BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Pembahasan
1. Eksistensi dan Distribusi Pohon Beringin di Kota Yogyakarta
Eksistensi pohon beringin tidak lepas dari peranan sejarah masa lalu sejak zaman Kerajaan Mataram. Popularitasnya merupakan peran inisiatif masyarakat tradisional Kota Yogyakarta dalam perspektif mitologi. Pohon beringin dianggap sebagai pohon sakral dan suci serta dikenal sebagai pohon kehidupan. Sampai saat ini eksistensinya di tengah masyarakat tetap terjaga dan
58
berguna bagi lingkungan sekitar baik secara ekologi dan sosial-budaya. Dengan demikian, secara langsung masyarakat telah berpartisipasi dalam rangka implementasi pelestarian keanekaragaman hayati dan plasma nutfah.
Filosofi dalam sejarah kehidupan keraton dan mitologi pohon beringin bagi masyarakat tradisional Kota Yogyakarta merupakan fondasi utama yang menjadikan pohon beringin tetap eksis sampai saat ini. Kedua fondasi tersebut merupakan manifestasi dari adanya keyakinan dalam diri masyarakat yang diperoleh dari praktik ajaran agama. Sudut pandang tersebut menjadikan ajaran agama sebagai komponen yang begitu berperan dalam ekologi. Ajaran agama dan masyarakat tradisional menjadi komponen terpenting dalam pengelolaan lingkungan. Keduanya memberikan andil dalam menghindari inefisiensi dalam rangka upaya penyelenggaraan pengelolaan lingkungan.
Dalam kerangka aksi konservasi masyarakat tradisional berperan sebagai variabel intervening (Gambar 23). Masyarakat tradisional mempengaruhi hubungan kuat lemahnya antara stimulasi dengan tanggapan, pengetahuan, dan perilaku oleh karena adanya sikap dan pola pikir masyarakat. Ajaran agama, keyakinan, dan sejarah pohon beringin merupakan stimulator dari sikap dan pola pikir masyarakat tradisional Kota Yogyakarta yang kemudian menghasilkan tanggapan, pengetahuan, dan perilaku. Ketiga variabel ini dapat berupa respon positif dan negatif. Hal tersebut, tergantung pada sikap dan pola pikir masyarakat yang didukung oleh pemahaman masing-masing individu.
59
Aksi konservasi masyarakat Kota Yogyakarta terhadap pohon beringin diinisiasi dari filosofi dan kedudukan pohon beringin sebagai tanaman keraton. Pohon beringin memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan tanaman lainnya dalam tatanan filosofi tanaman keraton. Selain filosofi dan kedudukannya, pohon beringin juga berperan dalam arsitektur tata ruang wilayah Yogyakarta. Sejarah pembangunan wilayah Yogyakarta berpusat di kawasan keraton yang ditunjukkan dengan bingkai warisan budaya sumbu imaginer. Sistematik urutan sumbu imaginer dari selatan ke utara meliputi Laut Selatan, Panggung Krapyak, Alun-alun Selatan, Keraton, Alun-alun Utara Tugu Golong Gilig, Gunung Merapi (Gambar 2). Pada bagian tengah kedua alun-alun tersebut ditanami pohon beringin. Hal ini menambah poin keunikan jika pohon beringin benar-benar hendak dijadikan maskot tumbuhan dari Kota
Stimulasi (ajaran agama, keyakinan,
sejarah pohon Beringin)
Variabel Bebas Variabel Intervening
Sikap dan Pola Pikir Masyarakat
Tradisional
Tanggapan Pengetahuan Perilaku
Aksi Konservasi Variabel
Moderator
Variabel terikat
Gambar 23. Variabel dalam Aksi Konservasi Pohon Beringin (Modifikasi dari Zuhud. 2007: 6)
60
Yogyakarta. Pohon beringin yang berada di bagian tengah Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan memiliki arti dan nama tersendiri.
Berdasarkan hal tersebut diatas, secara garis besar peranan pohon beringin kaitannya dengan aksi konservasi di wilayah Yogyakarta dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Filosofi, kedudukan, mitologi, dan penanaman Pohon beringin dalam sejarah tata ruang wilayah Yogyakarta merupakan 4 poin penting yang selama ini menjadi tonggak dalam aksi konservasi pohon beringin bagi masyarakat tradisional Kota Yogyakarta. Dengan demikian, masyarakat tradisional berperan penting dalam aksi konservasi keanekaragaman hayati. Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta merupakan implementasi dari adanya aksi konservasi masyarakat tradisional terhadap pohon beringin.
a b
Gambar 24. Pohon Beringin di Alun-alun Kota Yogyakarta. a. Pohon Beringin di Alun-alun Selatan. b. Pohon Beringin di Alun-alun Utara
61
Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta terletak pada 83 lokasi (Lampiran 1). Penentuan lokasi mengacu pada Peta Kota Yogyakarta terbitan CV Indo Prima Sarana Surabaya “Yogyakarta City Map”. Peta tersebut dipilih
karena peta ini merupakan pedoman wisata di Kota Yogyakarta. Tidak menutup kemungkinan bahwa jalan raya yang berada dalam layout peta tersebut sering dilewati oleh wisatawan. Sensus pohon beringin dilakukan berdasarkan lokasi yang terdapat pohon beringin.
Gambar 25. Empat Poin Penting Aksi Konservasi Pohon Beringin di Kota Yogyakarta
62
63
Berdasarkan sensus diperoleh kemelimpahan jumlah sebanyak 899 individu beringin yang tersebar pada 83 lokasi, sedangkan sebanyak 21 lokasi dari total 104 lokasi yang termasuk sampel lokasi tidak terdapat pohon beringin. Pohon yang telah tersensus kemudian ditentukan posisi koordinat menggunakan GPS. Setelah itu data diolah menggunakan aplikasi ArcGis untuk membuat Peta Distribusi Pohon beringin di Kota Yogyakarta seperti yang terlihat pada Gambar 26.
a. Kategori jumlah pohon beringin
Kategorisasi jumlah pohon beringin di Kota Yogyakarta ditunjukkan pada Grafik 1. Kategori jumlah pohon digunakan untuk memberikan informasi jumlah pohon beringin yang ditemukan di lokasi penelitian. Terdapat 4 kategori jumlah pohon dari 6 interval yang telah ditentukan. Interval 1 sampai 20 pohon merupakan kategori jumlah pohon yang paling banyak ditemukan sedangkan interval 101 sampai 120 pohon merupakan kategori jumlah pohon yang paling sedikit.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat 72 lokasi dengan jumlah antara 1 sampai 20 pohon beringin. Lokasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada kategori antara 21 sampai 40 pohon hanya terdapat pada 5 lokasi yakni Jalan S.O. 1 Maret (27 pohon), Jalan Sugeng Jeroni (28 pohon), Jalan Sultan Agung (28 pohon), Jalan Faridan M. Noto (35 pohon), dan Jalan Letjend. Suprapto (37 pohon). Kategori jumlah pohon dengan interval 41 sampai 60 pohon ditemukan pada 5 lokasi yang meliputi Jalan
64
Gedong Kuning (49 pohon), Jalan Veteran (52 pohon), Alun-alun Utara (50 pohon), Jalan Kapten Tendean (50 pohon), Kebun Binatang Gembira Loka (56 pohon). Kategori pohon dengan interval 101 sampai 120 pohon hanya terdapat di Jalan Tamansiswa dengan jumlah 108 pohon beringin.
Kategori jumlah pohon dapat digunakan untuk monitoring dalam upaya pengelolaan lingkungan khususnya Ruang Terbuka Hijau Tepi Jalan (RTHTJ). Dengan adanya kategori jumlah pohon pihak pengelola dapat dengan mudah menentukan jumlah pohon yang akan ditanam sebagai tanaman penghijau tepi jalan kaitannya dengan tanaman dalam menyerap polutan udara. Dengan demikian, laju pencemaran udara dapat dikendalikan.
65
Pola distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta berbentuk jalur di tepi jalan raya karena persebarannya dibantu oleh manusia. Pola distribusi pohon beringin di lapangan terbuka maupun halaman perkantoran ditanam pada spot tertentu sesuai dengan fungsi. Terkecuali pola distribusi yang terdapat di Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Penanaman pohon beringin di tengah alun-alun dan bagian tepinya mempunyai makna filosofi tersendiri. Bagian tepi Alun-alun Utara ditanami pohon beringin sejumlah 62 pohon pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono I. Akan tetapi, jumlah tersebut sudah berkurang menjadi 48 pohon karena faktor usia dan faktor alam. Berbeda dengan tepi Alun-alun Selatan hanya terdapat 3 pohon beringin yang ditanam di bagian tepi dan berbagai jenis pohon lainnya.
Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta membentuk pola teratur. Pohon beringin yang tersebar mayoritas ditanam dalam bis beton. Berdasarkan hasil pengamatan pohon beringin hanya terdapat pada tepi jalan raya berhambatan dan bebas hambatan. Dengan kata lain, pohon beringin tidak ditemukan di tengah median jalan. Dari segi estetika pohon
Gambar 27. Visusalisasi Pola Distribusi Pohon Beringin pada Jalan Raya Berhambatan
66
beringin yang ditemukan, beberapa ada yang berhabitus bonsai. Dengan demikian, pohon beringin telah memenuhi syarat estetika sebagai tanaman penghijau.
b. Beringin sebagai pohon hutan kota
Menurut Fandeli, dkk (2004: 39), hutan kota didefinisikan sebagai kawasan hijau di kota yang terdiri dari kumpulan pohon dan kerapatannya dapat menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan di luar area tersebut. Hutan kota dapat berada di taman kota, tempat rekreasi, tempat olah raga, pemakaman, lahan pertanian, jalur hijau jalan, dan pekarangan. Mengacu pada hal tersebut maka lokasi yang digunakan dalam penelitian ini yang meliputi jalur hijau tepi jalan raya, halaman perkantoran/instansi, lapangan terbuka, dan tempat rekreasi Kebun Binatang Gembira Loka (KBGL) merupakan kawasan hutan kota.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya hutan kota meliputi tujuan yang dikaitkan dengan fungsi hutan kota, popularitas tanaman, persepsi dan sosial-ekonomi (Fandeli, dkk. 2004: 41). Tujuan merupakan aspek utama dalam perencanaan dan pembangunan kawasan hutan kota. Tujuan pengadaan hutan kota berhubungan dengan fungsi sedangkan fungsi tergantung pada lokasi. Tanaman yang digunakan tergantung pada peruntukkan kawasan.
Menurut Mukhlison (2013: 39-41), pengadaan hutan kota harus didasarkan pada fungsi agar hutan kota berguna secara optimal bagi seluruh
67
makhluk hidup. Dalam pemenuhan fungsi tersebut, maka hutan kota harus memenuhi syarat silvikultural, manajemen, dan estetika. Syarat-syarat silvikultural diantaranya meliputi jenis pohon yang berada dalam rentang tumbuh yang sesuai dengan kebutuhannya (iklim dan edafik), dapat tumbuh pada tanah miskin hara, mampu memulihkan kesuburan tanah, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, kondisi sealalu evergreen, batang pokok dan cabang kuat sehingga tidak mudah tumbang dan patah, akar tidak merusak jalan, beton, dan bangunan yang ada disekitarnya, toleran terhadap suhu tinggi dan penyinaran matahari, dan toleran terhadap kekurangan air. Manjemen merupakan syarat yang selalu ada dalam pengelolaan berbagai praksis kehidupan. Syarat manajemen jenis pohon hutan kota diantaranya bertajuk tebal dan rapat sehingga dapat berfungsi sebagai tanaman peneduh, bertajuk kuat dan rapat sehingga dapat berfungsi sebagai tanaman pelindung angin, serta berkemampuan tinggi dalam pengurangan pencemaran lingkungan perkotaaan (udara, air, tanah). Syarat estetika yang harus terpenuhi untuk jenis pohon hutan kota yakni pohon memiliki tajuk, percabangan daun dan atau bunga yang indah sehingga akan menambah unsur keindahan ruang perkotaan. Selain itu, jenis pohon yang memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan, memiliki buah berukuran relatif kecil sehingga ketika jatuh tidak membahayakan manusia dan merusak fasilitas sekitarnya. Pohon tidak menghasilkan getah beracun atau berbahaya bagi makhluk hidup dan tidak menghasilkan serbuk sari yang dapat
68
menyebabkan alergi, keduanya merupakan syarat lain untuk jenis pohon sebagai komposisi hutan kota.
Pohon beringin merupakan salah satu jenis tanaman yang sesuai untuk dijadikan komposisi pohon dalam hutan kota. Mengacu pada persyaratan tersebut di atas, skor pohon beringin hampir memenuhi semua syarat yang telah disebutkan (Grafik 2). Skor maksimal pada grafik tersebut menggambarkan skor nilai pemenuhan syarat pohon beringin sebagai komposisi tanaman dalam hutan kota. Skor hasil tersebut merupakan nilai yang didapatkan berdasarkan hasil survei dengan kategori persyaratan silvikultural, manajemen, dan estetika jenis pohon hutan kota. Pada Grafik 2 terlihat bahwa pohon beringin memiliki skor syarat silvikultural sebesar 23 dengan skor maksimal 24. Berarti hanya selisih 1 nilai dari skor
Grafik 2. Perbandingan Skor Maksimal dan Skor Hasil Syarat Tanaman Hutan Kota pada Pohon Beringin
69
maksimal. Di samping itu, skor hasil dan skor maksimal pada syarat manajemen dan syarat estetika terlihat keduanya menduduki nilai yang sama yakni sebesar 14 dan 10. Dengan demikian, pohon beringin telah memenui syarat sebagai jenis pohon pembentuk hutan kota.
Jenis pohon sebagai syarat komposisi hutan kota juga harus memenuhi fungsi produksi dan konservasi flora dan fauna (Fandeli. 2004: 41). Pohon beringin yang telah tumbang ataupun kayu beringin yang sengaja digunakan sebagai fungsi produksi dapat dijadikan sebagai perabotan rumah tangga yang unik karena adanya akar nafas yang menyelubungi batang utama pohon. Hal tersebut, menjadikan pohon beringin akan terkesan unik jika dimanfaatkan sebagai perabotan maupun properti lainnya sesuai dengan kreatifitas. Walaupun tingkat kekerasan kayu pohon beringin tergolong rendah. Akan tetapi, dalam hal keawetan kayu dapat diatasi dengan proses
Gambar 28. Benalu pada Pohon Beringin sebagai Fungsi Konservasi Flora
70
pengawetan. Pohon beringin merupakan suaka bagi berbagai fauna seperti serangga, burung, reptil, dan flora seperti benalu (Gambar 28).
Meskipun pohon beringin berperan dalam konservasi flora. Di sisi lain, pohon beringin dapat merusak jenis pohon hutan kota lainnya. Daya adaptasi yang tinggi menyebabkan pohon ini dapat tumbuh pada media dengan unsur hidup dan media tanpa unsur hidup. Hal tersebut perlu menjadi perhatian lebih bagi pihak pengelola hutan kota. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan empat jenis habitus pohon beringin yakni semai, pancang, tiang, pohon, dan epifit. Diantara kelima habitus tersebut terdapat satu habitus yang dapat tumbuh pada pohon lain bahkan dapat mematikan pohon tersebut. Epifit merupakan habitus beringin yang hidup dengan cara menempel pada pohon lain, tetapi tidak menyerap sari makanan dari pohon tersebut (parasit). Oleh karena laju pertumbuhan akar nafas pohon beringin yang cepat menyebabkan pohon inang tercekik dan dapat menyebabkan kematian, sehingga akar nafas tersebut disebut sebagai akar pencekik (strangler). Selain itu, pohon beringin memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga dapat tumbuh pada media dengan unsur tak hidup seperti tembok, jembatan yang berbahan beton dan batu.
71
Foto yang tersaji pada Gambar 29 menggambarkan cara beringin beradaptasi untuk tetap mempertahankan hidupnya dengan tumbuh pada berbagai habitat. Hal ini merupakan suatu kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya dalam penggunaan pohon beringin sebagai tanaman penghijau memberikan kemudahan dalam cara tanam dan pemeliharaan. Cara tanam beringin sebagai tanaman penghijau jalan di Kota Yogyakarta yaitu dengan cara ditanam dalam bis beton. Pohon beringin mampu tumbuh
Gambar 29. Beringin Tumbuh pada Berbagai Media. 1), 3) Beringin Tumbuh pada Media Beton. 2) Beringin Tumbuh pada Media Pohon. 4)
Beringin Pencekik (Strangler) (Sumber: Dokumentasi Pribadi).
1) 2)
72
pada kondisi unsur hara dan kandungan air rendah. Selain itu, pohon ini dapat tumbuh pada pohon lainnya. Dengan demikian, diperlukan pengawasan terhadap tanaman hutan kota yang lain. Jika terdapat beringin tumbuh liar pada tanaman hutan kota yang lain, segera dilakukan tindakan pencabutan terhadap beringin tersebut.
Dalam keadaan alami pohon beringin dapat mencapai tinggi 30 meter lebih dengan tajuk yang rapat dan luas. Selain itu, akar nafasnya yang menyelubungi batang dan tumbuhnya sulur di dahannya membuat pohon ini terkesan angker. Oleh karenanya, menjadi suatu masalah yang perlu dipertimbangkan jika pohon beringin dijadikan tanaman penghijau tepi jalan sebagai upaya pengadaan hutan kota sehingga diperlukan usaha untuk mengatasinya. Walaupun demikian, pohon beringin mempunyai kelebihan yang dapat dijadikan solusi dari adanya permasalahan tersebut. Pohon beringin merupakan pohon yang dapat dijadikan bonsai sehingga akan tetap kerdil dan tidak mengganggu aktivitas jalanan. Hal tersebut menambah poin nilai estetika pada pohon beringin. Dari hasil pengamatan pohon beringin yang digunakan sebagai tanaman penghijau jalan terdapat beberapa model pemangkasan (pruning) seperti yang tampak pada Gambar 30.
73
Telah banyak dilakukan penelitian mengenai kemampuan pohon beringin dalam mereduksi bahan pencemar udara. Hasil penelitian Purwaningsih (2007: 35) menyatakan bahwa beringin merupakan jenis tumbuhan yang memiliki peran tinggi dalam menyerap karbon dioksida (CO2) diantara beberapa spesies tumbuhan lainnya (Tabel 14). Jika
dibandingkan dengan Angsana, Tanjung, Sawo Kecik, dan Asam yang merupakan tanaman keraton, maka beringin yang paling unggul dalam penyerapan CO2.Tanjung dan Angsana yang merupakan pohon penghijau
tepi jalan memiliki kemampuan dalam menyerap CO2 yang rendah jika
dibandingkan dengan beringin.
Karbon dioksida (CO2) merupakan gas sisa hasil pembakaran bahan
bakar minyak kendaraan, juga berasal dari dampak negatif adanya penggundulan hutan, pembakaran kayu dan kertas. Dampak negatif dari
Gambar 30. Model Pemangkasan Pohon Beringin pada Jalur Hijau Jalan di Kota Yogyakarta. 1) Model Piramida Terbalik. 2) Model
Tabung, 3) Model Bertingkat (Sumber: Dokumentasi Pribadi).
74
adanya surplus gas CO2 di udara menyebabkan pemanasan global yang
ditandai dengan adanya peningkatan suhu lingkungan. Gas CO2 bersama
H2O bereaksi dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan karbohidrat
(C6H12O6) dan oksigen (O6). Dengan adanya fenomena tersebut maka
tumbuhan berperan dalam mereduksi gas CO2 di udara. Analoginya jika
suatu tumbuhan memiliki daun banyak yang secara visual terlihat dari ketebalan dan kerapatan tajuk maka tumbuhan tersebut memiliki daya serap CO2 yang tinggi.
Lubis & Suseno (2002: 143), menyatakan bahwa tanaman berakar gantung relatif baik digunakan sebagai tanaman penghijau pinggir jalan. Laporan hasil penelitiannya menyatakan bahwa sampel tanaman Ficus yang digunakan mampu menyerap dan menjerap logam berat timbal (Pb).
Tabel 14. Daya Serap Karbon Diksida pada Beberapa Jenis Tumbuhan No Nama Jenis Daya Serap Karbon
dioksida/Pohon 1 Beringin *), **) 622 2 Angsana *) 0.217 3 Tanjung *) 0.102 4 Trembesi 66.3 5 Nangka 3.41 6 Mahoni 2.5 7 Sawo Kecik **) 1.84 8 Asam **) 0.118 Sumber:Purwaningsih (2007:35). Keterangan:
*) : Tanaman penghijau yang ditanam oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota
Yogyakarta
75
Sampel tanaman tersebut merupakan tanaman perkotaan yang difungsikan sebagai tanaman penghijau. Sampel yang digunakan meliputi Ficus elliptica, Ficus benjamina dan Ficus sp. Sampel organ yang diujikan untuk mengetahui kandungan Pb-nya ialah daun, batang, dan akar nafas. Dilaporkan bahwa ketiga sampel organ tersebut memiliki kandungan Pb dengan variasi nilai yang berbeda-beda (Tabel 15).
Tabel 15. Kandungan Logam Pb pada Organ Tanaman Tiga Spesies Ficus
No Organ
Jenis tanaman
Ficus elliptica Ficus benjamina Ficus sp. Kadar Pb (mg/kg)
1 Daun 17.91 15.9 16.15
2 Batang 18.16 18.49 16.07
3 Akar gantung 18.61 16.07 15.73
Sumber: Lubis & Suseno (2002: 146). c. Distribusi habitus beringin di Kota Yogyakarta
Penentuan kategori habitus pohon beringin berdasarkan pada diameter setinggi dada atau Diameter at the Breat Height (DBH). Habitus yang telah ditemukan dan dikategorikan berdasarkan DBH meliputi pancang, tiang, dan pohon. Semai ditentukan berdasarkan perkiraan ketinggian. Bonsai ditentukan berdasarkan penampakan batang. Epifit ditentukan berdasarkan tempat tumbuh. Secara keseluruhan terdapat lima jenis habitus pohon beringin di Kota Yogyakarta yakni pancang, tiang, pohon, semai, bonsai, dan epifit. Kategori jumlah kelima habitus pohon beringin dapat dilihat pada Grafik 3.
76
Grafik 3. Jumlah Kategori Habitus Pohon Beringin di Kota Yogyakarta Berdasarkan Grafik 3 di atas habitus yang mempunyai jumlah paling banyak adalah tiang sebanyak 128 individu. Kemudian secara berurutan dari habitus yang memiliki jumlah terbesar sampai yang terkecil yakni, pohon sebanyak 68 individu, pancang sebanyak 61 individu, semai sebanyak 41 individu, bonsai sebanyak 34 individu, dan epifit memiliki jumlah paling kecil sebesar 16 individu. Keseluruhan habitus beringin yang ditemukan sebanyak 348 individu sedangkan jumlah keseluruhan pohon beringin yang ditemukan di Kota Yogyakarta sebesar 899 individu. Jumlah pohon yang tidak termasuk ke dalam kategori habitus merupakan pohon yang tidak terukur diameternya karena memiliki akar nafas yakni sebesar 551 pohon. 41 61 128 68 34 16
Kategori Jumlah Habitus
77
Grafik 4. Jumlah Lokasi Persebaran Habitus Pohon Beringin Distribusi habitus pohon beringin pada lokasi penelitian dapat disimak pada Lampiran 2. Dari hasil perhitungan habitus pohon memiliki jumlah yang paling banyak tersebar pada lokasi penelitian yakni 31 lokasi. Habitus pancang dan tiang masing-masing tersebar pada 27 dan 30 lokasi. Habitus semai tersebar pada 20 lokasi dan bonsai tersebar pada 16 lokasi. Epifit merupakan habitus yang paling sedikit jumlahnya dan tersebar hanya pada 4 lokasi penelitian.
Perhitungan persebaran habitus pada lokasi penelitian bertujuan untuk mengetahui peranan beringin dalam fungsi ekologi, estetika sebagai pohon kota (urban tree), dan reduksi pencemar udara. Dimuka telah disinggung bahwa beringin merupakan spesies tumbuhan yang memiliki daya serap karbon paling tinggi dibanding dengan Tanjung dan Angsana sebagai tanaman penghijau tepi jalan. Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa
20 27 30 31 16 4 0 5 10 15 20 25 30 35
Semai Pancang Tiang Pohon Bonsai Epifit
Jumlah
Lokasi78
semakin banyak kategori habitus pohon beringin yang tersebar di lokasi penelitian maka kemampuan dalam mereduksi logam berat Pb, debu, dan gas CO2 di udara semakin tinggi. Hal tersebut, berkaitan dengan kerapatan
dan ketebalan tajuk pohon beringin.
Semua habitus pohon beringin yang ditemukan baik semai, pancang, tiang, pohon, bonsai, dan epifit memiliki kemampuan dalam mereduksi bahan pencemar udara baik secara adsorpsi dan absorpsi melalui organ- organ tubuhnya. Asap dan debu merupakan polutan dari aktivitas perkotaan. Polutan tersebut terbuang ke udara oleh karena adanya angin sebagai agen distribusinya. Polutan dapat menempel pada bagian organ-organ tumbuhan yang kemudian dijerap dan atau diserap oleh habitus pohon beringin. Akan tetapi, dari beberapa habitus yang telah disebutkan di atas memiliki potensi yang berbeda terkait fungsi. Semai sebagai tanaman penghijau jalan lebih berfungsi dalam estetika, selain dapat menyerap polutan di udara. Demikian pula dengan bonsai walaupun habitus ini memiliki ketinggian yang relatif lebih tinggi dibandingkan semai. Epifit lebih berfungsi ke arah penyerap polutan udara dan seperti yang telah disinggung di muka bahwa habitus ini juga merupakan habitus yang merusak pohon hutan kota lainnya.
d. Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta
Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta tidak luput dari peran serta masyarakat terkait dengan popularitas pohon beringin sejak zaman Kerajaan Mataram hingga saat ini. Popularitas tersebut didukung oleh
79
adanya kepercayaan masyarakat tentang mitologi, filosofi, sejarah dan fungsi pohon beringin dalam tata ruang Kota Yogyakarta.
Dari hasil penelitian ditemukan dua spesies beringin (Ficus spp.) yakni
Ficus benjamina dikenal dengan nama beringin dan Ficus ribes dikenal dengan nama Preh. Beringin tumbuh tersebar pada tepi jalan raya, halaman perkantoran/instansi, lapangan terbuka, dan taman rekreasi Kebun Binatang Gembira Loka (KBGL). Distribusi beringin di Kota Yogyakarta merupakan reaksi dari adanya aksi konservasi yang telah lama dilakukan oleh masyarakat Kota Yogyakarta. Telah disinggung di muka bahwa pohon beringin merupakan pohon keraton yang paling diistimewakan daripada