• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk mengawali paparan pembahasan hasil penelitian, pada bagian ini diulas mengenai ekologi politik karhutla sebagai latar untuk menghantarkan analisis mengenai peran dan strategi LSM pada bagian selanjutnya. Pertama, bagian ini membahas karhutla sebagai bentuk masalah ekologi sebagai gambaran untuk memahami penyebab dan dampak langsung dari karhutla dalam konteks perubahan biofisik lingkungan hidup. Kedua, membahas mengenai karhutla dalam sudut pandang ekologi politik dimana di dalamnya terkandung isu relasi kuasa dari aktor-aktor yang terlibat, sebagai penghantar untuk analisis peran dan strategi LSM pada bagian berikutnya.

Karhutla sebagai Masalah Ekologi

Indonesia memiliki hutan tropika basah dengan kelembaban tinggi yang sesungguhnya tahan terhadap karhutla (Panjaitan 2015). Indonesia memiliki lahan basah seluas kurang lebih 19 juta hektar atau 10 persen dari total wilayah di Indonesia. Sebanyak 89 persen dari lahan basah tersebut merupakan hutan rawa gambut yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua Barat (Chokkalingam & Suyanto 2004). Pada awalnya, kebakaran hutan dianggap sebagai fenomena alami sebagai bagian dari gejala alam. Masyarakat tradisional sejak dulu sampai dengan saat ini, menggunakan teknologi api untuk memudahkan perburuan satwa dan membuka ladang pertanian. Sampai dengan tahun 1980-an karhutla masih bisa dikendalikan, namun dalam dua dekade terkahir, karhutla terjadi dalam intensitas tinggi, luas lahan terbakar makin luas, serta dampak kabut asap makin besar (SW 2014).

Karhutla dalam skala luas pertama kali terjadi pada tahun 1983 di Provinsi Kalimantan Timur dimana kurang lebih 3,6 juta hektar hutan tropika basah terbakar (Dennis et al. 2001). Kejadian karhutla skala luas berulang pada tahun 1997/1998 mencakup areal terbakar mencapai 11,7 juta hektar, yang merupakan kejadian karhutla terbesar sepanjang sejarah di Indonesia (Dennis 2001; Tacconi 2003; Panjaitan 2015). Tahun 2006 meskipun luasan terbakar menurun, namun intensitas kebakaran hutan semakin tinggi dan meluas. Setelah tahun 2006, karhutla terjadi dengan intensitas tinggi, dimana luas lahan terbakar rata-rata 80.000 hektar per tahun (SW 2014). Kejadian karhutla terakhir terjadi pada tahun 2014-2015 menghanguskan 2,6 juta hektar lahan (BD 2015). Rangkuman informasi mengenai sejarah karhutla di Indonesia dipaparkan dalam Lampiran 3.

Karhutla sebagai persoalan perubahan biofisik lingkungan hidup terwujud dalam bentuk meluasnya sebaran titik api yang menghanguskan hutan dan lahan, serta menimbulkan dampak kabut asap skala luas. Dennis et al. (2001) menjelaskan pokok persoalan yang menyebabkan karhutla adalah pembukaan hutan terutama hutan rawa gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem yang penting, karena memiliki fungsi sebagai penambat karbon sehingga mampu mengurangi emisi gas rumah kaca. Pembukaan hutan gambut mengakibatkan gambut mengalami penurunan permukaan (subsiden). Penurunan permukaan air pada lahan gambut mengakibatkan terjadinya kerentanan terjadinya kebakaran (Panjaitan 2015).

Adinugroho et al. (2004) menjelaskan lebih detail faktor-faktor penyebab langsung dari kebakaran antara lain adalah pembukaan lahan untuk pertanian,

potensi karhutla terjadi pada lahan gambut seluas 628.627 hektar dengan kerugian ekonomi diperkirakan 44,7 triliun rupiah.

Gambar 4.2. Sebaran Lahan Gambut di Provinsi Jambi (WARSI 2015) Pemantauan WARSI (2015) terhadap kasus karhutla di Jambi dari waktu ke waktu menggambarkan bahwa karhutla sudah menjadi bencana ekologis tahunan. Hal tersebut disimpulkan dari perkembangan titik api dari waktu ke waktu dalam jumlah yang besar. Pada kasus karhutla tahun 2015 titik api meningkat secara drastis mencapai 2.748 titik yang merupakan tertinggi dalam enam tahun terakhir.

Tabel 4.1. Perkembangan Titik Api dari Tahun 2010-2015 di Provinsi Jambi

Tahun Jumlah Titik Api

2010 82 2011 641 2012 962 2013 376 2014 485 2015 2.748 Sumber : WARSI (2015)

Karhutla pada tahun 2015 merupakan bentuk bencana ekologis di Pulau Sumatera dengan sebaran titik api terluas sejak tahun 1997/1998. Laporan KBPN (2015) menjelaskan bahwa selama periode Januari sampai Oktober 2015 terdeteksi titik api sebanyak 44.895 di Pulau Sumatera, dimana titik api terbanyak terdapat di Provinsi Sumatera Selatan, Riau dan Jambi. Ketiga Provinsi tersebut merupakan wilayah yang memiliki sebaran lahan gambut yang luas. Hal tersebut menjelaskan mengapa ketiga provinsi tersebut terjadi bencana kabut asap dalam skala luas, bahkan melintasi batas negara sampai ke Malaysia dan Singapura.

Gambar 4.3. Sebaran Titik Api di Pulau Sumatera Bulan Januari – Oktober 2015 (KBPN 2015)

Berdasarkan studi WARSI (2015) sebanyak 2.748 titik api di Provinsi Jambi telah menghanguskan 111.391 hektar. Studi tersebut menjelaskan bahwa pola dan kecenderungan dari karhutla disebabkan oleh semakin meluasnya pembukaan lahan gambut untuk HTI, perkebunan kelapa sawit dan perladangan masyarakat, serta pembuatan kanal-kanal irigasi pada lahan gambut untuk kepentingan operasi perusahaan. Lebih lanjut kronologi karhutla di Jambi pada tahun 2015 berdasarkan wawancara dengan informan menggambarkan bahwa eskalasi dampak karhutla terjadi mulai pada bulan Juli, dan mencapai puncak pada bulan September sampai Oktober, dan mengalami fase penurunan pada bulan November sampai Desember 2015.

Tabel 4.2. Kronologi Kejadian dan Dampak Karhutla 2015 di Jambi

Bulan Titik Api Status Bencana Dampak

Juli 300 Belum ditetapkan Kabut asap mulai meluas, kegiatan mulai masyarakat terganggu. Pemerintah Provinsi Jambi tidak segera menetapkan siaga bencana dengan alasan titik api belum pada tahap membahayakan. Agustus 932 Siaga bencana Kabut asap semakin meluas dan aktivitas

masyarakat terganggu. Bandara ditutup dan penerbangan dialihkan ke

Palembang. Setelah adanya desakan organisasi masyarakat sipil dan pemerintah pusat, pemerintah provinsi Jambi menetapkan siaga bencana. September 1.622 Darurat bencana Kota Jambi lumpuh akibat kabut asap

yang pekat, aktivitas ekonomi terganggu, sekolah diliburkan. Evakuasi terhadap

korban kabut asap mulai dilakukan. Status bencana ditingkatkan menjadi darurat setelah kondisi kabut asap sudah semakin parah.

Oktober 2.748 Darurat bencana Kota Jambi lumpuh akibat kabut asap semakin pekat, aktivitas ekonomi tidak bergerak, masyarakat mulai terserang gangguan penyakit pernafasan (ISPA) dan seorang balita berumur 15 bulan meninggal dunia.

Sumber : Wawancara informan3

Kasus Karhutla di Jambi tahun 2015 menggambarkan bahwa eskalasi dampak karhutla sesungguhnya telah terdeteksi sejak pada Bulan Juli 2015, namun pemerintah Provinsi Jambi baru menetapkan status siaga bencana pada bulan Agustus dan darurat bencana pada bulan September. Keterlambatan dalam penetapan darurat bencana berakibat pada lambatnya upaya pemadaman titik api yang mencapai puncaknya pada bulan September sampai Oktober 20154. Hal ini menegaskan bahwa kesiapan dari berbagai pihak terutama pemerintah untuk menangani kejadian bencana merupakan faktor penting yang menentukan besaran dampak yang ditimbulkan.

Karhutla sebagai Masalah Ekologi Politik

Ekologi politik adalah ranah kajian yang melihat masalah ekologi bukan hanya persoalan perubahan biofisik lingkungan hidup, namun terkandung di dalamnya dimensi politik terkait dengan relasi kuasa. Beberapa ahli ekologi politik memberikan penekanan yang berbeda-beda dalam kajiannya seperti dimensi ekonomi politik (Blaikie & Brookfield 1987), peran institusi politik formal (Peet & Wattts 1996), konteks negara dunia ketiga (Bryant & Bailey), penekanan pada narasi dan dimensi pengetahuan (Escobar 1999) dan dimensi politik dari sains lingkungan (Forsyth 2003). Kajian-kajian ekologi politik telah banyak dilakukan dalam berbagai ragam arena penelitian seperti isu konflik pengelolaan hutan (Khan 2013; Astuti & McGregor 2015; Hidayat 2016), politik konservasi alam (Adiwibowo 2005; Basset & Gautier 2015), konflik sumberdaya air (Cole 2012), dampak perkebunan kelapa sawit (Orsato et al. 2013) dan isu kesehatan (King 2009).

Bryant dan Bailey (1997) melihat krisis ekologi dalam tiga asumsi utama yaitu pertama, bahwa kerugian dan manfaat terkait dengan perubahan lingkungan hidup tidak terdistribusi secara setara. Perubahan pada lingkungan hidup menimbulkan pengaruh terhadap masyarakat tidak secara seragam, dimana terjadi ketimpangan politik, sosial dan ekonomi yang menimbulkan ketidaksetaraan distribusi manfaat dan kerugian. Kuasa politik memegang peran penting dalam kesenjangan tersebut. Kedua, ketidaksetaraan relasi kuasa mampu memperkuat atau mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi yang sedang berlangsung. Pada asumsi ini ekologi politik bergerak dalam konteks ekonomi politik, dimana

3

Wawancara dengan Diki Kurniawan (Direktur WARSI) tanggal 24 Mei 2016, Feri Irawan (Direktur Perkumpulan Hijau) tanggal 26 Mei 2016 dan Jaya Nofyandri (Direktur YLBHL) tanggal 27 Mei 2016.

4

perubahan lingkungan mampu mempengaruhi kondisi status quo dalam politik dan ekonomi yang ada. Ketiga, ketidaksetaraan dari kerugian dan manfaat, serta menguatnya atau menurunnya ketidaksetaraan yang sedang berlangsung, memiliki implikasi politik dalam mengubah konstalasi relasi kuasa yang ada.

Seturut dengan pendapat Bryant dan Bailey (1997) maka karhutla sebagai akibat dari proses-proses pembukaan hutan dan eksploitasi lahan, memberikan kerugian dan manfaat yang tidak merata bagi para aktor yang terlibat. Ketidaksetaraan relasi kuasa, membuat terbentuknya konfigurasi antara aktor yang dominan dan aktor yang lemah. Aktor yang dominan mampu menentukan arah pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan untuk meraih keuntungan sebesar- besarnya. Sementara sebaliknya, aktor yang lemah mengalami kerugian dan mendapatkan dampak-dampak sosial, ekonomi dan ekologi dari kejadian karhutla.

Ketidaksetaraan relasi kuasa tersebut berpengaruh terhadap konteks politik dan ekonomi dari tata kelola hutan dan lahan yang tengah berlangsung, dimana setiap tindakan-tindakan dari para aktor memiliki konsekwensi terhadap perubahan konstalasi relasi kuasa yang ada. Dengan demikian relasi kuasa merupakan kajian penting dalam melihat karhutla dari sudut pandang ekologi politik. Aktor-aktor yang terlibat dalam isu karhutla bisa dikategorikan dalam empat kelompok utama yaitu perusahaan, pemerintah, warga masyarakat dan kalangan LSM. Dengan melihat kepentingan (interests), kuasa (power) dan relasi (relation) maka bisa dianalisis kekuatan dari masing-masing aktor. Masing- masing aktor memainkan peran dan kepentingan mereka dalam isu karhutla, dimana perusahaan merupakan aktor dominan sementara warga masyarakat merupakan aktor yang paling lemah.

Perusahaan

Karhutla sebagai sebuah fenomena perubahan biofisik merupakan implikasi lebih lanjut dari sejarah panjang dari proses-proses deforestasi dan eksploitasi lahan di Indonesia. Proses-proses deforestasi terjadi dalam bentuk pembukaan hutan dalam skala luas, terutama berkaitan dengan praktik pembukaan lahan (land clearing) dengan cara membakar (Dennis 2001; Tacconi 2003; Panjaitan 2015). Pembukaan hutan dan eksploitasi lahan dalam skala luas berkaitan dengan kepentingan ekspansi perusahaan berbasis hutan dan lahan seperti perusahaan kayu dan perkebunan kelapa sawit (SW 2014).

Kepentingan ekspansi perusahaan berbasis hutan dan lahan seperti perusahaan kayu dan perkebunan kelapa sawit dalam skala luas terkait dengan pemenuhan kebutuhan pasar akan produk kayu, bubur kertas dan minyak sawit. Gelombang pertama dari ekspansi perusahaan kayu telah terjadi sejak tahun 1970- an. Dalam rangka pemenuhan permintaan pasar kayu dikembangkan sistem pengusahaan hutan produksi alam dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH)5. Perkembangan HPH telah mendorong pembukaan hutan dalam skala luas, mengubah lanskap berhutan menjadi terbuka, termasuk hutan-hutan rawa gambut (Tacconi 2003). Kartodihardjo (2007) menjelaskan bahwa terjadi kesenjangan

5

HPH ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970. Skema HPH dikembangkan dengan memberikan izin bagi perusahaan-perusahan besar untuk mengeksploitasi kayu dari hutan alam.

antara permintaan pasar dengan ketersediaan bahan baku6. Kesenjangan tersebut mendorong terjadinya pemenuhan kebutuhan kayu secara ilegal. Maraknya pembalakan kayu liar (illegal logging) tersebut mendorong kerusakan hutan semakin masif, lanskap hutan semakin terbuka dan rentan terjadinya kebakaran. Fakta karhutla pada tahun 1983 terjadi di Kalimantan Timur, merupakan salah satu wilayah dengan areal konsesi HPH yang luas.

Pada tahun 1980-an pembukaan hutan semakin masif dengan dikembangkannya skema Hutan Tanaman Industri (HTI). Perkembangan HTI dilatarbelakangi oleh hutan alam produksi (HPH) yang tidak lagi produktif dan tidak menarik bagi investor (Kartodihardjo 2007). Berbagai paket kemudahan investasi dikembangkan agar menarik investasi dalam pengembangan HTI. Pengembangan HTI mendorong terjadinya perubahan hutan alam menjadi hutan tanaman yang bersifat monokultur (Tacconi 2003).

Gelombang kedua ekspansi perusahaan berbasis hutan dan lahan adalah fenomena meluasnya perkebunan kelapa sawit7, mulai di Sumatera sejak tahun 1990-an, dan bergulir ke Kalimantan, Sulawesi dan kini ke Papua Barat. Kementerian Pertanian (2014) mencatat bahwa luas perkebunan kelapa sawit meningkat dari 4 juta hektar pada tahun 2000 menjadi 13,5 juta hektar pada tahun 2013. Peningkatan permintaan pasar global memicu ekspansi perkebunan kelapa sawit dalam skala lebih luas sejak tahun 2000-an. Kelapa sawit menjadi primadona ekspor Indonesia dalam rangka perolehan devisa negara8. Karhutla dalam skala luas pada tahun 1997/1998, 2006/2007 dan terakhir 2014/2015 memiliki kaitan erat dengan peningkatan permintaan lahan terkait dengan kepentingan pembukaan perkebunan kelapa sawit (Purnomo et al. 2015).

Perusahaan memiliki kuasa kapital yang mampu menentukan arah pemanfaatan sumberdaya lahan demi kepentingan ekonomi. Hal ini nampak dari penguasaan perusahaan-perusahaan besar terhadap lahan dalam struktur perkebunan kelapa sawit di Indonesia. TUKI (2015) mengungkap bahwa sebanyak 25 grup perusahaan besar9 menguasai 3,1 juta lahan yang sudah tertanam dan 2 juta lahan yang belum ditanam atau lebih dari 50 persen total areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Lima besar grup perusahaan terbesar yang menguasai lahan perkebunan kelapa sawit adalah Grup Sinar Mas Grup, Salim , Jardine dan Matheson, Wilmar dan Surya Dumai. Perusahaan-perusahaan raksasa

6

Permintaan pasar dan kapasitas industri kayu sangat tinggi yakni 44 juta m3 tiap tahun, sementara kemampuan hutan alam dalam menghasilkan log adalah 22,53 juta m3 dari hutan produksi dan 3,72 juta m3 dari hutan konversi (Kartodihardjo 2007).

7

Perkembangan perkebunan kelapa sawit seiring dengan mulai surutnya industri kayu terutama HPH. Lahan-lahan bekas HPH yang sudah tidak beroperasi merupakan areal yang menjadi sasaran pengembangan perkebunan kelapa sawit (SW 2014).

8

Pada tahun 2014, kelapa sawit menjadi salah satu penyumbang devisa negara yakni sebesar 19,1 milliar dolar AS atau 219,65 triliun rupiah (SW 2014). Indonesia merupakan produsen terbesar produk kelapa sawit dunia bersama dengan Malaysia, yang mampu memasok 52 persen pangsa pasar kelapa sawit global dengan mengekspor 33 juta ton sepanjang tahun 2014 (Purnomo et al. 2015)

9

Dua puluh lima grup perusahaan besar tersebut adalah kelompok perusahaan yang dimiliki oleh para pengusaha kaya (konglomerat) dan tidak termasuk perusahaan yang dikendalikan oleh negara seperti PTPN (Indonesia), Sime Darby (Malaysia), PTT (Thailand) dan Felda Global Ventures (Malaysia) yang secara total menguasai 15 persen lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia (TUKI 2015).

tersebut dimiliki oleh pengusaha-pengusaha yang menduduki peringkat atas, dalam hal kekayaan pribadi mereka10.

Tabel 4.3. Penguasaan Lima Besar Grup Perusahaan Kelapa Sawit

Nama Gup Nama Perusahaan Luas Lahan (ha) Pemasukan tahun 2013 (Juta USD)

Sinar Mas Golden Agri Resources 788.907 6.596

Salim Indofood Agri Resources 413.138 1.282

Jardine dan Matheson Astra Agro Lestari 363.227 1.233

Wilmar Wilmar International 342.850 4.085

Surya Dumai First Resources 304.468 626,5

Sumber : TUKI (2015)

Realita diatas memberikan gambaran bahwa perusahaan merupakan aktor dominan dilihat dari kekuatan kapital, penguasaan lahan dan manfaat ekonomi yang diraih dari eksplotasi sumberdaya lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Ada tiga hal yang menegaskan bahwa perusahaan merupakan aktor dominan. Pertama adalah perusahaan memiliki penguasaan modal dalam bentuk nilai investasi ekonomi yang ditanamkan untuk eksploitasi hutan dan lahan. Nilai investasi tersebut selaras dengan sistem ekonomi yang tengah berlangsung, dimana ekspor komoditas menjadi andalan dalam perolehan devisa negara. Sebagai contoh adalah ketika produk kelapa sawit menjadi andalan ekspor Indonesia dalam rangka pemenuhan pangsa pasar global, maka berbagai kebijakan dan kemudahan dalam investasi sektor perkebunan kelapa sawit dikembangkan sebagai insentif untuk ekspansi kebun lebih luas11. Kedua, besarnya manfaat ekonomi dari investasi perkebunan kelapa sawit, memperkuat posisi perusahaan untuk melakukan negosiasi kepentingan mereka berhadapan dengan pemerintah dan masyarakat untuk melancarkan usaha mereka, serta mengeliminasi berbagai bentuk gangguan yang menghambat perusahaan dalam mengeruk keuntungan12. Ketiga, kekuatan modal dan posisi tersebut menjadi faktor penting untuk meminimalkan biaya operasi terutama terkait dengan dampak-dampak yang timbul sebagai konsekwensi dari eksploitasi hutan dan lahan. Sebagai contoh dalam kasus karhutla, perusahaan tidak menanggung beban biaya besar terhadap kerugian ekonomi, sosial dan ekologi dari dampak karhutla. Lebih dari itu perusahaan yang melakukan praktik pembakaran lahan mampu bebas dari jeratan hukum13.

Karhutla lebih banyak berkaitan dengan aktivitas perusahaan baik karena kelalaian (by accident) maupun kesengajaan (by design). Kelalaian berkaitan

10

Secara lengkap laporan investigasi penguasaan perkebunan kelapa sawit oleh grup perusahaan besar ditulis oleh LSM TUK Indonesia dalam buku berjudul “Kuasa Taipan Kelapa Sawit di

Indonesia” yang diterbitkan pada tahun 2015.

11

Wawancara dengan Jefri Saragih (Direktur Sawit Watch) tanggal 30 April 2016 12

Wawancara dengan Irwan Nurdin (Sekjen KPA) tanggal 27 April 2016 13

Gugatan perdata sebesar 7,9 triliun rupiah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2014 terhadap perusahaan PT. Bumi Mekar Hijau (BMH), salah satu anak perusahaan Grup Sinar Mas yang diduga melakukan pembakaran hutan dan lahan berakhir kekalahan di pihak pemerintah.

dengan ketidaksiapan perusahaan dalam mengantisipasi terjadinya kebakaran, sementara kesengajaan berkaitan dengan kepentingan perusahaan untuk menggunakan cara paling murah dan cepat untuk membuka lahan14. Studi WARSI (2015) menemukan bahwa praktik-praktik perusahaan yang membuka lahan dengan cara membakar terjadi di Kabupaten Muaro Jambi. Studi menemukan karhutla terjadi tepat di lahan perusahaan, dimana dari analisis citra satelit titik- titik api tersebut berpindah setiap tiga tahun sekali15.

Dilihat dari sebaran titik api dari tahun ke tahun, terdapat hubungan antara kejadian karhutla dengan aktivitas perusahaan HTI dan perkebunan kelapa sawit. WALHI Jambi mengungkap pada kawasan Bukit Tiga Puluh yang dikelola oleh perusahaan HTI PT. LAJ sejak tahun 2010, setiap tahun terindikasi terdapat titik api. Investigasi WALHI Jambi menemukan bahwa sisa-sisa hasil pembakaran sengaja digeser ke lahan masyarakat untuk menutupi praktik-praktik mereka dalam pembakaran lahan16. Pola-pola sama dilakukan oleh perusahaan yang sedang mengalami sengketa lahan dengan masyarakat. Fakta-fakta lapangan tersebut sudah sering diungkap namun tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah.

SW (2014) mengungkap bahwa karhutla terkait dengan sengketa lahan dengan perkebunan kelapa sawit. Pada penelitian di Pelalawan dan Siak, Provinsi Riau terdapat pola-pola yang sama terkait bagaimana cara-cara perusahaan untuk menguasai lahan dengan memanfaatkan karhutla. Lahan-lahan yang terbakar merupakan arela perladangan masyarakat yang berbatasan dengan areal konsesi perusahaan, dimana lahan-lahan terbakar tersebut merupakan lahan yang memang diincar untuk perluasan perkebunan kelapa sawit. Ketika lahan masyarakat tersebut “terbakar” maka aset tanaman masyarakat seperti karet menjadi hangus dan kesuburan tanah menjadi menurun, yang memungkinkan perusahaan menguasai lahan tersebut dengan membelinya. Ilustrasi pola penguasaan lahan oleh perusahaan seperti dijelaskan pada Gambar 4.4.

Pola-pola penguasaan lahan tersebut tidak lepas dari peningkatan kebutuhan akan lahan untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Peningkatan kebutuhan lahan tersebut didorong oleh melonjaknya permintaan pasar akan produk kelapa sawit pada pasar global. Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dimana bersama Malaysia menguasai 52 persen pangsa pasar produk kelapa sawit global (Purnomo et al. 2015, SW 2014). Dengan demikian motif ekonomi politik perusahaan merupakan faktor dominan yang mendorong kepentingan untuk perluasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit.

14

Wawancara dengan Jaya Nofyandri (Direktur YLBHL) tanggal 27 Mei 2016

15

Wawancara dengan Diki Kurniawan (Direktur KKI WARSI) tanggal 24 Mei 2016 menjelaskan bahwa membakar untuk membuka lahan menjadi cara yang mudah dan murah, karena membutuhkan waktu delapan bulan untuk membuka lahan secara manual, sementara dengan cara membakar hanya butuh waktu selama satu bulan. Hal ini akan menghemat biaya tenaga kerja dan sewa alat berat. Selain itu dengan mambakar akan mampu mengurangi keasaman lahan gambut dan menghemat pupuk fosfor.

16

Wawancara dengan Musri Nauli (Direktur WALHI Jambi) tanggal 28 Mei 2016 menjelaskan pola-pola kejadian karhutla terkait dengan konflik antara perusahaan dan masyarakat. Karhutla dijadikan tameng perusahaan untuk menuduh masyarakat yang melakukan pembakaran lahan, padahal esensinya adalah terjadi sengketa lahan antara perusahaan dan masyarakat.

Gambar 4.4. Pola Penguasaan Lahan Masyarakat oleh Perusahaan di Riau (Sumber : SW 2014)

Pemerintah

Pemerintah dalam konteks penelitian ini adalah pemerintah pusat dan daerah, termasuk di dalamnya aparatur penegakan hukum. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk menetapkan kebijakan dan regulasi dalam konteks tata kelola hutan dan lahan, mendistribusikan resiko atas kerusakan sumberdaya kepada para pelaku ekonomi, melakukan penegakan hukum terhadap para pelanggar aturan serta mendorong keadilan dalam akses terhadap sumberdaya alam (Kartodihardjo 2007). Dalam konteks isu karhutla, hal tersebut masih belum sepenuhnya terjadi.

Beberapa masalah terkait dengan peran pemerintah adalah pertama, lemahnya integritas dan rendahnya akuntabilitas dari aparatur pemerintah terkait dengan karhutla. Hal tersebut terbukti dari masih adanya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan seperti malpraktik perizinan, pelanggaran tata ruang dan berbagai bentuk korupsi di sektor kehutanan17 (Dermawan et al 2014; WWFI 2014). Hal tersebut tergambar dalam Indeks Persepsi Korupsi yang disampaikan oleh Transparency International pada tahun 2013 menempatkan Indonesia pada posisi 114 dari 177 negara, dengan nilai indeks 3.2 (WWFI 2014). Peringkat tersebut menggambarkan bahwa Indonesia masih berada di papan bawah dalam upaya memerangi korupsi dan menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Berbagai kasus keterlibatan pejabat publik di daerah yang terlibat kasus korupsi sebagai besar terkait dengan isu perizinan sektor kehutanan dan perkebunan18.

Kedua, berbagai kebijakan dan regulasi baik pemerintah pusat maupun daerah justru mendorong proses-proses ekspansi perusahaan berbasis lahan dan hutan. Hal tersebut tergambar dalam kebijakan terkait dengan pembukaan hutan

17

Menurut Human Right Watch (2013), kerugian keuangan negara akibat korupsi kehutanan di Indonesia mencapai angka USD 2,2 juta per tahun atau setara dengan 22 trilyun per tahun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan memperkirakan uang negara yang lenyap karena korupsi di sektor kehutanan mencapai angka USD 100 milyar.

18

JKL (2015) mengungkap di Provinsi Riau, korupsi perizinan sektor kehutanan yang merugikan keuangan negara dan menguntungkan 20 korporasi sektor hutan tanaman industri senilai hampir 3 triliun rupiah yang terjadi di Kabupaten Pelalawan dan Siak. Terpidananya Dua Bupati, Tiga Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau dan dua Gubernur Riau membuktikan buruknya tata kelola hutan dan perkebunan. Kasus ini terjadi pada 2002-2007, dan Komisi Pemberantasan Korupsi

Dokumen terkait