-36, dam NPK. Pupuk Urea memiliki Harga Eceran Tertinggi (HET)

42

yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar Rp 1800/kg. Namun pada kenyataannya harga pupuk Urea yang diterima responden rata-rata sebesar Rp 2150/kg. Sehingga selisih antara harga aktual dan harga yang harusnya diterima responden yaitu sebesar RP 350/kg. Dengan kata lain responden telah membeli pupuk Urea dengan harga 19,44 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram daripada harga sesungguhnya.

Jenis pupuk lain yang digunakan oleh responden adalah NPK. Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk jenis pupuk NPK adalah Rp 2300/kg.Rata-rata responden membeli pupuk ini sebesar Rp 2600/kg sehingga selisih harga aktual pupuk dengan harga yang seharusnya diterima responden adalah sebesar Rp 300/kg. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa responden membeli pupuk NPK dengan harga 13,04 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram dari harga sesungguhnya.

Selain jenis pupuk Urea dan NPK jenis pupuk lain yang digunakan responden adalah jenis pupuk TSP atau SP-36. Harga Eceran Tertinggi untuk pupuk jenis ini adalah Rp 2000/kg.Rata-rata harga responden memperoleh pupuk tersebut adalah sebesar Rp 2450/kg sehingga selisih antara harga aktual dan harga yang seharusnya diterima responden adalah sebesar Rp 450/kg. Berdasarkan data tersebut maka responden memebeli pupuk TSP atau SP-36 sebsar 22,5 persen untuk setiap satu kilogram dari harga sesungguhnya. Dari ketiga jenis pupuk tersebut maka dapat dikategorikan bahwa harga pembelian setiap pupuk lebih tinggi dari harga eceran tertingginya. Hal ini akan mempengaruhi tingkat efektivitas dari kebijakan subsidi pupuk. Secara lebih rinci jumlah responden yang memperoleh harga yang tepat dan tidak tepat dalam memperoleh subsidi pupuk dapat dilihat pada Tabel 6.2.

Tabel 6.2. Persentase Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi

No. Jenis Pupuk Kesesuaian dengan HET Jumlah Persentase (%)

1. Urea Tepat 7 11,67 Tidak Tepat 53 88,33 2. TSP/SP-36 Tepat 3 20,00 Tidak Tepat 12 80,00 3. NPK Tepat 7 11,67 Tidak Tepat 53 88,33 Total Tepat 17 12,59 Tidak Tepat 118 87,41

43 Berdasarkan Tabel 6.2 menunjukkan bahwa terdapat berbagai pilihan penggunaan pupuk oleh responden dimana jenis pupuk yang digunakan adalah jenis Urea, TSP atau SP-36, dan NPK. Analisis data ini dilakukan dengan melihat perbedaan harga pupuk aktual yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden yaitu harga yang sudah ditetapkan pemerintah dalam bentuk Harga Eceran Tertinggi (HET). Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah responden yang dapat memperoleh harga yang sama dengan HET dan jumlah responden yang tidak memperoleh harga yang sama dengan HET. Harga eceran tertinggi untuk urea adalah Rp 1800/kg yang berlaku dari tahun 2012 dan sampai sekarang masih diberlakukan HET yang sama. Urea mempunyai HET yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk jenis lain. Jumlah responden yang menerima HET tepat sama dengan harga yang dibayarkan adalah sebanyak tujuh responden, sedangkan jumlah responden yang tidak memperoleh harga sama dengan HET adalah 53 responden. Responden menggunakan pupuk urea untuk mendukung pertumbuhan daun. Persentase dari responden yang memperoleh harga sama dengan HET dan tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 11,67 persen dan 88,33 persen.

Pupuk selain urea yang disubsidi yaitu NPK yang mempunyai tiga jenis yaitu NPK Phonska, NPK Pelangi, dan NPK Kujang. Jenis NPK yang digunakan oleh responden adalah NPK dengan jenis NPK Phonska. NPK digunakan responden untuk membantu pertumbuhan buah. Ketiga jenis NPK tersebut mempunyai HET yang sama yaitu Rp 2300/kg. Responden yang mendapatkan harga sesuai dengan HET adalah tujuh responden, sedangkan responden yang mendapatkan harga lebih tinggi dari HET adalah 53 responden. Adapun persentase harga yang sesuai dengan HET yang diperoleh responden adalah sebesar 11,67 persen, sedangkan untuk harga yang tidak sesuai dengan HET sebesar 88,33 persen. Data ini sama dengan data jenis pupuk Urea karena responden mewajibkan menggunakan kedua jenis pupuk tersebut dalam memproduksi padi. Kedua jenis pupuk tersebut pun memiliki persentase yang lebih besar dalam hal ketidaktepatan dari HET yang berlaku.

Jenis pupuk lain yang digunakan responden adalah jenis pupuk TSP atau SP-36. Pupuk ini digunakan untuk memperkuat batang tanaman dan mempercepat

44

pertumbuhan akar semai. TSP/SP-36 mempunyai HET sebesar Rp 2000/kg. Responden yang memperoleh harga sesuai dengan HET adalah tiga responden, sedangkan responden yang tidak memperoleh harga sesuai dengan HET adalah 12 responden. Persentase responden yang mempunyai harga sama dengan HET dan yang tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 20 persen dan 80 persen. Dari ketiga jenis pupuk bersubsidi yang digunakan oleh responden semuanya mempunyai kecenderungan yang sama dimana kebanyakan responden memperoleh harga yang lebih tinggi dari HET dengan persentase sebesar 87,41 persen dibandingkan dengan responden yang memperoleh harga sama dengan HET yang hanya sebesar 12,59 persen. Kecenderungan harga yang lebih tinggi dari HET ini terjadi karena kebanyakan responden membeli pupuk di kios yang dekat dengan desa. Kebanyakan kios resmi berada di luar desa yang membutuhkan tambahan biaya transportasi. Selain itu, kebanyakan responden juga tidak mengetahui kios resmi yang menjual pupuk bersubsidi. Adanya perusahaan yang mengkreditkan pupuk pun menjadi alasan mengapa harga pupuk yang diperoleh responden menjadi lebih tinggi. Hal-hal tersebut yang membuat pupuk bersubsidi pada penelitian ini belum bisa dikategorikan memenuhi prinsip tepat harga.

Indikator kedua yang menentukan keefektifan program kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat tempat. Tepat tempat yang dimaksud adalah petani sebagai penerima subsidi pupuk dapat memperoleh pupuk di kios resmi atau pengecer resmi. Secara rinci hasil penelitian tentang indikator tepat tempat akan dijelaskan pada Tabel 6.3 berikut ini.

Tabel 6.3. Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi

No. Tempat Pembelian Pupuk Jumlah Responden Persentase (%)

1. Pengecer resmi 7 11,67

2. Bukan pengecer resmi 53 88,33

Total 60 100

Sumber : Data Primer, 2012

Dari Tabel 6.3 di atas dijelaskan tentang besarnya ketepatan tempat pembelian pupuk bersubsidi. Ketepatan tempat ini diukur berdasarkan seberapa banyak responden yang yang membeli pupuk bersubsidi di pengecer resmi dan bukan pengecer resmi. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 53 responden menyatakan bahwa mereka melakukan pembelian pupuk di bukan pengecer resmi.

45 Responden tersebut menyatakan bahwa terdapat kios di dalam desa walaupun dengan harga yang lebih mahal dan bukan merupakan kios resmi. Namun, responden tersebut tetap memilih untuk membeli pupuk bersubsidi di kios dalam desa daripada di luar desa meskipun dengan harga yang lebih mahal dengan alasan bahwa kios luar desa terlalu jauh dan masih membutuhkan biaya transportasi.

Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa terdapat tujuh responden yang melakukan pembelian pupuk di pengecer resmi. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa responden yang membeli pada pengecer resmi di luar desa memiliki permintaan terhadap pupuk yang cukup besar, sehingga responden membeli di agen resmi dengan harga yang dibayar akan jauh lebih murah daripada harus membeli di kios yang berada di dalam desa. Dengan melakukan pembelian dalam jumlah besar responden tidak merasa dirugikan dengan adanya biaya transportasi. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan oleh beberapa petani dengan modal yang cukup besar untuk membeli dalam jumlah yang banyak. Petani dengan modal yang terbatas dimana tidak ada kios resmi yang berada dalam desa dan melakukan pembelian pupuk di luar desa akan merasa terbebani dengan biaya transportasi karena mereka hanya membeli pupuk dengan jumlah yang tidak besar dan tidak sebanding dengan biaya transportasi yang mereka keluarkan. Persentase responden yang melakukan pembelian pupuk di tempat yang bukan pengecer resmi dengan responden yang melakukan pembelian pupuk di pengecer resmi masing-masing sebesar 83,33 persen dan 16,67 persen. Dari persentase tersebut terlihat bahwa masih banyak responden yang melakukan pembelian pupuk bersubsidi di bukan pengecer resmi dengan berbagai alasan yang telah dijelaskan sehingga kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dalam indikator tepat tempat.

Indikator ketiga dalam menentukan tingkat keefektifan dari suatu kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat waktu. Indikator tepat waktu yang dimaksud adalah pupuk bersubsidi yang akan selalu tersedia ketika dibutuhkan oleh petani dengan kata lain bahwa tidak terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi ketika petaniakan membutuhkan pupuk tersebut. Secara rinci hasil dari penelitian

46

tepat waktu yang berdasarkan pendapat dari responden akan ditunjukkan pada Tabel 6.4 berikut ini.

Tabel 6.4. Persentase Tingkat Ketepatan Waktu Pupuk Bersubsidi

No. Ketepatan Waktu Jumlah Responden Persentase (%)

1. Pupuk selalu ada 60 100

2. Pupuk tidak ada 0 0

Total 60 100

Sumber : Data Primer, 2012

Tabel 6.4 di atas menunjukkan tentang ketepatan waktu dari perolehan pupuk bersubsidi. Indikator ketepatan waktu diukur dengan hasil pendapat responden yang menyatakan pupuk bersubsidi akan selalu ada atau tidak ada ketika dibutuhkan oleh responden. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 60 responden atau dapat dikatakan bahwa semua responden berpendapat bahwa pupuk bersubsidi selalu ada ketika akan dibutuhkan mereka untuk mendukung produksi. Responden berpendapat bahwa beberapa tahun terakhir termasuk tahun 2011 pupuk bersubsidi selalu ada. Kelangkaan pernah terjadi tetapi pada saat tahun-tahun yang lalu dan pada saat akhir tahun 2011 karena adanya penggantian warna pupuk untuk pupuk Urea yang tadinya berwarna putih sekarng menjadi berwarna merah muda. Hal ini bertujuan untuk membedakan antara pupuk Urea bersubsidi dan pupuk Urea non subsidi. Namun pada awal tahun 2012 ketersediaan pupuk sudah cenderung normal. Dari persentase 100 persen responden yang menyatakan bahwa pupuk bersubsidi selalu ada ketika dibutuhkan mereka maka dikategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk dikatakan efektif dalam indikator tepat waktu dengan tingkat ketepatan sempurna, yaitu 100 persen. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam melakukan kebijakan subsidi pupuk terutama untuk petani.

Indikator terakhir yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah indikator tepat jumlah. Indikator tepat jumlah yang dimaksud adalah pemupukan dilakukan sesuai dengan dosis atau jumlah berdasarkan analisa status hara tanahdan kebutuhan tanaman (Rahman, 2009). Jumlah pupuk yang tepat berdasarkan status hara dan kebutuhan tanaman yang dianjurkan adalah kombinasi antara urea 200kg/ha, TSP/SP-36 sebanyak 100kg/ha, dan KCL sebanyak 75-100kg/ha (Purwono dan Heni, 2009). Secara rinci hasil penelitian tentang ketepatan jumlah akan ditunjukkan pada Tabel 6.5 berikut ini.

47 Tabel 6.5. Persentase Ketepatan Jumlah Pupuk Bersubsidi

No. Ketepatan Jumlah Jumlah Responden Persentase (%)

1. Sesuai anjuran 10 16,66

2.

Tidak sesuai anjuran

a. di bawah anjuran 22 36,67

b. di atas anjuran 28 46,67

Total 60 100

Sumber : Data Primer, 2012

Berdasarkan Tabel 6.5 menunjukkan hasil dari ketepatan jumlah berdasarkan penggunaan pupuk oleh responden pada setiap luas lahannya.Responden dengan penggunaan pupuk sesuai dengan jumlah yang dianjurkan sebanyak 10 responden. Pemupukan dengan dosis yang tepat diperlukan untuk mendukung hasil produksi padi. Apabila terdapat kekurangan dan kelebihan jumlah pupuk pada setiap lahan akan mempengaruhi tanah dan tanaman sehingga diperlukan penggunaan yang tepat. Responden yang memberikan pupuk dengan jumlah yang tidak sesuai dengan anjuran adalah sebanyak 50 responden yang terdiri dari penggunaan dengan jumlah di bawah anjuran dan di atas anjuran yang masing-masing sebesar 22 dan 28 responden. Persentase yang didapat dari ketepatan jumlah antara responden yang menggunakan pupuk sesuai anjuran dengan yang tidak sesuai anjuran masing-masing sebesar 16,66 persen dan 83,34 persen. Dari persentase tersebut dapat terlihat bahwa persentase ketepatan jumlah hanya sebesar 16,66 persen yang berarti kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dalam indikator tepat jumlah. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan dari pemerintah kepada petani tentang penggunaan pupuk yang sesuai dengan anjuran agar hasil produksi padi mereka lebih maksimal karena apabila penggunaan tidak sesuai dengan anjuran baik di atas maupun di bawah anjuran akan mempengaruhi produksi padi.

Indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini akan dapat menentukan tingkat keefektivitasan subsidi pupuk di Desa Hambaro, Kecamatan nanggung, Kabupaten Bogor. Keefektifan kebijakan ini diukur berdasarkan presentase masing-masing indikator. Apabila presentase keselurahan indikator sama ataupun lebih dari 80% maka kebijakan subsidi pupuk dapat dikategorikan efektif. Apabila tingkat keefektifan di bawah 80% maka kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif. Secara rinci hasil dari keseluruhan indikator

48

tingkat keefektifan kebijakan subsidi pupuk akan ditunjukkan pada tabel berikut ini.

Tabel 6.6. Presentase Tingkat Keefektifan Kebijakan Subsidi Pupuk

No. Indikator Tingkat

Keefektifan

Tepat (%) Tidak Tepat (%)

1. Harga 12,59 87,41

2. Tempat 11,67 88,33

3. Waktu 100 0

4. Jumlah 16,66 83,34

Rata-rata 35,23 64,77

Sumber : Data Primer, 2012

Berdasarkan Tabel 6.6 di atas dapat diketahui hasil keseluruhan dari empat indikator yang menentukan tingkat keefektifan kebijakan subsidi pupuk yang diperoleh dari 60 responden yang menjadi sampel dari penelitian ini. Rata-rata dari keempat indikator yang tepat dan tidak tepat masing-masing sebesar 35,23 persen dan 64,77 persen. Dari hasil persentase keseluruhan indikator dapat terlihat bahwa persentase yang menyatakan tepat lebih kecil daripada yang tidak tepat.Selain itu persentase ketepatan tidak lebih besar dari 80 persen sehingga kebijakan subsidi pupuk dikatakan tidak efektif. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan baik dari segi penyaluran, pengawasan, maupun hal-hal lain yang mendukung terwujudnya kebijakan subsidi pupuk yang efektif. Perbaikan terutama dalam hal harga dan tempat pengecer resmi yang seharusnya ada di dalam desa. Sehingga harga pupuk bersubsidi yang diterima petani seharusnya sama dengan HET. Hal ini yang banyak diharapkan oleh responden. Alasan lain dari responden untuk tetap mengharapkan adanya program kebijakan subsidi pupuk akan ditunjukkan pada Gambar 6.1 berikut ini.

Gambar 6.1 Alasan Responden tentang Perlunya Subsidi Pupuk 30%

25% 30%

15%

Harga Pupuk Non Subsidi Mahal

Kebutuhan Pupuk Banyak Modal Petani Terbatas Laba Produksi Sedikit

49 Dari Gambar 6.1 di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat beberapa alasan petani tentang perlunya keberlanjutan kebijakan subsidi pupuk. Alasan terbesar petani masih membutuhkan adanya subsidi pupuk adalah harga pupuk non subsidi yang cukup mahal dan modal petani yang terbatas dengan presentase yang sama yaitu sebesar 30 persen. Harga pupuk non subsidi mahal membuat para petani enggan untuk membelinya seperti halnya pupuk KCL, pupuk KCL sudah tidak disubsidi padahal petani masih membutuhkan pupuk tersebut.Alasan lainnya mengenai modal petani yang terbatas menyebabkan petani pun masih membutuhkan adanya subsidi pupuk. Modal yang terbatas membuat petani tidak bisa membeli di kios resmi yang berada jauh di luar desa karena alasan biaya transportasi. Alasan selanjutnya adalah kebutuhan pupuk responden yang banyak. Kebutuhan responden akan pupuk yang terbilang banyak membuat pengeluran akan pupuk cukup besar sehingga perlu adanya subsidi pupuk untuk mengurangi pengeluaran responden. Alasan terakhir adalah alasan laba produksi sedikit yang membuat responden tetap menginginkan adanya subsidi pupuk yang efektif karena semakin tingginya harga pupuk. Harga pupuk yang tinggi karena kebijakan subsidi pupuk yang masih tidak efektif membuat harga pupuk bersubsidi yang seharusnya sama dengan HET pada kenyataannya harga yang diperoleh responden menjadi lebih tinggi dari HET. Tingginya harga pupuk juga mempengaruhi biaya produksi responden yang juga akan semakin meningkat. Hal ini juga tidak diimbangi dengan peningkatan harga pembelian gabah sehingga pendapatan yang diperoleh responden tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan mereka. Namun alasan ini memiliki persentase yang kecil yaitu sebesar 15 persen karena kebanyakan responden di Desa Hambaro tidak menjual hasil panennya. Hasil panen yang mereka dapat biasanya digunakan untuk konsumsi sehari-hari.

Berdasarkan berbagai alasan yang dijelaskan responden tentang masih pentingnya subsidi pupuk maka pemerintah harus memberikan perhatiannya pada kebijakan subsidi pupuk ini. Selain itu, telah diketahui bahwa hasil dari penelitian ini yang masih mengkategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk yang belum efektif sehingga perlu adanya perbaikan dari pemerintah untuk mengefektifkan kebijakan ini. Hal ini perlu dilakukan oleh pemerintah agar produksi padi

50

meningkat karena pupuk merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat produksi padi.

6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Pupuk Urea