• Tidak ada hasil yang ditemukan

Materi Perkara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

PENGEMBANGAN MATERI PERKARA TERTENTU PERADILAN AGAMA DI

A. Menelusuri Materi Perkara Tertentu

2. Materi Perkara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Undang-undang kedua ini merupakan amandemen pertama atau revisi pertama yang diundangkan dan disahkan oleh Presiden Republik Indonesia (Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono) pada tanggal 20 Maret 2006.

Amandemen pertama undang-undang ini, menyangkut materi perkara dan kewenangan yang diamantkan oleh undang-undang terkhusus ketentuan pasal 49 mengalami perubahan, yakni Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infak; h. sedekah; dan i. ekonomi syari'ah.2

Penegasan dalam materi dan kewenangan Lembaga Peradilan Agama termuat pada penjelasan pasal 49 undang-undang tersebut. Terutama menyangkut penyelesaian sengketa perkara tertentu, tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya. Sengketa tersebut adalah antara orang-orang yang beragama Islam yakni termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi objek dari kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal 49 undang-undang amandemen pertama tentang Peradilan Agama ini.

2Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 49.

Perubahan lain yang terkandung dalam undang-undang kedua ini adalah menyangkut perkawinan yakni hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain meliputi:

1) izin beristri lebih dari seorang;

2) izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua/wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;

3) dispensasi kawin; 4) pencegahan perkawinan;

5) penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN); 6) pembatalan perkawinan;

7) gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan isteri; 8) perceraian karena talak;

9) gugatan perceraian;

10) penyelesaian harta bersama; 11) penguasaan anak-anak;

12) ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;

13) penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;

14) putusan tentang sah tidaknya seorang anak; 15) putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16) pencabutan kekuasaan wali;

17) penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;

18) penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;

19) pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;

20) penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;

21) putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; dan

22) pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Menyangkut materi kedua tentang kewarisan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan waris atau kewarisan adalah menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, menentukan masalah harta peninggalan/harta warisan atau tirkah, menentukan bagian-bagian dari masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian-bagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Tidak lagi harus mendapat persetujuan/penetapan dari Peradilan Umum. Ketentuan inilah yang menjadikan kemandirian Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara kewarisan, maupun perkara lainnya.

Materi tentang wasiat merupakan perbuatan seseorang dalam memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi atau pewasiat tersebut meninggal dunia. Perihal wasiat ini dapat ditunaikan setelah utang pewasiat telah bersih dan maksimal dapat ditunaikan sepertiga dari harta warisan. Menyangkut hibah merupakan pembaguian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.

Perbedaan dengan wakaf' adalah perbuatan seseorang atau

sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah. Tentunya berdasarkan hukum yang berlaku secara sah dan meyakinkan tidak meninggalkan persengketaan, baik antar ahli waris maupun antara ahli waris dan penerima wakaf.

Menyangkut tentang zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang

muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya tanpa direkayasa. Ada pun menyangkut infak merupakan perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, serta mendermakan dan memberikan rezki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah semata tanpa ingin dipuji oleh orang lain. Sedangkan sedekah merupakan perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap rahmat dan riḍa Allah swt. Mengeluarkan zakat dan sedekah merupakan kemampuan untuk membuat si pelaku menjadi orang yang pemurah dan sekaligus memberikan perhatian terhadap diri dan lingkungan sekitarnya.

Orang yang mengeluarkan zakat dan sedekah dilakukan dengan tidak hanya untuk terlepas dari suatu kewajiban untuk menaatinya, melainkan ditunaikan dengan penuh kesadaran bahwa membayar zakat dan mengeluarkan sedekah tersebut harus memenuhi fungsinya sebagai salah satu sarana kesejahteraan umat manusia. Untuk itu, zakat tersebut harus dikelola dan dimonitor dengan baik demi kesejahteraan bersama. Zakat dan sedekah merupakan bagian dari materi rekonstruksi kewenangan Lembaga Peradilan Agama.

Penegasan pada penjelasan terhadap rekonstruksi materi dan kewenangan Lembaga Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tertentu bukan perkara perdata tertentu adalah menyangkut ekonomi syari'ah. Ekonomi syari’ah merupakan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, yang antara lain meliputi:

1) bank syari'ah;

2) lembaga keuangan mikro syari'ah; 3) asuransi syari'ah;

4) reasuransi syari'ah; 5) reksa dana syari'ah;

6) obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;

8) pembiayaan syari'ah; 9) pegadaian syari'ah;

10) dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan

11) bisnis syari'ah; serta dapat memungkinkan pengembangan perkara-perkara tertentu lainnya.

Oleh karena itu, amandemen pertama undang-undang Peradilan Agama ini memberi wewenang kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain. Pengembangan kewenangan Peradilan Agama tersebut adalah yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam.

Tujuan dari pengembangan objek tersebut adalah untuk menghindari upaya memperlambat atau mengulur-ulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di pengadilan agama. Akan tetapi bila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di Pengadilan Agama, dan sengketa di Pengadilan Agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan Umum/Pengadilan Negeri.

Proses penangguhan dimaksud menurut penjelasan pasal tersebut hanya dapat dilakukan apabila pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, Pengadilan Agama tidak perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait masalahnya.

Kewenangan selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (iṡbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramaḍan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah. Hal ini merupakan kewenangan Menteri Agama dalam

mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramaḍan dan 1 (satu) Syawal. Kemudian Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu ṣalat, termasuk pengembangan wewenang ke depan dalam menentukan arah kiblat.

Apabila terjadi sengketa menegenai hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 tersebut, terutama menyangkut objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Bila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara tersebut.

Berdasarkan pertimbangan mengenai objek perkara tertentu dan perkara-perkara tertentu lainnya, pengadilan yang paling tepat untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah Pengadilan Khusus yang berada dalam naungan Lembaga Peradilan Agama, seperti yang berlaku di Peradilan Umum, misalnya Pengadilan Tipikor.

3. Materi Perkara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor