• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi DPD Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

baru dalam proses demokrasi di Indonesia. Dengan mekanisme pemilihan secara langsung anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), demikian juga pemilihan langsung ekskutif (Presiden/Wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupat/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota), menunjukkan bahwa perjalanan demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan dibanding-kan pada masa kepemimpinan Orde Baru yang cenderung bersifat otoritarianisme yang represif sentralistik.

56 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Pembentukan DPD sebagai lembaga Negara baru adalah berdasarkan Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 dalam Pasal 22 C, 22 D, dan 22 E. Sebagai lembaga Negara baru yang lahir ditengah arus transisi politik pemerintahan, maka keberadaan DPD belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia pada awal-awal pembentukannya, sekalipun pemilihan anggota DPD juga dilaksanakan secara langsung dan dipilih oleh rakyat melalui mekanisme Pemilu tanpa instrumen partai politik.82

Sampai saat ini masih sangat banyak masyarakat yang tidak mengenal lembaga DPD, bagaimana fungsi, tugas dan wewenangnya. Hal tersebut terjadi karena pada awal Pemilu Tahun 2004 dan Pemilu Tahun 2009 yang baru lalu calon-calon anggota DPD melakukan kampanye tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh calon-calon anggota DPR. DPD berkampanye hanya melalui stiker, spanduk, dan propaganda-propaganda semu. Secara langsung hal ini memberikan implikasi yang tidak menarik perhatian masyarakat selaku konstituennya.

Seharusnya DPD melakukan kampanye dialogis dengan pendekatan mengajak masyarakat untuk belajar mendapatkan pendidikan politik, misalnya dengan cara: memperkenalkan apa itu lembaga DPD, bagaimana fungsi, tugas dan wewenangnya, serta mekanisme kerjanya dalam menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah sebagai basis politiknya, dan apa yang melatarbelakangi sejarah terbentuknya DPD, dan lain-lain.

Sosialisasi kampanye dengan cara-cara dialogis bersama masyarakat daerah akan lebih efektif dalam menemukan serta mencapai apa yang menjadi kebutuhan daerah untuk diperjuangkan di level nasional. Dan juga secara langsung membangun kekuatan bersama antara DPD dengan rakyat dalam mendapatkan kewenangan politik yang lebih besar pada proses demokrasi jangka panjang.

Munculnya lembaga DPD memberikan harapan baru dalam memperjuangkan aspirasi serta kepentingan daerah dalam kerangka pembangunan nasional, setelah sekian lama keberadaan Utusan Daerah dan Utusan Golongan hanya sebagai

82 Sirajudin, Zulkarnain, Abdus Salam, Ikhwan Fahrojih, Membangun Konstituen Meeting, Mempertemukan kepentingan Daerah dengan Keterbatasan Wewenang DPD, Jakarta: Malang Corruption Watch & Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, 2006, hlm. 87.

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 57 pelengkap dan tidak memiliki kemampuan untuk berbuat banyak bagi kepentingan daerah di lembaga legislatif MPR.

Meskipun DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berjuang untuk kepentingan masyarakat daerah pada tingkat nasional, akan tetapi hubungan DPD dengan konstituen demikian juga dengan lembaga-lembaga politik/pemerintahan di daerah tidak banyak diatur secara formal normatif pada tingkat strategis seperti UUD dan peraturan perundang-undangan lain.

Hal ini secara langsung mengakibatkan lemahnya otoritas DPD dalam memperjuangkan aspirasi daerah yang diwakilinya.

Padahal prosedur pemilihan keanggotaan DPD justru jauh lebih rumit dan sulit. Seperti diketahui seseorang baru dapat terpilih menjadi anggota DPD apabila ia benar-benar tokoh yang dikenal luas di daerahnya, dan ia bukan orang partai sehingga sungguh-sungguh dapat dikenali oleh masyarakat di daerahnya di luar konteks mesin politik yang bernama partai.83

Akan tetapi, setelah terpilih menjadi anggota DPD dan mulai melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang-nya, anggota DPD hanya dapat memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai urusan legislasi yang berkaitan dengan daerah.

Sehingga harapan besar yang diharapkan oleh masyarakat daerah menjadi keniscayaan bagi DPD untuk dapat memperjuangkannya secara maksimal.

Untuk memberikan kewenangan pada DPD agar dapat maksimal memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah di era otonomi daerah, maka sangat diperlukan pemberian otoritas yang lebih luas atau setidak-tidaknya sama antara DPD dan DPR berkaitan dengan kepentingan daerah, termasuk dalam hal ini hak veto bagi DPD untuk tidak menyetujui RUU yang tidak memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat daerah.

Oleh karena itu, kepada DPD tidak hanya diberikan hak sebatas mengajukan dan ikut membahas bersama DPR atau Pemerintah RUU yang berkaitan dengan daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, melainkan juga terhadap hal-hal lain yang dianggap

83 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI Press, 1996, hlm. 32.

58 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

krusial dibidang pemerintahan dan berkaitan dengan kepentingan daerah.

Keterbatasan wewenang yang dimiliki, tidak berarti menjadi alasan penghalang bagi DPD untuk bekerja keras dan berbuat lebih banyak untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Apabila DPD tidak melakukan kreasi yang lebih bergairah dan baru untuk memaksimalkan kewenangan yang dimiliki, atau jika DPD hanya bertumpu pada rujukan UU yang mengatur kewenangannya, maka DPD akan berada pada kondisi dilematis. Dimana di satu sisi DPD tidak memiliki bargaining posisition terhadap lembaga Negara lainnya seperti DPR dan MPR, dan pada pihak lain rakyat di daerah menjadi apatis bahkan bersikap resistensi terhadap keberadaan DPD.84

Apabila DPD telah berupaya lebih keras dan maksimal mempopulerkan keberadaannya terhadap konstituen di daerah dengan kewenangan yang sangat terbatas dan mengakibatkan tidak maksimalnya kinerja DPD, maka masyarakat selaku konstituen DPD akan menjadi asset terbesar bersama-sama dengan DPD untuk meminta kepada Pemerintah pemberian kewenangan yang lebih besar lagi kepada DPD dalam memberikan solusi bagi setiap persoalan yang dihadapi daerah.

Salah satu dalil yang sangat penting diangkat oleh DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah adalah seperti:

memprioritaskan kesejahteraan rakyat daerah, mengurangi angka pengangguran di daerah serta pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, budaya sebagai salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat daerah. Dengan demikian apabila hal tersebut dapat maksimal diupayakan DPD di daerah, maka keberadaan DPD tidak sama dengan Utusan Golongan atau Utusan Daerah yang pada jamannya tidak mempunyai kemampuan secara optimal memperjuangkan kepentingan daerah. Bahkan tidak mustahil akan dapat mengangkat citra positif DPD sebagai lembaga negara baru bagi masyarakat daerah khususnya, dan bagi kepentingan nasional pada umumnya.85

Sebagai lembaga negara yang baru dengan kewenangan sangat terbatas, DPD memerlukan suatu ikhtiar politik untuk menjauhkan tudingan masyarakat daerah.

84 Ibid., hlm. 89.

85 Sirajuddin, Zulkarnain, Abdus Salam, Ikhwan Fahrojih, Op.Cit., hlm.

91.

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 59 G. DPD dalam Format Otonomi Daerah

Bergulirnya era reformasi pada akhir tahun 1998 secara langsung telah memberikan implikasi terhadap format politik pemerintahan di Indonesia. Tuntutan reformasi disegala bidang kehidupan, khususnya pada bidang politik pemerintahan memunculkan suatu agenda kesepakatan nasional baru pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Agenda nasional tersebut dituangkan dalam TAP MPR No.

XV/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI. TAP MPR No. XV/MPR/1998 menjadi landasan lahirnya Paket UU Otonomi Daerah, dimulai dengan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Ke dua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.86

Pembangunan daerah dilaksanakan melalui penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini memberikan pengertian bahwa pembangunan nasional dimulai atau berdasarkan dari hak untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerah. Mulai dari proses perencanaan dan pelaksanaan, sepenuhnya diserahkan oleh aparatur dan kelembagaan di daerah.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksana-kan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Masyarakat daerah mempunyai peran besar, untuk mengawal proses demokratisasi yang sampai saat ini terus berlangsung di Indonesia. Daerah memilki dasar yang kuat dalam penyelenggaraan pembangunan daerah menurut prakarsa sendiri dan berdasarkan aspirasi masyarakat daerah.

Secara jelas dan tegas telah dinyatakan bahwa aspek demokrasi dan memperhatikan keragaman daerah merupakan

86 Henrico Hutagalung, Penyelenggaraan Otonomi Daerah Setelah Berlakunya UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ke dua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daeah (Studi di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara), Tesis, Medan: Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2009, hlm. 13.

60 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

posisi strategis bagi daerah dalam mempercepat pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian akan menghilangkan program-program yang selama orde baru sering bersifat massal dan uniform, serta justru sering belum tentu sesuai dengan kondisi kenyataan kebutuhan masyarakat daerah.87

Karena atas dasar prakarsa sendiri dan berdasarkan aspirasi masyarakat daerah, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak lagi didasari atas program dan perencanaan dari Pemerintah pusat. Oleh karena telah dirumuskan dari daerah sendiri sesuai dengan harapan serta aspirasi rakyat daerah, maka diharapkan penyelenggaraan pemerintahan daerah benar-benar bermakna bottom up, sehingga bias dalam mencari solusi atas masalah pembangunan daerah antara perencanaan top down dengan bottom up tidak lagi ditemukan seperti pada masa era orde baru.

Berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, maka makna otonomi daerah harus ditempatkan dalam format yang benar dalam mengkoordinasikan dan memadukan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pem-bangunan daerah menuju pengembangan serta pertumbuhan daerah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat daerah.88

Format tersebut dimulai dari perencanaan strategis melalui pengembangan visi, misi, dan strategi yang jelas sampai pada perencanaan taktis. Disusul pelaksanaannya secara nyata dan memberikan manfaat yang positif, efektif bagi rakyat daerah, serta menampilkan pelaksanaan fungsi pengendalian dan pengawasan berdasarkan prinsip-prinsip akuntabilitas.

Peranan yang besar harus pula diikuti dengan komitmen yang jelas dari segenap penyelengga pemerintahan di daerah.

Keberadaan aparatur, kekuatan sosial politik, dan seluruh komponen daerah, termasuk dalam hal ini lembaga DPD yang keberadaannya terbentuk setelah Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 tanggal 9 November Tahun 2001, harus merasa tertantang dan terpanggil dengan paradigma baru pemerintahan daerah. Seluruh kekuatan dan potensi yang ada diberdayakan

87 H.A. Dj. Nihin, Paradigma Baru Pemerintahan Daerah Menyongsong Millenium Ketiga, Jakarta: Mardi Mulyo, 1999, hlm. 32.

88 Ibid., hlm. 34.

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 61 untuk pengembangan kehidupan di segala bidang, dan bersemangat untuk melakukan pemberdayaan potensi-potensi daerah.

Tantangan, hambatan, maupun rintangan harus menjadi penggugah semangat atau kemauan dalam mewujudkan kemajuan daerah. Seluruh kekuatan dan potensi daerah yang ada harus memiliki basic need for achievement. Tidak mengorbankan kepentingan rakyat daerah karena ingin menyelamatkan diri, atau menonjol-kan kepentingan yang sempit dalam merespon tuntutan aspirasi daerah. Dalam melaksanakan kewajibannya sebagai komponen dan kekuatan daerah tidak cukup hanya melalui kehendak, tetapi harus memiliki komitmen/ kemauan yang keras untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan tugas dan peranan sebagai aparatur penyelenggara pemerintahan daerah, komponen sosial politik daerah, demikian juga sebagai lesgislatif daerah yang bertugas dalam kebijakan politik di tingkat nasional.

Sangat diperlukan sense of crisis dan sense of urgency baik dari aparatur daerah, masyarakat daerah, dan seluruh komponen sosial poltik daerah untuk mencari format perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan daerah. Dengan demikian cita dan koridor pemerintah yang bersih dan berwibawa (good governance) di daerah menjadi persoalan dan tanggung jawab bersama baik Pemerintah daerah sebagai institusi maupun masyarakat daerah sebagai pemilik (stake holder) kedaulatan rakyat daerah.

Sebagaimana ditemukan dalam ilmu politik, bahwa masalah utama dalam politik adalah bagaimana menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, dan bagaimana membuat pemerintahan tersebut menjadi demokratis.89 Kedua hal tersebut secara praktis tampak saling bertentangan, terdapat semacam dilema. Namun idealnya adalah bagaimana tercipta suatu pemerintahan yang efektif sekaligus demokratis. Hal ini membawa konsekuensi untuk tetap mempertimbangkan secara adil kedua tantangan tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Terhadap keberadaan lembaga pemerintah daerah, demikian juga lembaga perwakilan daerah seperti DPD sebagai

89 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik, Proses, dan Analisis, Jakarta:

Intermedia, 1994, hlm. 6.

62 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

perantara kedaulatan rakyat daerah dalam memperjuangkan aspirasi daerah pada tingkat nasional, mempunyai kewajiban dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya masing-masing untuk senantias memiliki keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat daerah. Berusaha secara optimal untuk kepentingan rakyat daerah walaupun dengan berbagai keterbatasan kewenangan yang dimiliki.

Menjadi fokus perhatian DPD dalam format otonomi daerah adalah persoalan mengenai ketepatan serta kecermatan DPD dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenang yang terbatas dimilikinya, untuk secara kualitatif dilaksanakan sesuai dengan aspek-aspek kebutuhan nyata dari masyarakat daerah.

Anggota DPD harus memiliki aspek-aspek keahlian yang terkandung dalam kelembagaan secara lebih inherent, (kelekatan, kedekatan, dan kesifatannya), tidak saja aspek ketokohannya yang dtonjolkan. Jadi dalam hal ini format DPD dalam otonomi daerah sangat berkaitan erat dengan siapa melaksanakan apa yang setepat-tepatnya. Pengertian siapa dalam hal ini adalah, seluruh anggota DPD yang berjuang untuk kepentingan aspirasi rakyat daerahnya pada tingkat nasional.

Harold Laswell, melalui teori politiknya yang populer, menyatakan bahwa dalam tataran implementasi politik dan kebijakan sangat penting diperhitungkan mengenai siapa mendapat apa, dalam waktu kapan, serta dalam kondisi yang bagaimana.90 Cermin politik Indonesia masih berwajah weberian yang memandang politik hanya sebagai kekuasaan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam hal ini Weber merumuskan negara sebagai komunitas manusia yang secara sukses melakukan monopoli penggunaan fisik dalam suatu wilayah tertentu. Di Indonesia hal tersebut tergambar pada realitas politik yang tidak terlepas dengan sejarah politik orde baru, dengan tradisi kekuasaan Pemerintah (eksekutif heavy) lebih dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Perjalanan panjang dalam merumuskan sistem serta kultur politik yang mengedepankan kebutuhan serta kepentingan masyarakat banyak merupakan salah satu yang

90 Harold Laswell, dalam Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1999, hlm. 1.

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 63 menjadi latar belakang melahirkan konsep penyelenggaraan otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.91

Pada setiap momen politik, sangat jarang muncul komitmen politik dari elit politik untuk mengedepankan persoalan rakyat. Justru elit politik lebih mengutamakan berkonsentrasi pada kursi kekuasaan, walaupun pada akhirnya rakyat menjadi korban kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Desentralisasi penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan menjadi titik awal dalam merubah sistem pemerintahan, yang pada awalnya daerah tidak memiliki kewenangan dalam mengurus kepentingan daerah, Pemerintah pusat memiliki hak otoritatif untuk mengatur dan menentukan segala kepentingan dan persoalan masyarakat daerah, menjadi memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi daerah untuk menentukan, menyelesaikan, serta membuat kebijaksanaan sendiri, yang dianggap penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah, terkecuali kewenangan pada bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisial, moneter/fiskal nasional, dan agama tetap menjadi kewenangan Pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah.92

Amandemen UUD Tahun 1945 merupakan salah satu prestasi dalam kebijakan politik kenegaraan yang telah turut melahirkan lembaga Negara yang baru yaitu DPD, untuk menyuarakan dan memperjuangkan kebutuhan serta kepentingan masyarakat daerah. Harus diakui bahwa sebelumnya, Utusan Daerah dalam MPR dinilai kurang berhasil dan tidak efektif melaksanakan aspirasi daerah. Otonomi daerah dianggap lebih efektif dan efisien dalam membangun kesejahteraan daerah.

Otonomi bukan saja sekedar diberikannya regulasi kepada daerah dalam menyelesaikan segala permasalahan dan kepentingan daerah, akan tetapi lebih dari itu, bahwa dengan otonomi diberikan ruang yang seluas-luasnya pada daerah

91 Sirajuddin, Zulkarnain, Abdus Salam, Ikhwan Fahrojih, Op.Cit., hlm.

92.

92 Henrico Hutagalung, Op.Cit., hlm. 13.

64 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

untuk menata, mengelola, segala potensi daerah untuk kesejahteraan masyarakat daerah.

Oleh karena itu dalam pelaksanaan otonomi daerah, turut pula diberi keleluasaan dan kemandirian bagi daeah untuk mengatur daerahnya. Masyarakat dan pemerintah daerah lebih mengetahui serta memahami karakter dan potensi yang ada di daerahnya untuk dirumuskan dalam kebijakan yang akan dilaksanakan untuk kesejahteraan masyarakat daerah.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, daerah memiliki hak otoritatif dalam membuat regulasi yang berkaitan dengan kepentingan serta kebutuhan daerah. Birokrasi di daerah sepenuhnya diserahkan kepada daerah, sehingga secara fungsional birokratis pemerintahan di daerah adalah menjadi urusan pemerintah daerah. Dengan demikian, diharapkan cita-cita otonomi akan tercapai melalui pendekatan pemerintah daerah dengan masyarakat daerah.93

Otonomi pada pelaksanaannya juga memberi ruang bagi timbulnya “penguasa-penguasa baru”, di daerah yang mempunyai anggapan sebagai penguasa tunggal daerah.

Sehingga otonomi yang secara substansi adalah untuk memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan menata daerahnya dalam memaksimalkan potensi dan segala sumber daya daerah yang ada untuk kesejahteraan rakyat, justru terjadi berbagai penyimpangan kekuasaan (abuse of power) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.94

Berbagai masalah hukum, terutama yang berkaitan dengan penyimpangan dana kas daerah, dan penyalahgunaan anggaran dalam proyek-proyek strategis di pemerintahan daerah, yang telah melibatkan beberapa Gubernur, Bupati, Walikota, atau Kepala-kepala dinas selaku Satuan Kerja Perangkat Daerah di berbagai daerah di Indonesia, merupakan salah satu bukti bahwa otonomi daerah juga menimbulkan suatu kerawanan apabila tidak dilaksanakan sesuai dengan tujuannya. Padahal maksud dan tujuan dari otonomi daerah adalah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan yang pada hakekatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu berupaya untuk lebih mendekatkan

93 Sirajuddin, Zulkarnain, Abdus Salam, Ikhwan Fahrojih, Op.Cit., hlm.

94.

94 Ibid.

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 65 penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat dalam rangka pencapaian masyarakat adil dan makmur.95

Secara realita apabila otonomi daerah tidak terlaksana sebagaimana mestinya, artinya tidak terjadi proses kesejahteraan hidup masyarakat secara berkesinambungan, maka otonomi pada akhirnya akan merugikan rakyat daerah sendiri.

Pada prakteknya, penyelenggaraan otonomi daerah selama ini belum didukung oleh berbagai peraturan yang lebih mementingkan aspirasi masyarakat daerah, baik pada tingkat UU sampai dengan Paraturan Daerah (Perda). Sebagai contoh, sejak era otonomi daerah dilaksanakan sering terjadi tumpang tindih peraturan dalam mengatur kepentingan masyarakat daerah misalnya dalam hal bagi hasil dari lahan perkebunan yang terdapat di suatu daerah.

Demikian juga banyak terdapat Perda-Perda yang hanya mementingkan penambahan PAD misalnya tentang retribusi, pajak daerah, pungutan daerah, dan lain-lain yang bersifat pendapatan daerah, daripada mengutamakan program-program pemberdayaan atau keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan di daerah.

Penyelenggaraan otonomi daerah yang tidak dibarengi dengan pemberdayaan masyarakat daerah maka akan mengahasilkan keadaan yang kontraproduktif. Peranan masyarakat, demikian juga sektor swasta memberikan sumbangan yang sangat besar dalam menentukan tingkat keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah. Tanpa memberikan peningkatan atas partisipasi masyarakat dan sektor swasta, maka otonomi akan kehilangan makna dasarnya yaitu mempercepat proses pembangunan daerah.

Melalui otonomi, Pemerintah daerah mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendorong dan memberi motivasi membangun daerah yang kondusif, sehingga akan memunculkan kreasi dan daya inovasi masyarakat yang dapat bersaing dengan daerah lain. Disamping itu, daerah dapat membangun pusat pertumbuhan daerah, mengingat daerah

95 Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Daerah, Jakarta: Surya Mukti Grafika, 2001, hlm. 35.

66 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

lebih mengetahui potensinya serta lebih akrab dengan masyarakat dan lingkungannya.96

Otonomi tidak hanya dipandang sebagai hak dan kewenangan semata, akan tetapi harus lebih pada penekanan kewajiban dan tanggung jawab, sehingga bagi daerah dituntut untuk lebih mengembangkan serta meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM), kelembagaan ketatalaksanaan, kualitas personal birokrasi, kelayakan organisasi, dan kecanggihan serta keterampilan teknologi administrasi. Otonomi juga tidak semata-mata hanya tampak dalam penyerahan urusan dan sumber-sumber penghasilan daerah, akan tetapi lebih jauh dari itu bahwa dengan kewenangan yang dilimpahkan dalam otonomi harus mampu memberikan kontribusi terhadap kemampuan mengambil prakarsa, sekaligus seberapa jauh legislatif (DPRD, dan DPD) melibatkan diri melakukan pengendalian dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Sesungguhnya, penyelenggaraan otonomi daerah dalam sistem pemerintahan daerah saat ini memang rumit dan kompleks, dikarenakan kondisi objektif daerah-daerah yang pada masa lalu masih mengalami kekurangan serta kelemahan-kelemahan terutama pada bidang: kepegawaian, sarana dan prasarana, dan minimnya anggaran. Akan tetapi dalam sistem desentralisasi pada era otonomi seperti saat ini tugas-tugas pemerintahan daerah harus tetap dilaksanakan walaupun kemandirian daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan belum terlaksana seutuhnya.97

Fakta dan keadaan saat ini, masalah yang lebih besar dihadapi pada saat otonomi daerah tersebut benar-benar telah

Fakta dan keadaan saat ini, masalah yang lebih besar dihadapi pada saat otonomi daerah tersebut benar-benar telah

Dokumen terkait