• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Parlemen Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Parlemen Di Indonesia"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Parlemen

Di Indonesia

(3)

ii – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Dewan Perwakilan Daerah Dalam

Sistem Parlemen di Indonesia Medan, Pustaka Prima, 2021 x+156 - 16,5x24 cm

Dr. Zainuddin, SH., MH

ISBN : 978-623-93332-6-3 Desain/Layout : Tim Pustaka Prima Diterbitkan oleh:

CV. Pustaka Prima

Jalan Pinus Raya No.138 Komplek.DPRD Tk.I Medan Email : penerbit.pustakaprima@gmail.com Website : www.pustaka-prima.com

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk fotokopi, merekam atau dengan system penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

(4)

Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - iii KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga buku ini dapat diselesaikan sesuai dengan harapan.

Shalawat beriring salam penulis hanturkan kepada junjungan dan suri tauladan, Nabi Muhammad SAW, peran besar beliau hingga kini kita dapat menghirup alam terang benderang.

Buku ini penulis berikan judul mengenai “Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Parlemen di Indonesia”. Pasal 2 ayat (1) Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD. Hal ini berarti bahwa anggota MPR sebelum amandemen UUD 1945 (khususnya Utusan Daerah) tidak mampu melaksanakan kewenangannya sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karenanya, perlu dilakukan re-posisi keanggotaan MPR khususnya yang merupakan perwakilan dari daerah.

Kehadiran DPD sebagai salah satu anggota MPR, diharapkan mampu berbuat lebih banyak terhadap kemajuan masyarakat yang ada di daerah. Akan tetapi, UUD 1945 yang telah di amandemen juga memberikan peran yang sangat terbatas bagi DPD dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Untuk itulah buku ini hadir kehadapan para pembaca sebagai sumbangsih pemikiran dalam rangka pembenahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih untuk yang mulia, kedua orang tua spenulis Bapak Muhammad Shaleh dan Mamakku Rahimah (Almarhumah), serta Mertua saya Bapak Drs. Helmi Lubis (Almarhum) beserta Ibu TD. Edwarni. Untuk yang tercinta dan tersayang, yang selalu memberikan semangat dan dorongan, serta setia mendampingi penulis, Untukmu istriku Hilma Dina Hayati Lubis, S.H., berseta anak-anakku, Dafa Al-Mutakhir Adriansyah, Raihan Al-Fatih, dan Jihan Assyfa Zaima.

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh karenanya penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dari semua pihak demi kesempurnaan karya berikutnya. Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para pembaca semua, dan dapat

(5)

iv – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

dijadikan rujukan dalam setiap perbincangan kelembagaan negara, khususnya tentang kehadiran lembaga DPD dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Semoga Allah selalu melindungi kita semua. Amin..

Medan, 2021 Penulis

Dr. Zainuddin, S.H., M.H.

(6)

Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

KATA PENGANTAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Perlunya Perwakilan Dalam Sistem Ketatanegaraan ... 1

B. Konsep Perwakilan Dalam Sistem Ketatanegaraan ... 12

BAB II DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH ... 15

A. Sejarah Lembaga Perwakilan Daerah ... 15

B. Lembaga Perwakilan Daerah di Indonesia ... 19

C. Proses Awal Pembentukan DPD ... 40

D. Dimensi-Dimensi Penting DPD ... 50

E. Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD ... 51

F. Eksistensi DPD Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ... 55

G. DPD dalam Format Otonomi Daerah ... 59

BAB III PERANAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN ... 73

A. Kewenangan DPD Menurut UUD Tahun 1945... 73

B. Kewenangan DPD Menurut UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ... 84

C. Kedudukan Dan Hubungan DPD Dengan Lembaga-lembaga Negara ... 92

BAB IV PENGUATAN FUNGSI DPD DALAM ... 101

(7)

vi – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

KERANGKA NEGARA KESATUAN ... 101

A. Penguatan Fungsi DPD dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia... 101

B. Hubungan DPD dengan Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ... 115

BAB V DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM SISTEM BIKAMERAL ... 119

A. Sistem Perwakilan ... 119

B. Struktur Parlemen ... 129

C. Praktek Bikameral dalam Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia ... 132

D. Lembaga Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameralisme ... 135

GLOSSARIUM ... 144

DAFTAR PUSTAKA ... 149

INDEKS……….155

(8)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - vii

”Teruslah menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain“

Rasulullah SAW Bersabda ”Khairunnas Anfa’uhum Linnas“, Sebaik baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi manusia lainnya

(H.R. Ahmad dan Thabrani).

(9)

viii – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

(10)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga buku ini dapat diselesaikan sesuai dengan harapan.

Shalawat beriring salam penulis hanturkan kepada junjungan dan suri tauladan, Nabi Muhammad SAW, peran besar beliau hingga kini kita dapat menghirup alam terang benderang.

Buku ini penulis berikan judul mengenai “Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameral di Indonesia”. Pasal 2 ayat (1) Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD. Hal ini berarti bahwa anggota MPR sebelum amandemen UUD 1945 (khususnya Utusan Daerah) tidak mampu melaksanakan kewenangannya sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karenanya, perlu dilakukan re-posisi keanggotaan MPR khususnya yang merupakan perwakilan dari daerah.

Kehadiran DPD sebagai salah satu anggota MPR, diharapkan mampu berbuat lebih banyak terhadap kemajuan masyarakat yang ada di daerah. Akan tetapi, UUD 1945 yang telah di amandemen juga memberikan peran yang sangat terbatas bagi DPD dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Untuk itulah buku ini hadir kehadapan para pembaca sebagai sumbangsih pemikiran dalam rangka pembenahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih untuk yang mulia, kedua orang tua spenulis Bapak Muhammad Shaleh dan Mamakku Rahimah (Almarhumah), serta Mertua saya Bapak Drs. Helmi Lubis (Almarhum) beserta Ibu TD. Edwarni. Untuk yang tercinta dan tersayang, yang selalu memberikan semangat dan dorongan, serta setia mendampingi penulis, Untukmu istriku Hilma Dina Hayati Lubis, S.H., berseta anak-anakku, Dafa Al-Mutakhir Adriansyah, Raihan Al-Fatih, dan Jihan Assyfa Zaima.

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh karenanya penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dari semua pihak demi kesempurnaan karya berikutnya. Akhirnya, semoga buku ini

(11)

x – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

dapat bermanfaat bagi para pembaca semua, dan dapat dijadikan rujukan dalam setiap perbincangan kelembagaan negara, khususnya tentang kehadiran lembaga DPD dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Semoga Allah selalu melindungi kita semua. Amin..

Medan, 2021 Penulis

Dr. Zainuddin, S.H., M.H.

(12)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Perlunya Perwakilan Dalam Sistem Ketatanegaraan Kesadaran akan pentingnya pemerintahan perwakilan telah muncul jauh sebelum Indonesia merdeka. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan latar belakang budaya yang berbeda-beda, menjadikan lahirnya pemikiran dari para pendiri republik untuk memilih bentuk pemerintahan perwakilan.

Dalam alinea ke empat pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat….”.1

Uraian alinea ke empat pembukaan UUD Tahun 1945 tersebut di atas, menekankan kepada prinsip pemerintahan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan melalui sistem pemerintahan perwakilan, sebagaiamana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 (sebelum diamandemen) disebutkan bahwa, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR).2

Pada masa orde baru, kedaulatan rakyat yang dilaksanaan oleh MPR, ternyata belum sepenuhnya terlaksana sesuai dengan konstitusi. Hal tersebut terbukti dengan lebih

1 Lihat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 3.

2 Ibid.

(13)

2 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

dominan peran eksekutif dibandingkan dengan legislatif dalam menjalankan pemerintahan.

Selama orde baru, legislatif lebih berperan sebagai lembaga yang hanya melegitimasikan berbagai bentuk kebijakan yang dibuat oleh eksekutif, antara lain lahirnya berbagai produk perundang-undangan yang pada implementasinya tidak menyentuh kepentingan dan/atau kebutuhan masyarakat.

Contoh. Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah yang menganut prinsip otonomi nyata dan bertanggungjawab, tetapi dalam pelaksanaannya ber-bentuk sentralisasi bukan desentralisasi.

Pasal 2 ayat (1) UUD Tahun 1945 (sebelum diamandemen) menyebutkan bahwa anggota MPR terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan- golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang- undang. Keberadaan utusan daerah dalam MPR dimaksudkan untuk mengakomodir berbagai kepentingan dari daerah, namun pada kenyataannya tidak terlaksana. Utusan daerah yang berasal dari masing-masing daerah dari seluruh Provinsi di Indonesia pada masa itu tidak memberikan kontribusi yang nyata dalam memajukan daerah asalnya disebabkan kondisi politik kenegaraan yang masih memberikan kewenangan yang sangat luas kepada eksekutif.

Tahun 1998 merupakan titik awal perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang melahirkan era baru pemerintahan reformasi. Runtuhnya kekuasan orde baru digantikan dengan era reformasi antara lain dilator belakangi terjadinya ketidakpuasan masyarakat di daerah-daerah akibat ketidakadilan pemerintah pusat dalam penyelenggaran pemerintahan.

Pemerataan hasil-hasil pembangunan selama kurang lebih 32 (tiga puluh dua tahun) hanya dirasakan di kota-kota besar seperti Jakarta dan sebagian besar Pulau Jawa, sedangkan pada bagian Timur Indonesia dan sebagian besar Pulau Sumatera percepatan pem-bangunan berjalan lambat.

Daerah-daerah menuntut suatu keadilan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Sejarah

(14)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 3 menunjukkan bahwa ketidak adilan dari penyelenggaraan pemerintahan biasanya ditandai oleh tolak ukur:3

1) Respon yang diberikan oleh Pemerintah pusat terhadap Pemerintah daerah biasanya diberikan dengan tindakan keras, dan menciptakan keter-gantungan keuangan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.

2) Tinggi rendahnya legitimasi pemerintah pusat bagi masyarakat daerah dipersepsikan ketika masyarakat daerah menilai bahwa kredibilitas pemerintah pusat mengalami penurunan melalui simbolisasi dalam konteks penguasaan kekuasaan.

Tolok ukur tersebut di atas, terwujud dalam tiga pola hubungan yaitu:4

1. Zero sum game, penentuan derajat ketahanan daerah ditentukan oleh Pemerintah pusat.

2. Positive sum game, diterapkannya win-win solution karena pusat dan daerah berada dalam derajat yang sama dan dalam pemecahan masalah dilaksanakan dengan cara dialog.

3. Negative sum game, pola ini terbangun karena menurunnya posisi tawar menawar pusat seiring dengan menurunya kapasitas dan ligitimasi kekuasaan pusat dalam pandangan masyarakat daerah.

Era reformasi saat ini telah terjadi pergeseran kekuasaan pemerintahan, dari semula fokus pemerintahan berada pada kekuasaan eksekutif (excecutive heavy), kepada kekuasaan yang berada pada pentingnya peran legislatif (legislative heavy).

Beberapa peranan yang semula merupakan kewenangan eksekutif kini menjadi kewenangan legislatif.

Salah satu perubahan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (1) UUD Tahun 1945 (sebelum Amandemen), dinyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang- undang dengan persetujuan DPR”. Setelah Amandemen Pertama

3 J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, hlm. 14.

4 Ibid.

(15)

4 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Pasal 5 ayat (1) tersebut berubah bunyinya menjadi “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR”. Demikian juga halnya pada Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945 (sebelum Amandemen) dinyatakan bahwa “Tiap-tiap UU menghendaki persetujuan DPR”. Setelah Amandemen Pertama Pasal 20 ayat (1) tersebut berubah bunyinya menjadi “DPR memegang kekuasaan membentuk UU”.

Menguatnya peranan, wewenang, dan kekuasa-an legislatif ternyata tidak otomatis menggambarkan semakin menguatnya peranan rakyat. Karena beberapa kasus terlihat bahwa, kekuasaan yang dimiliki oleh legislatif itu ternyata digunakan untuk kepentingan partainya atau golongannya.5

Aspek penting dalam proses menuju demokrasi di Indonesia adalah melalui reformasi di bidang ketatanegaraan yang telah mulai dijalankan melalui serangkaian amandemen UUD Tahun 1945, yang telah berlangsung sebanyak empat tahap, yaitu:

1. Amandemen pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999;

2. Amandemen kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000;

3. Amandemen ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001; dan

4. Amandemen ke empat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.

Pada dasarnya amandemen UUD Tahun 1945 bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan kearah yang lebih demokratis.

Semangat perubahan konstitusi mengandung muatan berupa penguatan supremasi hukum, pentingnya pembatasan kekuasaan, tata laksana pengaturan hubungan kekuasaan antar cabang kekuasaan negara secara lebih tegas dan rinci, penguatan sistem checks and balances diantara lembaga kekuasaan, perlindungan dan jaminan atas hak-hak asasi manusia, penyeleng-garaan otonomi daerah melalui

5 Suhardiman dalam Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan Perwakilan, Bandung: Alumni, 2007, hlm. 9.

(16)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 5 pemilihan kepala daerah secara langsung, dan pengaturan hal- hal yang mendasar diberbagai bidang kehidupan masyarakat.

Perubahan UUD Tahun 1945 telah mengembali-kan kedaulatan ke tangan rakyat, yang selama ini diselenggarakan oleh MPR. Selain itu, hal terpenting juga terjadi dalam pemeilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, dan tidak lagi melalui mekanisme lewat MPR.

Lembaga MPR juga tidak lagi menjadi lembaga tertinggi melainkan hanya merupakan salah satu diantara lembaga- lembaga negara yang sejajar. Seyogianya memang dalam negara demokrasi tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan tertinggi seperti lembaga MPR di waktu yang lalu.

Salah satu perubahan penting setelah amandemen ke empat UUD Tahun 1945 adalah perubahan terhadap Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang- undang.

Menurut Bagir Manan sebagaimana yang dikutip oleh Ni’matul Huda mengatakan bahwa, perubahan pada amandemen ke empat Pasal 2 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menghapuskan unsur utusan golongan dan mengubah utusan daerah menjadi DPD adalah lebih didorong oleh pertimbangan pragmatis dari pada konseptual. Yakni Pertama, tidak mudah menentukan golongan yang diwakili. Kedua, cara pengisiannya mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang diangkat dengan yang mengangkat.6

Ada berbagai gagasan dasar dibalik pembentukan DPD, yaitu:7

1. Gagasan untuk mengubah sistem perwakilan menjadi sistem dua kamar (bicameral). Dalam hal ini DPD dan DPR digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti di Amerika Serikat yang terdiri dari senat sebagai perwakilan negara bagian (DPD), dan house of representatives sebagai

6 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 157.

7 Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta:

FH UII Press, 2003, hlm. 53.

(17)

6 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

perwakilan seluruh rakyat (DPR). Di Amerika Serikat kedua unsur perwakilan tersebut dinamakan congress.

2. Gagasan untuk meningkatkan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan negara. DPD merupakan badan sehari-hari yang turut serta menentukan dan mengawasi jalannya politik dan pengelolaan negara. Dengan demikian, DPD dapat dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan sistem utusan daerah di MPR menurut Pasal 2 ayat (1) UUD Tahun 1945 sebelum perubahan.

Wacana mengenai parlemen bikameral merupa-kan salah satu gagasan penting dibalik pembentukan DPD sebenarnya sudah mulai ada sejak tahun 1998. Semangat pembaharuan ketika itu melahirkan beberapa pemikiran tentang perombakan sistem ketatanegaraan. Dimulai dari penyatuan kedalam satu lembaga fungsi Peradilan, pelaksanaan pemilihan Presiden/wakil Presiden secara langsung, termasuk masalah parlemen bikameral.

Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada tahun 2000, menyimpulkan bahwa pandangan- pandangan mengenai bikameral seperti yang dikemukakan oleh para pakar di bidang Hukum Tata Negara dan Ilmu Pemerintahan pada saat itu didasarkan atas tiga argumentasi, yaitu:8

A. Desakan atas kebutuhan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan yang tidak dipilih dan tidak efektif (utusan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan yang berkaitan dengan supremasi MPR), dan adanya anggota-anggota yang tidak dipilih dan tidak efektif (utusan golongan dan utusan daerah).

B. Kebutuhan Indonesia untuk menerapkan sistem checks and balances terutama dalam mendorong percepatan proses demokratisasi.

C. Pada saat reformasi bergulir, muncul dua perspektif yang saling bertolak belakang untuk menangani politik di daerah.

Di satu sisi, wacana negara federalisme didengung-

8 Bivitri Susanti, Bukan Sekedar Pemberi Pertimbangan Peran DPD dalam Proses Legislasi, Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 2, No. 3, 2005, hlm. 46-64.

(18)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 7 dengungkan, dan disisi lain wacana tetap kukuh pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap diperjuangkan.

Pandangan yang antifederalisme mengakui perlunya daerah diwakili secara lebih kuat di Parlemen. Namun, menurut pandangan ini memberikan kekuasaan kepada perwakilan daerah seperti senator di Amerika Serikat justru akan membuat politik nasional dapat dikuasai oleh sentimen kedaerahan dan primordial. Dikhawatirkan parlemen menjadi forum pertarungan primordial antara pusat versus daerah, dan kepentingan daerah yang satu versus daerah lainnya. Amandemen konstitusi akhirnya menyepakati jalan tengah dengan membentuk lembaga DPD (perubahan ketiga UUD Tahun 1945).

Rasa khawatir akan pergolakan separatisme dan pergolakan daerah, maka DPD yang mewakili politik daerah tidak boleh terlalu kuat, oleh karena itu kewenangan yang besar tetap berada ditangan DPR. Faktanya bahwa sebagian besar anggota MPR yang membahas kelahiran lembaga DPD adalah anggota DPR, dimana hal itu berkontribusi terhadap penolakan sistem bikameral.

Kontroversi pembentukan DPD juga masih terjadi pada saat menjelang perubahan keempat UUD Tahun 1945. Wacana di kalangan politisi di parlemen yang menolak dianutnya bikameral dengan dibentuknya DPD dalam struktur MPR, sebagaimana dinyatakan dalam perubahan ketiga UUD Tahun 1945 menurut hasil putusan Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001. Sebanyak 207 orang anggota MPR-RI menyatakan sikap politiknya menolak masuknya DPD dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia. Alasan para anggota MPR-RI lintas fraksi menolak keberadaan DPD saat itu adalah:9

1. Ada usaha-usaha dengan sengaja untuk merubah sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dengan cara mengintrodusir sistem bikameral dalam bentuk DPD.

2. Bahwa usaha tersebut di atas merupakan langkah yang bertentangan dengan prinsip dasar yang diatur dalam UUD Tahun 1945 sebagai negara unitaris yang hanya mengenal monokameral.

9 Lihat MPR-RI, Pernyataan Sikap Politik 207 Anggota MPR-RI Tanggal 7 November 2001, Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2001, hlm. 11-12.

(19)

8 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

3. Perombakan yang bertentangan dengan prinsip dasar demikian, secara mendasar merusak keseluruhan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan Negara. Sedangkan tugas MPR di dalam Sidang Tahunan adalah untuk menyempurnakan UUD Tahun 1945 dalam rangka memperkokoh NKRI sesuai dengan tuntutan reformasi, dan tidak untuk merombak UUD Tahun 1945 dan juga tidak untuk membentuk UUD Tahun 1945 baru.

Dilema mengenai lembaga DPD sejak semula sudah dapat diprediksi, paling tidak dari hasil amandemen atas konstitusi negara yang dinilai oleh banyak kalangan cenderung bersifat tambal sulam. Hal tersebut berangkat dari tidak konsistennya para politisi saat menata ulang sistem pemerintahan berikut sistem perwakilan Indonesia melalui Panitia Ad Hoc I MPR-RI.10

Politisi Indonesia berkeinginan membangun sistem pemerintahan yang kuat dan stabil melalui mekanisme checks and balances diantara cabang-cabang kekuasaan negara seperti Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. Namun pada faktanya para politisi menyampingkan munculnya sistem perwakilan dua kamar yang memungkinkan terwujudnya obsesi tersebut.11

Secara formal konstitusional, DPD mulai terbentuk sejak disahkannya Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 dalam Rapat Paripurna MPR RI Ke 7 Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November 2001. Namun secara faktual, kelahiran DPD adalah pada tanggal 1 Oktober 2004 ditandai dengan pelantikan dan pengambilan sumpah/ janji para anggota DPD hasil Pemilu tanggal 5 April 2004.

Sejak terbentuknya lembaga DPD hingga kini eksistensi maupun kedudukannya tetap menjadi perdebatan dalam berbagai forum. Baik dilingkungan akademisi maupun praktisi.

Kritik terhadap DPD yang sampai kini belum memberikan kontribusi secara nyata kepada daerah yang diwakilinya maupun terhadap daerah secara keseluruhan menjadikan secara yuridis politis bahwa kewenangan serta fungsi yang dimiliki DPD

10 Hartati, Eksistensi dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang Menurut UUD 1945, Bandung: Disertasi Program Doktor dalam Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung, 2008, hlm. 11.

11 Ibid., hlm. 12.

(20)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 9 terkesan dipasung. Oleh karena itu muncul wacana publik untuk menggagas agar lembaga ini dibubarkan saja.

DPD tidak dapat berbuat banyak dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan dari segi anggaran hanya menjadi beban negara. Karenanya, jika tidak memiliki fungsi konstitusional yang dapat dipertahankan maka sebaiknya DPD dihapuskan saja dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa, pem-bentukan DPD semula dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD, dengan harapan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.12

Perubahan susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, seolah mengarah pada pembentukan sistem dua kamar (bikameral), akan tetapi, dari susunan yang menyebutkan anggota MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan anggota DPD, tidak tergambar konsep dua kamar, karena dalam susunan dua kamar, bukan anggota yang menjadi unsur tetapi badan yaitu DPR dan DPD.13

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat Congress terdiri dari dua lembaga yaitu Senat dan House atau DPR. Congress ini aktif sepanjang mandat konstitusionalnya. Lembaga Congress atau Capitol Hill, mereflesikan aspek-aspek integral sebagai institusi pembuat UU dan sebagai tempat pertemuan/

berkumpulnya perwakilan daerah dan partai politik. Congress sebagai institusi pembuat UU, dimana proses rancangan UU (Bill) dibuat hingga menjadi produk hukum (Law). Congress sebagai badan kolegial melaksanakan amanat konstitusi dan memperdebatkan berbagai macam isu-isu legislatif. Lembaga Congress atau Capitol Hill merupakan arena kompetisi dua lembaga subordinasi seperti Senat dan House atau DPR. Karena berbagai permasalahan dibahas di Senat dan House dan terakhir dibawa di Floor Congress secara paripurna yang kemudian menjadi produk persetujuan Congress untuk disahkan Presiden.

12 Jimly Assiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 140.

13 Ni’matul Huda, Op.Cit., hlm. 160.

(21)

10 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Ini berarti bahwa ada mata-rantai interaksi yang tak terputus antara Senat, DPR dan Kongres.14

Walaupun telah terjadi perubahan anggota dalam lembaga MPR, yaitu adanya lembaga DPD sebagai pengganti utusan- utusan dari daerah dan golongan, namun keberadaannya belum menampakkan adanya perubahan kemajuan terhadap perkembangan per-juangan aspirasi daerah dalam membuat suatu kebijakan.

DPR dan DPD sebagai pemegang kekuasaan legislatif, memiliki kewenangan yang seimbang dalam proses legislasi.

Tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kekuasaan DPR masih sangat dominan, tidak saja pada kebijakan legislasi negara secara umum, tetapi juga pada kebijakan lainnya, misalnya hal- hal yang bersifat usulan dalam mengkaji kebutuhan masyarakat daerah pada usaha percepatan pembangunan di daerah yang sebenarnya lebih dikuasai dan dipahami DPD, juga masih didominasi oleh DPR.

Beberapa permasalahan otonomi daerah, dan masalah hubungan antara pusat dengan daerah yang sebenarnya memerlukan peran aktif DPD dalam mencari solusinya, akan tetapi pada prakteknya justru DPR yang mempunyai kewenangan lebih dalam pengambilan keputusannya tanpa mengikutsertakan DPD.

Sesuai dengan hal tersebut di atas dapat dilihat pada Pasal 22 D (amandemen ke-tiga) UUD Tahun 1945 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:

a. DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

b. DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan

14 Bambang Nuroso, Memfungsikan Lembaga MPR (Opini) Suara Karya Online, di akses Kamis, 18 Desember, 2008.

(22)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 11 pertimbangan kepada DPR atas RUU anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Pasal tersebut menegaskan bahwa, DPD mem-punyai fungsi dan tugas tidak lebih hanya sebatas mengusulkan, ikut membahas, serta memberikan pertimbangan saja, sementara hasil akhir dari usulan dan pembahasan serta pertimbangan yang diberikan itu terletak pada DPR.

Sejalan dengan hal tersebut Laode Ida mengemukakan bahwa sangat diperlukan diberikannya kewenangan yang lebih luas kepada DPD sehingga mempunyai kedudukan yang setara dengan DPR, dengan tujuan agar fungsi check and balances DPD sebagai lembaga negara berjalan dengan baik. Dan idealnya secara normatif DPD juga memiliki hak veto untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu UU, terutama yang berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat daerah. Untuk itu peran DPD sebagai penyeimbang idealnya dapat menjadi peran yang lebih ditonjolkan dalam usaha memperluas kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.15

Ginandjar Kartasasmita juga mengemukakan hal yang hampir sama, dimana harapan yang dibebankan kepada DPD tidak seimbang dengan kewenangan yang dimiliki lembaga itu, dan karenanya masalah kewenangan DPD perlu untuk dikaji ulang kembali.16

Menyikapi beberapa perdebatan mengenai kewenangan DPD dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia, Sri Soemantri menyatakan sebagai berikut:17

”DPD masih merupakan ornamen dalam UUD Tahun 1945.

Hal mana terjadi karena masih banyak di antara pemimpin bangsa yang lebih mementingkan simbol-simbol daripada

15 Disampaikan oleh Laode Ida pada Forum Diskusi Panel Calon Pimpinan DPD yang diselenggarakan oleh Indonesian Voter Initiative, Jakarta, 29 September 2005.

16 Disampaikan oleh Ginandjar Kartasasmita pada Acara Pembukaan Rapat Tim Kerja Materi Kelompok DPD di MPR, dalam rangka Penyusunan Buku Sosialisasi DPD, Jakarta, 1 Desember 2005.

17 Sri Soemantri, Mengawal Konstitusi Pengabdian Seorang Guru Besar (Biografi), ditulis oleh Purnama Kusumaningrat, dan Hikmat Kusumaningrat, Bandung: Unpad Press, 2006, hlm. 285.

(23)

12 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

substansi dalam menyelesaikan akar persoalan bangsa.

Adanya ambiguitas di antara pemimpin bangsa dan elit politik di Parlemen. Padahal tuntutan akan keberadaan DPD yang kuat merupakan keharusan sejarah setelah sekian lama kepentingan daerah terabaikan oleh kekuasaan yang sentralistik. Membiarkan posisi DPD lemah, cepat atau lambat dapat mengancam bingkai NKRI.

Kedudukan dan eksistensi DPD seperti sekatang ini merefleksikan sikap setengah hati dalam melaksanakan reformasi dan melakukan restrukturisasi lembaga per- wakilan”.

B. Konsep Perwakilan Dalam Sistem Ketatanegaraan

Arbi Sanit mengemukakan bahwa, perwakilan diartikan sebagai hubungan antara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakili, dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakili.18

Suatu pemerintahan yang didasarkan pada sistem perwakilan (revresentative government), rakyat tidak lagi secara langsung menyelenggarakan pemerintahan, melainkan melalui wakil-wakilnya yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

Lembaga perwakilan rakyat inilah kemudian memerintah bukan hanya atas nama rakyat, tetapi juga untuk kepentingan rakyat yang sesuai dengan kehendak rakyat.19

Abcarian dalam Riswandha Imawan yang dikutip oleh Abdy Yuhana mengemukakan bahwa, ada empat tipe hubungan yang bisa terjadi dalam hubungan antara wakil dengan yang diwakili, yaitu:

i. Wakil sebagai wakil; dalam tipe ini, wakil bertindak bebas menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya.

18 Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 1985, hlm. 1.

19 Bagir Manan dan Kuntana Magnar dalam Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Sistem Perwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR RI, Bandung: Fokus Media, 2007, hlm. 30.

(24)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 13 ii. Wakil sebagai utusan; dalam tipe ini, wakil bertindak sebagai utusan dari pihak yang diwakili, sesuai dengan mandat yang diberikannya.

iii. Wakil sebagai politico; dalam tipe ini, wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali, dan adakalanya bertindak sebagai utusan. Tindakan wakil akan mengikuti keperluan atau masalah yang dihadapi.

iv. Wakli sebagai partisan; dalam tipe ini, wakil bertindak sesuai dengan program partai atau organisasinya. Wakil akan lepas hubungannya dengan pemilih (pihak yang diwakili) begitu proses pemilihan selesai, wakil hanya terikat dengan partai atau oraganisasi yang mencalonkannya.20

Gagasan mengenai pemikiran pemisahan atas kekuasaan dalam negara pertama sekali dicetuskan oleh Montesquieu melalui Trias Politica yang terdiri dari kekuasaan Pemerintah (eksekutif), kekuasaan Parlemen (legislatif), dan kekuasaan Peradilan (Judikatif). Salah satu kekuasaan yang terdapat dalam Trias Politica Montesquieu yaitu kekuasaan Parlemen (legislatif) menjadi titik awal pelembagaan kedaulatan rakyat untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam negara modern saat ini.

Ide mengenai kekusaan negara berada pada kedaulatan rakyat dan pelaksanaannya diselenggarakan oleh Pemerintah pertama kali dikemukakan oleh Epicurus dan dikembangkan oleh Marsilius yang menyatakan bahwa proses terciptanya Pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat bermula ketika terjadi penyerahan tugas (pactum Subjectiones) dalam bentuk penyerahan satu pekerjaan melalui cara konsesi (concession).21

Kekuasaan negara yang tertinggi berada pada rakyat, hal ini dikarenakan negara merupakan satu kesatuan yang terdiri dari orang-orang yang bebas, dan merdeka. Oleh karena itu diperlukan perimbangan antara kekuasaan rakyat dengan kekuasaan raja pada saat itu.22

Untuk menjalankan kepentingan rakyat yang luas dan banyak sudah tentu memerlukan suatu pengaturan yang lebih

20 Abdy Yuhana, Op.Cit., hlm. 56.

21 Paimin Napitupulu, Op.Cit., hlm. 5.

22 Ibid., hlm. 6.

(25)

14 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

baik agar kepentingan-kepentingan dari masing-masing anggota masyarakat dalam suatu negara tidak saling berbenturan, oleh karena itu diperlukanlah suatu lembaga yang kelak akan menjadi representasi dari keterwakilan setiap masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Proses dan tatacara keterwakilan rakyat dalam negara modern saat ini dilakukan melalui wadah pemilihan umum (selanjutnya disebut Pemilu). Dengan melalui wadah pemilu memberikan suatu kesempatan yang sama bagi setiap anggota masyarakat dalam suatu negara untuk menjadi wakil rakyat yang akan duduk dalam pemerintahan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan suatu kekuatan dari keberagaman masyarakat (pluralitas) yang terdapat dalam suatu negara.

Fokus kajian mengenai perwakilan rakyat menitikberatkan adanya suatu lembaga yang berdiri sendiri dalam menghimpun para wakil rakyat untuk mewakili segala kepentingannya dalam pengelolaan penguasaan negara. Oleh karena itu Pitkin A.

Sorokin sebagaimana pernah dikemukan kembali oleh Arbi Sanit menyatakan bahwa perwakilan dimaknai sebagai suatu proses hubungan manusia antar manusia dimana kehadiran secara fisik seseorang tidak tampak secara nyata, tetapi tanggap untuk melakukan sesuatu dikarenakan perbuatannya tersebut telah dikerjakan oleh orang lain yang mewakilnya.23

Berdasarkan teori Perwakilan Rakyat yang dikemukakan oleh Pitkin A. Sorokin menjelaskan bahwa, Perwakilan kepentingan dari rakyat terdiri atas perwakilan kepentingan, perwakilan opini, dan perwakilan kelompok, sehingga terdapat suatu pola hubungan yang bersifat terus-menerus antara wakil dan yang di wakili, dan kemudian menciptakan suatu bangunan hubungan yang kokoh diantara keduanya.24

23 Arbi Sanit, Op.Cit., hlm. 2.

24 Pitkin A. Sorokin, dalam Arbi Sanit, Partai, Pemilu, dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 76.

(26)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 15

BAB II

DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

A. Sejarah Lembaga Perwakilan Daerah

Lembaga perwakilan yang sekarang ini dikenal dalam sistem ketatanegaraan di seluruh dunia, termasuk di Negara Indonesia, berkaitan erat dengan teori Trias Politica. Dan untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke. John Locke berpendapat bahwa dalam suatu negara kekuasaan harus dipisahkan pada tiga cabang kekuasaan yaitu:25

1. Kekuasaan legislatif, yang mempunyai fungsi untuk membentuk segala peraturan perundang-undangan, sekaligus untuk melaksanakan pengawasan/kontrol dari pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

2. Kekuasaan eksekutif, yang mempunyai fungsi untuk melaksanakan segala peraturan perundang-undangan yang ada dan telah dibuat oleh legislatif serta memiliki fungsi yudikatif.

3. Kekuasaan federatif, yang mempunyai fungsi untuk menjalankan kekuasaan dalam hubungan luar negeri.

Kemudian ajaran Trias Politica tersebut, di dalam perjalanannya mengalami perubahan dan pemantapan sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu. Montesquieu menyatakan bahwa konsep Trias Politica harus mengadakan pemisahan secara ketat dan tegas diantara cabang kekuasaan yaitu; kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Montesquieu mengatakan bahwa terhadap kekuasaan federatif tidak diperlukan pemisahan sebagaimana yang dikemukakan oleh John Locke, karena kekuasaan federatif tersebut telah inklud kedalam bagian kekuasaan eksekutif.

25 Megawati dan Ali Murtopo, Parlemen Bikameral Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Sebuah Evaluasi, Yogyakarta: UAD Press, 2006, hlm. 7.

(27)

16 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Adanya teori Trias Politica sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu menjadi awal ide tentang konsep pemisahan kekuasaan lembaga-lembaga negara diseluruh belahan dunia.

Dan diantara lembaga negara menurut paham Trias Politica senantiasa saling mengawasi dan melakukan kontrol sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh suatu lembaga negara dapat dihindarkan.

Lembaga legislatif menurut pengertian Trias Politica, dalam pelaksanaannya mengharuskan adanya sebuah mekanisme lembaga perwakilan untuk menjalankan fungsinya dalam pemerintahan. Melakukan pembahasan tentang lembaga perwakilan berkaitan erat dengan demokrasi, karena adanya lembaga perwakilan merupakan unsur terpenting dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi.

Konsep demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan pada awalnya berasal dari para ahli filsuf Yunani. Akan tetapi pemakaian konsep demokrasi pada jaman modern dimulai sejak terjadinya pergolakan revolusioner dalam masyarakat Barat pada akhir abad ke delapan belas.26

Demokrasi sebagai suatu sistem dapat dipahami dari dua dimensi yaitu: dimensi normatif dan dimensi empirik. Demokrasi dalam dimensi normatif adalah menjelaskan hal-hal yang idiil menyangkut kedaulatan sesungguhnya berada ditangan rakyat.

Kedaulatan rakyat diwujudkan melalui Pemilu yang bebas dan persaingan yang sehat antar partai politik, dan antar calon legislatif, dimana dalam praktek kedaulatan rakyat memberikan peluang yang sama bagi seluruh warga negara untuk menduduki dan mendapatkan jabatan politik. Kedaulatan rakyat juga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada rakyat untuk berbicara, memberikan penilaian atas apa yang telah dan hendak dilakukan Pemerintah, serta memberikan hak kepada seluruh rakyat untuk dapat menikmati hak-hak dasar mereka sebagai manusia dan sebagai warga negara. Sedangkan demokrasi dalam dimensi empirik adalah menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan politik kenegaraan,

26 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti, 1995, hlm. 4.

(28)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 17 bagaimana bentuk idiil normatif dapat diwujudkan dalam kehidupan politik dari suatu negara.27

Pada saat ini, perwujudan tipe-tipe atau sistem demokrasi yang dianut oleh banyak negara di dunia mendapat pengaruh dari ideologi-ideologi yang berkembang dalam masyarakat, atau paling tidak terjadi eleborasi diri terhadap situasi dan kondisi tempat ideologi itu hidup dan berkembang dan kemudian berubah menjadi ideologi negara (political ideology).28

Paham demokrasi dalam sistem politik merupakan konsekuensi logis dari adanya pengakuan konstitusi atas hak- hak dasar rakyat dalam kehidupan kenegaraan. Adanya demokratisasi dalam sistem ketatanegaraan ditandai dengan adanya jaminan bahwa rakyat ikut serta dalam segala aktivitas politik kenegaraan. Sebagaimana pernah dinyatakan oleh Lyman Tower Sarjen bahwa setiap sistem demokrasi harus melibatkan rakyatnya dalam proses pengambilan keputusan politik, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil pilihan mereka di lembaga perwakilan.29

Pentingnya perwakilan dalam melaksanakan hak-hak terwakili dalam setiap proses pengambilan keputusan politik tergambar dalam arti perwakilan sebegai berikut; perwakilan adalah konsep duduknya seseorang atau suatu sekelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar.30

Dalam khasanah Ilmu politik ada dua sistem perwakilan yang berbeda, yaitu sistem perwakilan kepentingan, dan sistem perwakilan rakyat. Ramlan Surbakti menerangkan tentang kedua sistem perwakilan tersebut, yaitu:31

Sistem perwakilan kepentingan didasarkan atas kemajemukan kepentingan yang bersifat deskriptif baik secara vertikal maupun horizontal, dan merujuk kepada:

27 Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. viii.

28 Megawati, dan Ali Murtopo, Op.Cit., hlm. 8.

29 Lyman Tower Sarjen dalam Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 1.

30 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1997, hlm. 175.

31 Ramlan Surbakti dalam Megawati, dan Ali Murtopo, Op.Cit., hlm. 9.

(29)

18 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

1. Pengorganisasian berbagai macam kepentingan dalam masyarakat yang bersifat deskriptif misalnya melalui kepentingan buruh, nelayan, petani, kelompok profesi, dunia usaha, kedaerahan, gender, dan agama.

2. Pola hubungan kepentingan dengan Pemerintah dan lembaga legislatif, dimana keberadaan sistem perwakilan rakyat berdasarkan kepada kedaulatan rakyat.

Sistem perwakilan rakyat didasarkan atas kepentingan seluruh rakyat baik secara deskriptif maupun geografik, dan merujuk kepada:

1. Representasi geografik, representasi penduduk, dan representasi deskriptif melalui gagasan pemikiran-pemikiran ataupun dengan hadirnya lembaga perwakilan.

2. Adanya kewenangan legislasi, anggaran, dan pengawasan.

3. Hubungan anggota lembaga perwakilan dengan konstituen pada khusunya, dan masyarakat pada umumnya.

Suatu perwakilan dalam mekanisme perwujudannya secara ilmu ketatanegaraan dapat diwujudkan melalui dua cara yaitu: perwakilan dengan cara langsung (direct democracy), dan perwakilan tidak langsung (indirect democracy), dengan masing- masing bentuk perwakilan tersebut mempunyai kekurangan maupun kelebihan.

Indonesia sebagai suatu negara yang mempunyai letak geografis beragam serta luas wilayah yang besar, dengan jumlah penduduk yang relatif banyak dan karakteristik masyarakat bersifat heterogen, menjadikan perwujudan perwakilan dilaksanakan melalui perwakilan tidak langsung (indirect democracy). Konsekuensi logis dari perwakilan tidak langsung (indirect democracy) adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat diwujudkan melalui mekanisme lembaga perwakilan.

Lembaga perwakilan atau lebih dikenal dengan parlemen, pada dasarnya mempunyai dua sistem yaitu; sistem satu kamar (one cameral system), adalah lembaga perwakilan yang menganut satu lembaga perwakilan. Contoh Indonesia dengan DPR nya.

Kedua adalah istem dua kamar (bicameral system), adalah lembaga perwakilan yang menganut dua lembaga perwakilan.

Contoh negara federasi seperti Amerika Serikat. Dalam negara federasi, negara bagian terwakili dalam parlemen dengan adanya senat. Sementara satu kamar yang lainnya yang sering disebut

(30)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 19 dengan house of representative, merupakan perwakilan rakyat secara keseluruhan, dan apabila kedua kamar tersebut bertemu maka disebut congres.32

B. Lembaga Perwakilan Daerah di Indonesia 1. Konstitusi RIS Tahun 1949

Secara historis perjalanan lembaga DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak terlepas dari masa pendudukan Hindia Belanda. Pada masa Hindia Belanda, Indonesia telah memiliki lembaga perwakilan yang bernama Dewan Rakyat (volksraad), yang mulai berlaku pada tahun 1918 dan berakhir pada masa penyerahan Indonesia pada pemerintahan Jepang tahun 1942. Lembaga Perwakilan ini pembentukannya diawali dengan pembentukan Dewan Kabupaten dan Haminte Kota, dimana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih wali pemilih yang disebut Keesman. Wali pemilih mempunyai hak untuk memilih sebagian Dewan Kabupaten dan Haminte Kota.

Sedangkan sebagian lagi diangkat oleh Gubernur atas usulan Bupati. Dewan seperti ini juga dibentuk pada tingkat Provinsi dengan sebutan Propincial Erat, Regent Sraad, atau Geement Sraad, dimana keanggotannya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte diwilayah Provinsi yang bersangkutan.33

Pada dasarnya lembaga perwakilan (volksraad) bukan termasuk lembaga perwakilan rakyat, namun demikian dapat dikatakan bahwa volksraad merupakan cikal bakal dari lembaga perwakilan rakyat di negara Indonesia seperti dikenal saat ini.

Pertama kali volksraad dilantik pada tanggal 18 Mei tahun 1918 yang pada mulanya hanya sebagai badan penasihat tetapi mempunyai kewenangan untuk turut campur dalam masalah anggaran belanja. Volksraad mempunyai beberapa hak antara lain: hak petisi dan amandemen. Pada masa itu para Gubernur Jenderal serta direktur-direktur departemen tidak bertanggung jawab kepada Volksraad, dan Volksraad bubar bersamaan

32 Dahlan Thaib, Menuju Parlemen Bikameral: Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945, (Pidato Pengukuhan Guru Besar pada FH), Yogyakarta: UII, 2002, hlm. 9.

33 Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1997, hlm. 145.

(31)

20 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

dengan penyerahan kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda kepada Jepang.34

Pada masa pemerintahan Jepang tradisi sistem pemerintahan mengenai lembaga perwakilan tetap dilanjutkan dengan nama Chuoos Sangiin pada sekitar tahun 1942-1945.

Chuoos Sangiin beranggotakan dari para kalangan terkemuka di Indonesia dan sebagian dari kalangan militer Jepang, dengan tugas utama sebagai Dewan Penasihat Pemerintah Militer Jepang. Pada prakteknya dewan ini juga tidak mempunyai kekuatan untuk mengimbangi kekuasaan militer Jepang di Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, maka berdasarkan sejarah ketatanegaraan di Indonesia pernah berlaku sistem ketatanegaraan menurut konstitusi RIS Tahun 1949, sistem ketatanegaraan menurut UUDS Tahun 1950, sistem ketatanegaraan menurut UUD Tahun 1945 sebelum perubahan/amandemen, serta sistem ketatanegaraan menurut UUD Tahun 1945 setelah perubahan/ amandemen pertama sampai keempat.

Pada sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD Tahun 1945 setelah perubahan/amandemen, dimana lembaga DPD terwujud melalui perubahan ketiga UUD Tahun 1945.

Namun juga diuraikan sekilas mengenai sejarah lembaga perwakilan daerah menurut konstitusi RIS Tahun 1949, dan menurut UUD Tahun 1945 sebelum dilakukan perubahan, untuk mengetahui sejarah lembaga perwakilan daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Istilah atau terminologi sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem dan ketatanegaraan. Sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi dan sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat yang lebih kecil. Pendekatan terhadap sistem tidak memusatkan pada balok-balok bangunan dasar atau zat-zat dasar, melainkan pada prinsip-prinsip organisasi dasar.35

Apabila pengertian sistem dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan, maka sistem ketatanegaraan diartikan sebagai susunan ketatanegaraan, yaitu segala sesuatu yang berkenaan

34 Megawati, dan Ali Murtopo, Op.Cit., hlm. 45.

35 Rusadi Kantaprawira, dalam Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Sistem Paerwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR-RI, Bandung: Fokus Media, 2007, hlm. 67.

(32)

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 21 dengan organisasi negara, baik yang menyangkut tentang susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara, maupun yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya masing-masing maupun satu dengan lainnya.36 Sedangkan sistem ketatanegaraan menurut UUD Tahun 1945 adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan susunan organisasi Negara Republik Indonesia, baik yang berhubungan dengan susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara, tugas dan wewenang, ataupun hubungannya satu sama lain menurut kepribadian khas Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945.

Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November tahun 1949 di Den Haag Belanda, Republik Indonesia dan perwakilan negara-negara bentukan Belanda membawa implikasi yang besar pada perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan berdasarkan hasil KMB tersebut adalah berubahnya bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Republik Indonesia Serikat dan UUD yang diberlakukan adalah konstitusi RIS Tahun 1949.

Pasal 1 ayat (1) konstitusi RIS Tahun 1949 menyatakan bahwa RIS yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.37 Dan sesuai dengan Pasal 1 ayat (2), maka kedaulatan RIS dilaksanakan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat yang merupakan parlemen RIS.

Dalam Negara Federal yang secara resmi bernama Republik Indonesia Serikat tersebut, maka wilayah Negara dibagi dalam tiga bentuk daerah yaitu: Pertama, Negara-negara Bagian RI Yogyakarta, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Sumatera Selatan. Dua, Satuan kenegaraan yang tegak sendiri yaitu Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. Tiga, Daerah-daerah lain yang bukan termasuk daerah bagian.38

DPR RIS mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri dari 150 anggota yaitu; 50 orang dari daerah bagian Republik

36 Ibid.

37 Lihat Konstitusi RIS Tahun 1949.

38 Lihat Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH. UII Press, 2004, hlm. 10.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan berwirausaha akan diperoleh beberapa keuntungan yang dapat diperoleh wirausahawan antara lain adalah dapat memilih bidang usaha sesuai dengan minat, bakat dan

Menimbang, bahwa Penggugat pada pokoknya mendalilkan sejak bulan Desember 1982 antara Penggugat dengan Tergugat sering berselisih dan bertengkar yang penyebabnya karena

Sedangkan tunas, meskipun aktivitas enzim lipasenya paling tinggi, tetapi karena jumlah ekstrak enzim pada tunas sangat sedikit sehingga total aktivitas enzim lipase untuk

Pd., selaku Ketua Departemen Pendidikan Bahasa Perancis FPBS UPI atas dukungan serta bantuan selama masa perkuliahan hingga peneliti menyelesaikan skripsi ini dan

Realisasi pencapaian sasaran Meningkatnya Akuntabilitas Kinerja dan Pelayanan Publik yang Prima sebagaimana telah direncanakan dalam Renstra Dinas Bina Marga dan Pengairan

penelitian berjudul “Efektivitas Pembelajaran Dengan Metode Gallery Walk Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa pada Materi Sistem Imun” dengan harapan dapat

Sedangkan Gerlach dan Ely dalam buku Azhar Arsyad mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun

Bagaimana persiapan guru dalam pengembangan kecerdasan spiritual pada anak usia dini di RA AL- Wathoniyah Jabon Kalidawir Tulungagung .... Bagaimana penyampaian guru