• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Ekonomi dan Sosial-Budaya

Pulau Jawa dengan luas sekitar 13.3 juta ha merupakan pusat ekonomi, sosial, politik dan budaya di Indonesia (Whitten, 1996). Pada tahun 2005, pulau Jawa dihuni oleh 128,47 juta jiwa atau 58.70% dari total penduduk Indonesia sejumlah 218. 869 juta jiwa (BPS, 2005). Selama periode 1971-2005, rata-rata laju pertambahan penduduk adalah 11.4%. Dari pertambahan penduduk yang pesat tersebut, provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang paling menderita akibat ledakan migrasi penduduk antar provinsi. Jakarta yang diserbu kaum urbanis dari provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan provinsi lainnya, malah ikut menambah penduduk provinsi Jawa Barat 3.24 juta jiwa dalam lima tahun terakhir.

Kepadatan penduduk merupakan cerminan dari tekanan penduduk terhadap lahan. Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin tinggi tekanan penduduk terhadap lahan (Giyarsih, 2005). Berdasarkan pada data hasil Sensus Nasional 2005, kepadatan penduduk di enam provinsi yang ada di pulau Jawa tidak merata. Secara keseluruhan, kepadatan penduduk pulau Jawa adalah 968 jiwa/km2. Kepadatan penduduk terpadat dijumpai di provinsi DKI Jakarta (13.605 jiwa/km2 ), kemudian menyusul provinsi D.I Yogyakarta (1.054), Jawa Barat ( 1.050 jiwa/km2), Jawa Tengah (929 jiwa/km2), Banten (965 jiwa/km2), dan Jawa Timur (755 jiwa/km2). Selama kurun waktu 5 tahun (2000-2005), kepadatan penduduk di provinsi DKI Jakarta mengalami peningkatan sangat tajam (Gambar 12). Kepadatan penduduk DKI Jakarta meningkat dari 12.837 jiwa/km2 menjadi 13.603 jiwa/km2. Peningkatan kepadatan penduduk provinsi ini diduga sebagai akibat dari arus urbanisasi penduduk dari provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan provinsi-provinsi lain dari luar Jawa. Peningkatan kepadatan penduduk di provinsi lain yang cukup tinggi adalah Banten dan DI. Yogyakarta. Di kedua provinsi ini selama kurun waktu 5 tahun, kepadatan penduduknya mengalami peningkatan lebih dari 100 jiwa/km2.

Gambar 11. Pertambahan penduduk di Jawa dari tahun 1971-2025. (1971-2005: hasil sensus, 2010 - 2025: proyeksi)

0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 1971 1980 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 Tahun Ju m lah P en d u d u k ( 000 Ji w a ) Banten DI Yogyakarta DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur

Jumlah penduduk di Jawa pada tahun 2005 mencapai 12.5 juta jiwa, sekitar 60% tinggal di daerah pedesaan. Sekitar 70% penduduk di pedesaan tersebut bekerja di sektor pertanian (BPS,1985-2007). Hasil Sensus Pertanian 2003 yang diperlihatkan pada Gambar 13 menunjukkan bahwa jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) di Jawa mencapai 8.46 juta, yang mana 6.84 juta (80%) mengusahakan tanaman padi sawah sedangkan sisanya 1.62 juta (20%) mengusahakan padi gogo. Jumlah RTP padi sawah sebagian besar terkonsentrasi di provinsi Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), dan Jawa Timur (Jatim).

Gambar 12. Kepadatan penduduk pulau Jawa tahun 2000 dan 2005

0 5,000 10,000 15,000 Bant en DKI . Jak arta Jabar Jaten g D.I. Yog yaka rta Jatim Tahun K ep ad at an ( ji w a/ km 2) T ahun 2005 T ahun 2000 0 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 Bant en DK I Jak arta

Jabar Jateng

DI. Y ogy akar ta Jatim Provinsi J u m la h R T P ( R ib u ) Padi Padi Sawah Padi Gogo

Jumlah RTP tersebut adalah 68% dari jumlah RTP padi sawah yang ada di Indonesia (10.06 juta).

Selain kepemilikan lahan garapannya yang sempit, petani di Jawa umumnya juga memiliki kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) dengan tingkat pendidikan rendah. Menurut data BPS tahun 2002, tingkat pendidikan tenaga kerja pertanian yang tidak sekolah dan tidak tamat SD sebesar 35%, tamat SD 46%, tamat SLTP 13%. Dibandingkan dengan sektor non pertanian pada tahun yang sama, tingkat pendidikan tenaga kerja yang tidak sekolah dan tidak tamat SD 31%, tamat SLTP sekitar 20%, dan tamat SLTA 27%. Tingginya tingkat pendidikan di sektor non- pertanian ini sebagian besar berasal dari mereka yang melakukan urbanisasi atau yang meninggalkan sektor pertanian di pedesaan.

2.3.2 Ekonomi

Selain penduduknya terbesar dan terpadat, pulau Jawa juga merupakan pusat perekonomian nasional. Selama tahun 2007, kinerja perekonomian di pulau Jawa yang digambarkan oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan dari provinsi DKI. Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Jawa Timur mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 5.79%. Nilai PDRB rata-rata dari 6 provinsi tersebut mencapai 178 triliun. Nilai PDRB tertinggi dicapai provinsi DKI Jakarta (312.71 triliun), kemudian menyusul provinsi Jawa Barat (257.54 triliun), Jawa Timur (256.37 triliun), Jawa Tengah (150.68), Banten (61.32 triliun), dan D.I Yogyakarta (29.42 triliun).

0 50 100 150 200 250 300 350

DKI Jakarta Banten Jabar Jateng DI. Yogyakarta Jatim

Provinsi P DRB ( tri lu n )

Gambar 14. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2007 atas harga konstan tahun 2000

Penduduk di Indonesia, termasuk Jawa, sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. Lebih dari 83% kabupaten/kota ekonominya berbasis kepada pertanian (Deptan, 2006). Berdasarkan pada data PDRB tahun 2007 yang ditampilkan pada Tabel 3, laju pertumbuhan perekonomian rata-rata dari sektor pertanian di Jawa mencapai 7,54%. Terendah dijumpai di provinsi DKI Jakarta, yaitu 0.92, sedangkan yang terbesar di provinsi Jawa Barat (35.44). Sektor pertanian tersebut meliputi tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa sekitar 9.59 juta RTP atau 70% dari 13.7 juta RTP di Jawa mengusahakan padi dan palawija.

Kecilnya nilai pertumbuhan dari sektor pertanian di provinsi DKI Jakarta dapat dimengerti, mengingat provinsi ini memiliki lahan pertanian sangat sempit. Tingginya nilai pertumbuhan perekonomian dari sektor pertanian di provinsi Jawa Barat, namun demikian, tidak diikuti peningkatan kesejahteraan petani. Pada tahun 2007, tingkat kesejahteraan petani di Jawa Barat lebih rendah dibandingkan tiga provinsi lainnya yaitu Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Kondisi ini dapat dilihat dari rendahnya indeks Nilai Tukar Petani (NTP), yaitu indeks rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar rumah tangga tani. Rendahnya NTP disebabkan oleh harga jual petani di Jawa Barat lemah, biaya produksi tinggi, nilai tukar petani rendah, dan produksi petani dijual ke tengkulak. Nilai tukar petani di Jawa Barat hanya 95, sedangkan di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur secara berurutan adalah 105, 102, dan 100,3. Nilai tukar petani 96 di Jawa Barat menunjukkan bahwa petani mengalami defisit, kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya, dan pendapatan petani di Jawa Barat cenderung turun. Nilai tukar petani di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur lebih dari 100 berarti ketiga daerah tersebut mengalami surplus, harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga komsumsinya dan pendapatan petani naik lebih besar dari pada konsumsinya (Swastiyani, 2008).

Tabel 3. Nilai dan laju Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tahun 2006 atas harga konstan tahun 2000 (dalam triliun)

Sektor Usaha

Provinsi

DKI1 Banten2 Jabar3 Jateng4 DIY5 Jatim6

Nilai LP Nilai LP Nilai LP Nilai LP Nilai LP Nilai LP

Pertanian 0.29 0.92 5.00 1.10 34.72 35.44 31.00 3.60 3.31 0.57 44.70 3.61

Pertambangan & Penggalian 0.94 0.46 0.06 3.75 7.02 -14.54 1.68 15.40

0.20 0.03 5.02 9.13

Industri Pengolahan 53.65 4.68 30.55 5.43 114.30 4.19 48.19 4.52 4.08 10.17 70.64 4.62

Listrik, Gas, Air Bersih 2.09 4.55 2.51 2.19 5.76 6.69 1.26 6.49 0.38 0.06 4.43 5.73

Bangunan/Konstruksi 31.17 7.62 1.66 5.18 8.11 0.19 8.45 6.10 2.87 0.73 8.90 3.49

Perdagangan, hotel, restoran 67.68 7..04 11.48 7.28 50.61 9.05 7.45 5.85 5.56 1.14 74.55 9.17

Pengangkutan dan komunikasi 26.61 14.65 5.42 10.31 11.14 -0.78 7.45 6.63 3.05 0.61 14.52 4.99

Keuangan, Persewaan 94.28 4.40 1.89 8.23 7.68 1.24 5.40 6.55 2.78 0.43 12.67 7.56

Jasa 36.12 6.07 2.74 9.44 18.20 0.38 15.44 7.89 5.90 0.47 20.95 4.29

PDRB 312.71 6.61 61.32 5.53 257.54 7.27 150.68 5.33 29.42 4.20 256.37 5.84

2.3.3 Sosial-Budaya

Revitalisasi pertanian lahan sawah di Jawa tidak bisa terlepas dari faktor sosial-budaya. Gany (2006) mengemukakan bahwa berdasarkan pada pengalaman sejarah pengembangan teknologi irigasi di Indonesia harus memperhatikan faktor budaya, disamping faktor sosial, ekonomi, moral, etika, bahkan pertahanan dan keamanan. Budaya suku Jawa dan Sunda yang mendominasi masyarakat petani pedesaan di Jawa berperan penting terhadap kemajuan sistem pertanian padi sawah.

Sistem sosial dan budaya dalam masyarakat pertanian telah berperan dalam membangun ketahanan pangan dan ketahanan sosial, seperti lumbung pangan, sistem arisan, dan lainnya (Deptan, 2006). Gani (2006) menambahkan bahwa budaya Sistem pertanian padi sawah yang ada di Jawa saat ini tidak terlepas dari pengaruh budaya nenek moyang kita yang telah ditanamkan oleh budaya Dong Son dari Vietnam Utara pada abad ke-3 (Yokokura, 1987, dalam Poniman, 1989) dan budaya India pada abad ke-8 hingga ke-13 (Lombard, 1996b; Poniman, 1989). Dari sistem pertanian padi sawah yang ada, Poniman (1989) mengelompokkan budaya padi di Indonesia menjadi enam wilayah, yaitu wilayah Jawa-Bali, wilayah pegunungan & perbukitan dan pantai luar Jawa, wilayah Aceh, wilayah Wallacea, dan wilayah Timur Indonesia.

Budaya padi sawah di Jawa dan Bali dipengaruhi oleh kondisi tanahnya yang berbahan induk volkan. Disamping airnya yang cukup, tanaman padi di Jawa dan Bali dapat tumbuh dengan subur di tanah yang kaya akan unsur hara dari hasil pelapukan batuan volkan. Sistem pertanian di kedua daerah ini menggunakan sapi bajak dan cangkul untuk pengolahan tanah dan ani-ani untuk panen padi, yang merupakan warisan dari budaya India pada abad ke-8 dan budaya Dong Son pada abad ke-3 (Poniman, 1989). Pengolahan tanah sawah dengan teknologi yang telah diperkenalkan oleh budaya Dong Son dan India tersebut merupakan tindakan adaptif terhadap kondisi lingkungan tanah di Jawa dan Bali yang sebagian besar terbentuk dari bahan induk volkan. Pada tanah mineral yang berbahan induk volkan, unsur hara tanaman sebagai hasil pelapukan dari mineral-mineral primer umumnya berada pada kedalaman sekitar 20-30 cm. Teknologi pengolahan tanah dengan bajak merupakan upaya untuk membalik

tanah yang kaya unsur hara agar tanaman padi yang ditanam dapat tumbuh seperti yang diharapkan. Soemarwoto (2008) mengemukakan bahwa pertanian padi sawah dapat dianggap sebagai adaptasi manusia terhadap lingkungan yang banyak bergunung dengan curah hujan yang tinggi. Di Jawa Tengah, pertanian padi sawah yang mengikuti garis kontur disebut nyabuk gunung, yaitu seperti ikat pinggang yang melingkari gunung, sedangkan di Jawa Barat disebut ngais pasir, yaitu ibaratnya menggendong gunung dengan selendang.

Kelangsungan sistem pertanian padi sawah dengan teknologi modern selain dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, juga dipengaruhi oleh adanya budaya yang mengagungkan Dewi Padi Sang Hyang Sri (mother rice). Budaya pengagungan Dewa Sang Hyang Sri ini masih dilestarikan di beberapa wilayah di Jawa, misalnya adanya cerita legenda burung dan Hainuwele sebagai asal mula tanaman padi (Poniman, 1989). Penerapan budaya Dewi Padi ini merupakan ikatan sakral bagi sebagain besar masyarakat petani di Jawa dan dapat berperan sebagai faktor inherent untuk menjaga keberlanjutan pertanian padi sawah.

Pengolahan tanah sawah di daerah pegunungan dan perbukitan diterapkan di daerah yang memiliki tanah-tanah berbahan induk non volkan. Sistem pertanian di wilayah ini umumnya dilakukan secara berpindah-pindah. Sistem pertanian padi sawah yang menetap seperti di Jawa dan Bali, namun demikian, juga masih diterapkan di beberapa daerah, seperti di Tapanuli (Sumatera Utara). Budaya menanak nasi dan memproduksi alkohol, dan pengagungan Dewa Sang Sri juga masih di terapkan di wilayah pegunungan dan perbukitan.

Budaya padi wilayah pantai diterapkan di daerah pantai Timur Sumatera, pantai Barat, Selatan, dan Timur Kalimantan. Di wilayah-wilayah ini yang tanahnya didominasi oleh tanah Gambut (Organosol), sistem pertaniannya masih dilakukan secara berpindah-pindah. Penyiapan lahannya menggunakan parang dan tajak, bukan menggunakan sapi bajak seperti di Jawa dan Bali. Penanaman padi dilakukan dengan menggunakan kuku kambing dan tugal, dan panen padi menggunakan ani-ani dari peninggalan budaya Dong Son (Poniman, 1989). Penyiapan lahan dengan parang dan tajak ini merupakan teknologi lokal (local knowledge) untuk dapat beradaptasi dengan karakteristik tanah gambut yang memiliki bahan beracun sulfidik. Masyarakat petani lokal di daerah Gambut ini

secara alami mengetahui bahaya beracun sulfidik yang terungkap di atas permukaan dapat mengakibatkan tanaman padi tidak dapat hidup.

Sistem pertanian padi sawah Aceh hampir mirip dengan di Jawa dan Bali, yaitu dilakukan secara menetap, dan pengolahan tanah dengan bajak. Pengagungan dewa padi, seperti Hainuwele juga dikenal, namun legenda asal mula tanaman padi ini berjenis kelamin laki-laki, bukan perempuan seperti Sang Hyang Sri di Jawa dan Bali.

Budaya padi sawah di wilayah Wallace diterapkan di daerah Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Sulawesi. Sistem pertanian di daerah ini umumnya dilakukan dengan cara berpindah-pindah pada lahan semak belukar (bush fallow system). Namun demikian, sistem bertani dengan berpindah-pindah dan menetap juga dilakukan di sistem budaya ini. Teknologi pengolahan tanah menggunakan pak-pak, mrancah kerbau (buffalo trampling), dan kadang-kadang dengan sapi (Cattle Trampling). Seperti halnya di Jawa, pengagungan kepada Sang Hyang Sri dan legenda Hainuwele juga dikenal di beberapa wilayah.

Budaya padi sawah wilayah Timur Indonesia berbeda dengan di Jawa. Sistem pertaniannya umum menggunakan ladang berpindah. Panen padi menggunakan pisau atau tangan. Ani-ani dan arit hampir tidak dikenal di wilayah budaya ini. Sistem pertanian berpindah juga diterapkan di beberapa daerah, walaupun tidak banyak. Pengagungan kepada dewa padi tidak dikenal, namun legenda Hainuwele tentang cerita asal mula tanaman padi dijumpai.

2.4 Multifungsi Lahan Sawah

Dokumen terkait