• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salman ITB Kerjasama dengan Lembaga Studi Islam Bandung, 1401 H – 1981 M), h

D. Pengembangan Kompetensi Peradilan Agama

4. Ekonomi Syari’ah

Materi hukum Islam pada Lembaga Peradilan Agama yang masih memerlukan perhatian khusus ialah ekonomi syari‟ah. Yang dimaksud dengan ekonomi syari‟ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syari‟ah. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak termasuk ekonomi syari‟ah sebagai bagian dari kewenangan Pengadilan Agama. Pada pasal 49 undang-undang ini dijelaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; wakaf dan sedekah. Ekonomi syari‟ah tidak termasuk dalam bidang perkara di Pengadilan Agama.

Mengenai kekuasaan Peradilan Agama sebagaimana pada (pasal 49) termuat dua bagian hukum merupakan satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan yaitu: (1) mengenai subjek hukumnya adalah orang-orang yang beragama Islam sebagai pihak maupun para pihak dalam suatu perkara; (2) mengenai hubungan hukumnya adalah bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; serta wakaf dan sedekah.55 Perkara yang tidak termasuk dalam hubungan hukum tersebut, maka tidak termasuk kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan. Betapa banyak perkara yang menyangkut orang Islam yang tidak masuk dalam kewenangan Pengadilan Agama, antara lain yang mengemuka adalah mengenai perbankan syari‟ah dan semacamnya.

Sehubungan dengan banyaknya perkara dalam masyarakat Islam yang tidak masuk dalam wilayah Peradilan Agama, ada angin segar untuk lembaga Peradilan Agama. Dalam undang-undang atau Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

55H. Zain Badjeber dan Abdul Rahman Saleh, Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Komentar (Jakarta: Pustaka

Agama dikembangkan kewenangan Pengadilan Agama terutama pada pasal 49 undang-undang tersebut. Adapun yang merupakan konsep pengembangan kewenangan Pengadilan Agama (pasal 49), penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari‟ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari‟ah lainnya.

Ekonomi syari‟ah tersebut meliputi: bank syari‟ah; lembaga keuangan mikro syari‟ah; asuransi syari‟ah; reasuransi syari‟ah; reksa dana syari‟ah; obligasi syari‟ah dan surat berharga berjangka menengah syari‟ah; sekuritas syari‟ah; pembiayaaan syari‟ah; pegadaian syari‟ah; dana pensiun lembaga keuangan syari‟ah; dan bisnis syari‟ah.

Awal berdirinya bank syari‟ah dimulai sejak beridirnya Bank Pembangunan Islami atau Islamic Development Bank (IDB) pada sidang Menteri Luar Negeri Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1975 di Kota Jeddah - Arab Saudi.56 Berdirinya IDB merupakan motivasi bagi negara-negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syari‟ah, termasuk negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, seperti Indonesia.

Faktor yang menjadi kendala adalah lembaga peradilan yang merupakan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa perdata pada lembaga-lembaga keuangan syari‟ah. Tetapi setelah diundangkannya Revisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan menjadi undang-undang hasil amandemennya, maka orang Islam tidak lagi memilih pada kepastian hukum di Pengadilan Negeri tetapi harus berperkara di Pengadilan Agama.57 Ketentuan yang memberi kewenangan kepada Pengadilan

56Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari’ah: Suatu Pengantar (Cet. I; Jakarta: Tazkia Institute, 1999), h. 231.

57Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama, pada penjelesannya tentang ketentuan umum

alinea kedua: “Dalam undang-undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari‟ah. Dalam kaitannya dengan perubahan undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: Para pihak sebelum

berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan dinyatakan dihapus.” Artinya mengenai kasus atau perkara kewarisan bagi umat Islam mutlak di Pengadilan Agama.

Agama adalah memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam pasal 49 revisi undang-undang Peradilan Agama.58 Objek sengketa yang dimaksud adalah perdata bagi dan/atau antara orang-orang yang beragama Islam.

Oleh karena itu, dalam pandangan atau perspektif dan prospektif rekonstruksi lembaga Peradilan Agama di Indonesia tentang materi perkara telah termaktub dalam undang-undang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyangkut kuasaan pengadilan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (undang-undang pertama tentang Peradilan Agama), yang mencakup: pertama, Peradilan Agama merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman. Kedua, mengenai perkara perdata tertentu. Ketiga, materi perkara perdata tertentu meliputi: (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat, dan hibah; (c) wakaf dan sedekah.

Pengembangan rekonstruksi dalam undang-undang pertama tersebut adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang mencakup:

pertama: Peradilan Agama adalah pelaku kekuasaan kehakiman. Kedua,

perkara tertentu. Ketiga, materi perkara tertentu meliputi:

58Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 49 dan 50. Pasal 49 Pengadilan agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; sedekah; dan i. ekonomi syari'ah. Ketentuan pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.

(a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infak; (h) sedekah; dan (i) ekonomi syari‟ah.

Materi tambahannya adalah zakat, infak, dan ekonomi syari‟ah. Perspektif dan prospektif rekonstruksi lembaga Peradilan Agama di Indonesia adalah: pertama, Peadilan Agama merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, direkonstruksi menjadi pelaku kekuasaan kehakiman (pelaksana menjadi pelaku). Kedua, mengenai perkara perdata tertentu, direkonstruksi menjadi perkara tertentu (hilang perdata). Kemudian materi perkara perdata tertentu yang meliputi:

(a) perkawinan;

(b) kewarisan, wasiat, dan hibah; (c) wakaf dan sedekah.

Materi ini direkonstruksi menjadi materi perkara tertentu meliputi: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infak; (h) sedekah; dan (i) ekonomi syari‟ah.

Materi pengembangannya adalah zakat, infak, dan ekonomi syari‟ah. Adapun pengembangan materi perkara tertentu tersebut akan diuraikan pada bab pembahasan berikutnya yang terfokus pada materi ekonomi syari‟ah.

BAB V

PENGEMBANGAN MATERI PERKARA