i
EKSISTENSI DAN DISTRIBUSI BERINGIN (Ficus spp.) SEBAGAI MITIGASI PENCEMARAN UDARA DI KOTA YOGYAKARTA
TUGAS AKHIR SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Oleh: Lain Miftahu Suad NIM. 12308144020
PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
v
Motto
“Kenikmatan mengajarkan kepada manusia untuk selalu ingat dan bersyukur kepada Tuhannya. Bukankah Tuhan TIDAK PERNAH bermain-main menciptakan langit dan
vi
PERSEMBAHAN Bismillahirrahmanirrahim….
vii
EKSISTENSI DAN DISTRIBUSI BERINGIN (Ficus spp.) SEBAGAI MITIGASI PENCEMARAN UDARA DI KOTA YOGYAKARTA
Oleh Lain Miftahu Suad NIM. 12308144020
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perspektif eksistensi Beringin bagi masyarakat tradisional Kota Yogyakarta, distribusi dan kemelimpahan jumlah individu Beringin di Kota Yogyakarta, ukuran Beringin, kemampuan Beringin dalam mereduksi polutan di udara, dan pengetahuan masyarakat tradisional Kota Yogyakarta tentang Beringin.
Objek penelitian ini adalah pohon Beringin yang ada di Kota Yogyakarta khususnya yang berada di Ruang Terbuka Hijau (RTH. Subjek penelitian ini adalah masyarakat Kota Yogyakarta, khususnya abdi dalem Keraton Yogyakarta. Lokasi penelitian ini di tepi jalan raya, halaman perkantoran, lapangan terbuka, dan Kebun Binatang Gembira Loka (KBGL). Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ialah observasi dan survei (wawancara). Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 poin penting yang menjadi landasan perspektif bagi masyaratakat tradisional Kota Yogyakarta dalam memaknai eksistensi Beringin, distribusi Beringin di Kota Yogyakarta menyesuaikan dengan garis tepi jalan atau tepi alun-alun, terdapat kemelimpahan jumlah sebanyak 899 individu Beringin yang terdiri dari Beringin (Ficus benjamina L.) dan Preh (Ficus ribes B). Beringin yang ditemukan meliputi habitus semai, pancang, tiang, pohon, bonsai, dan epifit. Kemelimpahan jumlah Beringin di Kota Yogyakarta tersebar pada 83 lokasi. rata umur pohon Beringin sebesar 15,9 tahun dan tinggi 5,79 m. Rata-rata Pb yang terserap dan terjerap pada daun dan kulit batang Beringin masing-masing 0,3 mg/kg dan 0,5 mg/kg sedangkan Preh 0,6 mg/kg dan 0,2 mg/kg. Rata-rata debu yang terjerap pada Beringin 0,0381 g dan Preh 0,0030 g. Sebesar 75% masyarakat tradisional Kota Yogyakarta mengetahui pengetahuan tentang Beringin.
viii
EXISTENT AND DISTRIBUTION OF WEEPING FIG (Ficus spp.) AS MITIGATION OF AIR POLLUTIONS IN YOGYAKARTA CITY
Oleh Yogyakarta City traditional citizen, the distribution and the abundance of weeping fig, size of weeping fig, the weeping fig ability to reduce air pollutant, and Yogyakarta City traditional citizen’s knowledge about weeping fig. This research object was weeping fig trees lived in Yogyakarta City especially in green belt area.
The research subject was Yogyakarta City traditional citizen especially “abdi dalem” of Yogyakarta palace. The locations of this research were the edge of highway, offices yard, open area, and Gembira Loka Zoo. Collecting data method were observation and survey. Data analyses method used descriptive and statistical analyses.
The results showed that there were 4 important point for Yogyakarta City traditional citizen onto understand the existent of weeping fig, 899 trees of weeping fig which consist of weeping fig (Ficus benjamina L.) and “preh” (Ficus ribes B). The weeping fig were found seedling, sapling, pole, tree, epifit, and bonsai. The weeping fig distribution in Yogyakarta City was spread out at 83 locations. The average of weeping fig age was 15,9 years old and height was 5,79 m. The average of lead that was trapped and absorbed on the leaf and bark of weeping fig was 0,3 mg/kg and 0,5 mg/kg while “preh” was 0,6 mg/kg and 0,2 mg/kg. The average of dust trapped on leaf of weeping fig was 0,0381 g and “preh” was 0,0030 g. There were 75% of Yogyakarta City citizen know about weeping fig knowledge.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, karunia, pertolongan, dan semoga keberkahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini. Penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna mendapatkan gelar Sarjana Sains di Program Studi Biologi, FMIPA UNY.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah memberikan sumbangsih baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi ini. Penulis sampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Hartono selaku Dekan FMIPA UNY 2. Dr. Slamet Suyanto selaku WD I FMIPA UNY 3. Dr. Paidi selaku Ketua Jurusan Pedidikan Biologi
4. Dr. Tien Aminatun selaku Ketua Program Studi Biologi sekaligus sebagai Penguji Utama yang telah memberikan koreksi perbaikan secara komprehensif. 5. Prof. Dr. IGP Suryadarma selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan dan pemahaman.
6. Dr. Suhartini selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan arahan, semangat dan bimbingan dalam penyusunan laporan Tugas Akhir Skripsi. 7. Sudarsono, M.Si selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan koreksi
yang sangat berarti.
8. Bapak dan Ibu yang telah memberikan pemahaman arti kehidupan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian sehat berkah selalu dan selalu diberikan rahmat dan keberkahan oleh-Nya.
9. Adikku yang telah memberikan dorongan moral sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga diberikan keberkahan dalam menimba ilmu dan pencapaian citamu. Utamakan baktimu kepada Bapak dan Ibu.
x
11.Teman-teman seperjuangan BioSwa 2012, terima kasih atas ucapan “semangat” yang telah diberikan. Sehingga, skripsi ini dapat terselesaikan. 12.Teman-teman HANCALA, terima kasih atas dorongan moral yang telah
diberikan.
13.Keluarga, teman-teman kost, dan Ibu kost, terima kasih atas dorongan semangatnya.
14.Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang telah memberikan izin sehingga penulis dapat melakukan pengambilan data di wilayah administrasi Kota Yogyakarta.
15.Kepala Taman Rekreasi Kebun Binatang Gembira Loka Kota Yogyakarta yang telah memberikan izin. Sehingga, penulis dapat melakukan pengambilan data di kawasan KBGL.
16.GKR. Condrokirono selaku Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Karaton Ngayogyakarta yang telah memberikan izin. Sehingga, penulis dapat melakukan pengambilan data di kawasan Keraton Yogyakarta.
17.Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses perizinan, pelaksanaan, maupun penyusunan laporan skripsi. Penulis memohon maaf tidak dapat menyebutkannya satu per satu.
Penulis sangat menyadari bahwa laporan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karenanya, segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan selanjutnya. Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat dan dimanfaatkan dengan baik.
xi A. Keanekaragaman Hayati dan Norma Mayarakat Adat ... 11
1. Pengelolaan Lingkungan Hidup dari Norma Masyarakat Adat... 11
2. Nilai Religius Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati ... 12
B. Pohon Beringin dalam Budaya Jawa ... 14
C. Keistimewaan Arsitektur Tata Ruang Kota Yogyakarta ... 15
D. Tumbuhan dalam Mereduksi Polutan di Udara Perkotaan ... 17
1. Timbal (Pb) ... 20
2. Mekanisme Tanaman dalam Mereduksi Logam Berat ... 21
E. Keunikan Tumbuhan Beringin sebagai Mitigasi Kerusakan Lingkungan ... 21
F. Tinjauan Umum tentang Beringin ... 24
1. Taksonomi Beringin ... 24
2. Persebaran dan Habitat Beringin... 25
3. Botani Beringin ... 26
xii
G. Kerangka Berpikir ... 28
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 29
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 30
1. Tempat Penelitian ... 30
2. Waktu Penelitian ... 30
C. Objek dan Subjek Penelitian ... 30
D. Populasi dan Sampel Penelitian ... 30
1. Populasi ... 30
2. Sampel ... 30
E. Alat dan Bahan Penelitian ... 31
1. Alat ... 31
2. Bahan ... 32
F. Teknik Pengumpulan Data ... 32
1. Data Primer ... 32
2. Data Sekunder ... 34
G. Prosedur Penelitian ... 34
1. Distribusi Pohon Beringin ... 35
2. Ukuran Pohon Beringin ... 35
3. Kemampuan Beringin dalam Mereduksi Polutan di Udara ... 43
4. Pengetahuan Masyarakat Kota Yogyakarta tentang Pohon Beringin ... 51
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 53
1. Distribusi dan Eksistensi Pohon Beringin di Kota Yogyakarta ... 53
2. Ukuran Pohon Beringin ... 54
3. Kemampuan Beringin dalam Mereduksi Bahan Pencemar Udara... 54
4. Pengetahuan Masyarakat Kota Yogyakarta tentang Beringin ... 57
B. Pembahasan ... 57
1. Eksistensi dan Distribusi Pohon Beringin di Kota Yogyakarta ... 57
2. Ukuran Pohon Beringin ... 81
3. Kemampuan Beringin dalam Mereduksi Bahan Pencemar Udara... 93
4. Pengetahuan Masyarakat Kota Yogyakarta tentang Beringin ... 109
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perkiraan Persentase Komponen Pencemar Sumber Pencemar ... 21
Tabel 2. Klasifikasi Kelas DBH Pohon ... 36
Tabel 3. Estimasi Penutupan Tajuk Domin-Kranji dan Braun-Blanquet... 43
Tabel 4. Skala Interval Kemampuan Narasumber dalam Menjawab Pertanyaan ... 52
Tabel 5. Kategori Jumlah Pohon pada Lokasi Persebaran Pohon Beringin... 53
Tabel 6. Jumah Habitus dan Jumlah Lokasi Persebaran Habitus Beringin ... 53
Tabel 7. Kategori Ukuran Pohon Beringin di Kota Yogyakarta ... 54
Tabel 8. Kandungan Pb pada Daun dan Kulit Batang ... 55
Tabel 9. Berat Rata-Rata Debu yang Terjerap pada Daun dan Luas Rata-Rata ... 55
Tabel 10. Kapasitas Jerapan Debu pada Daun Per Pengamatan ... 56
Tabel 11. Data Kapasitas Jerapan Debu Per Hari ... 56
Tabel 12. Kapasitas Jerapan Debu Per Tanaman Per Hari ... 57
Tabel 13. Kategori Hasil Wawancara ... 57
Tabel 14. Daya Serap Karbon Dioksida pada Beberapa Spesies Tumbuhan... 74
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Pohon Beringin Ditanam Sejak Zaman Kerajaan Mataram . ... 15
Gambar 2. Visualisasi Garis Imaginer Tata Ruang Yogyakarta ... 16
Gambar 3. Tanaman sebagai Pembentuk Ruang dan Pengarah Jalan ... 18
Gambar 4. Beringin Mampu Tumbuh di Media Beton di Jembatan Lempuyangan .. 22
Gambar 5. Pohon Ficus di Sumber Air Ngedaren I, Ponjong, Gunung Kidul ... 24
Gambar 6. Kerangka Berpikir Penelitian ... 28
Gambar 7. Akar Nafas pada Batang Pohon Beringin yang Dapat Ditoleransi ... 37
Gambar 8. Ilustrasi Metode Abney Level ... 38
Gambar 9. Sampel Batang Pohon Beringin yang Digunakan dalam Perhitungan ... 40
Gambar 10. Pengukuran Proyeksi Penutupan Tajuk ... 42
Gambar 11. Pencucian Sampel dengan Aquades ... 45
Gambar 12. Potongan Sampel Daun ... 45
Gambar 13. Pengovenan Sampel Daun dan Kulit Batang ... 46
Gambar 14. Sampel Daun Dua Jenis Beringin ... 46
Gambar 15. Gelas Beker Kosong yang Ditimbang ... 47
Gambar 16. Gelas Beker Berisi Aquades ... 47
Gambar 17. Daun Dicuci dengan Aquades ... 48
Gambar 18. Gelas Beker Berisi Aquades Dioven ... 48
Gambar 19. Gelas Beker yang Telah Dioven ... 48
xv
Gambar 21. Kertas Ukuran 10 x 10 cm yang Ditimbang ... 49
Gambar 22. Model Daun yang Ditimbang ... 50
Gambar 23. Variabel dalam Aksi Konservasi Pohon Beringin ... 59
Gambar 24. Pohon Beringin di Alun-alun Kota Yogyakarta ... 60
Gambar 25. Empat Poin Penting Aksi Konservasi Pohon Beringin ... 61
Gambar 26. Peta Distribusi Beringin di Kota Yogyakarta ... 62
Gambar 27. Visusalisasi Pola Distribusi Pohon Beringin pada Jalan Raya ... 65
Gambar 28. Benalu pada Pohon Beringin sebagai Fungsi Konservasi Flora ... 69
Gambar 29. Beringin Tumbuh pada Berbagai Media ... 71
Gambar 30. Model Pemangkasan Pohon Beringin pada Jalur Hijau Jalan ... 73
Gambar 31. Kemampuan Beringin Tumbuh pada Media Bis Beton ... 82
Gambar 32. Persentase Penutupan Tajuk Pohon Beringin ... 90
Gambar 33. Akar Nafas pada Pohon Beringin Tua ... 91
Gambar 34. Tekstur Permukaan Kulit Batang Pohon Sampel ... 96
xvi
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 1. Kategori Jumlah Pohon pada Lokasi Penelitian ... 64
Grafik 2. Perbandingan Skor Maksimal dan Skor Hasil Syarat Tanaman Hutan ... 68
Grafik 3. Jumlah Kategori Habitus Pohon Beringin di Kota Yogyakarta ... 76
Grafik 4. Jumlah Lokasi Persebaran Habitus Pohon Beringin... 77
Grafik 5. Jumlah Kategori Umur Pohon Beringin ... 87
Grafik 6. Kandungan Pb pada Kulit Batang Beringin dan Preh ... 93
Grafik 7. Kandungan Timbal (Pb) pada Daun Beringin dan Preh ... 97
Grafik 8. Rata-rata Jerapan Debu pada Daun Beringin dan Preh ... 102
Grafik 9. Rata-rata Luas Daun Beringin dan Preh ... 104
Grafik 10. Jerapan Debu Per Pengamatan pada Daun Beringin dan Preh ... 105
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Jumlah Beringin pada Lokasi Penelitian di Kota Yogyakarta... 119
Lampiran 2. Distribusi Jumlah Habitus Pohon Beringin di Kota Yogyakarta... 123
Lampiran 3. Radius Persebaran Akar (RPA), dan Basal Area (BA) ... 125
Lampiran 4. Diameter, Umur, Tinggi, dan Kondisi Pot/Bis pada Habitus ... 130
Lampiran 5. Tinggi Bonsai, Batang Akar Nafas dan “Tinggi < 1,3 Meter” ... 137
Lampiran 6. Uji Beda Rata-rata Tinggi Pohon Pada Pancang, Tiang, dan Pohon.... 159
Lampiran 7. Rata-Rata (Mean) Ketinggian pada Habitus Bonsai, Batang Berakar . 159 Lampiran 8. Beda Rata-Rata Umur Habitus Pancang, Tiang, dan Pohon Beringin . 160 Lampiran 9. Beda Rata-Rata Basal Area pada Pancang, Tiang, dan Pohon ... 160
Lampiran 10. Uji Korelasi Pearson Antara Diameter dengan Umur ... 161
Lampiran 11. Berat Gelas Beker Kosong Percobaan ke-1... 161
Lampiran 12. Berat Debu yang Terjerap pada Daun Percobaan 1 ... 162
Lampiran 13. Berat Beker Gelas Kosong Percobaan ke-2,3,4 ... 162
Lampiran 14. Berat Debu Hasil Jerapan Daun Percobaan ke-2,3,4 ... 163
Lampiran 15. Berat Model Daun dan Luas Daun ... 163
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Telah disepakati oleh beberapa ahli bahwa ajaran agama merupakan aspek fundamental dalam pengelolaan lingkungan khususnya dalam konservasi keanekaragaman hayati. Agama dipahami dan dihayati oleh masyarakat tradisional sebagai sebuah pedoman hidup, dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan sesama manusia dan alam. Berdasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang spiritual menyatu dengan yang material, ajaran agama memberikan pengaruh melalui filsafat, aksi, dan dampaknya. Hal tersebut ditunjukkan dari cara pandang para pengikutnya yang memandang tentang perlindungan alam. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan (Keraf, 2010; Suryadarma, 2009; Mangunjaya, 2007).
2
sebagian yang lain menganggapnya sebagai pohon keramat, pohon suci, dan pohon kehidupan. Simbol pohon Beringin dalam lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) “Garuda Pancasila” maupun pada logo pemerintahan dan partai politik merupakan salah satu wujud pemaknaan tumbuhan beringin (Ficus spp.). Di dalam kultural Kota Yogyakarta tumbuhan beringin (Ficus spp.) memiliki makna dan peran tersendiri dalam tata keruangan dari zaman Kerajaan Mataram hingga saat ini.
Konsep pembentukan struktur ruang Kota Yogyakarta divisualisasikan melalui formasi linier dalam bingkai warisan budaya yang disebut sumbu imajiner yang meliputi Gunung Merapi, Kraton, dan Laut Selatan. Tata rakit keruangan tersebut memiliki formasi linier tampak dalam garis lurus yang meliputi Gunung Merapi, Tugu Golong Gilig, Alun-alun Utara, Keraton Yogyakarta, Alun-alun Selatan, Panggung Krapyak dan Laut Selatan (Kurniawan & Sadali, 2005).
3
adanya fenomena seperti ini merupakan suatu kesempatan bagi pemerintah untuk menjadikan dan memperkenalkan pohon beringin (Ficus spp.) sebagai pohon maskot dalam rangka pembangunan ruang terbuka hijau Kota Yogyakarta mengingat popularitas pohon beringin (Ficus spp.) dalam sejarah pembangunan Kota Yogyakarta.
Selain hal-hal tersebut di atas, tumbuhan beringin (Ficus spp.) memiliki peran penting dalam ekologi. Beringin (Ficus spp.) memiliki bunga tipe sikonium yang berasosiasi dengan tawon (fig wasps). Beringin (Ficus spp.) sebagai penyedia makanan utama bagi berbagai satwa di sekitarnya karena kemampuannya yang dapat berbuah sepanjang tahun (Harrison, 2005; Shanahan, 2001). Selain itu, tumbuhan beringin (Ficus spp.) bersifat hijau sepanjang tahun (evergreen) berbeda dengan tumbuhan meranggas (deciduous) yang menggugurkan daun pada musimnya. Dengan demikian, tumbuhan beringin (Ficus spp.) tepat digunakan sebagai tanaman penghijau dalam fungsi estetika, ekologi, konservasi flora, reduksi polutan udara, dan fungsi sosial.
4
Pembangunan Kota Yogyakarta khususnya penataan Ruang Terbuka Hijau Jalan (RTHJ) memanfaatkan beberapa pohon seperti yang banyak dijumpai meliputi Beringin, Angsana, Glodogan, Pohon Kupu-kupu, Palem, Asem, dan Tanjung. Tumbuhan tersebut banyak dijumpai di tepi jalan raya sebagai tumbuhan penghijau jalan. Pohon beringin (Ficus spp.) ini banyak ditanam di tepi jalan raya dengan label keterangan nama ilmiah beringin (Ficus benjamina) dari DLH Kota Yogyakarta walaupun belum seluruhnya. Namun demikian, kemelimpahan distribusi beringin (Ficus spp.) di Kota Yogyakarta belum dilakukan oleh pihak DLH Kota Yogyakarta.
5
Perlu dilakukan program pengelolaan dan pengendalian pencemaran udara di daerah perkotaan. Sebagai langkah awal dapat dilakukan kegiatan observasi untuk mengetahui kemelimpahan distribusi beringin (Ficus spp.) dan efektivitasnya dalam menyerap komponen pencemar udara khususnya timbal (Pb) dan debu. Sejauh mana masyarakat memandang pohon beringin (Ficus spp.) dari perspektif lingkungan, mitologi dan sejarah juga perlu dilakukan. Dengan demikian, dapat ditentukan prioritas pengelolaan dan pengendalian yang tepat. B. Identifikasi Masalah
Perlunya pemaknaan eksistensi dan distribusi pohon beringin dalam perspektif ilmiah sebagai upaya pemantapan perlindungan warisan budaya, pemantauan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan upaya mitigasi pencemaran udara perkotaan. Beberapa permasalahan yang terdapat pada pohon beringin adalah sebagai berikut:
1. Pemaknaan terhadap eksistensi pohon beringin oleh masyarakat Kota Yogyakarta.
2. Distribusi pohon beringin di berbagai lokasi di Kota Yogyakarta. 3. Ukuran batang, tajuk, dan akar beringin.
4. Kemampuan organ-organ tumbuhan beringin dalam menjerap dan menyerap logam-logam berat dari tanah, udara, dan air.
6
6. Respon masyarakat Kota Yogyakarta terhadap beringin sebagai pohon penghijauan.
7. Kerusakan infrastruktur kota oleh pohon beringin karena tingginya daya adaptasi pohon beringin.
8. Peran pohon beringin dalam ekologi hutan.
9. Simbiosis mutualisme antara tawon (Agaonidae) dengan bunga sikonium beringin.
10.Stabilitas mutualisme antara tawon dengan bunga sikonium beringin (satu spesies beringin bersimbiosis dengan beberapa jenis tawon).
11.Profil bunga sikonium beringin.
12.Preferensi habitat pohon, hemi-epifit dan epifit beringin. 13.Keanekaragaman jenis beringin di Kota Yogyakarta. C. Pembatasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini meliputi:
1. Bagaimanakah perspektif eksistensi beringin bagi masyarakat tradisional Kota Yogyakarta?
2. Bagaimanakah distribusi dan kemelimpahan jumlah beringin di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Yogyakarta?
3. Bagaimanakah variasi ukuran beringin di Kota Yogyakarta? 4. Apakah beringin dapat mereduksi polutan udara?
7 D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi:
1. Bagaimanakah perspektif masyarakat tradisional Kota Yogyakarta terhadap eksistensi beringin?
2. Bagaimanakah distribusi dan kemelimpahan jumlah beringin di Kota Yogyakarta?
3. Bagaimanakah ukuran pohon beringin di Kota Yogyakarta?
4. Bagaimanakah kemampuan tumbuhan beringin dalam mereduksi polutan di udara dalam upaya mitigasi pencemaran udara di Kota Yogyakarta?
5. Bagaimanakah pengetahuan masyarakat tradisional Kota Yogyakarta tentang beringin?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengetahui:
1. Perspektif masyarakat tradisional Kota Yogyakarta terhadap eksistensi beringin.
2. Distribusi dan kemelimpahan jumlah beringin di Kota Yogyakarta. 3. Ukuran pohon beringin di Kota Yogyakarta.
4. Kemampuan tumbuhan beringin dalam mereduksi polutan di udara dalam upaya mitigasi pencemaran udara.
8 F. Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian ini meliputi: 1. Bagi Instansi Terkait
a. Memberikan informasi distribusi beringin di Kota Yogyakarta.
b. Memberikan informasi peran pohon beringin dalam mitigasi kerusakan lingkungan.
2. Bagi Masyarakat
a. Memantapkan peran masyarakat dalam menjaga keunikan tumbuhan sebagai warisan budaya (cultural ancient) dalam upaya pemantapan mitigasi kerusakan lingkungan melalui perspektif ilmiah.
G. Batasan Operasional
Batasan operasional dalam penelitian ini meliputi:
9
2. Data ukuran pohon meliputi diameter batang setinggi dada dan ketinggian pohon.
3. Peran beringin dalam mitigasi pencemaran udara diukur menggunakan parameter debu pada permukaan daun dan timbal (Pb) pada daun dan kulti batangnya.
4. Pengetahuan masyarakat tradisional Kota Yogyakarta tentang beringin hanya dibatasi pada aspek lingkungan, sejarah dan mitologi.
H. Batasan Istilah
1. Eksistensi
Eksisitensi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keberadaan beringin ditinjau dari perspektif masyarakat tradisional bukan eksistensi yang dipengaruhi oleh faktor alam (komponen ekosistem).
2. Distribusi
Distribusi beringin yang dimaksudkan ialah persebaran beringin yang diakibatkan adanya budidaya Beringin oleh masyarakat bukan karena faktor alam yang mempengaruhi terjadinya dispersal.
3. Mitigasi
Mitigasi yang dimaksudkan ialah mengatasi/menanggulangi polutan di udara.
4. Pencemaran Udara
10 5. Masyarakat tradisional
11 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Keanekaragaman Hayati dan Norma Masyarakat Adat
1. Pengelolaan Lingkungan Hidup dari Norma Masyarakat Adat
Masyarakat adat menganggap dirinya sebagai bagian dari alam. Masyarakat berkembang bersama seluruh komponen yang ada di dalamnya, baik secara individual maupun kelompok. Masyarakat adat tidak menjalani hidup yang hanya mementingkan hubungan dengan sesama (manusia). Penting bagi mereka untuk melakukan interaksi dengan ekosistem di sekitarnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa cara hidup masyarakat adat sangat berkaitan dengan kondisi alam disekitarnya (Keraf. 2010: 364-365). Masyarakat adat memandang alam, sumber daya, dan karakteristik ekosistem merupakan komponen yang menentukan totalitas kegiatannya. Dengan kata lain, kegiatan masyarakat adat berkaitan dengan pengelolaan alam di sekitarnya (Suryadarma, 2009: 46). Pada dasarnya pengelolaan dilakukan untuk memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan. Begitu pula, pada aspek pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
12
tersebut adalah berpindah dari bentuk pengelolaan lingkungan dan sumberdaya, yang didominasi oleh ahli professional dari sektor pemerintah dan swasta, menuju pendekatan yang mengkombinasikan pengalaman, pengetahuan, dan pemahaman berbagai kelompok masyarakat tradisional. 2. Nilai Religius Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati
Kesamaan pemahaman merupakan hal yang paling mendasar dari seluruh masyarakat adat di dunia dipandang dari sudut etika lingkungan. Masyarakat tradisional memandang alam dan interaksi antara dirinya dengan alam dari sudut pandang religius dan spiritual. Interaksi antar keduanya diwarnai oleh kesadaran spiritual yang merupakan kesadaran paling tinggi. Spiritual mewarnai seluruh interaksi antara manusia dengan seluruh komponen yang ada di alam termasuk interaksi antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan yang gaib. Dengan demikian, pandangan inilah yang menjadikan agama sebagai sebuah cara hidup yang meuntun manusia untuk mencapai tujuan yang selaras dengan alam. Dengan kata lain yang spiritual menyatu dengan yang material (Keraf. 2010: 362-363).
13
Salah satu bentuk praktik kearifan lokal masyarakat adat Jawa ialah menganggap beringin sebagai pohon keramat dan angker. Pandangan tersebut memberikan stigma bahwa sesuatu yang keramat tidak dapat diperlakukan sembarangan. Jika, stigma tersebut dilanggar, maka pelakunya kana mendapat sanksi baik dari alam. Dengan demikian, konservasi terhadap keutuhan beringin tetap lestari. Hal tersebut merupakan bentuk aksi konservasi yang bersumber dari masyarakat lokal. Pohon beringin memiliki akar yang dalam dan biasanya di bawahnya terdapat sumber air. Berdasarkan hal tersebut, aksi masyarakat adat membantu melestarikan konservasi pohon beringin dan sumber air (Suhartini, 2009: 211-212).
Menurut Zuhud (2007: 5), suatu spesies tumbuhan yang berinteraksi dengan manusia dalam jangka waktu yang sangat lama, diyakini konservasi dan bioekologinya banyak terkait dengan sikap dan perilaku manusia. Hal ini mengindikasikan bahwa sikap dan perilaku manusia menyesuaikan dengan kebutuhan hidup spesies tumbuhan tersebut. Dengan pengertian lain, bahwa keberlangsungan suatu spesies tumbuhan tergantung pada sinyal sebagai informasi yang ditangkap oleh manusia. Sinyal tersebut dapat berupa infromasi kelangkaan yang berhubungan dengan regenerasi spesies tumbuhan tersebut, sehingga dapat menjadi stimulus maupun pendorong terhadap sikap masyarakat maupun pengelola untuk aksi konservasi.
14
Tempat-tempat suci yaitu tempat atau situs-situs dan lingkungan yang telah dibentuk dan hadir secara alami maupun semi alami dapat secara langsung berkontribusi pada upaya-upaya konservasi global. Ajaran agama memberikan pengaruh melalui filsafat, aksi dan pengaruh dan dampak dimana para pengikutnya memandang tentang perlindungan alam (Mangunjaya. 2007: 31). B. Pohon Beringin dalam Budaya Jawa
15
beringin ditanam di lingkungan pusat pemerintahan/keraton sebagai perwujudan lambang perlindungan, pengayoman pemimpin (raja) kepada rakyatnya serta melambangkan bersatunya raja dan rakyatnya (Baskara dan Wicaksana: 2013. 22).
Gambar 1. Pohon Beringin Ditanam Sejak Zaman Kerajaan Mataram di Halaman Masjid Besar Kota Gede (Sumber: Dokumentasi Pribadi).
C. Keistimewaan Arsitektur Tata Ruang Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta memiliki filosofi dan histori penataan ruang yang erat kaitannya dengan aspek lingkungan. Sejak masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono I, pembentukan struktur ruang kota sudah direncanakan melalui keselarasan lingkungan yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang kuat. Konsep pembentukan struktur ruang Kota Yogyakarta divisualisasikan melalui formasi linier yang meliputi garis imajiner Gunung Merapi, Kraton, Laut Selatan. Sumbu imajiner tersebut selaras dengan konsep Tri Hita Karana dan Tri Angga
Utama-16
Madya-Nistha) melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia
dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, manusia dengan alam yang termasuk lima komponen pembentukannya, yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta, dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta) dan angkasa (eiter) (Kurniawan & Sadali. 2015: 162)
17
kediaman raja dan keluarga terdekatnya yang melayani kegiatan keseharian. Kedua, sebagai tempat upacara yang terkait dengan raja dan kerajaan yang menampilkan keagungan dan kewibawaan. Ketiga, sebagai ungkapan filosofis yang mewujudkna gagasan-gagasan luhur tentang diri manusia dan semesta yang disimbolkan dalam ruang, bangunan, tanaman, dan tindakan (Dinas Kebudayaan DIY. 2009: 2).
D. Tumbuhan dalam Mereduksi Polutan di Udara Perkotaan
18
Gambar 3. Tanaman sebagai Pembentuk Ruang dan Pengarah Jalan di Jalan Tamansiswa (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Jenis tanaman yang berbeda sebagai komponen tanaman hutan kota merupakan faktor yang berpengaruh dalam kemampuan mereduksi kandungan logam berat. Jarak tanam dari tanaman ke sumber pencemar akan mempengaruhi jumlah logam berat yang terjerap oleh tanaman. Bentuk dan struktur daun serta umur tanaman yang ditunjukkan dari tinggi dan keliling batang juga berpengaruh dalam mereduksi kandungan logam berat. Semakin tinggi dan besar ukurannya dalam membentuk tajuk pohon maka reduksi logam berat akan semakin tinggi dan kandungan unsur pencemar logam berat di udara ambien akan berkurang (Fahruddin. 2014: 147).
19
keseimbangan komponen udara normal. Selain itu, juga mengakibatkan gangguan terhadap komponen biotik dalam ekosistem.
Di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya. Semakin meningkatnya jumlah kendaraan dan pemakaian bahan bakar minyak, maka emisi yang diintroduksikan ke atmosfer juga semakin meningkat jumlahnya. Kegiatan tersebut mengakibatkan adanya unsur-unsur gas, baik itu karbon dioksida (CO2), karbon monooksida (CO), maupun logam berat plumbum
(Pb) yang dilepaskan ke udara (Eka, dan Husin, 2006: 4). Selanjutnya Wright (2008: 546) menyatakan bahwa Pb merupakan polusi udara golongan primer karena berasal langsung dari pembakaran.
Aktivitas transportasi kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Diperkirakan pada tahun 2020 setengah dari jumlah penduduk Indonesia akan menghadapi permasalahan pencemaran udara perkotaan, yang didominasi oleh emisi dari kendaraan bermotor (Kusminingrum, dan Gunawan, 2008: 3).
20
1. Timbal (Pb)
Timbal (Pb) merupakan unsur kimia jenis logam berat yang lunak berwarna kebiru-biruan atau kelabu keperakan. Luasnya penggunaan Pb dalam aktivitas industri menyebabkan unsur ini dapat ditemukan pada berbagai tempat di lingkungan sekitar. Salah satu penggunaan unsur Pb adalah untuk meningkatkan nilai oktan bahan bakar minyak. Bensin yang kaya akan kandungan Pb dengan nilai oktannya 98 memungkinkan kendaraan unutk berlari kencang (Akhadi. 2009:117).
Logam berat Pb dijumpai dalam sisa pembakaran bahan bakar minyak sebagai pengikat untuk meningkatkan nilai oktan. Sampai saat ini BBM yang beredar di Indonesia sebagian besar mengandung Pb dalam bentuk TEL (Tetra Ethyl Lead). Hal ini menyebabkan semakin tingginya pencemaran udara, khususnya di perkotaan yang padat lalu lintas (Eka, dan Husin, 2006: 4).
Tabel 1. Perkiraan Persentase Komponen Pencemar Sumber Pencemar Transportasi di Indonesia
Komponen pencemar Persentase
CO 70,50 %
NOX 8,89 %
SOX 0.88 %
HC 18,34 %
Partikel 1,33 %
Total 100
Sumber: Zulkifli (2014:61).
21
menghambat pertumbuhan janin, sedangkan pada anak-anak dapat menurunkan tingkat kecerdasan (IQ) (Zulkifli. 2014: 61).
2. Mekanisme Tanaman dalam Mereduksi Logam Berat
Polusi logam berat di dalam organisme memberikan efek yang berbahaya bagi sistem kehidupan. Logam berat yang bersifat toksik diantaranya ialah timbal (Pb), kobalt (Co), dan kadmium (Cd). Hal ini dikarenakan logam berat tersebut dapat terakumulasi di dalam organisme tetapi tidak dapat didegradasi. Hal tersebut memberikan keuntungan bagi lingkungan. Namun, tidak bagi tanaman itu sendiri. Tanaman mereduksi logam berat melalui beberapa cara yang disebut fitoremidiasi. Fitoremidiasi meliputi mekanisme fitoekstraksi, fitostabilisasi, rhizofiltrasi, dan fitovolatilisasi. Dengan demikian, tanaman dapat mereduksi logam berat dari udara, tanah, dan air melalui akar, batang, dan daunnya. (Tangahu, dkk. 2011: 5).
E. Keunikan Tumbuhan Beringin sebagai Mitigasi Kerusakan Lingkungan
22
beradaptasi, sehingga tanaman mampu tetap tumbuh kondisi lingkungan kurang sesuai (Fahruddin. 2014: 145).
Tajuk pohon beringin yang rapat mampu menangkap air dan akar pohon ini dapat menyerap dan menyimpan air dalam jumlah banyak dari sekitar tempat tumbuhnya, sehingga pohon ini sering dijumpai di lokasi mata air. Pohon beringin mudah tumbuh pada lahan kritis (sebagai pohon pionir). Beringin mampu tumbuh di tanah yang tandus, gersang, berbatu, bercadas, dan lereng berbatu yang terjal. Perakarannya yang dalam dan memiliki akar pengikat yang banyak dan menyerabut sehingga tidak mudah tumbang. Selain itu pohon beringin ini dapat ditanam sebagai pohon pionir untuk rehabilitasi lahan kritis (Mukhlisa. 2015: 21).
Gambar 4. Beringin Tumbuh di Media Beton di Jembatan Lempuyangan Kota Yogyakarta (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
23
24 F. Tinjauan Umum tentang Beringin
1. Taksonomi Beringin
Menurut Heyne (1987) dalam Desyanti (2012: 11), klasifikasi tumbuhan beringin adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Ficus.
Pohon beringin tergolong ke dalam suku Moraceae. Ficus merupakan marga terbesar dalam suku Moraceae yang banyak dijumpai Indonesia. Gambar 5. Pohon Ficus di Sumber Air Ngedaren I, Ponjong, Gunung Kidul
25
Terdapat sekitar 1000 jenis suku Moraceae dan sebagiannya adalah Ficus. Pohon ini dapat tumbuh di tanah dan di pohon lainnya sebagai hemi-epifit (Ulum,2010).
2. Persebaran dan Habitat Beringin
Marga Ficus merupakan jenis yang hidup pada tempat dengan intensitas cahaya yang mencukupi, sehingga jarang tumbuh pada tegakan hutan yang rapat. Beringin terbagi menjadi tiga cara hidup yaitu epifit, hemi-epifit, dan pohon. Epifit biasanya hidup menumpang pada batang pohon lain dan pada akhirnya membunuh pohon inangya. Hemi-epifit pada awalnya hidup menumpang, tetapi kemudian akarnya dapat mencapai tanah dan akhirnya dapat hidup sendiri, sedangkan jenis beringin yang termasuk pohon dapat hidup langsung di tanah tanpa perantara pohon inang (Astika, 2003).
26
sikonium muda yang reseptif dari spesies yang sesuai selama rentang hidupnya (2 sampai 3 hari) untuk bereproduksi. Seiring dengan hal tersebut, serbuk sari bunga Ficus yang terbawa oleh tawon betina akan membantu penyerbukan pada sikonium yang beruntung untuk pembentukan biji (Baskara dan Wicaksono (2013:24).
Di seluruh dunia terdapat sekitar 1200 spesies satwa pemakan buah beringin yang berbuah sepanjang tahun yang penting bagi satwa liar ketika buah-buahan lainnya yang tidak tersedia. Keberadaan beringin pada kawasan hutan dapat dijadikan sebagai indikator proses terjadinya suksesi hutan karena peran dari satwa liar yang memakan bijinya, kemudian memicu terjadinya komunitas lanjutan. Beringin juga sebagai sumber pakan dan suaka bagi beberapa jenis burung, serangga, reptilia, dan mamalia. Akar gantung pohon beringin merupakan tempat bermain untuk beberapa jenis primata (Ulum, 2009; Baskara dan Wicaksana, 2013: 24).
3. Botani Beringin
Van Stenis, et. al (1975) dalam (Suwarno, 2006: 4) menyatakan bahwa marga Ficus termasuk ke dalam suku Moraceae. Anggota famili Moraceae
27
“buah peer” dan memiliki lubang (ostiol) di bagian ujungnya. Bunga berkelamin dua, berumah satu dan atau dua. Bunga jantan memiliki daun tenda bunga 4 dan stamen berjumlah 4, kepala sari beruang dua. Bunga betina memiliki daun tenda bunga 4, bebas dan atau melekat, tidak rontok dan membesar setelah mekar. Bakal buah menumpang dan atau tenggelam, beruang 1, bakal biji berjumlah 1, tangkai putik berjumlah 1 sampai 2. Sebagian dari bunga berubah bentuk menjadi bunga gall (bunga yang disebabkan oleh adanya serangga yang tumbuh di dalamnya).
4. Kegunaan Beringin
Menurut Heyne (1987), tumbuhan beringin sering ditanam di alun-alun dan halaman serta sangat dinilai tinggi oleh penduduk. Secara teknis, pohon ini bernilai rendah sama seperti jenis Ficus lainnya. Tumbuhan ini juga berkhasiat untuk obat-obatan yaitu pada bagian akar udara dan daun. Akar nafas pohon beringin bermanfaat untuk mengatasi pilek, demam, radang amandel, dan rematik. Daunnya bermanfaat untuk mengatasi malaria, radang usus akut, disentri, dan influenza (Desyanti, 2012: 12).
Dari aspek lingkungan, pohon Ficus berperan dalam menjaga siklus air serta mencegah erosi karena secara alami struktur perakaran lateralnya yang dalam mampu mencengkram tanah dengan baik. Tajuknya yang tebal dapat menyerap CO2 dalam jumlah yang relatif tinggi dan polutan lainnya dari udara
28 G. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
29 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
30 B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian : Penelitian dilakukan pada kawasan administrasi Kota Yogyakarta, Laboratorium Riset Biologi FMIPA UNY,
dan Laboratorium Instrumen SMK Sekolah Menengah Teknologi Industri) SMTI Yogyakarta.
2. Waktu Penelitian : Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2016 s/d Januari 2017.
C. Objek dan Subjek Penelitian
Objek dan subjek dalam penelitian ini adalah beringin dan abdi dalem Keraton Yogyakarta.
D. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi penelitian dalam metode observasi meliputi seluruh jenis pohon beringin yang berada di tepi jalan raya, halaman perkantoran/instansi, lapangan terbuka, Kebun Binatang Gembira Loka (KBGL) di Kota Yogyakarta. Populasi penelitian dalam metode survei meliputi populasi masyarakat abdi dalem Keraton Yogyakarta.
2. Sampel
31 E. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat
Dalam penelitian ini digunakan alat untuk mengambil data dan alat pendukung dalam pengolahan data.
a. Alat yang digunakan untuk mengambil data meliputi: 1) GPS 76 CSX
2) Meteran pita 3) Clinometer 4) Gelas ukur 5) Oven
6) Aluminium foil 7) Gunting
8) Pisau 9) Kuas
10) Timbangan analitik 11) Cawan Furnace
12) Tanur 13) Labu ukur 14) Perangkat AAS
32
17)Peta administrasi Kota Yogyakarta penerbit CV Indo Prima Sarana b. Alat pendukung yang digunakan untuk mengolah data meliputi:
1) Perangkat lunak a) ArcGis Versi 10.2 b) SPSS Versi 16 c) Microsoft Excel d) Map Source. 2) Perangkat Keras
a) PC. 2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Aquades
b. Daun beringin (Ficus benjamina) dan preh (Ficus ribes) c. Kulit batang beringin (Ficus benjamina) dan preh (Ficus ribes) d. HCl 10 % sebanyak 10 ml
e. Aquabides.
F. Teknik Pengumpulan Data
1. Data Primer
33
distribusi pohon beringin, diameter setinggi dada, tinggi pohon, kandungan logam berat timbal (Pb) pada daun dan kulit batang beringin, kapasitas daun beringin dalam menjerap partikel debu. Survei (wawancara) dilakukan untuk mendapatkan data pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan, mitologi, dan sejarah pohon beringin.
a. Distribusi dan kemelimpahan jumlah pohon beringin
Teknik penentuan lokasi yang digunakan untuk pengambilan data adalah teknik purposive sampling. Pemilihan teknik ini karena data yang akan diambil dalam penelitian menggunakan lokasi yang didasarkan pada pertimbangan tertentu. Pertimbangan tersebut adalah lokasi yang digunakan diasumsikan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). Oleh karena itu, dipilih lokasi tepi jalan raya, halaman perkantoran/instansi, lapangan terbuka, dan tempat rekreasi Kebun Binatang Gembira Loka (KBGL) Kota Yogyakarata. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik “sampling jenuh”.
b. Ukuran pohon beringin
34
c. Kemampuan beringin dalam mereduksi polutan udara
Sampel pohon beringin ditentukan berdasarkan prinsip teknik purposive sampling. Dipilih lokasi pohon sampel yang paling dekat dengan lampu lalu lintas (lalin) dengan asumsi bahwa daun dan kulit batang pohon sampel lebih banyak mengandung Pb dan debu oleh karena aktivitas kendaraaan didekat lampu merah. Dilakukan perbandingan kandungan Pb dan debu pada spesies Ficus benjamina dan Ficus ribes.
d. Mengetahui pengetahuan masyarakat tradisional Kota Yogyakarta tentang pohon beringin.
Penentuan sampel untuk menggali pengetahuan masyarakat Kota Yogyakarta tentang beringin dilakukan menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur. Sasaran sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang mengabdi (abdi dalem) di Keraton Yogyakarta. Asumsi bahwa sampel tersebut mengetahui materi yang akan didiskusikan. Kemudian data yang diperoleh dilakukan konfirmasi dengan pihak terkait.
2. Data Sekunder
Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka dan wawancara dengan lembaga terkait.
G. Prosedur Penelitian
35 1. Distribusi Pohon Beringin
Berdasarkan hasil survei terdapat dua jenis Ficus yakni Ficus benjamina
dan Ficus ribes. Dalam penggunaan istilah untuk kedua spesies tersebut dalam penelitian ini digunakan istilah beringin. Penelitian dilakukan di kawasan Kota Yogyakarta. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan keberadaan pohon beringin yang tumbuh pada lokasi yang meliputi; tepi jalan raya, halaman perkantoran/instansi, lapangan terbuka, dan Kebun Binatang Gembira Loka (KBGL). Langkah pengukuran distribusi pohon beringin adalah sebagai berikut:
a. Memilih lokasi yang terdapat pohon beringin (tepi jalan raya, halaman perkantoran/instansi, lapangan terbuka, dan KBGL).
b. Mengukur ukuran pohon melalui parameter diameter setinggi dada dan tinggi pohon.
c. Menentukan titik koordinat pohon beringin menggunakan GPS. d. Membuat peta distribusi beringin di Kota Yogyakarta.
e. Menghitung jumlah beringin yang tersensus berdasarkan kategori jumlah pada lokasi penelitian untuk menentukan kemelimpahan jenis beringin. 2. Ukuran Pohon Beringin
36
1) Menentukan pohon yang akan diukur sesuai dengan kriteria. 2) Melingkarkan pita meter pada batang pohon.
3) Melihat angka pada skala satuan centimeter (cm). 4) Mencatat angka yang diperoleh.
5) Mengkonversi angka yang didapatkan ke dalam diameter menggunakan persamaan sebagai berikut:
Diameter = K /π Keterangan:
K = Keliling π = 3.14
6) Diameter yang telah didapatkan digunakan untuk menentukan kategori habitus dengan mengelompokkan ke dalam kelas DBH pohon (Tabel 2).
Tabel 2. Klasifikasi Kelas DBH Pohon
No Kelas Habitus Ukuran
1 D1 Semai Tinggi < 150 cm
2 D2 Pancang Tinggi > 150 cm, DBH < 10 cm 3 D3 Tiang 10 cm < DBH < 20 cm
4 D4 Pohon DBH > 20 cm
Sumber: Wijana (2014: 20). Kriteria pohon beringin yang diukur diameternya adalah sebagai berikut:
1) Diameter batang diukur pada ketinggian batang normal setinggi dada (130 cm dari pangkal batang).
37
3) Batang pohon yang diukur tidak memiliki akar nafas.
Terdapat beberapa pohon beringin yang tidak memenuhi kriteria, maka dalam pengukuran diameter setinggi dada terdapat beberapa batasan meliputi:
4) Pohon dengan batang berakar nafas, bonsai, dan ketinggian batang dibawah 130 cm maka keliling batang tidak diukur.
5) Pohon dengan habitus semai dan epifit maka keliling batang tidak diukur.
6) Batang pohon yang berakar nafas tetap diukur kelilingnya dengan syarat masih dapat ditoleransi kepadatan akar nafasnya (Gambar 7).
Gambar 7. Akar Nafas pada Batang Pohon Beringin yang Dapat Ditoleransi (Sumber: Dokumentasi Pribadi).
b. Tinggi pohon beringin
38
T = s (tg α + tg β)
Keterengan:
T = Tinggi pohon á = Sudut atas (o)
â = Sudut bawah (o)
d = Jarak pengamatan (meter) (Wulansari. 2006: 11).
Gambar 8. Ilustrasi Metode Abney Level 1) Langkah pengukuran tinggi pohon:
a) Menentukan jarak antara pengamatan dengan pohon yang akan ditaksir tingginya.
b) Membidik ujung pohon dengan menggunakan Clinometer untuk mendapatkan sudut α.
39
d) Membidik pangkal pohon dengan menggunakan Clinometer untuk mendapatkan sudut β.
e) Membaca skala pada garis merah, skala yang terbaca menunjukkan sudut β.
2) Persamaan yang digunakan untuk menghitung besarnya angka tinggi pohon:
Tinggi pohon= s (tg α + tg β) dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Posisi mata berada di antara pangkal dan bagian atas batang dan arah bidik sejajar dengan bidang datar tinggi pohon.
b) Posisi mata berada di bagian pangkal dan bagian atas batang tetapi arah bidik tidak sejajar dengan bidang datar tinggi pohon.
c) Posisi mata berada di antara pangkal dan bagian atas batang tetapi arah bidik tidak sejajar dengan bidang datar/arah bidik menurun. (Murdawa dan Oktalina. 2012: 11).
Sebagian besar populasi sampel merupakan pohon beringin sebagai tanaman penghijauan. Tanaman tersebut mendapatkan perlakuan pemangkasan oleh dinas terkait sebagai upaya perawatan. Dengan demikian, dalam pengukuran tinggi pohon terdapat batasan sebagai berikut: 1) Jika ujung pohon dipangkas dan hanya meninggalkan batang komersil,
40
2) Habitus semai dan beringin akar pencekik (strangler) tidak termasuk kategori dalam pengukuran tinggi pohon.
c. Umur pohon beringin
Merujuk pada catatan konservasi pohon Athens-Clarke County Community Tree (2016:3), estimasi umur pohon beringin dilakukan dengan mengkonversi diameter yang diperoleh dari pengukuran ke dalam radius (r). Penentuan umur dilakukan dengan membagi jari-jari batang pohon beringin dengan angka 0,5 (nol koma lima). Angka tersebut merupakan hasil pembagian antara panjang jari-jari batang pohon sampel (Gambar 9) beringin dengan jumlah lingkaran tahun. Pada gambar di bawah ini terhitung jumlah lingkaran tahun (ring) sebanyak 14 lingkaran. Dengan demikian, diperoleh perhitungan sebagai berikut:
7
14 =0,5 cm/ring
41
Umur yang diperoleh dikategorikan berdasarkan interval: 1-5th , 6-10th,
11-15th, 16-20th , 21-25th , Dst. d. Basal Area (BA)
Basal Area (BA) dapat dicari dengan mengkonversi diameter batang setinggi dada dengan merujuk persamaan dari Wijana (2014: 31):
BA = (d/2) 2 * π Keterangan:
BA = Basal area d = diameter π = 3.14.
e. Penutupan tajuk (crown cover)
Persamaan yang digunakan untuk mengukur luas penutupan tajuk ialah: CC = � +�
4
2.π
Keterangan:
CC = Penutupan tajuk D1 = Diameter terpanjang D2 = Diameter terlebar π = 3.14.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Pengukuran diameter tajuk dilakukan dengan menggunakan laser untuk menentukan proyeksi tajuk dan diameter terlebar dan terpanjang diukur menggunakan rollmeter.
42
Presentase penutupan tajuk diukur menggunakan persentase cahaya yang melewati tajuk beringin. Pengukuran persentase penutupan tajuk melalui pembagian daerah penutupan kedalam 4 kuadran. Pengukuran dilakukan pada tengah hari ketika matahari berada pada satu bidang garis lurus dengan daerah pengukuran. Kemudian dari masing-masing kuadran dihitung presentase cahaya matahari yang melewati tajuk. Persentase tajuk yang telah terukur, dikategorikan berdasarkan estimasi penutupan tajuk Domin-Kranji dan Braun-Blanquet seperti yang tercantum pada Tabel 3.
43
Tabel 3. Estimasi Penutupan Tajuk Domin-Kranji dan Braun-Blanquet Braun-3. Kemampuan Beringin dalam Mereduksi Polutan di Udara
Ditemukan dua jenis spesies Ficus yakni Ficus benjamina dan Ficus ribes.
Sebagai perbandingan dilakukan pengukuran logam berat pada daun dan kulit batang Ficus benjamina dan Ficus ribes. Begitu pula, pada pengukuran kapasitas daun dalam menjerap debu dilakukan perbandingan antara daun Ficus benjamina dan daun Ficus ribes.
44
a. Kandungan logam berat timbal (Pb) pada daun dan kulit batang beringin Kandungan timbal (Pb) pada daun dan kulit batang beringin diuji dengan teknik AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry). Teknik AAS terdiri dari dua tahap yakni tahap preparasi dan analisis sampel. Tahap preparasi sampel dalam penelitian ini menggunakan cara destruksi kering. Sampel yang digunakan berupa sampel padat daun dan kulit batang Ficus benjamina dan Ficus ribes.
Metode destruksi kering digunakan dalam teknik AAS penelitian ini. Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Menyiapkan dan mencuci sampel daun dan kulit batang Ficus benjamina dan Ficus ribes. Sampel daun dan kulit batang dicuci menggunakan aquades.
2) Memotong sampel menjadi bagian-bagian kecil untuk memudahkan penghancuran sampel dalam proses pengabuan kemudian dibungkus dengan aluminium foil.
a) b)
45
Gambar 12. Potongan Sampel Daun
3) Mengoven pada suhu 105o C selama 30 menit untuk mengurangi kadar air dalam jaringan daun dan kulit batang.
Gambar 13. Pengovenan Sampel Daun dan Kult Batang 4) Menimbang masing-masing sampel sebanyak 5 gram.
46
6) Menambahkan HCl 10% sebanyak 10 ml pada sampel yang telah menjadi abu.
7) Memanaskan sampel di atas hotplate sampai abu larut.
8) Setelah abu larut, memindahkannya ke dalam labu takar ukuran 50 ml. Kemudian mengencerkan dengan aquabides sampai tanda batas. 9) Menganalisis dengan perangkat AAS.
b. Kapasitas daun pohon beringindalam menjerap partikel debu
Metode Gravimetri digunakan untuk menghitung kapasitas daun dalam menjerap debu, sehingga akan diperoleh jumlah jerapan debu per pohon (Alhamadi. 2013: 15). Tanaman yang digunakan ditentukan berdasarkan jenis dan lokasi tumbuhnya. Jumlah pohon yang digunakan sejumlah 2 individu yang terdiri dari dua jenis. Dari masing-masing pohon diambil sampel berupa daun dewasa seberat ± 10 gram dengan kriteria lokasi paling dekat dengan lampu lalin dan ketinggian ± 3 meter dari permukaan tanah serta menghadap ke jalan. Jenis pohon yang digunakan yaitu preh (Ficus ribes) dan beringin (Ficus benjamina) (Gambar 14).
Gambar 14. Sampel Daun Dua Jenis Beringin. 1) Beringin (Ficus benjamina), 2) Preh (Ficus ribes).
47
1) Tahap-tahap yang dilakukan dalam metode gravimetri a) Menimbang gelas kosong dan mencatat hasilnya.
Gambar 15. Gelas Beker Kosong Ditimbang
b) Mengisi gelas beker dengan air destilasi (aquades) sebanyak 50 ml.
Gambar 16. Gelas Beker Berisi Aquades
48
Gambar 17. Daun Dicuci dengan Aquades
d) Mengoven gelas beker yang berisi aqudes hasil cucian daun selama dua hari pada suhu 80oC.
Gambar 18. Gelas Beker Berisi Aquades Dioven
e) Gelas beker kering berisi debu hasil cucian daun (Gambar 20).
49
f) Menimbang gelas beker berisi debu hasil jerapan daun untuk mendapatkan berat debu yang terjerap.
Gambar 20. Gelas Beker Berisi Debu Hasil Jerapan Ditimbang 2) Cara mengukur luas daun
Pengukuran luas daun sampel, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Membuat model kertas ukuran 10 cm x 10 cm dengan menggunakan kertas jenis HVS.
50
b) Membuat model daun dengan mengikuti pola daun sampel dan menimbangnya.
Gambar 22. Model Daun yang Ditimbang c) Menghitung luas daun dengan cara:
Persamaan yang akan digunakan adalah sebagai berikut: (1) Menghitung luas daun
Persamaan yang digunakan untuk menghitung luas daun adalah: (Berat model daun) x (Berat model kertas ukuran 10 cm x 10 cm)
(Berat kertas ukuran 10 cm x 10 cm) (2) Cara memperoleh berat debu hasil jerapan daun
Debu hasil jerapan daun:
(Berat gelas beker berisi debu setelah dioven) – (Berat gelas beker kosong)
(3) Cara memperoleh jerapan debu per pengamatan Jerapan debu per pengamatan:
51
(4) Cara memperoleh rata-rata kapasitas jerapan debu Rata-rata kapasitas jerapan debu:
P(n) – P(n-1) + P(n-2) + …. + P(2) – P(1) n–1
Keterangan: P = Pengamatan ke-... n = banyaknya pengamatan (5) Cara memperoleh kapasitas jerapan debu per hari
Kapasitas jerapan debu per hari:
Rata-Rata kapasitas jerapan debu Selang pengambilan sampel (hari)
(6) Cara memperoleh kapasitas jerapan debu per tanaman per hari Kapasitas jerapan debu per tanaman per hari:
(Luas tajuk) x (Kapasitas jerapan debu per hari)
(Alhamadi. 2013: 18). 4. Pengetahuan Masyarakat tradisional Kota Yogyakarta tentang Pohon
Beringin
Pengetahuan masyarakat tradisional Kota Yogyakarta tentang pohon beringin dilakukan melalui metode survei dengan cara wawancara. Teknik penentuan populasi sampel yang digunakan dalam metode survei ini adalah
52
lingkungan, sejarah, dan mitologi. Data wawancara yang diperoleh diaktegorikan berdasarkan tabel di bawah ini.
Tabel 4. Skor Kemampuan Narasumber dalam Menjawab Pertanyaan
No Narasumber Skor
1 …. 4 3 2 1
2 …. 4 3 2 1
3 …. 4 3 2 1
4 …. 4 3 2 1
5 …. 4 3 2 1
Keterangan:
4: Bila narasumber dapat menjawab minimal 80 % dari jumlah total pertanyaan 3: Bila narasumber dapat menjawab minimal 60 % dari jumlah total pertanyaan 2: Bila narasumber dapat menjawab minimal 40% dari jumlah total pertanyaan 1: Bila narasumber dapat menjawab minimal 20% dari jumlah total pertanyaan
Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara didasarkan pada aspek lingkungan, sejarah, dan mitologi. Adapun garis besar pertanyaan adalah sebagai berikut:
53 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Distribusi Pohon Beringin di Kota Yogyakarta
a. Kategori jumlah beringin di Kota Yogyakarta
Berikut ini adalah tabel kategori jumlah pohon pada lokasi persebaran pohon beringin di Kota Yogyakarta.
Tabel 5. Kategori Jumlah Pohon pada Lokasi Persebaran Pohon Beringin No Kategori Jumlah Pohon Jumlah Lokasi
1 1 – 20 pohon 72
b. Jumlah individu habitus dan jumlah lokasi persebaran habitus beringin di Kota Yogyakarta
Berikut ini adalah tabel jumlah habitus dan jumlah lokasi persebaran pohon beringin di Kota Yogyakarta.
Tabel 6. Jumah Habitus dan Jumlah Lokasi Persebaran Pohon Beringin No Habitus Jumlah Individu Jumlah Lokasi
54 2. Ukuran Pohon Beringin
a. Diameter batang setinggi dada, umur, dan tinggi pohon
Berikut ini adalah tabel ukuran pohon beringin yang dikategorikan berdasarkan interval kelas 1 sampai 5. Ukuran tersebut meliputi diameter, umur, dan tinggi pohon beringin.
Tabel 7. Kategori Ukuran Pohon Beringin di Kota Yogyakarta
No Interval 3. Kemampuan Beringin dalam Mereduksi Bahan Pencemar Udara
a. Pohon beringin dalam menyerap logam berat timbal (Pb)
55
Tabel 8. Kandungan Pb pada Daun dan Kulit Batang
Kode Sampel Konsentrasi Pb (mg/kg)
Daun Beringin 1 0.3
Kulit Batang Beringin 1 1.1
Kulit Batang Beringin 2 0.1
Kulit Batang Beringin 3 0.3
Kulit Batang Preh 1 0.3
Kulit Batang Preh 2 0.1
Kulit Batang Preh 3 0
Sumber: Analisis data primer. b. Pohon beringin dalam menyerap partikel debu
1) Berat debu hasil jerapan daun dan berat debu per pengamatan
Rata-rata luas daun dan rata-rata berat debu yang terjerap pada daun beringin dan preh ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Berat Rata-Rata Debu yang Terjerap pada Daun dan Luas Rata-Rata Daun
Beringin Preh Beringin Preh
Sampel 1 0.01476 0.00378 218.75 134.14
Sampel 2 0.01324 0.00266 237.41 117.51
Sampel 3 0.01094 0.00174 295.41 172.42
Sampel 4 0.11348 0.00396 244.59 140.20
56
Kapasitas jerapan debu per pengamatan pada daun beringin dan Preh dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Kapasitas Jerapan Debu pada Daun Per Sampel Sampel
Kapasitas jerapan debu per pengamatan (g/m2)
Beringin Preh 2) Kapasitas jerapan debu per hari
Kapasitas jerapan debu per hari diperoleh dari selisih antar dua pengamatan. Kemudian diambil perolehan angka yang paling besar (P3-P4). Angka tersebut dibagi selisih hari pengambilan sampel, sehingga menghasilkan kapasitas jerapan debu per hari (Tabel 11).
Tabel 11. Data Kapasitas Jerapan Debu Per Hari
Sumber: Analisis data primer. 3) Kapasitan jerapan debu per tanaman per hari
Kapasitas jerapan debu per tanaman per hari diperoleh dari luas tajuk dikalikan dengan kapasitas jerapan debu per hari, sehingga diperoleh angka seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12.
Jenis Selisih Kapasitas jerapan
debu per hari (g/m2) P2-P1 P3-P2 P4-P3
57
Tabel 12. Kapasitas Jerapan Debu Per Tanaman Per Hari
Spesies Luas tajuk (m
2) Kapasitas jerapan debu per tanaman per hari (g) 4. Pengetahuan Masyarakat Tradisional Kota Yogyakarta tentang Beringin
Kategori pengetahuan masyarakat tradisional ditunjukkan pada Tabell 13. Tabel 13. Kategori Hasil Wawancara
No Narasumber ∑ menjawab ∑ pertanyaan Kategori
1 Narasumber 1 6 7 4
1. Eksistensi dan Distribusi Pohon Beringin di Kota Yogyakarta
58
berguna bagi lingkungan sekitar baik secara ekologi dan sosial-budaya. Dengan demikian, secara langsung masyarakat telah berpartisipasi dalam rangka implementasi pelestarian keanekaragaman hayati dan plasma nutfah.
Filosofi dalam sejarah kehidupan keraton dan mitologi pohon beringin bagi masyarakat tradisional Kota Yogyakarta merupakan fondasi utama yang menjadikan pohon beringin tetap eksis sampai saat ini. Kedua fondasi tersebut merupakan manifestasi dari adanya keyakinan dalam diri masyarakat yang diperoleh dari praktik ajaran agama. Sudut pandang tersebut menjadikan ajaran agama sebagai komponen yang begitu berperan dalam ekologi. Ajaran agama dan masyarakat tradisional menjadi komponen terpenting dalam pengelolaan lingkungan. Keduanya memberikan andil dalam menghindari inefisiensi dalam rangka upaya penyelenggaraan pengelolaan lingkungan.
59
Aksi konservasi masyarakat Kota Yogyakarta terhadap pohon beringin diinisiasi dari filosofi dan kedudukan pohon beringin sebagai tanaman keraton. Pohon beringin memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan tanaman lainnya dalam tatanan filosofi tanaman keraton. Selain filosofi dan kedudukannya, pohon beringin juga berperan dalam arsitektur tata ruang wilayah Yogyakarta. Sejarah pembangunan wilayah Yogyakarta berpusat di kawasan keraton yang ditunjukkan dengan bingkai warisan budaya sumbu imaginer. Sistematik urutan sumbu imaginer dari selatan ke utara meliputi Laut Selatan, Panggung Krapyak, Alun-alun Selatan, Keraton, Alun-alun Utara Tugu Golong Gilig, Gunung Merapi (Gambar 2). Pada bagian tengah kedua alun-alun tersebut ditanami pohon beringin. Hal ini menambah poin keunikan jika pohon beringin benar-benar hendak dijadikan maskot tumbuhan dari Kota
Stimulasi (ajaran
60
Yogyakarta. Pohon beringin yang berada di bagian tengah Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan memiliki arti dan nama tersendiri.
Berdasarkan hal tersebut diatas, secara garis besar peranan pohon beringin kaitannya dengan aksi konservasi di wilayah Yogyakarta dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Filosofi, kedudukan, mitologi, dan penanaman Pohon beringin dalam sejarah tata ruang wilayah Yogyakarta merupakan 4 poin penting yang selama ini menjadi tonggak dalam aksi konservasi pohon beringin bagi masyarakat tradisional Kota Yogyakarta. Dengan demikian, masyarakat tradisional berperan penting dalam aksi konservasi keanekaragaman hayati. Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta merupakan implementasi dari adanya aksi konservasi masyarakat tradisional terhadap pohon beringin.
a b
61
Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta terletak pada 83 lokasi (Lampiran 1). Penentuan lokasi mengacu pada Peta Kota Yogyakarta terbitan CV Indo Prima Sarana Surabaya “Yogyakarta City Map”. Peta tersebut dipilih
karena peta ini merupakan pedoman wisata di Kota Yogyakarta. Tidak menutup kemungkinan bahwa jalan raya yang berada dalam layout peta tersebut sering dilewati oleh wisatawan. Sensus pohon beringin dilakukan berdasarkan lokasi yang terdapat pohon beringin.
62
63
Berdasarkan sensus diperoleh kemelimpahan jumlah sebanyak 899 individu beringin yang tersebar pada 83 lokasi, sedangkan sebanyak 21 lokasi dari total 104 lokasi yang termasuk sampel lokasi tidak terdapat pohon beringin. Pohon yang telah tersensus kemudian ditentukan posisi koordinat menggunakan GPS. Setelah itu data diolah menggunakan aplikasi ArcGis untuk membuat Peta Distribusi Pohon beringin di Kota Yogyakarta seperti yang terlihat pada Gambar 26.
a. Kategori jumlah pohon beringin
Kategorisasi jumlah pohon beringin di Kota Yogyakarta ditunjukkan pada Grafik 1. Kategori jumlah pohon digunakan untuk memberikan informasi jumlah pohon beringin yang ditemukan di lokasi penelitian. Terdapat 4 kategori jumlah pohon dari 6 interval yang telah ditentukan. Interval 1 sampai 20 pohon merupakan kategori jumlah pohon yang paling banyak ditemukan sedangkan interval 101 sampai 120 pohon merupakan kategori jumlah pohon yang paling sedikit.
64
Gedong Kuning (49 pohon), Jalan Veteran (52 pohon), Alun-alun Utara (50 pohon), Jalan Kapten Tendean (50 pohon), Kebun Binatang Gembira Loka (56 pohon). Kategori pohon dengan interval 101 sampai 120 pohon hanya terdapat di Jalan Tamansiswa dengan jumlah 108 pohon beringin.
Kategori jumlah pohon dapat digunakan untuk monitoring dalam upaya pengelolaan lingkungan khususnya Ruang Terbuka Hijau Tepi Jalan (RTHTJ). Dengan adanya kategori jumlah pohon pihak pengelola dapat dengan mudah menentukan jumlah pohon yang akan ditanam sebagai tanaman penghijau tepi jalan kaitannya dengan tanaman dalam menyerap polutan udara. Dengan demikian, laju pencemaran udara dapat dikendalikan.
65
Pola distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta berbentuk jalur di tepi jalan raya karena persebarannya dibantu oleh manusia. Pola distribusi pohon beringin di lapangan terbuka maupun halaman perkantoran ditanam pada spot tertentu sesuai dengan fungsi. Terkecuali pola distribusi yang terdapat di Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Penanaman pohon beringin di tengah alun-alun dan bagian tepinya mempunyai makna filosofi tersendiri. Bagian tepi Alun-alun Utara ditanami pohon beringin sejumlah 62 pohon pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono I. Akan tetapi, jumlah tersebut sudah berkurang menjadi 48 pohon karena faktor usia dan faktor alam. Berbeda dengan tepi Alun-alun Selatan hanya terdapat 3 pohon beringin yang ditanam di bagian tepi dan berbagai jenis pohon lainnya.
Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta membentuk pola teratur. Pohon beringin yang tersebar mayoritas ditanam dalam bis beton. Berdasarkan hasil pengamatan pohon beringin hanya terdapat pada tepi jalan raya berhambatan dan bebas hambatan. Dengan kata lain, pohon beringin tidak ditemukan di tengah median jalan. Dari segi estetika pohon
66
beringin yang ditemukan, beberapa ada yang berhabitus bonsai. Dengan demikian, pohon beringin telah memenuhi syarat estetika sebagai tanaman penghijau.
b. Beringin sebagai pohon hutan kota
Menurut Fandeli, dkk (2004: 39), hutan kota didefinisikan sebagai kawasan hijau di kota yang terdiri dari kumpulan pohon dan kerapatannya dapat menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan di luar area tersebut. Hutan kota dapat berada di taman kota, tempat rekreasi, tempat olah raga, pemakaman, lahan pertanian, jalur hijau jalan, dan pekarangan. Mengacu pada hal tersebut maka lokasi yang digunakan dalam penelitian ini yang meliputi jalur hijau tepi jalan raya, halaman perkantoran/instansi, lapangan terbuka, dan tempat rekreasi Kebun Binatang Gembira Loka (KBGL) merupakan kawasan hutan kota.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya hutan kota meliputi tujuan yang dikaitkan dengan fungsi hutan kota, popularitas tanaman, persepsi dan sosial-ekonomi (Fandeli, dkk. 2004: 41). Tujuan merupakan aspek utama dalam perencanaan dan pembangunan kawasan hutan kota. Tujuan pengadaan hutan kota berhubungan dengan fungsi sedangkan fungsi tergantung pada lokasi. Tanaman yang digunakan tergantung pada peruntukkan kawasan.