PENGEMBANGAN EKOWISATA
DI PULAU LINGAYAN SEBAGAI PULAU TERLUAR
(Kasus : Pulau Lingayan Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah)
GLADYS PEURU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Ekowisata di Pulau Lingayan sebagai Pulau Terluar (Kasus Pulau Lingayan Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012
RINGKASAN
Gladys Peuru. Pengembangan Ekowisata Di Pulau Lingayan Sebagai Pulau Terluar. Dibimbing oleh Mennofatria Boer, Ismudi Muchsin dan Yusli Wardiatno.
Pulau Lingayan adalah pulau terluar yang terdapat di Kabupaten Tolitoli Propinsi Sulawesi Tengah (PP RI No. 78 Tahun 2005) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum Internasional dan Nasional, sehingga menentukan garis batas kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu untuk mempertahankan batas-batas kepulauan NKRI perlu dilakukan pengelolaan yang berkelanjutan di Pulau Lingayan. Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) merupakan arah kebijakan pemerintah di bidang kelautan, hal ini menunjukan bahwa betapa pentingnya wilayah pesisir dan keberadaan pulau-pulau kecil terluar untuk dijaga stabilitas kawasan dan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat baik generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Dasar kebijakan ini berpijak pada pertimbangan bahwa pulau-pulau kecil terluar menentukan garis batas kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
kemudian PPKT sangat rentan karena ukuran luasan daratan sangat kecil (insular)
serta terisolasi dari pulau besar (mainland), namun demikian PPKT memiliki
potensi sumberdaya alam yang produktif (ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang beserta biota yang hidup didalamnya, media komunikasi dan jasa lingkungan seperti kawasan konservasi, kawasan pariwisata dan rekreasi).
Penelitian ini bertujuan : (1) Mengkaji potensi dan kondisi sumberdaya kawasan Pulau Lingayan. (2) Mengkaji rencana pengelolaan Pulau Lingayan berdasarkan keindahan, kesesuaian lahan, daya dukung untuk pengembangan ekowisata di Pulau Lingayan. (3) Mengformulasikan bentuk strategi pengelolaan sumberdaya di Pulau Lingayan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan berkelanjutan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Pulau Lingayan memiliki potensi sumberdaya alam yang baik dari segi kondisi terumbu karang masuk kategori baik dengan rata-rata presentase tutupan karang 34.72%, dimana pada stasiun 6 memiliki presentase tutupan karang tertinggi 75.1% dengan 9 jenis
lifeform yakni ACB, ACE, ACT, CB, CF, CM, CMR, CS dan CHL, ikan karang
ABSTRACT
Gladys Peuru. Development of Ecotourism in Island Lingayan of Outer Islands.
Under supervision of Mennofatria Boer, Ismudi Muckhsin dan Yusli Wardiatno.
Lingayan island is located in the outer islands of Tolitoli in Central Sulawesi Province (PP RI No. 78 of 2005) which has the basic points of geographic coordinates that connects the islands of the sea baselines in accordance with international and national law, thus determining the boundary line of the islands of the Unitary Republic of Indonesia (NKRI). Therefore, to maintain the boundaries of the islands Homeland sustainable management needs to be done on the island of Lingayan. This study aims: (1) Assess the potential and conditions of the island Lingayan resources. (2) Review the management plan Lingayan by the beauty of the island, land suitability, carrying capacity for tourism development on the island of Lingayan. (3) formulate a form of resource management strategies on the island of Lingayan to increased prosperity and sustainable communities. The results of the research indicate that (1) Island Lingayan has the potential of natural resources both in terms of coral reefs in the category with an average of 34.72% the percentage of coral cover, which at station 6 has the highest percentage of coral cover was 75.1% with 9 types of lifeform that is ACB, ACE, ACT, CB, CF, CM, CMR, CS and CHL, reef fish that reach 64 species, there are also birds that are maleo rare bird and turtle shell that can all be used as an icon for ecotourism development on the island of Lingayan. (2) Scenic Beauty Estimation results of the analysis indicate that the respondents' interest in coral seascape by 52%, for the types of fish by 58% while for the coastal landscape, the respondent's interest as much as 75%. (3) The strategy for development of ecotourism on the island does management tailored to the designation of the development of 56.02 ha diving, snorkeling and beach resort of 121.67 ha ha 13:18 and to ensure the sustainability of tourism development is the number of visitors should be limited to the arrival of as many as 86 people per day.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PENGEMBANGAN EKOWISATA
DI PULAU LINGAYAN SEBAGAI PULAU TERLUAR
(Kasus : Pulau Lingayan, Kabupaten Tolitoli,Provinsi Sulawesi Tengah)GLADYS PEURU
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. M. Muchklis Kamal, M.Sc
2. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi
Penguji Luar pada Ujian Terbuka : 1.Dr. Ir. Dwi Sulistyowati, Msi
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi : Pengembangan Ekowisata Di Pulau Lingayan Sebagai
Pulau Terluar (Kasus Pulau Lingayan, Pulau Terluar di Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah)
Nama Mahasiswa : Gladys Peuru
Nomor Pokok : C262070101
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Anggota
Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin
Anggota
Dr. Ir. Yusli Wardiatno M.Sc.
Diketahui,
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc.Agr.
PRAKATA
Puji Tuhan, penulis panjatkan pujian syukur atas segala Kasih dan
Kemurahan yang Tuhan Yesus berikan kepada Penulis sehingga sehingga disertasi
ini dapat terselesaikan dengan judul Pengembangan Ekowisata di Pulau Lingayan
sebagai Pulau Terluar (Kasus Pulau Lingayan, Kabupaten Tolitoli, Provinsi
Sulawesi Tengah).
Bersama ini, penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA (Ketua Komisi),
Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, (Anggota) dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno M.Sc
(Anggota) atas berbagai masukan, arahan serta bimbingan yang telah diberikan
selama proses peyusunan Disertasi ini. Ucapan terima kasih juga kepada Bapak
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal MSc dan Dr. Ir., Isdradjad Setyobudiandi selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup yang memberikan masukan dan saran guna
penyempurnaan disertasi ini.
Keberadaan penulis dalam pendidikan Program Doktor tidak terlepas dari
dukungan dan kesempatan yang diberikan oleh intitusi tempat penulis bekerja saat
ini. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada : Bupati Kabupaten
Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah, Ketua Bapeda, Kepala Dinas perikanan dan
Kelautan Kabupaten Tolitoli dan rekan-rekan kerja atas dukungan selama
pendidikan.
Ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Papa dan mama, Raimond F. Lamandasa, SH, Mkn (suami), Canty, Cindy, Cynta dan Chanto
(anak) atas semua doa, pengorbanan dan dukungan yang tiada hentinya. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Marrie Blarie Barth, Ibu Anne
Hommes, Masyarakat Pulau Lingayan, rekan – rekan SPL angkatan 2007 (Dr.
Amirudin Tahir, Dr. Imam Bahtiar, Dr. Nirmala A. Wijaya, Dr. Musadun, Dr.
Nurul Istiqamah, Riyadi Subur, Ahmad Bahar dan Abdul Syukur) serta
rekan-rekan program studi SPL-IPB atas dorongan motivasi dan diskusi selama
menjalani studi di SPs-IPB.
Akhirnya penulis berharap kiranya semoga Disertasi ini dapat bermanfaat
bagi berbagai pihak. Tuhan Memberkati.
Bogor, Juli 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis, Gladys Peuru dilahirkan di Palu tanggal 26 Juni 1968, dari ayah
Hamani Peuru dan ibu Johana Modaso sebagai anak ke lima dari enam
bersaudara.
Penulis memasuki jenjang pendidikan di SDN. Teladan Luwuk, SMPN. 1
Luwuk, SMAN 1 Luwuk Propinsi Sulawesi Tengah. Tahun 1987, penulis diterima
melalui jalur PMDK di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam
Ratulangi Manado, pada jurusan Pengolahan Hasil Perikanan (PHP). Tahun 2002
penulis melanjutkan pendidikan magsiter pada Program Studi Ilmu Peraian
Universitas Sam Ratulangi Manado. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan
program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
pada Progam Sarjana IPB pada Tahun 2007.
Tahun 1993-1994 penulis bekerja sebagai Analis mikrobiologi dan
organoleptik di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan
(LPPMHP) Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Utara, 1994-1998 sebagai Analis
mikrobiologi dan organoleptik di LPPMHP Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi
Tengah, 1998 sampai sekarang bekerja di Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah.
Dua buah artikel diterbitkan dengan judul Pengembangan Wisata Bahari
di Pulau Terluar Berbasis Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung pada Buletin PSP
pada Volume 20 No. 3 Agustus 2012 dan Kajian Kondisi Terumbu Karang Pulau
Lingayan di Kabupaten Tolitoli pada Jurnal Agrisains 13 (2) : 98-104, agustus
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xxi
DAFTAR GAMBAR ... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxv
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 8
1.5 Kebaharuan (Novelty) ... 10
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.4 Daya Dukung Ekowisata ……….25
2.4.1 Daya Dukung Ekologi………26 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………..39
3.2 Metode Penelitian……….39
3.3 Metode Pengumpulan Data ... 41
3.3.1 Jenis Data Yang dikumpulkan ... 41
3.3.2 Metode Pengambilan Data... 42
A. Pengambilan Data Biofisik ... 42
B. Pengambilan Data Sosial Ekonomi ... 43
3.3.3 Metode Pemilihan Responden ... ..44
3.4 Metode Analisis Data ... 46
3.4.1 Analisis Biofisik Ekosistem ... 46
3.4.2 Analisis Scenic Beauty Estimation ... 49
3.4.3 Analisis Kesesuaian Lahan……….51
3.4.4 Analisis Zonasi………56
3.4.5 Analisis Daya Dukung Ekologi ... 58
3.4.6 Analisis Daya Dukung Fisik ... 61
3.4.7 Analisis Daya Dukung Air ... 62
4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum ... 65
4.1.1 Letak Geografis dan Administasi ... 65
4.1.2 Kondisi Iklim dan Perairan………....65
4.2 Potensi Sumber Daya Pesisir dan Lautan ………66
4.2.1 Ekosistem Mangrove ... 66
4.2.2 Ekosistem Terumb karang... 67
4.2.3 Ekosistem Lamun ... 68
4.2.4 Sumberdaya Perikanan………...……….68
4.3 Karakteristik Pantai ……….69
4.4 Kondisi Sosial Ekonomi ... 71
4.2.1 Kependudukkan... 71
4.2.2 Pendidikan ... 71
4.5 Kondisi Sarana dan Prasarana 4.2.3 Sarana Pendidikan ... 72
4.2.4 Sarana Kesehatan ... 72
4.2.5 Sarana Ibadah ... 73
4.2.6 Sarana Air Bersih ... 73
4.2.7 Sarana Listrik dan Telekomunikasi ... 73
4.6 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ... 73
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Sumberdaya kawasan Pulau Lingian ... 75
5.1.1 Ekosistem Terumbu Karang ... 75
5.1.2 Ikan Karang ... 85
5.1.3 Ekosistem Mangrove ... 87
5.1.4 Ekosistem Lamun ... 94
5.2 Kawasan untuk Pengelolaan Pulau ... 95
5.2.1 Scenic Beauty Estimation ... 95
5.2.2 Kesesuaian Wisata Pesisir dan Laut………...104
5.3 Daya Dukung Wisata ... 108
5.3.1 Daya Dukung Kawasan ... 108
5.3.2 Daya Dukung Ecological Footprint … ... 111
5.5 Persepsi……….…120
5.3.1 Persepsi Masyarakat Lokal ... 118
5.3.2 Persepsi Wisatawan … ... 121
5.3.3 Pemerintah Daerah...……….121
5.6 Strategi Pengembangan Pariwisata di Pulau Lingayan ………122
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 125
6.2 Saran ... 125
DAFTAR PUSTAKA ………..…127
Nomor Hal.
1. Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Tolitoli... 4
2. Ecological Footprint Dunia dan Indonesia Tahun 2005... 28
3. Jenis Data yang Dibutuhkan... 41
4. Kriteria Baku Persentase Penutupan Karang Hidup... 47
5. Kriteria Baku Ekosistem Mangrove... 48
6. Klasifikasi Tutupan Jenis Lamun... 49
7. Kategori Tutupan Lamun... 49
8. Kriteria Kesesuaian Lokasi untuk Wisata Bahari Kategori Selam... 52
9. Kriteria Kesesuaian Lokasi untuk Wisata Bahari Kategori Snorkling... 53
10. Kriteria Kesesuaian Lokasi untuk Wisata Pantai... 54
11. Kapasitas Pengunjng (K) dan Luas Area Kegiatan (Lt)... 58
12. Waktu yang Dibutuhkan untuk Setiap Kegiatan Wisata... 58
13. Yield Faktor... 60
14. Equivalence Faktor... 60
15. Standar Umum Kebutuhan Wisatawan... 61
16. Koefisien Limpasan... 64
17. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Rata-rata Tahun 2007-2010... 65
18. Kualitas Perairan Pulau Lingayan... 66
19. Fasilitas Pendidikan, Guru dan Murid di Pulau Lingayan……….… 71
20. Armada Perikanan Tangkap di Pulau Lingayan... 73
21. Alat Tangkap di Pulau Lingayan…...……… 74
22. Perikanan Budidaya di Pulau Lingayan... 74
23. Presentase Tutupan Karang... 76
24. Terumbu Karang Berdasarkan Tutupan (%) Lifeform di Pulau Lingayan... 84
25. Penyebaran Jenis Lamun di Pulau Lingayan... 94
26. Nilai SBE dari Seascape Hamparan Terumbu Karang... 97
27. Klasifikasi Nilai SBE dari Seascape Hamparan Terumbu Karang... 98
Nomor Hal.
28. Nilai SBE Seascape Keanekaragaman Jenis Ikan Per-Stasiun 99
29. Nilai SBE Keanekaragaman Jenis Ikan Berdasarkan Kelas SBE 100
30.
31.
Nilai SBE Landscape Pantai Per-Stasiun...
Nilai SBE Pantai Berdasarkan Kelas SBE...
102
103
32. Luasan Kesesuaian Lahan Kategori Selam... 105
33. Luasan Kesesuaian Lahan Kategori Snorkling... 106
34. Luasan Kesesuaian Lahan Kategori Pantai... 107
35. Luas Areal dan Daya Dukung Kawasan ditiap Zona Wisata... 110
36. Build-up Land Footprint ... 111
37. Fosil Energy Land Footprint... 112
38. Food and Fiber Consumption Footprint... 112
39. Total Ecological Footprint... 112
Nomor Hal.
1. Kerangka Pikir Penelitian ... 9
2. Lokasi Penelitian ...... 39
3. Tahapan Penelitian... 40
4. Lokasi Pengamatan di Pulau Lingayan... 43
5. Bagan Alir Pengambilan Contoh... 45
6. Kategori dan Persentase Tutupan Karang... 46
7. Tahapan Preferensi Visual... 50
8. Proses Penyusunan Peta Kawasan Pemanfaatan……….….. 56
9. Proses Penyusunan Peta Kawasan Konservasi... 57
10. Diagram Penentuan Daya Dukung Air... 62
11. Perbandingan Penduduk Pria dan Wanita... 71
12. Presentase Terumbu Karang di Pulau Lingayan... 78
13. Perubahan Kondisi Terumbu Karang Tahun 2000-2010... 79
14. Peta Analisis Hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000... 80
15. Peta Analisis Hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2005... 81
16. Peta Analisis Hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2010... 82
17. Peta Analisis Hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2011... 83
18. Jumlah Spesies Ikan Karang di Setiap Stasiun Pengamatan... 86
19. Jumlah Jenis Ikan Berdasarkan Peranan... 87
20. Kerapatan Jenis Mangrove di Pulau Lingayan... 88
21. Perubahan Luasan Mangrove Tahun 2000-2011... 89
22. Peta Ekosistem Mangrove Tahun 2000... 90
23. Peta Ekosistem Mangrove Tahun 2005... 91
24. Peta Ekosistem Mangrove Tahun 2010... 92
25. Peta Ekosistem Mangrove Tahun 2011... 93
26. Perubahan Luasan Padang Lamun Tahun 2000-2011... 95
27. Foto Seascape Kawasan Pulau Lingayan... 101
Nomor Hal.
28. Foto Landscape pada Kawasan Pulau Lingayan... 104
29. Peta Kesesuaian wisata Kategori Selam... 105
30. Peta Kesesuaian Wisata Kategori Snorkling... 106
31. Peta Kesesuaian Wisata Kategori Pantai... 107
Nomor Hal.
1. Format Penilaian Kriteria Zonasi Kawasan Pulau Lingayan 138 2.
3.
4. 5.
6.
Tabulasi Data Jenis-jenis Ikan yang Teramati pada Terumbu Karang di Perairan Lingayan
Komponen Penyusun Substrat Perairan di Pulau Lingian Kabupaten Tolitoli
Kondisi terumbu Karang di Pulau Lingayan Kabupaten Tolitoli Jumlah dan Jenis Lifeform di Pulau Lingian Kabupaten Tolitoli
Daya dukung kawasan wisata pesisir per kategori wisata di Pulau Lingayan
140
142
143 144
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil Terluar (PPKT) merupakan arah kebijakan pemerintah dalam mengelola
pulau-pulau kecil yang berada di bagian terluar, hal ini menunjukan bahwa betapa
pentingnya wilayah pesisir dan keberadaan pulau-pulau kecil terluar untuk dijaga
stabilitas kawasan dan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan bagi
kesejahteraan masyarakat baik generasi sekarang maupun bagi generasi yang
akan datang. Dasar kebijakan ini berpijak pada pertimbangan bahwa pulau-pulau
kecil terluar menentukan garis batas kepulauan Negara Kesatuan Republik
Indonesia kemudian PPKT sangat rentan terhadap lingkungan karena ukuran
luasan daratan sangat kecil serta terisolasi (insular) dari pulau besar (mainland).
Namun demikian PPKT memiliki potensi sumberdaya alam yang produktif
(ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang beserta biota yang hidup
didalamnya, media komunikasi dan jasa lingkungan seperti kawasan konservasi,
kawasan pariwisata dan rekreasi).
Pulau Lingayan adalah pulau terluar yang terdapat di Kabupaten Tolitoli
Propinsi Sulawesi Tengah (PP RI No. 78 Tahun 2005) yang memiliki titik-titik
dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan
sesuai dengan hukum Internasional dan Nasional, sehingga menentukan garis
batas kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu
untuk mempertahankan batas-batas kepulauan NKRI perlu dilakukan pengelolaan
yang berkelanjutan di Pulau Lingayan.
Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang telah diakui oleh UNCLOS
(United Nations Convention On The Law Of The Sea) dan telah diratifikasi dalam
UU RI No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the
Law of the Sea, berhak menentukan garis batasnya. Dari 183 Titik Dasar (TD)
yang menjadi patokan untuk menarik garis pangkal, tercatat ada 92 TD berada di
pulau-pulau kecil terluar. Hal ini berarti keberadaan PPKT sangat vital dalam
rangka menjaga kedaulatan Negara. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002
tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
pangkal. Sembilan puluh dua PPKT berbatasan dengan 10 negara yaitu Australia,
Malaysia. Singapura, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Papua New
Guinea dan Timor Leste. Kurang lebih hanya sepertiga dari PPKT yang dihuni,
selebihnya masih berupa hutan bervegetasi lebat sampai jarang. Selain itu
beberapa PPKT memiliki potensi wisata, keanekaragaman terumbu karan dan
sumberdaya perikanan (Retraubun et al. 2005).
Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada tanggal 17 Desember 2002
merupakan peristiwa yang menimbulkan permasalahan baru terhadap Indonesia
yaitu hilangnya 3 TD yaitu 1 TD di Pulau Sipadan dan 2 TD di Pulau Ligitan.
Hilangnya dua pulau tersebut berarti hilangnya suatu wilayah kecil nusantara
namun berimplikasi pada perubahan batas negara termasuk hilangnyapotensi
penguasaan wilayah laut teritorial dan pemanfaatan sumberdaya alam. Menurut
perjanjian Inggris dan Belanda, kedua pulau tersebut termasuk wilayah Indonesia,
tetapi Mahkamah Internasional lebih menitikberatkan pada bukti peranan
Malaysia di Sipadan-Ligitan yaitu keberadaan terus menerus, penguasaan efektif
dan pelestarian ekologis. Untuk itu, menjaga keberadaan terus-menerus
(continuous presence), penguasaan efektif (effective occupation) dan pelestarian
ekologis (ecology preservation) bagi PPKT sangat perlu dilakukan mengingat
PPKT merupakan pulau-pulau yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis
yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan NKRI (Maarif et al. 2007).
Oleh karena itu betapa pentingnya dilakukan pengelolaan yang berkelanjutan
terhadap PPKT.
Pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia di PPKT haruslah dilakukan
melalui pilihan pemanfaatan terhadap sumberdaya tersebut yang didasarkan pada
konsep pemanfaatan secara berkelanjutan yang dalam operasionalnya ditandai
dengan kecilnya dampak kerusakan.Perencanaan yang matang serta rasional
terhadap program pengembangan pulau-pulau kecil di wilayah terluar sangat
penting dilakukan agar tujuan kegiatan dapat dicapai, yakni menjaga keutuhan
NKRI dan pemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan PP 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar
dinyatakan dalam pasal 5 ayat 1 bahwa Pemanfaatan PPKT hanya diperuntukan
pelestarian lingkungan, sedangkan pada ayat 2 dinyatakan bahwa Pemanfaatan
PPKT tersebut harus disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung PPKT.
Hal ini didasarkan atas pertimbangan ukuran pulau-pulau terluar yang sangat kecil
dengan daya dukung rendah sehingga 44sangat rentan terhadap kerusakan
lingkungan (Bruguglio 2003) karena itu dalam upaya pengelolaan PPKT harus
dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kemampuan daya dukung
(carrying capacity) dan aspek kelestarian sumberdaya (sustainability).
Pengelolaan yang tidak memperhatikan kedua aspek tersebut akan mengakibatkan
terjadinya pemanfaatan lebih (over exploitation) yang berakibat pada hancurnya
ekosistem pulau.
Peraturan dan perundang-undangan yang melandasi pengelolaan di
pulau-pulau kecil yaitu:
1. Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 5 Tahun 1990 tentang
konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, secara khusus tentang taman
nasional, zona pemanfaatan di taman nasional untuk pariwisata/rekreasi, dan
peranserta masyarakat.
2. UU RI N. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
3. UU RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
4. UU RI No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
5. PP RI N0. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di zona
Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
6. PP RI No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
7. PP RI No. 62 ahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Kabupaten Tolitoli merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi
Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah laut sebesar 4.079 km² dengan
panjang garis pantai 453,98 km serta jumlah pulau-pulau kecil sebanyak 43 pulau
memiliki 43 pulau-pulau kecil dan 3 diantaranya adalah pulau kecil terluar yang
berbatasan dengan Malaysia. Adapun secara administratif pulau-pulau yang
Tabel 1. Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Tolitoli
No. Kecamatan Nama Pulau Letak Adminitrasi Luas (ha) 1. Toli-Toli Utara Panjang ** DS. Pinjan 6,25 2. Dako Pemean Tanpa nama** Ds. Kapas 0,55 Salando** Ds. Kapas 1,56 Kapas** Ds. Kapas 14,7 Dolangan** Ds. Lingadan 171,9 3. Galang Tende** DS. Tende 7,81
Batu Baddaunge** Ds. Lalos 0,004 4. Baolan Lutungan* Ds. Nalu 42.25 Pulau Tiga (Tengah)** Sebelah Utara P. Kebetan 2,26 Pulau Tiga (Dalam)** Sebelah Utara P. Kebetan 0,09 Pulau Tiga (Luar)** Sebelah Utara P. Kebetan 2,41 Singandang (ketinggian 2m)** Sebelah Selatan P. Kebetan 4,8 Singandang (ketinggian 2m)** Sebelah Selatan P. Kebetan 1,6 Sambujang* Sambujang 9,63 Pulias* Pulias 7,71 Tenggelangga Sambujang dan Sambujang 439,7 Simangat** Pulias 2,34 Makabaluan** Pulias 3,12 Bangko** Pulias 1,9 Siampuga** Pulias 0,49
Dua** Pulias 1,04
Tanpa nama*** Pulias - Tanpa nama*** Pulias 0,49 Tanpa nama*** Pulias - Paligisan* Labuan Lobo - 6. Dondo Awo** Ds. Sibaluton 1,23
Indo Dima** Ds. Sibaluton 2,24 Bangko** Ds. Sibaluton 3,75 Indo Langkide** Ds. Sibaluton 8,81 Tontoengan** Ds. Sibaluton - Kelapa** Ds. Sibaluton - Nenas** Ds. Sibaluton - 7. Dampal Utara Simatang* Simatang Tanjung dan
Simatang Utara
Sumber: DKP Kab. Toli-Toli 2005
Ket. : Pulau Kecil Terluar
* : Berpenghuni
** : Tidak Berpenghuni
1.2 Perumusan Masalah
Perencanaan yang matang serta rasional terhadap program pengembangan
pulau-pulau kecil terluar sangat penting dilakukan agar tujuan kegiatan dapat
dicapai, yakni menjaga keseimbangan ekosistem dan pemanfaatan sumberdaya
alam bagi kesejahteraan masyarakat
Pada saat ini masalah wilayah perbatasan telah menjadi perhatian serius dari
Pemerintah. Permasalahan yang muncul di wilayah perbatasan terutama dipicu
oleh minimnya pengawasan serta belum dilakukannya pengelolaan yang serius
tehadap kawasan tersebut. Sebagai contoh adalah kasus Sipadan-Ligitan yang
berbuntut pada jatuhnya kedua pulau tersebut ke tangan Malaysia (Retraubun
2005). Oleh karena itu untuk mencegah terulangnya kasus serupa dan untuk
menghindari terjadinya ketidakstabilan di wilayah perbatasan, harus dilakukan
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan perencanaan yang
rasional dan matang sehingga pengelolaan pulau-pulau kecil dikawasan ini dapat
berjalan dengan baik dan menjadikan wilayah perbatasan ibarat halaman depan
rumah yang indah dan nyaman serta kondusif dalam mendukung stabilitas
nasional.
Berdasarkan hal itu, maka pemerintah saat ini mulai memberikan perhatian
serius terhadap pengelolaan pulau-pulau kecil terutama di perbatasan dengan
perencanaan yang rasional dan sistematis sehingga pengelolaan dan
pengembangan pulau-pulau kecil dikawasan tersebut dapat berjalan dengan baik,
dan dapat djadikan sebagai dasar bahwa pulau tersebut milik kita. Dengan
demikian stabilitas dikawasan ini dapat terjaga dengan baik dan hubungan antar
negara tetangga tidak terganggu.
Pulau Lingian atau disebut juga Pulau Lingayan adalah salah satu pulau
kecil terluar yang terletak pada 0o59’55” LU dan 120º12’50” BT dan memiliki
titik dasar 0,43 dan titik referensi 0,43 (PP RI No. 78 Tahun 2005). Pulau
Lingayan berbatasan dengan Negara Malaysia. Jarak antara Pulau Lingayan
dengan Pulau Bum bum di Malaysia adalah 230 mil.Secara administratif pulau ini
termasuk dalam desa Ogotua Kecamatan Dampal Utara. Untuk mencapai pulau
Lingayan dari kota Tolitoli, membutuhkan waktu 2-3 jam bila ditempuh melalui
ogotua dan dilanjutkan dengan menggunakan perahu milik nelayan setempat
dengan waktu tempuh 30 menit. Pulau Lingayan memiliki luas 122,5 ha dengan
panjang pesisir pantai adalah 7,59 km dan luas perairan 14.069 ha. Pulau
Lingayan ini terbentuk secara geologis melalui proses pengangkatan dan proses
geomorfologis berupa pengendapan material. Pulau yang terbentuk oleh proses
geologis berupa pengangkatan bermaterikan batuan keras dari jenis batuan granit
dan koral masif (DKP 2005).
Pulau ini memiliki sumbedaya alam yang potensial untuk dikembangkan.
Pulau Lingayan di kelilingi pantai berpasir dan berbatu. Sumberdaya alam pesisir
yang ada berupa ekosistem terumbu karang. Sebaran terumbu karang berada di
sekeliling perairan pulau. Karang tumbuh membentuk karang tepi pada kedalaman
1 sampai 10 m yang melingkari pulau . Rataan terumbu karang mencapai 1.500 m
dari garis pantai sampai ke tubir. Dan tutupan karang di reef flate mencapai 75%
dan reef slope mencapai 50%. Keberadaan terumbu karang di perairan pulau
Lingayan telah berasosiasi dengan banyak organisme penting yaitu berbagai jenis
kima (Tridacna spp), kerang kepala kambing (Casis cornuta) dan teripang
(Holothurian). Tridacna spp terutama jenis yang berukuran besar seperti kima
raksasa (Tridacna gigas), kima air (T. Derasa), kima cina (Hippopus
porcellanus), kima sisik (T. Scuamosa) dan lola (Trochus nilotichus) merupakan
spesies laut yang langka yang masih ditemui di pulau Lingayan. Jenis-jenis ikan
karang konsumsi yang banyak dijumpai adalah dari jenis ikan kerapu, ikan kakap,
ikan ekor kuning, ikan pari, dan beberapa jenis lainnya. Sedangkan untuk jenis
ikan karang hias yang banyak dijumpai di pulau Lingayan antara lain ikan betok,
ikan kakatua, ikan okpis, ikan triger, ikan pakol, ikan angel dan ikan kepe-kepe
(DKP 2005).
Vegetasi darat dan pantai yang terdapat di pulau ini umumnya didominasi
oleh pohon kelapa, semak dan mangrove. Pohon kelapa merupakan vegetasi yang
dominan di pulau ini. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai yang
tumbuh subur di bagian Timur laut hingga tenggara pulau. Vegetasi ini di
dominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yaitu bakau (Rhizophora spp.),
Keunikan yang sangat menarik dengan potensi sumberdaya alamnya,
persediaan air tawar yang cukup, aksebilitas yang mudah, sarana telekomunikasi
yang memadai serta berada di wilayah perbatasan antara Negara Indonesia dan
Malaysia sehingga memberikan sisi yang menarik untuk mendukung program
pariwisata bahari. Sebab kehadiran pariwisata di wilayah perbatasan akan
memberikan suatu pengakuan yang mutlak dan hakiki dari dunia Internasional
akan kepemilikan pulau Lingayan sebagai milik dari Negara Indonesia.
Sampai saat ini kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten
Tolitoli terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang ada di pulau Lingayan
belum menyentuh langsung kepada perbaikan kesejahteraan masyarakat, hal ini
disebabkan dalam membuat suatu kebijakan ataupun program-program tidak
melibatkan masyarakat dan stakeholders setempat. Oleh karena itu perlu
dilakukannya suatu skenario pengelolaan yang optimal dengan memanfaatkan
potensi sumberdaya alam yang ada tanpa merusak ekosistem untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan terlebih khusus memberdayakan eksistensinya
sebagai pulau-pulau kecil terluar.
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam
pengelolaan di Pulau Lingayan adalah sebagai berikut :
1. Belum adanya data dan informasi yang akurat mengenai potensi sumberdaya
alam yang ada di Pulau Lingayan.
2. Bagaimana melakukan pengelolaan sumber daya secara optimal berdasarkan
Keindahan, kesesuaian pemanfaatan lahan, daya dukung untuk pengembangan ekowisata di Pulau Lingayan.
3. Bagaimana Skenario pengelolaan sumberdaya di Pulau Lingayan dalam
pengembangan ekowisata.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengkaji potensi dan kondisi sumberdaya kawasan Pulau Lingayan
2. Mengkaji rencana pengelolaan Pulau Lingayanberdasarkankeindahan,
kesesuaian lahan, daya dukung untuk pengembangan ekowisata di Pulau
Lingayan
3. Mengformulasikan bentuk strategi pengelolaan sumberdaya di Pulau Lingayan
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Konsep pengelolaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
merupakan denyut nadi di setiap pengelolaan yang dilakukan baik di wilayah
darat, laut, pesisir maupun pulau-pulau kecil untuk menjamin suatu keberlanjutan
dari sisi ekologi, sosial maupun secara ekonomi. Harus diakui bahwa sumberdaya
alam daratan suatu pulau kecil seperti sumberdaya air tawar, ruang, vegetasi,
tanah, kawasan pantai, margasatwa dan sumberdaya lainnya terbatas. Karena
keterbatasannya ini, daya dukung pulau sangat kecil dalam menopang kegiatan
pembangunan secara berkelanjutan (sustainable development) juga biasanya
terbatas. Keterbatasan sumberdaya alam membuat kemampuan mencukupi sendiri
(self sufficiency) sangat sulit dicapai. Oleh karena itu, secara ekologis maupun
ekonomis pilihan-pilihan pola pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang
berkesinambungan (sustainable development) di pulau-pulau sangat kecil harus
memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Konsep pengelolaan
pemangunan berkelanjutan di Pulau Lingayan diarahkan dalam bentuk ekowisata
yang merupakan parawisata yang bersifat berkelanjutan. Lokasi penelitian Pulau
Lingayan berada pada posisi yang cukup jauh dari Malaysia (kurang lebih 230
mil) sehingga lemungkinan untuk diambil oleh Malaysia tidaklah
mengkhawatirkan, namun peranan penting dari Pulau Lingayan sebagai salah satu
pulau penentu batas wilayah NKRI maka sebaiknya dilakukan pengelolaan yang
bersifat berkelanjutan dan dapat menjamin kondisi ekosistem pulau yang
signifikan dengan batas-batas wilayah itu NKRI.Kerangka pikir dari penelitian di
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian pengembangan ekowisata di pulau Lingayan sebagai pulau terluar
Pulau Lingayan
Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem Lamun
Potensi Pulau Lingayan
F
E
E
D
B
A
C
K
Daya Dukung Biofisik
Pemanfaatan Kawasan Optimal
Pengelolaan Pulau Kecil Terluar di Kabupaten Tolitoli
Permasalahan:
1. Belum adanya data dan informsi akurat untuk potensi sumberdaya alam di p. lingian
2. Bagaimana melakukan pengelolaan sumberdaya berdasarkan Scenic beauty estimation, kessuaian pemanfaatan dan daya dukung?
3. Bagaimana Sknario pengelolaan yang berkelanjutan untuk Pulau Lingian?
Tekanan Negatif Terhadap Lingkungan
Ekosistem Mangrove
1.5 Kebaharuan
Berdasarkan hasil penelitian pengelolaan pulau-pulau kecil dalam rangka
peruntukkannya untuk pengembangan ekowisata dan dari penelusuran literatur
pengelolaan pulau-pulau kecil, maka diperoleh tiga hal baru dalam penelitian ini
adalah :
- Kebaruan dalam penetapan kawasan wisata diintegrasikan berdasarkan nilai
keindahan dan Kesesuaian Peruntukan.
- Kebaruan dalam aplikasi ekowisata di pulau terluar khususnya di Pulau
Lingayan yang berada di wilayah Kabupaten Tolitoli. Dengan adanya
pengembangan ekowisata di pulau terluar diharapkan dapat menjamin
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pulau-Pulau Kecil
2.1.1 Definisi Pulau Kecil
UNCLOS 1982, Bab VIII pasal 121 Ayat 1 yang diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia melalui Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985
menyatakan bahwa Pulau adalah daerah daratan yang dibentuk secara alamiah
yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pasang. Dari definisi
tersebut dapat diketahui bahwa pulau merupakan daratan yang terbentuk secara
alamiah dan bukan terbentuk secara rekayasa atau bukan daratan yang dibentuk
secara reklamasi. Selain itu dari definisi diatas dapat dipahami bahwa daratan
tersebut harus selalu berada di atas air pada saat pasang tinggi, sehingga bila suatu
daratan berada dibawah air pada saat pasang tertinggi dan berada diatas pada
pasang surut maka daratan seperti itu disebut dengan istilah gosong (shoal) dan
bukan pulau. Khusus untuk pulau kecil batasannya telah berubah dari waktu ke
waktu. Pulau kecil mula-mula dibatasi dengan pulau yang luasnya kurang dari
10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000 jiwa (Debance in
Adrianto 2004), kemudian berubah menjadi kurang dari 2.000 km² (Ongkosono 1998). Saat ini batasan pulau kecil di Indonesia mengacu pada UU No. 27 tahun
2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu pulau
dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² beserta kesatuan
ekosistemnya. Definisi pulau kecil menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil menyatakan bahwa Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau
sama dengan 2.000 km2
Dahuri (1998) berpendapat bahwa pulau kecil merupakan habitat yang
terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan menambah
keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut. Selain itu, pulau kecil
mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species endemik yang tinggi
bila dibandingkan dengan pulau kontinen, dan pulau kecil juga mempunyai
tangkapan air (cathment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen
mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Adanya
masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan mengganggu
kebudayaan mereka. Sementara itu Purwanto (1995), sistem kepulauan kecil
ditentukan/dicirikan oleh tingkat isolasi geografis dan keterbatasan ukuran dan
bentuk pulau. Isolasi geografis ini menggambarkan keunikan habitat (endemisme),
sedangkan ukuran dan bentuk juga menggambarkan keanekaragaman habitat
(biodiversitas). Profil sumberdaya lingkungan kepulauan kecil dicirikan oleh
keterbatasan lingkungan seperti lahan, sumberdaya dan keanekaragaman bahan
organik, kecenderungan klimaks yang seragam, sangat rentan akan perubahan
atau pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan dan timbulnya
kecenderungan percepatan kerusakan (entropy) bila terjadi perubahan ekosistem.
Jadi dari uraian diatas maka terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam
membuat batasan pulau kecil yaitu: (1) batasan fisik pulau (luas pulau); (2)
batasan ekologis, proporsi spesies endemik dan terisolasi; (3) Keunikan budaya.
2.1.2 Karakteristik Biofisik Pulau Kecil
Karakteristik yang umum dijumpai di pulau-pulau kecil dapat dikategorikan
kedalam aspek lingkungan hidup dan sosial-ekonomi-budaya. Karakteristik yang
berkaitan dengan lingkungan hidup menurut Brookfield (1990) in Dahuri (2003)
adalah :
a. Pulau-pulau kecil memiliki daerah resapan (catchment area0 yang sempit,
sehingga sumber air tawar yang tersedia sangat rentan terhadap pengaruh
instrusi air laut.
b. Pulau-pulau kecil memiliki daerah pesisir yang sangat terbuka (rasio antara
panjang garis pantai dengan luas area relatif besar), sehingga lingkungannya
sangat mudah dipengaruhi oleh dinamika perairan sekitarnya.
c. Species organisme yang hidup di pulau-pulau kecil pada umumnya bersifat
endemik.
d. Pulau-pulau kecil memiliki sumberdaya alam terestrial yang sangat terbatas,
baik yang berkaitan dengan sumberdaya alam mineral, air tawar maupun
dengan kehutanan dan pertanian.
Hein (1990) in Dahuri (2003) menyatakan bahwa karakteristik pulau-pulau
a. Pulau-pulau kecil memiliki infrastruktur yang sangat terbatas sehingga sulit
mengundang kegiatan bisnis dari luar pulau (diseeconomies of scale).
b. Pulau-pulau kecil memiliki pasar domestik dan sumberdaya alam yang kecil,
sehingga iklim usahanya kurang kompetitif. Hal ini akan mempersulit
terjalinnya kerjasama melalui perdagangan internasional yang sangat
kompetitif.
c. Kegiatan ekonomi di pulau-pulau kecil sangat terspesialisasi, yakni eksport dan
tergantung import.
d. Pulau-pulau kecil biasanya sangat tergantung pada bantuan luar meskipun
memiliki potensi yang bernilai strategis.
e. Jumlah penduduk yang ada di pulau-pulau kecil tidak banyak dan biasanya
saling mengenal satu sama lainnya, serta terikat oleh hubungan persaudaraan.
Pulau kecil memiliki karakteristik yang menonjol yaitu: (1) tangkapan air
yang terbatas dan sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat rendah dan
terbatas; (2) peka dan rentan terhadap berbagai tekanan (stressor) dan pengaruh
eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan
gelombang besar serta pencemaran; (3) mempunyai sejumlah besar jenis-jenis
(organisme) endemik dan kanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; (4) dan
beberapa pulau kecil yang berada jauh dari jangkauan pusat pertumbuhan
ekonomi, pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi laut dan
terbatasnya ketrampilan masyarakat setempat (Bengen 2000; Ongkosono 1998;
Sugandhy 1998).
2.1.3 Potensi Sumberdaya Pulau Kecil
Potensi sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari tiga
kelompok: (1) sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), antara
lain : ikan, plankton, benthos, moluska, krustasea, mamalia laut, rumput laut,
lamun, bakau, terumbu karang; (2) sumberdaya alam yang tidak dapat pulih
(non-renewable resources), antara lain: minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah,
bauksit, dan mineral; (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services). Kawasan
pulau-pulau kecil menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai
sumber pangan dari kekayaan ekosistemnya, seperti ekosistem mangrove, lamun,
(1)Sumberdaya dapat pulih
a) Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang
sangat berperan sekali baik bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut maupun
bagi kelangsungan hidup ekosistem lainnya, selain bermanfaat bagi masyarakat
sekitarnya. Dahuri et al. 1996, hutan mangrove memiliki fungsi ekologi dan
ekonomi. Fungsi ekologi hutan mangrove adalah sebagai penyedia nutrien bagi
biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan
abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah
instrusi air laut, dan sebagainya. Sedangkan fungsi ekonominya adalah penyedia
kayu (sebagai kayu bakar, arang, bahan baku kertas), daun-daunan sebagai
obat-obatan. Di kawasan pulau-pulau kecil jenis mangrove yang banyak dijumpai
adalah jenis Avicennia karena wilayah pulau-pulau kecil merupakan daerah yang
ketersediaan air tawarnya terbatas, pasokan sedimen relatif rendah dan memiliki
substrat pasir.
b)Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang subur dan
mempunyai produktifitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai
kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Perairan ekosistem terumbu
karang juga kaya akan keragaman spesies ini adalah karena variasi habitat yang
terdapat di terumbu dan ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak
yang dapat ditemui (Dahuri et al. 1996). Lebih lanjut dikatakan, selain
mempunyai fungsi ekologis yakni sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan,
pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan bagi berbagai
biota; terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai
ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang.
Dari segi estetika, terumbu karang yang masih utuh menampilkan
pemandangan yang sangat indah, jarang dapat ditandingi oleh ekosistem lain.
Keindahan yang dimiliki oleh terumbu karang merupakan salah satu potensi wista
c) Padang Lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya
menyesuaikan diri untuk hidup di bawah permukaan air laut. Lamun hidup di
perairan dangkal agak berpasir dan sering dijumpai di ekosistem terumbu karang.
Sama halnya dengan rerumputan di daratan, lamun juga membentuk padang yang
luas dan lebat di dasar laut yang dangkal dan masih terjangkau oleh cahaya
matahari. Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas
organiknya, dengan keanekaragaman biota yang juga tinggi. Pada ekosistem ini
hidup beranekaragaman biota laut seperti ikan, crustacea, moluska, echinodermata
dan cacing. Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting
bagi wilayah pesisir, yaitu (1) produsen detritus dan zathara; (2) mengikat
sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang
padat dan saling menyilang; (3) sebagai tempat berlindung, mencari makan,
tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang
melewati masa dewasanya di lingkungan ini; (4) sebagai tudung berlindung yang
melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Disamping itu padang
lamun dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan berbagai jenis ikan,
kerang-kerangan dan tiram, tempat rekreasi dan sumber pupuk hijau. Di kawasan
pulau-pulau kecil banyak dijumpai dari jenis Enhalus dan Thalassia, karena di kawasan
ini kandungan sedimen organiknya relatif rendah dan didominasi oleh substrat
pasir (Bengen, 2000).
d) Rumput Laut
Sumberdaya rumput laut (seaweeds) banyak dijumpai di pulau-pulau kecil,
hal ini karena kebanyakan wilayah pesisir perairannya dangkal, gelombangnya
kecil, subur dan kaya akan bahan organik terutama wilayah dekat pantai dan
muara sungai. Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai
komersial yang tinggi, disamping sumberdaya perikanan. Sumberdaya rumput laut
ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata pencaharian
e) Sumberdaya Perikanan
Secara ekologis, pulau-pulau kecil di daerah tropis berasosiasi dengan
terumbu karang. Dengan demikian di kawasan ini memiliki spesies-spesies yang
memanfaatkan karang sebagai habitatnya yaitu ikan ekonomis penting seperti
kerapu, napoleon, kima raksasa dan lain lain, sehingga komoditas seperti ini dapat
dikatakan sebagai komoditas spesifik pulau kecil. Ciri utamanya komoditas
tersebut adalah memiliki sifat penyebaran yang bergantung pada terumbu karang
sehingga keberlanjutannya dipengaruhi oleh kesehatan karang.
(2) Sumberdaya tidak dapat Pulih
Potensi sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources) yang
terdapat di pulau-pulau kecil meliputi seluruh mineral, yang terdiri dari tiga kelas:
kelas A (mineral straegis: minyak, gas dan batu bara); kelas B (mineral vital:
emas, timah, nikel, bauksit, biji besih dan chromit) dan kelas C (mineral industri:
termasuk bahan bangunan dan galian seperti granit, kapur, tanah liat, kaolin dan
pasir). Sumberdaya tidak dapat pulih dan juga energi kelautan belum optimal
dimanfaatkan hanya terbatas pada sumberdaya migas, timah, bauksit dan biji besi.
Jenis bahan tambang dan mineal lain termasuk pasir kwarsa, fosfat, mangan,
nikel, chromium dan lainnya praktis belum termanfaatkan dengan baik. Demikian
juga halnya dengan potensi energi kelautan yang sesungguhnya bersifat tak
pernah habis (non-exhaustive) seperti energi angin, gelombang, pasang surut dan
(Ocean Thermal Energy Conversion).
(3) Jasa-jasa Lingkungan
Potensi jasa-jasa lingkungan pada kawasan pulau-pulau kecil seperti wisata
bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi
bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional.
Dengan keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di pulau-pulau kecil
tersebut, merupakan daya tarik sendiri dalam pengembangan wisata bahari.
2.1.4 Kendala Pengembangan Pulau-Pulau Kecil
Pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil masih dihadapkan pada berbagai
kendala antara lain letaknya yang terpencil, terbatasnya sarana dan prasarana,
kecil perlu memperhitungkan daya dukung pulau mengingat sifatnya yang
rentan terhadap perubahan lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya di kawasan
pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terencana dan terintegrasi dengan
melibatkan peran serta masyaakat setempat sehingga dapat diwujudkan
pemanfaatan potensi sumberdaya pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan
berbasis masyarakat (Dahuri 2003).
Kendala dalam pengembangan pembangunan di pulau kecil sebagai
berikut :
a) Keterbatasan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar,
vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan laut dan satwa liar, yang pada
gilirannya menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam
menopang kehidupan manusia penghuni dan segala kegiatan pembangunan.
b) Ukuran yang kecil dan terisolasi (insular) menyebabkan penyediaan sarana
dan prasarana menjadi sangat mahal, serta minimnya sumberdaya manusia
yang handal yang mau bekerja di pulau-pulau kecil tersebut.
c) Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang
optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan
transportasi sehinga turut menghambat pembangunan pulau-pulau kecil.
d) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat
disetiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan terdapat di sekitar pulau
saling terkait satu sama lainnya.
e) Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan keiatan
pembangunan yang ingin dikembangkan.
2.2 Pulau – Pulau Kecil Terluar
2.2.1 Definisi Pulau-Pulau Kecil Teluar
Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) menurut Peraturan Presiden No.78/2005
tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar menyatakan bahwa PPKT adalah
pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2.000 km² yang memiliki
titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan
sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Peraturan Presiden No. 78/2005
tersebar di 20 propinsi dan 38 kabupaten yang sebagian besar berlokasi di
Kepulauan Riau (21 pulau) dan Kepulauan Maluku (20 pulau) dan untuk wilayah
Sulawesi Tengah memiliki 3 pulau terluar yaitu Lingayan, Salando dan Dolangon.
Retraubun (2006) menyatakan bahwa dari 92 pulau tersebut sekitar 50%
berpenghuni dengan luas berkisar 0,02-200 km².
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dalam Peraturan Presiden No.78/2005,
diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu untuk
memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumberdaya pulau-pulau kecil terluar
dari wilayah Republik Indonesia untuk menjaga keutuhan NKRI. Retraubun
(2006) berpendapat bahwa Pembangunan PPKT memiliki nilai strategis, karena
pulau-pulau kecil terluar berkarakteristik antara lain :
1) Memiliki dampak langsung terhadap kedaulatan negara
2) Faktor pendorong bagi pertumbuhan ekonomi sekitarnya karena pulau kecil
terluar memiliki akses langsung ke negara lain.
3) Memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi karena berbatasan dengan
wilayah maupun negara lain.
4) Mempunyai dampak terhadap hankam baik skala regional maupun nasional.
Melihat nilai strategisnya pulau-pulau kecil terluar, maka perlu dilakukan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang mencangkup rangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumber daya
pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Brookfield in Susilo (2007); DKP (2005) mengemukakan sifat khas
pulau-pulau kecil yaitu : 1) Secara Fisik; terpisah dari pulau-pulau besar, dapat membentuk
satu gugus pulau atau berdiri sendiri, luas pulau kurang dari 10.000 km2,
substratnya lebih didominasi oleh hancuran biota laut, kedalaman laut rata-rata
antar pulau kecil sangat ditentukan oleh kondisi geografis dan letak
pulau-pulau kecil; 2) Secara Ekologis; memiliki spesies endemik, memiliki resiko
perubahan lingkungan yang tinggi, memiliki keterbatasan daya dukung pulau,
melimpahnya biodiversitas laut; 3) Secara Sosial-Budaya-Ekonomi; ada yang
berpenghuni dan tidak berpenghuni, penduduk asli mempunyai budaya dan
ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau induk atau
kontinen, keterbatasan kualitas sumberdaya manusia, aksebilitas rendah. Karena
sifat khas dari pulau-pulau kecil tersebut maka pengelolaan pulau-pulau kecil
harus menggunakan pendekatan yang khas pula, namun secara umum
pengelolaannya haruslah mengacu kepada kaidah pembangunan berkelanjutan
(Dahuri 2003 ).
2.2.1 Potensi Pulau Kecil Terluar
Potensi sumber kekayaan alam hayati dan non-hayati yang terkandung di
wilayah pulau-pulau kecil terluar sangat besar. Potensi besar perikanan laut serta
jasa-jasa lingkungan belum termanfaatkan secara optimal.Pengembangan
pariwisata yang mengandalkan alamiah dan keindahan pantai dan bawah laut
sangat potensial karena tidak bersifat ekstratif dan mempunyai efek ikutan yang
cukup besar bagi pengembangan ekonomi dan sosial masyarakat. Disamping itu
pulau kecil terluar memiliki potensi sumberdaya alam non-hayati seperti
kandungan minyak bumi dan gas juga belum termanfaatkan secara maksimal.
Letak pulau kecil terluar yang berada di jalur pelayaran internasional
memiliki potensi pasar secara regional dan internasional. Letak strategis
pulau-pulau kecil pada jalur lintasan kapal-kapal laut antar negara dan antar benua bisa
dijadikan sebagai peluang pengembangan ekonomi wilayah, dimana beberapa
pulau kecil terluar dapat dibangun pelabuhan-pelabuhan persinggahan yang
menyediakan berbagai pelayanan bagi kapal-kapal yang berlalu lintas melalui
perairan Indonesia. Disamping itu, penyediaan pelabuhan-pelabuhan disekitar
jalur pelayaran internasional dapat menjadi pintu gerbang bagi keluar masuknya
barang dari dan ke dalam negeri. Posisi geografis beberapa pulau kecil terluar
yang dekat dengan negara tetangga memungkinkan terciptanya pembangunan
melalui kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan diantara kedua negara.
Lalulintas barang serta aliran modal akan lebih mudah terjadi di daerah yang
saling berdekatan. Telah diratifikasinya berbagai Konvensi Internasional berkaitan
dengan pengelolaan lingkungan global, khususnya pengelolaan dan pemberdayaan
pulau-pulau kecil yang memungkinkan adanya dukungan internasional bagi
2.2.2 Kendala Pengembangan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Disamping peluang-peluang yang dapat dijadikan sebagai pendorong dalam
implementasi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, terdapat juga berbagai
kendala yang dihadapi yaitu :
a. Letak pulau yang tersebar dan terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang
rendah. Kondisi tersebut menjadikan sulitnya pengawasan dan patroli
keamanan di pulau-pulau kecil terluar, ditambah dengan terbatasnya sarana
dan prasarana untuk melakukan pengawasan dan pembinaan, khususnya
terhadap pulau-pualu kecil yang tidak berpenghuni. Letak pulau-pulau yang
terpencil juga mengakibatkan biaya tambahan akibat biaya transportasi yang
mahal yang menjadikan biaya harga kebutuhan bahan pokok dan kebutuhan
hidup lebih mahal.
b. Penyebaran penduduk di pulau-pulau kecil tidak merata. Dari 92 pulau kecil
terluar hanya sekitar 39 pulau yang berpenghuni sedangkan sebagian besar
lainnya merupakan pulau tidak berpenghuni.
c. Ukuran pulau-pulau umumnya sangat kecil sehingga harus dikelolah secara
hati-hati dengan pengkajian yang matang serta mempertimbangkan aspek
kemampuan daya dukung lingkungan dan aspek kelestarian sumberdaya.
d. Kurangnya data dan informasi mengenai potensi dan kondisi pulau-pulau
kecil terluar sebagai basis data dalam penilaian potensi pengembangannya.
Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan di
pulau-pulau kecil bagi berbagai peruntukan, misalnya : pemukiman, perikanan
(baik tangkap maupun budidaya), pariwisata, apalagi pertambangan, akan
membuat tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya laut.
Meningkatnya tekanan, baik secara langsung misalnya kegiatan konversi lahan,
maupun tidak langsung misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan
pembangunan, akan mengancam keberadaan dan kelangsungan kehidupan di
pulau-pulau kecil. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut
mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat
berlangsung secara optimal dan berkelanjutan (Retraubun 2005). Dahuri ( 2003),
pemanfaatan pulau-pulau kecil perlu memperhitungkan daya dukung pulau
terencana dan terintegrasi dengan melibatkan peran serta masyarakat setempat
sehingga dapat diwujudkan pemanfaatan potensi sumberdaya pulau-pulau kecil
yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
2.3 Ekowisata
2.3.1 Definisi Ekowisata
Istilah yang berhubungan dengan kegiatan wisata dalam UU No. 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan antara lain :
1) Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
2) Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.
3) Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk
pengusaha objek wisata dan daya tarik serta usaha-usaha yang terkait di
bidang tersebut.
4) Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
penyelenggaraan pariwisata.
5) Usaha pariwisata adalah keguatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa
pariwisata atau menyediakan objek dan daya tarik wisata, usaha sarana
pariwisata dan usaha lain yang terkait di bidang tersebut.
6) Objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran
wisata.
7) Kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau
disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
Holloway and Plant in Yulianda (2004) bahwa pariwisata merupakan
kegiatan perpindahan/perjalanan orang secara temporer dari tempat mereka
biasanya bekerja dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan
dalam perjalanan atau di tempat tujuan.
Pariwisata berkelanjutan merupakan satu konsep yang meliputi seluruh tipe
pariwisata dan berhubungan dengan mengunjungi lokasi yang alamiah. Pariwisata
berkelanjutan memiliki perspektif yang luas berhubungan dengan generasi
secara ekologi berkelanjutan dan secara ekonomi menguntungkan. Konsep
pariwisata berkelanjutan meliputi 4 dimensi yang saling berhubungan erat yaitu :
dimensi ekologi, sosial, budaya dan dimensi politik (Fennel 1999). Dalam
menjamin keberlanjutan pariwisata yang perlu diperhatikan juga adalah kebijakan,
organisasi dan tujuan dari pengelolaan pariwisata (Laws 1995; Butler 1997). Cole
(2006) bahwa Pariwisata berkelanjutan merupakan salah satu bagian dari
pembangunan berkelanjutan yang sesuai dengan konsep Bruntland, serta memiliki
kriteria-kriteria sebagai berikut :
1) Secara ekologis berkelanjutan yaitu pembangunan pariwisata tidak
menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Konservasi pada daerah
wisata harus diupayakan secara maksimal untuk melindungi sumberdaya alam
dan lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata.
2) Secara ekonomis menguntungkan yaitu keuntungan yang diperoleh dari
kegiatan wisata yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup
masyarakat setempat.
3) Secara sosial dan kebudayaan dapat diterima, yaitu mengacu kepada
kemampuan penduduk lokal menyerap usaha pariwisata tanpa menimbulkan
konflik sosial dan masyarakat lokal, mampu beradaptasi dengan budaya turis
yang berbeda sehingga tidak merubah budaya masyarakat lokal
(Hadiyati et al. 2003).
Konsep pariwisata berkelanjutan tidak terlepas dari konsep pembangunan
berkelanjutan yang dirumuskan oleh The World Cominissions for Environmental
and Development (WCED), yaitu komisi dunia untuk lingkungan dan
pembangunan, yang didirikan oleh Majelis Umum PBB. Batasannya adalah
sebagai pembangunan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan generasi
sekarang tanpa mempertaruhkan kemampuan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Tujuannya adalah memadukan
pembangunan dengan lingkungan sejak awal proses penyusunan kebijaksanaan
dan pengambilan keputusan yang strategis sampai kepada penerapannya di
lapangan. Sebagaimana pembangunan berkelanjutan, definisi wisata berkelanjutan
juga sangat sulit pada tahap operasional. Namun, serangkaian parameter sering
digunakan untuk merujuk kepada wisata berkelanjutan, antara lain wisata yang
rnenguntungkan bagi komunitas atau masyarakat lokal, serta memberikan
pendidikan konservasi bagi pengunjung. Sheng-Hsiung et al. (2006) menyatakan
bahwa untuk pengembangan pariwisata yang berkelanjutan sangat tergantung
pada sumberdaya dan lingkungan. Dan bentuk wisata seperti ini juga dikenal
dengan ekowisata yang pertamakali dikenalkan oleh organisasi The Ecotourisme
Society, sebagai perjalanan ke daerah-daerah yang masih alami yang dapat
mengkonservasikan lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat
setempat (Linberg and Hawkins in Yulianda 2007). Ballantine(1994), ekowisata
merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani
kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri
kepariwisataan. Deborah (2004) bahwa ekowisatamerupakan salah satu kegiatan
diversifikasi ekonomi yang paling umum diterapkan di Dunia Ketiga sebagai alat
untuk melindungi ekosistem, melestarikan budaya lokal untuk memacu
pembangunan ekonomi. Damanik and Weber (2006), ekowisata merupakan cara
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan.
Dalam ekowisata, kegiatan wisata yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan
masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan sangat ditekankan dan merupakan
ciri khas ekowisata. Pihak yang juga memiliki peranan penting dalam ekowisata
adalah pelaku wisata lain (tour operator) yang menfasilitasi wisatawan utuk
menunjukkan tanggungjawab tersebut.
2.3.2 Pengelolaan Ekowisata
Pengelolaan ekowisataadalah bagaimana memelihara dan melindungi
sumberdaya alam yang tidak tergantikan (irreplaceable) agar dapat dimanfaatkan
untuk generasi sekarang dan untuk generasi mendatang.
1)
Prinsip pengembangan
ekowisata dengan konservasi merupakan suatu konsep yang tidak terpisahkan,
dalam pengembangannya selalu sejalan dengan misi pengelolaan konservasi.
Yulianda (2007) mengatakan bahwa misi konservasi mempunyai tujuan :
2) Melindungi keanekaragaman hayati
Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem
kehidupan.
3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya
Beberapa konsep pengelolaan ekowisata yang dilakukan oleh berbagai
Negara antara lain untuk di Negara Maladewa yang merupakan negara kecil
dibagian barat daya Srilangka yang hanya memiliki 99 pulau namun memiliki
wisata bahari yang sangat maju dengan konsep “one island one resort” (Sawkar et
al.1998), ekowisata di Fiji dan di pulau Phuket, yang mengembangkannya
dengan konsep “Nature orientated”(Malani 2000; Kontogeorgopoulus 2004),
ekowisata di Buthan pengelolaannya berbasis pada konservasi (Gurung et al.
2008). Pengelolaan ekowisata di Gran Canaria adalah dengan mengkolaborasikan
aspek lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi (Garcia-Palcon & Medina-Munosh
1999). Sedangkan ekowisata di pulau Monthserrat-Karibia melakukan
pengelolaannya berdasarkan keanekaragaman hayati, pemandangan indah, sejarah
warisan dan gaya hidup tenang (Weaver 1995). Menurut Stonne (2003) bahwa
berdasarkan hasil penelitiannya mengenai Ekowisata dan Pembangunan
Masyarakat di Hainan China bahwa manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat
lokal masih terbatas, namun masyarakat tetap optimis bahwa pariwisata di
kawasan lindung Hainan akan memberikan kontribusi terhadap pelestarian.
Fandeli (2000); META (2002); Yulianda (2007) menyatakan bahwa
sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia
yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata.
Ditinjau dari konsep pemanfaatan maka wisata dapat diklasifikasikan menjadi :
1) Wisata alam (nature tourism) meruapakan aktifitas wisata yang ditujukan pada
pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.
2) Wisata budaya (cultural tourism) merupakan wisata dengan kekayaan budaya
sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan.
3) Ekowisata (ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan
wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan
perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.
Yulianda (2007), pengembangan ekowisata haruslah dilandaskan pada :
1) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam
dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan
karakter alam dan budaya setempat.
2) Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat akan
3) Pendapatan langsung untuk kawasan; retribusi atau pajak konservasi
(conservation tax) dapat digunakan untk pengelolaan kawasan.
4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar
terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan.
5) Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapat keuntungan ekonomi
sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan.
6) Menjaga keharmonisan alam; kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap
mempertahankan keserasian dan keaslian alam.
7) Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan
fasilitas hendaknya mempetimbangkan daya dukung lingkungan.
2.4 Daya Dukung Ekowisata
Daya dukung disebut sebagai ultimate constraint yang diperhadapkan pada
biota dengan adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang
atau tempat berpijak, penyakit, siklus predator, oksigen, temperature atau cahaya
matahari (Dahuri 2002). Bengen dan Retraubun (2006) menyatakan daya dukung
sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan linkungannya. Daya dukung
dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung
komponen biotik yang terkandung didalamnya, dengan memperhitungkan faktor
lingkungan dan faktor lainnya yang berperan di alam. Sehingga daya dukung
dapat didefinisikan sebagai penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam
yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam yang ada.
Davis and Tisdell (1996), daya dukung lingkungan terbagi atas dua yakni
daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomis
(economic carrying capacity). Jika dikaitkan dengan kegiatan wisata, Mathieson
and Wall (1989) in Zhiyong and Sheng (2009) mendefinisikan daya dukung
sebagai tingkat atau jumlah maksimum orang yang dapat menggunakan suatu
kawasan tanpa mengganggu lingkungan fisik dan menurunkan kualitas
petualangan yang diperoleh pengunjung, serta tanpa sebuah kerugian dari sisi
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal (Inskeep 1991 in Liu 1994).
McNeely (1994), daya dukung ekowisata bersifat sangat spesifik dan lebih
berhubungan dengan daya dukung lingkungan terhadap kegiatan pariwisata dan