• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Pengambilan Data Sosial Ekonomi

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang adalah ekosistem khas wilayah tropis yang mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis dimana secara ekologis terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dan habitat bagi ikan-ikan berekonomis tinggi. Fungsi ekologis ini berhubungan erat dengan fungsi ekonomis dimana sebagian besar masyarakat nelayan di Toli-toli adalah nelayan wilayah pesisir yang wilayah penangkapannya berada di sekitar terumbu karang. Masyarakat disekitar kawasan terumbu karang merupakan kalangan yang paling berkepentingan dalam pemanfaatannya, sebaliknya kalangan ini pula yang akan menerima akibat yang timbul dari kondisi baik maupun buruknya ekosistem ini. Oleh karena itu pengendalian kerusakan terumbu karang sangat diperlukan untuk menjaga klestarian fungsi ekosistem yang sangat berguna bagi masyarakat pesisir.

Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu potensi laut yang dimiliki oleh pulau Lingayan. Sebaran terumbu karang berada disekeliling perairan pulau. Karang ini tumbuh membentuk karang tepi yang melingkari pulau. Rataan terumbu karang yang terhampar panjangnya hingga mencapai ±1500 meter dari garis pantai hingga tubir terumbu, khususnya pada sisi barat pulau. Terumbu karang memiliki tipe terumbu tepi atau terumbu pantai, dimana karang tumbuh pada kedalaman 1-10 meter (DKP, 2005). Oleh karena itu dilakukan pengamatan pada 10stasiun yang dimulai dari garis pantai di kedalaman 3, 5 dan 10 meter

dengan metoda LIT (line Intercept Transect) namun disesuaikan dengan

keberadaan dari terumbu karang disetiap lokasi pengamatan (English et al. 1997). Data pengamatan terumbu karang berdasarkan presentase tutupan (English

et al. 1997) dan penetuan kategori kondisi terumbu karang

Tabel 24. Presentase Tutupan Karang

Lokasi Kedalaman (m)

AC (%) NC (%) DC (%) Abiotik (%) Others (%) Kategori (%)

Stasiun 1 5 27,70 17,30 - 50,00 5,00 Sedang Stasiun 2 10 13,20 4,60 - 82,00 0,20 Buruk Stasiun 3 3 19,60 10,40 15,00 15,00 40,00 Sedang Stasiun 4 10 10,70 4,30 40,00 25,00 20,00 Buruk Stasiun 5 3 31,20 35,20 - - 33,60 Baik Stasiun 6 5 35,60 39,50 - - 24,90 Sangat baik Stasiun 7 3 25,80 20,30 36,90 12,90 4,10 Sedang Stasiun 8 10 2,60 2,00 2,00 90,40 3,00 Buruk Stasiun 9 5 11,16 10,30 10,40 56,20 11,94 Buruk Stasiun 10 5 7,60 18,10 4,80 29,50 40,00 Sedang

Berdasarkan hasil pengamatan di 10 stasiun yang berlokasi di Pulau Lingayan maka terlihat bahwa pada stasiun 2, 4, 8 dan 9 memiliki kategori buruk. Hal ini terlihat dari presentase dari abiotik yang sangat tinggi di bandingkankan dengan kriteria lainnya. Pada stasiun pengamatan di lokasi 2,4 dan 8 dengan kedalaman 10 meter substrat perairan sepanjang 50 m di dominasi oleh patahan karang (rubble) yang tidak beraturan bahkan pada stasiun 4 dijumpai dead coral

40%, hal ini disebabkan karena dilokasi ini sering dilakukan pemboman ikan oleh nelayan. Pemboman dilakukan pada kedalaman 10 meter karena pada kedalaman ini banyak dijumpai ikan target atau ikan konsumsi seperti ikan selar, kembung maupun ikan ekor kuning. Menurut Fox et al. (2006) bahwa bahan peledak yang digunakan untuk melakukan pemboman ikan tidak hanya membunuh ikan tetapi juga menghancurkan kerangka karang, menghasilkan patahan karang yang tidak seimbang. Sedangkan di stasiun 9 kondisi terumbu karangnya masuk kategori buruk, hal ini disebabkan pada saat surut stasiun ini menjadi tempat yang sangat menarik bagi masyarakat secara beramai-ramai mencari kerang kima dan kerang kepala kambing dengan cara mencungkil karang-karang di lokasi tersebut. Demikian pula pada pengamatan 1, 3, 7 dan 10 diperoleh kondisi presentase terumbu karang kategori sedang, namun di stasiun 1 terlihat komposisi abiotiknya sangat tinggi yang didominasi oleh rubble 40%, dimana pada waktu pengamatan pada lokasi tersebut dijumpai patahan karang sepanjang 20 meter hal ini

disebabkan karena dilokasi ini sering dilakukan pelemparan jangkar oleh nelayan yang melakukan penangkapan ikan disekitar lokasi 8. Menurut Glynn (1994) berpendapat bahwa jangkar dapat merusak karang dengan cara menjatuhkan dan menyeret jangkar. Ternyata bahwa jenis lifeform yang mendominasi patahan karang tersebut adalah dari jenis acropora branching, hal ini sesuai dengan pendapat dari Riegl and Riegl (1996), yang menyatakan bahwa kerusakan akibat pelemparan jangkar lebih mudah dialami oleh jenis acropora dibandingkan dengan jenis karang massive. Akan tetapi pada stasiun 7 banyak dijumpai dead coral 36,90% hal ini diakibatkan terumbu karang dilokasi ini yang berada pada kedalaman 3 mpada surut terendah maka karang-karang yang berada di rataan terumbu terexpose di udara dan terkena sinar matahari langsung atau pada saat hujan sehingga air hujan langsung mengenai terumbu karang akan menyebabkan kematian pada karang tersebut namun ada sebagian yang mampu untuk beradaptasi.

Kondisi terumbu karang di Pulau Lingayan bervariatif yakni mulai dari kategori rusak sampai pada kategori baik dengan nilai terendah 4,6 sampai 75,1%, dimana pada stasiun 8 memiliki kondisi terumbu karang buruk dengan nilai 4,6%, disusul pada stasiun 4 dengan nilai sebesar 15%, stasiun 2 dengan nilai sebesar 17,8 % dan stasiun 9 memiliki karang hidup sebesar 21,46 % sedangkan yang tergolong kondisi sedang terdapat pada stasiun 10 dengan nilai sebesar 25,7% , stasiun 3 dengan nilai sebesar 30%, stasiun 1 dengan nilai sebesar 45% dan stasiun 7 yang memiliki presentase tutupan karang sebesar 46,1% dan yang temasuk dalam kondisi baik terdapat pada stasiun 5 dengan nilai sebesar 66,4%, sedangkan yang memiliki kondisi sangat baik terdapat pada stasiun 6 yakni sebesar 75,1%. Jadi secara keseluruhan persentase tutupan karang hidup di Pulau Lingayan sebesar 34,7%termasuk dalam kondisi sedang. Kondisi terumbu karang yang baik ditentukan dengan besanya persentase tutupan karang hidup. Kondisi karang yang sangat baik berada pada stasiun 6, dan yang masuk kategori baik berada pada stasiun 1, 3, 5, 7 dan 10. Sedangkan yang termasuk dalam kondisi buruk terdapat pada stasiun 2, 4, 8 dan 9. Adapun kondisi karang yang baik dan baik berada pada kedalamam 3-5 m tetapi yang kondisi buruk umumnya berada pada kedalaman 10 m, hal ini disebabkan karena pada kedalaman 10 m banyak

dijumpai ikan target yang merupakan sasaran dari nelayan untuk melakukan pemboman ikan. Menurut Yulianda (2007) bahwa untuk aktivitas ekowisata bahari dengan kegiatan kategori menyelam dan snorkeling diperlukan syarat tutupan karang hidup minimal sebesar 25% sampai lebih dari 75%, maka dari hasil presentase tutupan karang hidup diatas bahwa stasiun 1, 3, 5, 6, 7 dan stasiun 10 dapat direkomendasikan untuk kegiatan ekowisata bahari

Presentase tutupan terumbu karang di pulau Lingayan dapat dilihat pada Gambar 12 dibawah ini.

Berdasarkan hasil olahan Citra Landsat 7 ETM+ sejak Tahun 2000 sampai dengan 2011 diperoleh perubahan luasan karang hidup dan karang mati yang dicantumkan pada Gambar 13 dan Gambar 14, 15, 16 dan 17 (Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM + Tahun 2000, 2005, 2010 dan 2011).

Gambar 13. Perubahan Kondisi terumbu Karang Tahun 2000-2010

Perubahan luasan karang hidup sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 mengalami penurunan 24,92 ha, dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 terjadi penurunan luasan karang hidup sebesar 7,1 ha dan dari tahun 2010 sampai tahun 2011 mengalami penurunan 0,47 ha. Berdasarkan penurunan luasan terumbu karang dalam 5 tahun terakhir semakin kecil hal ini disebabkan kesadaran masyarakat akan pentingnya terumbu karang bagi habitat ikan sudah baik sehingga mereka telah mengurangi melakukan pemboman terhadap ikan konsumsi. 126.44 (ha) 101.52(ha) 94.42(ha) 93.95(ha) 80 85 90 95 100 105 110 115 120 125 130 2000 2005 2010 2011 Karang hidup

Gambar 15. Peta Analisis Hasil Citra Landsat 7 ETM+ Pulau Lingayan Tahun 2005.

Penilaian terhadap terumbu karang dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan identifikasi Life-formdan beberapa jenis yang teramati, serta dengan dokumentasi (visual record). Penilaian ini hanya pada tingkat taksonomik yang relatif tinggi, terutama family. Hasil pengamatan keanekaragaman karang ini dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Terumbu karang berdasarkan tutupan (%) lifeform di Pulau Lingayan

St as iun K ed al am an (m et er)

ACB ACE ACT CB CE CF CM CMR CS CH

L SC 1 5 21,12 - 6,58 - 11,40 4,70 1,20 - - - 5,00 2 10 11,80 - 1,40 - - 0,50 4,10 - - - 0,20 3 3 8,60 - 7,00 - - 3,00 7,40 - - - 20,00 4 10 9,90 - 0,80 - 2,40 1,60 0,30 - - - 5,00 5 3 11,80 5,40 14,00 20,60 - 8,60 4,00 - 2,00 25,00 6 5 13,40 6,00 16,20 21,60 - 8,60 5,00 - 3,00 1,30 25,60 7 3 21,40 2,00 0,70 - 1,80 2,40 12,10 - 5,70 - 2,00 8 10 0,60 2,00 2,00 1,00 9 5 10,56 - 0,60 - 6,70 3,00 0,60 - - - 9,20 10 5 1,60 - 6,00 - 2,40 3,40 12,10 0,20 - - 33,20 Rata-rata 11,41 1,14 5,53 4,22 2,47 3,34 4,88 0,02 1,07 0,13 12,62

Ket: ACB = Acropora branching; ACE = Acropora encrusting, ACT = Acropora tubular; CB = Coral branching; CE = Coral encrusting; CF = Coral foliose; CM = Coral massive; CMR = Mushrom coral; CS = Coral submassive; CHL = Coral heliopora.

Berbagai jenis terumbu karang berdasarkan lifeform di Pulau Lingayan yang diamati pada 10 stasiun menunjukan bahwa stasiun 6 terdapat 9 jenis lifeform yakni ACB, ACE, ACT, CB, CF, CM, CMR, CS dan CHL sedangkan yang paling sedikit terdapat di stasiun 8 yakni terdapat 3 jenis lifeform yaitu ACB, ACT dan CM. Jenis karang keras yang ada di Pulau Lingayan berdasarkan

lifeform di dominasi oleh dominasi oleh Acropora branching (ACB) dengan nilai sebesar 11,41%, disusul ACT sebesar 5,53%, CM sebesar 4,88%, CB sebesar

4,22%, CF sebesar 3,34%, CE sebesar 2,47, ACE sebesar 1,14%, CS sebesar 1,07%, CHL sebesar 0,13% dan terakhir CMR sebesar 0,02.

Menurut Supiharyono (2007), bahwa terumbu karang mempunyai nilai keindahan yang tidak perlu diragukan untuk di jadikan suatu objek wisata. Andalan utama kegiatan wisata bahari yang sangat dinikmati oleh wisatawan adalah dari segi aspek keindahan dan keunikan terumbu karang. Keindahan dan keunikan yang ada di pulau Lingayan dapat dimanfaatkan oleh para wisatawan.

Dokumen terkait