• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN HUKUM JAMINAN FIDUSIA MENURUT

F. Eksekusi Objek Jaminan Fidusia

Salah satu ciri Jaminan Fidusia yang kuat itu mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitur (pemberi fidusia) cedera janji. Walaupun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku, namun dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan

58

tentang eksekusi dalam Undang-Undang Fidusia, yaitu yang mengatur mengenai lembaga parate eksekusi.59

UUJF mengatur mengenai pelaksanaan eksekusi benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :

Apabila debitur atau Pemberi Fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal15 ayat

(2) oleh Penerima Fidusia;

b. penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan

Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

c. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan

Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UUJF, maka dapat diketahui eksekusi atas benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dibagi atas tiga cara, yaitu :

1. Eksekusi Berdasarkan Grosse atau Titel Eksekutorial Sertifikat Jaminan

Fidusia

Seperti diketahui sebelumnya bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia memiliki ciri istimewa yaitu mengandung irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang artinya mempunyai kekuatan eksekutorial sama seperti putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

59

Pencantuman irah-irah sebagai yang dimungkinkan oleh undnag-undang membawa konsekuensi, bahwa pemegang akta grosse berkedudukan seperti orang yang sudah memegang keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang perlu diingat adalah, bahwa akta grosse tidak “sama” dengan suatu keputusan pengadilan, tetapi mempunyai kekuatan sebagai suatu keputusan pengadilan.60

Jadi, untuk melakukan eksekusi melalui grosse atau titel eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia, harus terlebih dahulu mengikuti pelaksanaan suatu putusan pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 200 HIR berdasarkan fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan.

2. Eksekusi Berdasarkan Parate Eksekusi Melalui Pelelangan Umum

Ketentuan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJF menentukan apabila debitur melakukan wanprestasi, maka kreditur berhak untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri. Ini adalah wujud dari ciri Jaminan Fidusia yang memberikan kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya. Oleh karena itu UUJF telah mengatur eksekusi berdasarkan parate eksekusi melalui pelelangan umum.

Adanya ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) sub b UUJF, menghapuskan keragu-raguan sebelumnya seolah-olah setiap eksekusi lewat kantor

60

Vide surat M.A. kepada Direksi Bank Indonesia No. KMA/237/IX/1988 tertanggal 3 SePT.ember 1088 sebagai dimuat dalam makalah Retnowulan Sutantio “Surat Hutang Notariil dan

pelelangan umum, haruslah dengan suatu penetapan pengadilan. Padahal anggapan ini tidak benar sama sekali.61

3. Eksekusi Berdasarkan Kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia

Melalui Penjualan di Bawah Tangan

Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan ini dapat dilakukan, sepanjang terdapat kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia. Oleh karena itu eksekusi dengan cara ini tidak membutuhkan suatu putusan pengadilan ataupun melalui pelelangan umum.

Adapun persyaratan untuk melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) huruf c dan Pasal 29 ayat (2) UUJF meliputi:62

1. dilakukan berdasarkan kesepakatan antara Pemberi dan Penerima

Fidusia;

2. dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak; 3. diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi dan/atau Penerima Fidusia

kepada pihak-pihak yang berkepentingan;

4. diumukan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di

daerah yang bersangkutan; dan

5. pelaksanaan penjualan di bawah tangan tersebut, dilakukan setelah

lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis

61

Munir Fuady, Op.cit, hlm. 60.

62

BAB III

TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Pembiayaan Konsumen

Pembiayaan Konsumen dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah consumer

finance. Pembiayaan konsumen ini pada hakikatnya sama saja dengan kredit

konsumen (consumer credit). Bedanya hanya terletak pada lembaga yang membiayainya. Pembiayaan konsumen biaya diberikan oleh perusahaan pembiayaan (financing company), sedangkan kredit konsumen biaya diberikan oleh Bank. Di Inggris, kredit konsumen ini sudah diatur dalam suatu undang-undang tersendiri,

yaitu dalam Undang-Undang Kredit Konsumen 1974 (Consumer Credit Act, 1974).63

Jika dilihat masing-masing pengertian antara kredit konsumen dengan pembiayaan konsumen secara substantif tidak lah berbeda, yaitu :

Kredit konsumen adalah kredit yang diberikan kepada konsumen-konsumen guna pembelian barang-barang konsumsi dan jasa-jasa seperti yang dibedakan dari pinjaman-pinjaman yang digunakan untuk tujuan-tujuan produktif atau dagang. Kredit yang demikian itu dapat mengandung risiko yang lebih besar dari pada kredit dagang biasa; maka dari itu, biasanya kredit itu diberikan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi.

Pasal 1 angka (6) Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan menyebutkan bahwa, “Pembiayaan konsumen adalah pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan Konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala.”

63

Menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 7 menyebutkan, “Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.”

Melihat beberapa definisi di atas, dapat diketahui bahwa pembiayaan konsumen adalah kegiatan untuk membiayai barang untuk tujuan konsumtif, yang dapat dipergunakan sehari-hari dan dengan pembiayaan relatif kecil.

Berdasarkan definisi di atas, Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati telah memerinci unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian pembiayaan konsumen yaitu sebagai berikut:64

1. Subjek adalah pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hukum

pembiayaan konsumen, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen (kreditur), konsumen (debitur), dan penyedia barang (pemasok,supplier)

2. Objek adalah barang bergerak keperluan konsumen yang akan dipakai

untuk keperluan hidup atau keperluan rumah tangga, misalnya televisi, kulkas, mesin cuci, alat-alat dapur, perabot rumah tangga, kendaraan. 3. Perjanjian, yaitu perbuatan persetujuan pembiayaan yang diadakan antara

pemasok dan konsumen dan konsumen, serta jual beli antara pemasok dan konsumen. Perjanjian ini didukung oleh dokumen-dokumen.

4. Hubungan hak dan kewajiban, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen

wajib membiayai harga pembelian barang yang diperlukan konsumen dan membayarnya secara tunai kepada pemasok. Konsumen wajib membayar secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen, dan pemasok wajib menyerahkan barang kepada konsumen.

5. Jaminan, yaitu terdiri atas jaminan utama, jaminan pokok, dan jaminan

tambahan. Jaminan utama berupa kepercayaan terhadap konsumen (debitur) bahwa konsumen dapat dipercaya untuk membayar angsurannya sampai selesai. Jaminan pokok secara fidusia berupa barang yang dibiayai oleh perusahaan pembiayaan konsumen di mana semua dokumen kepemilikan barang dikuasai oleh perusahaan pembiayaan konsumen

64

Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan

(fiduciary transfer of ownership) sampai angsuran terakhir dilunasi. Adapun jaminan tambahan berupa pengakuan utang (promissory notes) dari konsumen.

Istilah perjanjian pembiayaan sendiri berasal dari terjemahan Bahasa Inggris, yaitu “finance contract”. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembiayaan tidak kita temukan pengertian perjanjian pembiayaan. Namun pengertian perjanjian pembiayaan konsumen dapat kita temukan dalam doktrin.

Munir Fuady mengemukakan bahwa, ”perjanjian pembiayaan konsumen adalah hubungan antara kreditur dengan konsumen adalah hubungan kontraktual dalam hal ini kontrak pembiayaan konsumen, di mana pihak pemberi biaya sebagai kreditur dan pihak penerima biaya (konsumen) sebagai pihak debitur. Pihak pemberi biaya berkewajiban utama untuk memberi sejumlah uang untuk pembelian barang konsumsi, sementara pihak penerima biaya (konsumen) berkewajiban utama untuk membayar kembali uang tersebut secara cicilan kepada pihak pemberi biaya. Jadi, hubungan kontraktual antara pihak penyedia dana dengan pihak konsumen adalah sejenis perjanjian kredit.65

Salim HS juga memberikan pengertian mengenai perjanjian pembiayaan konsumen yaitu, “kontrak atau perjanjian yang dibuat antara pemberi fasilitas dengan penerima fasilitas, di mana pemberi fasilitas menyediakan dana untuk membeli barang dan penjual barang, untuk digunakan oleh si penerima fasilitas, dan penerima

65

Munir Fuady, Hukum tentang Pembiayaan (dalam Teori dan Praktek), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 166.

fasilitas berkewajiban untuk membayar pinjaman itu, baik berupa pokok dan bunga, sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak.”66

Dalam praktiknya, istilah yang digunakan untuk menyebut para pihak pada pembiayaan konsumen adalah pemberi fasilitas dan penerima fasilitas. Pemberi fasilitas adalah perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan konsumen. Penerima fasilitas adalah orang atau badan yang menerima pembayaran dari pemberi fasilitas untuk membeli barang dari penjual. Objeknya adalah berupa pinjaman uang dari pemberi fasilitas kepada penerima fasilitas. Pinjaman itu digunakan untuk membayar harga barang dari penjual. Pada umumnya, perusahaan pembiayaan banyak membiayai untuk membeli kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat. Sedangkan untuk barang-barang bergerak, seperti TV, tape, kulkas, umumnya menggunakan perjanjian beli sewa.67

Selanjutnya, berdasarkan definisi beserta unsur-unsur sebagaimana diuraikan di atas, dapat diidentifikasi karakteristik dari pembiayaan konsumen serta perbedaannya dengan kegiatan sewa guna usaha, khususnya dalam bentuk financial lease. Karakteristik dari pembiayaan konsumen, yaitu sebagai berikut:68

1. Sasaran pembiayaan jelas, yaitu konsumen yang membutuhkan barang-

barang konsumsi.

2. Objek pembiayaan berupa barang-barang untuk kebutuhan atau konsumsi

konsumen.

3. Besarnya pembiayaan yangdiberikan oleh perusahaan pembiayaan

konsumen kepada masing-masing konsumen relatif kecil, sehingga;

66

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 130-131.

67

Ibid, hlm. 131.

68

4. Resiko pembiayaan relatif lebih aman karena pembiayaan tersebar pada banyak konsumen.

5. Pembayaran kembali oleh konsumen kepada perusahaan pembiayaan

konsumen kepada perusahaan pembiayaan konsumen dilakukan secara berkala/angsuran

Dalam praktik di masyarakat, sering sekali terjadi anggapan bahwa kegiatan pembiayaan konsumen sama dengan kegiatan sewa guna usaha (leasing). Padahal kedua kegiatan tersebut tentulah pada prinsipnya berbeda.

Adapun perbedaan pembiayaan konsumen dengan sewa guna usaha, khususnya yang dengan hak opsi (finance lease) menurut Budi Rachmat adalah sebagai berikut:69

1. Pada pembiayaan konsumen, pemilikan barang.objek pembiayaan berada

pada konsumen yang kemudian diserahkan secara fidusia kepada perusahaan pembiayaan konsumen. Adapun pada sewa guna usaha pemilikan barang/objek pembiayaan berada pada lessor;

2. Pada pembiayaan konsumen, tidak ada batasan waktu pembiayaan dalam

arti disesuaikan dengan umur ekonomis barang/objek pembiayaan. Adapun pada sewa guna usaha jangka waktu diatur sesuai dengan umur ekonomis barang/objek pembiayaan. Adapun pada sewa guna usaha jangka waktu diatur sesuai dengan umur ekonomis objek/barang modal yang dibiayai oleh lessor;

3. Pada pembiayaan konsumen tidak membatasi pembiayaan kepada calon

konsumen yang telah mempunyai NPWP, mempunyai kegiatan usaha dari atau pekerjaan bebas. Adapun pada sewa guna usaha calon lessee diharuskan ada atau memiliki syarat-syarat di atas;

4. Perlakuan perpajakan antara pembiayaan konsumen dan sewa guna usaha

berbeda, baik dilihat dari sisi perusahaaan pembiayaan maupun dari sisi konsumen atau lessee;

5. Pada pembiayaan konsumen, kegiatan dalam bentuk sale and lease back

belum diatur. Adapun pada sewa guna usaha hal tersebut dimungkinkan terjadinya.

Pada saat ini, kegiatan pembiayaan konsumen tumbuh subur dan sangat diminati oleh masyarakat khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah, karena

69

Budi Rachmat, Multi Finance : Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, (Jakarta : Novindo Pustaka Mandiri, 2002), hlm. 137.

kegiatan ini dianggap mampu untuk mengamodir kebutuhan masyarakat atas barang- barang konsumen. Adapun sejarah lahirnya pemberian kredit dengan sistem pembiayaan konsumen ini adalah sebagai jawaban atas kenyataan-kenyataan sebagai berikut:70

1. Bank-bank kurang tertarik/tidak cukup banyak dalam menyediakan kredit

kepada konsumen, yang umumnya merupakan kredit-kredit berukuran kecil;

2. Sumber dana yang formal lainnya banyak keterbatasan atau sistemnya

yang kurang fleksibel atau tidak sesuai kebutuhan. Misalnya apa yang dilakukan oleh Perum Pegadaian, yang di samping daya jangkauannya yang terbatas, tetapi juga mengharuskan penyerahan sesuatu sebagai jaminan. Ini sangat memberatkan bagi masyarakat;

3. Sistem pembayaran informal seperti yang dilakukan oleh para lintah darat atau tengkulak dirasakan sangat mencekam masyarakat. Sehingga sistem seperti ini sangat dibenci atau dianggap sebagai riba, dan banyak negara maupun agama yang melanggarnya;

4. Sistem pembayaran formal lewat koperasi, seperti Koperasi Unit Desa

ternyata juga tidak berkembang seperti yang diharapkan.

Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka dibutuhkan adanya suatu sistem pembiayaan yang dianggap mampu menjangkau kebutuhan masyarakat luas, namun pelaksanannya tidak jauh berbeda dengan sistem perkreditan biasa. Oleh karena itu mulai lah dikembangkan suatu sistem pembiayaan di luar perbankan yang dikenal dengan kegiatan pembiayaan konsumen.

B. Dasar Hukum Perjanjian Pembiayaan Konsumen

Sebelum menelaah mengenai dasar hukum perjanjian pembiayaan konsumen, ada baiknya terlebih dahulu membahas mengenai pengaturan hukum mengenai perjanjian secara umum yang diatur dalam KUH Perdata, karena perjanjian

70

Munir Fuady, Hukum tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktik (Leasing, Factoring,

pembiayaan konsumen sendiri tunduk kepada ketentuan umum hukum perjanjian yang diatur dalam buku III KUH Perdata.

Buku III KUH Perdata berjudul “Perihal Perikatan”. Perkataan “Perikatan” (verbintenis) mempunyai arti lebih luas dari perkataan “perjanjian” sebab dalam Buku III itu, diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Tetapi, sebagian besar dari Buku III ditujukan pada perikatan- perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hukum perjanjian.71

Adapun yang dimaksudkan dengan “perikatan” oleh Buku III KUH Perdata itu ialah : Suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya,

sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.72

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari perjanjian ini, ditimbulkan Dengan demikian dalam suatu perikatan adanya hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Pihak yang mempunyai hak disebut kreditur dan yang mempunyai kewajiban disebut debitur.

71

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,(Jakarta : Intermasa, 1980) hlm. 122.

72

suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan tersebutlah yang dinamakan perikatan. Dengan demikian hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menimbulkan perikatan. Dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka, sehingga anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian, dan undang-undang hanya hanya berfungsi untuk melengkapi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat tanpa ketentuan para pihak yang bersangkutan.73

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.

Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal janji kawin yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun, istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga hukum ke III KUH

73

Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 203.

Perdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.74

Beberapa sarjana juga merumuskan definisi dari perjanjian. Subekti menyatakan bahwa “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana orang itu berjanji saling berjanji untuk melakukan suatu hal.”75

Menurut M.Yahya Harahap, “perjanjian mengandung suatu pengertian tentang hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan sesuatu hal pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.”76

Dalam pasal 1320 KUH Perdata diatur mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Mengenai suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Berikut akan diuraikan secara garis besar satu persatu keempat syarat sahnya perjanjian itu:77

Ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

74

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 18.

75

Subekti, Op.cit., hlm.1.

76

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, (Bandung : sumur, 1981), hlm. 11.

77

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.78

Ad. 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam.

Cakap (bekwaan) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara saah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.

Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah :

1) Anak dibawah umur (minderjarigheid)

2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;

3) Istri, yang dalam perkembangannya sudah diatur dalam Pasal 31 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA Nomor 3 Tahun 1963. Ad.3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.

78

Paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling) dan penipuan (bedrog) merupakan 3 hal yang mengakibatkan kesepakatan tidak sempurna (Pasal 1321 s.d. 1328 BW)

Ad.4. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya perjanjian. Mengenai syarat ini Pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUH Perdata dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah :

1. bukan tanpa sebab;

2. bukan sebab yang palsu;

3. bukan sebab yang terlarang79

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.80

Untuk membuat suatu perjanjian, keempat syarat yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata harus dipenuhi. Jika syarat-syarat tersebut atau salah satu syarat tidak terpenuhi, tentunya memiliki akibat hukum tersendiri.

Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi

79

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari perjanjian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.161.

80

hukum. Artinya : Dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah adanya suatu perikatan. Sedangkan jika syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Berikut di bawah ini dibahas asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata :81

a. Asas Personalia

Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri:. Dari rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.

b. Asas Konsensualitas

81

Asas Konsensualitas memperlihatkan kepada kita semua bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang yang telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai

Dokumen terkait