• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Awal Pembentukan DPD

Berakhirnya rezim pemerintahan Orde Baru pada Tahun 1998 melahirkan era baru dalam sistem pemerintahan di

68 Harian Surat Kabar Kompas, tanggal 12 Juni 2001, hlm. 6.

69 Robert Endi Jaweng, Lexy Armanjaya, Henry Siahaan, Adrian Adinabung, Op.Cit., hlm. 56.

70 Bandingkan dengan periode-periode sebelumnya sebagaimana terlihat dan diatur dalam UU No. 16 Tahun 1969 Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Pemilu 1971, maupun rangkaian perubahannya sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 1985 Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, yaitu: dalam MPR 1972-1977 (sebanyak 130 orang), MPR 1977-1982 (sebanyak 139 orang), MPR 1982-1987 (sebanyak 140 orang), MPR 1987-1992 (sebanyak 147 orang), MPR 1992-1997 (sebanyak 149 anggota), dan MPR 1997-1999 (sebanyak 149 anggota).

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 41 Indonesia. Selain tuntutan pelaksanaan Pemilu dipercepat, maka agenda lain yang juga dianggap tepat untuk memulai era baru pembaruan sistem ketatanegaraan dan politik adalah pilihan untuk melaksanakan perubahan (amandemen) atas UUD tahun 1945.

Awalnya pilihan untuk melaksanakan perubahan atas konstitusi Negara tidak mungkin dilakukan, mengingat selama berpuluh-puluh tahun UUD Tahun 1945 menjadi suatu dokumen sangat sakral dan secara politis dilarang untuk dirubah.71

Ketentuan politis yang melarang dilakukannya perubahan atas UUD Tahun 1945 tentunya secara hukum ketatanegaraan mengandung kejanggalan, setidaknya apabila dilihat dari dua alasan berikut:

1. Secara historis UUD Tahun 1945 sendiri pada dasarnya adalah suatu konstitusi sementara, yang oleh Presiden Ir.

Soekarno disebut sebagai UUD kilat, oleh karena itu perlu adanya suatu konstitusi yang lebih lengkap dan sempurna dikemudian hari.

2. UUD Tahun 1945 sendiri justru memberikan kewenangan bahkan mandat kepada MPR untuk melakukan perubahan keberadaannya dan menetapkan suatu UUD yang baru melalui persyaratan dan mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD Tahun 1945 (sebelum perubahan).

Secara yuridis para perumus UUD Tahun 1945 telah lebih dulu menunjukkan kearifan, bahwa apa yang mereka lakukan ketika menyusun UUD Tahun 1945 tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan sangat memungkinkan pada suatu saat akan mengalami perubahan. Baik dilihat dari sejarah penyusunannya maupun sebagai produk hukum yang mencerminkan pikiran dan kepentingan yang ada pada saat itu.

Sebuah UUD akan haus dimakan waktu dan jaman apabila tidak diadakan pembaharuan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara baik dibidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.72

71 Ibid., hlm. 57.

72 Lihat dalam Nimatul Huda, Politik Ketatanegaran Indonesia, kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2003.

42 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Bahwa selanjutnya dalam kenyataannya, praktek kenegaraan yang terjadi justru sebaliknya, dan hanya dapat dijelaskan melalui sudut kepentingan politik praktis, sehingga keberadaan UUD Tahun 1945 dianggap menjadi dasar konstitusional yang cocok dan efektif untuk melanggengkan rezim otokrasi yang dibangun pada masa Orde Baru selama kurang lebih 32 Tahun.73

Bahkan MPR yang secara konstitusional mempunyai kewenangan untuk membuat atau melakukan perubahan UUD, melakukan upaya sakralisasi dengan membuat suatu “benteng”

sebagaimana dapat dilihat pada Ketetapan MPR No. I/MPR/1978 Tentang Tata Tertib MPR, jo Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum, dimana secara organik klausul penjabarannya diimplementasikan melalui UU No. 5 tahun 1985 Tentang Referendum.74

Bergantinya era Orde Baru kepada era Reformasi pada tahun 1998 telah membawa berbagai perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat misalnya, sejak jatuhnya rezim pemerintahan Presiden Soeharto, maka Indonesia tidak lagi memiliki seorang pemimpin yang bersifat sentral dan selalu menentukan. Munculnya pusat-pusat kekuasaan baru di luar negara, telah menggeser kedudukan seorang Presiden Republik Indonesia dari penguasa yang hegemonik dan monopolistik menjadi Kepala Pemerintahan biasa dan sewaktu-waktu dapat digugat atau bahkan diturunkan dari kekuasaannya.

Seiring dengan runtuhnya rezim pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada Tahun 1998, maka seluruh praktek-praktek sakralisasi tersebut terdelegitimasi, dan tuntutan untuk melakukan perubahan atas UUD Tahun 1945 menjadi agenda utama dan mutlak harus dilakukan.

73 Lihat A. Mukhtie Fadjar, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik, Malang: Intrans, 2003. Lihat juga Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH UII Press, 2004.

74 Lihat Ketetapan MPR No. I/MPR/1978 Tentang Tata Tertib MPR, Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum, dan UU No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum.

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 43 Mengapa tuntutan untuk perubahan UUD Tahun 1945 menjadi salah satu agenda terpenting pasca runtuhnya rezim pemerintahan Orde Baru? Berbagai kalangan berpendapat bahwa terjadinya krisis di Indonesia pada saat itu adalah dikarenakan ketidakjelasan konsep yang dibangun oleh UUD Tahun 1945, dan tidak terdapatnya checks and balances antar alat kelengkapan organisasi negara. Sejak itu maka berbagai kalangan di Indonesia menyiapkan bahan kajian untuk perubahan UUD Tahun 1945, serta mendesak MPR untuk secepatnya melakukan perubahan dimaksud.

Selain itu, munculnya kehidupan tatanan politik yang lebih bebas dan tidak terkekang telah memunculkan kehidupan poltik yang lebih demokratis, serta mempercepat usaha reformasi politik untuk pencerahan pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia. Keadaan poltik kenegaraan yang semakin demokratis tersebut, pada tataran lembaga tinggi Negara telah menimbulkan kesadaran untuk memperkuat proses checks and balances diantara cabang-cabang kekuasaan Negara yang ada.

Tindak lanjut agenda perubahan atas UUD Tahun 1945, oleh MPR baru (periode 1999-2004) dilaksanakan dengan hati-hati dan membuat batasan-batasan tertentu, agar dasar filosofis dan normatif yang mendasari seluruh pasal dalam UUD Tahun 1945 dalam kerangka staatsidee berdirinya NKRI tetap kokoh bertahan.75 Panitia Ad Hoc. I MPR pada masa Sidang Umum MPR Tahun 1999 membuat batasan tersebut meliputi:76

1. Tidak mengubah Pembukaan UUD Tahun 1945.

2. Tetap mempertahankan NKRI.

3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.

4. Penjelasan UUD Tahun 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan kedalam pasal-pasal.

5. Perubahan UUD Tahun 1945 dilakukan dengan cara addendum.

Bagir Manan mengatakan rangkaian perubahan yang telah dilakukan atas UUD Tahun 1945 dapat dikategorikan ke dalam:

75 Nimatul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2003, hlm. 14.

76 Ibid., hlm. 13.

44 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

1. Perubahan terhadap substansi yang telah ada, seperti perubahan atas wewenang Presiden dalam membuat UU.

2. Penambahan terhadap ketentuan yang telah ada, seperti penambahan atas ayat atau pasal.

3. Pengembangan materi yang sudah ada menjadi bab baru, seperti tentang BPK.

4. Penambahan yang sama sekali baru, seperti pembentukan dan pengaturan keberadaan DPD.

5. Penghapusan ketentuan yang sudah ada, seperti penghapusan DPA.

6. Pemindahan beberapa isi Penjelasan ke dalam Batang Tubuh, seperti prinsip negara berdasarkan hukum.

7. Perubahan struktur UUD 1945 dan menghapus Penjelasan sebagai bagian UUD 1945.

Berdasarkan batasan yang telah dibuat di atas, maka diadakan perubahan atas UUD Tahun 1945 yang dilaksanakan melalui serangkaian Sidang Umum MPR sejak tahun 1999 yaitu Perubahan pertama pada bulan Oktober Tahun 1999 melalui Sidang Umum MPR, Perubahan kedua pada bulan Agustus Tahun 2000 melalui Sidang Tahunan MPR, Perubahan ketiga pada bulan November Tahun 2001 melalui Sidang Tahunan MPR, dan perubahan keempat pada bulan Agustus Tahun 2002 melalui Sidang Tahunan.

Perubahan UUD Tahun 1945 yang berkaitan dengan pembentukan DPD adalah berdasarkan perubahan ketiga UUD Tahun 1945 yang dilakukan pada Sidang Tahunan MPR pada bulan November tahun 2001.

Sumber-sumber formal sebagai bahan penelusuran dalam perubahan UUD Tahun 1945 yang berhubungan dengan pembentukan DPD antara lain draf rancangan yang dipersiapkan Panitia Ad Hoc. I Badan Pekerja MPR (BP MPR), sumbangan pemikiran dari Tim Ahli yang dibentuk untuk membantu Panitia Ad Hoc. I Badan Pekerja MPR dalam mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD Tahun 1945. Selain itu juga diterima sumber lain sebagai bahan kajian dari unsur masyarakat, risalah kajian, proposal advokasi atau materi-materi kampanye baik dari

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 45 kalangan PerguruanTinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai sumber pembanding.77

Berdasarkan Keputusan BP MPR No. 2/BP/2000, dalam BP MPR sebagai Alat Kelelngkapan Majelis dibentuk tiga Panitia Ad Hoc yang bertugas mempersiapkan segala rancangan materi tertentu sebagai bahan pembahasan di BP MPR, dan nantinya dibawa dalam persidangan lengkap Majelis (Sidang Paripurna MPR) untuk diambil suatu keputusan.

Dalam melaksanakan tugas-tugas dimaksud, Panitia Ad Hoc. I, Panitia Ad Hoc. II BP MPR dibantu oleh masing-masing sebuah Tim Ahli yang bertugas melakukan pengkajian dan memberi masukan yang diperlukan. Tim Ahli Panitia Ad Hoc. I beranggotakan 30 orang ilmuan dari Perguruan Tinggi dan merupakan ahli dalam bidang keilmuan tertentu, yang dikelompokkan ke dalam 5 bidang keahlian yaitu: bidang politik, bidang hukum, bidang ekonomi, bidang agama, sosial, budya, dan bidang pendidikan.

Tim Ahli Bidang Politik: Prof.DR. Afan Gafar, MA, DR.

Bachtiar Effendy, Prof.DR. Maswadi Rauf, MA., Prof.DR.

Nazaruddin Syamsudin, Prof.DR. Ramlan Surbakti, MA, dan DR.

Riswanda Imawan. Tim Ahli Bidang Hukum: DR. H. Dahlan Thaib, S.H., M.Si, Prof.DR. Hasyim Djalal, MA, Prof.DR. Ismail Suny, S.H., MCL, Prof.DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Prof.DR.

Maria SW Sumardjono, S.H., MCL, MPA, Prof.DR. Muchsan, S.H., Satya Arinanto, S.H., M.H., Prof.DR. Sri Soemantri Martosoewignjo, dan Pro.DR. Suwoto Mulyosudarmo. Tim Ahli Bidang Ekonomi: Prof.DR. Bambang Sudibyo, Prof.DR. Dawam Rahardjo, Prof.DR. Didik J. Rachbini, Prof.DR. Mubyarto, DR. Sri Adiningsih, DR. Sri Mulyani, dan (alm) DR. Syahrir. Tim Ahli Bidang Agama: Sosial, dan Budaya: Prof.DR. Azyumardi Azra, DR. Eka Darmaputera, DR. Komarudin Hidayat, DR.H.

Nazaruddin Umar. MA, dan (alm) Prof.DR. Sardjono Jatiman. Tim Ahli Bidang Pendidikan: DR. Willy Toisuta, Prof.DR. Wuryadi, Prof. DR. Jahja Umar.

Pemaparan di depan rapat BP MPR tanggal 2 Oktober 2001, Ketua Panitia Ad Hoc. I BP MPR Drs. Jacob Tobing, MPA menyampaikan draf rancangan perubahan UUD Tahun 1945 sebagai hasil persiapan dari panitia Ad Hoc. I Badan Pekerja MPR. Khusus mengenai pembentukan DPD, keberadaannya

77 Ibid., hlm. 60.

46 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

dalam MPR, maupun keterkaitan fungsinya dalam hubungan antar lembaga Negara, dalam usulan rumusan pasal-pasal yang disampaikan pada rapat BP MPR adalah sebagai berikut:78

1. Berkaitan dengan DPD Pasal 22 C ayat (1): Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilu (tanpa alternatif).

Pasal 22 C ayat (2): Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama, dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (tanpa alternatif).

Pasal 22 C ayat (3): DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (tanpa alternatif).Pasal 22 C ayat (4): Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan UU (tanpa alternatif).

Pasal 22 D ayat (1): DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (tanpa alternatif).

Pasal 22 D ayat (2): DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, agama, otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (alternatif 2).

Pasal 22 D ayat (3): DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai untuk ditindaklanjuti (alternatif 1), atau DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

78 Ibid., hlm. 62-66.

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 47 pelaksanaan APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (alternatif 2).

Pasal 22 D ayat (4): Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam UU (tanpa alternatif).

Pasal 22 D ayat (5): DPD dapat mengajukan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya kepada MPR karena pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden (alternatif1) atau tidak perlu ayat (5) ini (alternatif 2).

Pasal 22 D ayat (6): Usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 anggota yang hadir dalam persidangan yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota (alternatif 1) atau tidak perlu ayat (6) ini (alternatif 2).

2. Berkaitan dengan MPR dan Keberadaan DPD dalam MPR.

Pasal 1 ayat (3): Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR (alternatif 1), atau Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.

Pasal 2 ayat (1): MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu, ditambah dengan Utusan Golongan yang diatur menurut ketentuan UU (alternatif 1), atau MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu dan diatur menurut ketentuan UU (alternatif 2).

Pasal 3 ayat (1): Tugas, wewenang, dan hak MPR ialah mengubah dan menetapkan UUD (tanpa alternatif).

Pasal 3 ayat (2): Menetapkan haluan negara dalam garis-garis besar (alternatif 1), atau tidak perlu menetapkan haluan negara dalam garis-garis besar (alternatif 2).

Pasal 3 ayat (3): Memilih dan menetapkan dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih secara langsung oleh rakyat (alternatif 1), atau menetapkan dua paket calon Presiden dan Wakil Presien dari dua partai politik pemenang Pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat (alternatif 2), atau memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua paket

48 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

calon Presiden dan Wakil Presiden dari partai-partai politi yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilu (alternatif 3), atau tidak perlu alternatif 1, 2, dan 3 (alternatif 4).Pasal 3 ayat (4): Menetapkan dan melantik Presiden dan Wakil Presiden (tanpa alternatif).

Pasal 3 ayat (5): Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dari jabatannya karena pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden (tanpa alternatif).

3. Berkaitan dengan Pemilu termasuk pemilihan anggota DPD.

Pasal 22 E ayat (1): Pemili dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali (tanpa alternatif).

Pasal 22 E ayat (2): Pemilu diselanggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD (tanpa alternatif).

Pasal 22 E ayat (3): Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik (tanpa alternatif).

Pasal 22 E ayat (4): Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan (tanpa alternatif).

Pasal 22 E ayat (5): Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (tanpa alternatif).

Pasal 22 E ayat (6): Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diatur dengan UU (tanpa alternatif).

4. Berkaitan dengan Keterkaitan Fungsional DPD dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pasal 23 E ayat (1): Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan suatu badan BPK yang bebas dan mandiri (tanpa alternatif).

Pasal 23 E ayat (2): Hasil pemeriksaan keuangan Negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai kewenangannya (tanpa alternatif).

Pasal 23 E ayat (3): Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan atau badan sesuai dengan UU (ayat (2), tanpa alternatif).

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 49 Pasal 23 F ayat (1): Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden (tanpa alternatif).

Pasal 23 F ayat (2): Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota (tanpa alternatif).

Pemaparan Panitia Ad Hoc. I BP MPR, khusus mengenai DPD sebagaimana diuraikan dalam usulan rumusan Pasal 22 C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22 D ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) tersebut di atas secara hukum, melalui kalimat dapat, mengindikasikan DPD tidak harus atau mungkin tidak perlu mengajukan RUU kepada DPR, apalagi kalau DPD menganggap itu tidak terlalu penting, atau apabila hal tersebut hanya sebuah rumusan yang tidak mengikat DPD untuk mengajukan RUU kepada DPR. Sedangkan kalimat ikut mengindikasikan bahwa DPD menjadi sub ordinat DPR. Hal ini secara politik praktis boleh jadi, jika suatu saat terjadi ketegangan politik antara DPR dengan DPD, maka dapat saja DPR tidak mengikutsertakan DPD dalam proses pembahasan suatu RUU.79

Pembentukan DPD dalam struktur kekuasaan legislatif baru di Indonesia secara langsung lahir sebagai konsekuensi dari proses reformasi kekuasaan legislatif. Sebagai lembaga baru, keberadaan DPD yang anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat dari setiap provinsi dalam Pemilu memang oleh sebagaian besar masyarakat Indonesia masih sangat awam keberadaannya. Akan tetapi, disisi lain oleh para konstituennya, anggota DPD dianggap lebih legitimate keabsahannya karena mereka telah dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini sangat berbeda dengan anggota DPR walaupun dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi sebagian besar dipilih oleh partainya, karena kebanyakan tidak memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih.80

Sebagai lembaga baru yang mewakili kepentingan masyarakat daerah pada tingkat nasional, pola relasi antara DPD dengan konstituennya belum terumuskan secara jelas. Belum terdapat suatu mekanisme yang jelas, dan sarana maupun

79 John Pieris, dan Aryanthi Baramuli Putri, DPD RI Studi, Analisis, Kritik, dan Solusi Kajian Hukum dan Politik, Jakarta: Pelangi Cendikia, 2006, hlm. 105.

80 Ibid., hlm. 106.

50 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

prasarana yang memadai dan dapat menjadi jembatan penyaluran bagi aspirasi masyarakat daerah kepada wakilnya ditingkat pusat melalui anggota DPD. Tanpa mekanisme yang jelas, sarana dan prasarana yang memadai, maka harapan akan fungsi dan peran DPD dalam rangka memper-juangkan kepentingan daerah menjadi tidak optimal.

Selain masalah menyaring, mengelola, dan menindaklanjuti aspirasi konstituennya, maka juga diperlukan adanya mekanisme dan instrumen untuk menilai hasil kineja dan akuntabilitas dari anggota DPD terhadap konstituennya, demikian pula publik pada umumnya.

Kemudian, dalam rangka memenuhi harapan konstituennya, anggota DPD dituntut memiliki kapasitas yang memadai agar dapat menjalankan peran dan fungsinya. Berbagai upaya peningkatan terhadap kapasitas anggota DPD perlu dilakukan untuk meningkat-kan peran dan fungsinya. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk itu, misalnya dengan melaksanakan workshop, atau pelatihan-pelatihan dalam rangka pemantapan kapasitas anggota DPD dalam berperan ditingkat nasional.

Legitimasi yang besar dari para konstituennya memberikan harapan yang besar pula terhadap anggota DPD dalam memperjuangkan aspirasi daerah pada tingkat nasional.

DPD dijadikan alternatif baru untuk membawa perubahan ditingkat elite dalam menyerap aspirasi sekaligus memperjuangkan kepentingan masyarakat pada tingkat nasional.

Dokumen terkait