• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IX KESEJAHTERAAN PEMULUNG

10.1. Eksistensi Pemulung

Sebagian besar masyarakat menganggap sampah sebagai sesuatu yang tidak lagi berguna. Namun bagi sebagian yang lain menganggapnya sebagai lahan usaha. Bagi pemulung, sampah adalah sumber nafkah yang utama. Mereka hidup dari sampah. Bahkan bisa dikatakan mereka hidup dengan sampah, karena dalam kesehariannya mereka berkecimpung dengan sampah. Mulai dari pagi hari ketika mereka bekerja, memulung sampah, kemudian pulang pun mereka masih harus mensortir sampah sesuai dengan jenisnya masing-masing. Ketika mereka beristirahat dalam bedengnya, mereka pun tetap berada di lingkungan yang penuh dengan sampah. Bau-bauan yang timbul dari sampah sudah tidak mereka hiraukan lagi. Karena mereka memang sudah tidak ada pilihan lain. Keterbatasan pendidikan, keterampilan, dan modal membuat mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan karirnya. Belum lagi anggapan-anggapan “miring” seputar kehidupan mereka.

Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, pemulung sering dipandang negatif oleh masyarakat hanya karena penampilan mereka yang kumal dan yang lebih utama adalah karena hasil penggeneralisasian masyarakat awam terhadap beberapa oknum pemulung yang suka mencuri. Oknum ini bukan saja mencoreng nama Lapaknya tetapi juga seluruh pemulung yang berada di suatu wilayah tertentu. Mengenai lingkungan bedeng, sebagian pemulung memiliki bedeng yang bersih dan tertata rapi, walaupun bedeng mereka hanya dibatasi oleh seng, triplek, dan kardus. Namun di lapangan ditemukan juga beberapa bedeng pemulung terlihat kotor dan kurang terawat. Biasanya bedeng yang tidak terawat adalah bedeng yang ditempati oleh

mereka yang belum berkeluarga atau sudah berkeluarga namun keluarga mereka berada di desa, sedangkan bedeng yang rapi biasanya didiami oleh mereka yang berkeluarga lengkap.

Beberapa diantara mereka yang sudah menikah tetapi tidak membawa anggota keluarganya ke Desa Kedaung memiliki beberapa alasan, diantaranya karena tidak adanya biaya, biaya hidup di kota lebih mahal daripada di desa, dan beberapa diantara pemulung ada yang ingin menyembunyikan profesinya sebagai pemulung karena khawatir dipermalukan oleh keluarga.

Fenomena mengenai pemulung ini semakin marak terjadi belakangan ini. Bahkan setelah Idul Fitri ini, banyak pemulung yang baru berdatangan, terutama dari Jawa Tengah (Purwokerto, dan lain-lain). Berdasarkan hasil penelitian, pemulung di Desa Kedaung banyak yang berasal dari Randusari 2 karena Randusari adalah daerah asal lapak Ka (lapak yang memiliki anak buah terbanyak). Desa Randusari 2 adalah salah satu desa yang terdapat dalam Kabupaten Brebes. Brebes adalah daerah yang penghasilan utamanya diperoleh dari sektor pertanian. Sebagian besar bertanam padi. Namun mulai banyak diantara warga masyarakat Brebes yang menjual sawahnya sehingga banyak diantara mereka bekerja sebagai buruh tani sebelum bekerja sebagai pemulung. Penghasilan buruh tani tergantung dari adanya masa tanam, pemeliharaan, dan panen. Sawah di daerah Brebes merupakan sawah tadah hujan yang sumber airnya sangat tergantung dari alam (bukan irigasi). Salah satu tanaman yang banyak ditanam disana selain padi adalah bawang merah. Produksi bawang merah dari Brebes sangat besar. Namun sayangnya pemilik dari pertanian bawang merah adalah orang di luar brebes (orang cina), sehingga masyarakat tidak bisa mendapatkan keuntungan yang maksimum dari hasil panen bawang merah. Jarang penduduk lokal yang mempunyai lahan bawang, karena modalnya harus besar. Menurut salah seorang informan, modal

untuk membuka lahan bawang merah untuk luas yang sama dengan pertanian padi membutuhkan biaya lebih dari empat kali lipat biaya bertanam padi. Oleh karena itu, jarang ada warga pribumi yang mampu. Namun, bagaimanapun usaha ini turut membawa sisi positif. Masyarakat desa mempunyai pekerjaan tambahan, karena masyarakat tidak dapat mengharapkan penghasilan yang didapat dari pertanian beras. Namun penghasilan yang didapat dari bawang ini sebenarnya masih belum begitu mencukupi.

Keadaan yang terjadi pada kondisi masyarakat pertanian di Brebes ini juga terjadi di banyak daerah di Indonesia. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya implikasi dari konsep pertumbuhan yang digunakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, konsep pertumbuhan di Indonesia memang sempat menunjukkan tanda-tanda positif, terlihat dari taraf hidup masyarakat pada tahun yang meningkat (Wie, 1981). Namun, perubahan tersebut belakangan ini menunjukkan adanya ketimpangan. Jurang kemiskinan antara mereka yang bergolongan kaya dengan mereka yang bergolongan miskin semakin lebar. Hal ini terjadi tak lain karena perkembangan ekonomi tidak mencapai seluruh pelosok pedesaan. Bahkan yang terjadi adalah adanya ekspolitasi aset-aset perdesaan oleh pusat. Kota mengalami perkembangan yang pesat sedangkan desa mengalami ketertinggalan. Sektor pertanian yang menjadi basis ekonomi masyarakat perdesaan pun tidak berkembang, bahkan menunjukkan penurunan (Rustiadi, 2004). Ciri pertumbuhan yang terjadi ini tampaknya mendekati tipologi pembangunan pengayaan (enrichment) sektor modern yang dikemukakan oleh Fields (2001) dalam Todaro dan Smith (2003). Pertumbuhan memang terjadi. Akan tetapi hanya segelintir orang yang berkecimpung di sektor modern yang dapat menikmati hasil dari pertumbuhan, sedangkan jumlah pekerja dan tingkat upah pekerja di sektor tradisional tetap.

Brebes sebagai salah satu daerah yang mata pencaharian masyarakat pokoknya bercocok tanam, pertanian padinya belum berkembang secara maksimal karena pengairan sawahnya masih mengandalkan air hujan. Bila menggunakan irigasi, maka kemungkinan hasil panen padinya akan lebih besar. Namun sayangnya, pemanfaatan teknologi irigasi ini belum dioptimalkan. Padahal salah satu komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi, selain akumulasi modal dan pertumbuhan penduduk adalah kemajuan teknologi (Todaro dan Smith, 2003), sedangkan tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak desa di Indonesia yang masih mengandalkan panen hanya dengan bantuan alam. Padahal, bila orientasi produksi dipersiapkan untuk pasar secara luas, maka aspek teknologi yang tepat guna sudah selayaknya diperhitungkan.

Selanjutnya, oleh karena pertanian sudah dirasa tidak lagi menguntungkan bagi masyarakatnya, maka sebagian penduduk memutuskan untuk beralih profesi dan kemudian pindah ke kota. Pada umumnya mereka pindah karena melihat temannya yang sudah bekerja di kota menjadi sukses. Selain itu, memang kota memiliki daya tarik tersendiri sehingga membuat orang ingin mengunjunginya. Tetapi ketika mereka sampai di kota, mereka menyadari bahwa kerja di kota membutuhkan syarat tingkat pendidikan tertentu, keterampilan ataupun modal. Karena keterbatasan tersebut, maka satu-satunya pekerjaan yang memungkinkan adalah menjadi pemulung. Jumlah pemulung mulai meningkat tatkala warga daerah asal melihat kesuksesan yang dibawa oleh pemulung atau lapak dari kota dimana pemulung/lapak tersebut bekerja dan jumlah pemulung ini akan semakin bertambah setelah masa penanaman padi/bawang hingga masa menjelang panen di daerah asal, karena banyak pula diantara pemulung yang sebenarnya berprofesi sebagai buruh tani. Petani memanfaatkan waktu kosong menunggu masa panen dengan menjadi pemulung. Modal untuk transportasi didapat dengan mengutang kepada tetangganya ataupun lapaknya. Usaha seperti ini banyak berkembang di wilayah kota

atau pinggiran kota karena masyarakat inilah yang banyak menggunakan sampah-sampah yang dibutuhkan oleh industri daur ulang.

Pekerjaan pemulung sebenarnya turut membantu pemerintah dalam mengurangi tumpukan sampah di tempat-tempat pembuangan akhir. Bila tidak ada pemulung dan jaringan industri daur ulang, maka jumlah sampah di tempat pembuangan akhir akan semakin menggunung. Keberadaan pemulung ini membantu tugas dinas kebersihan setempat. Namun sayangnya, belum ada kebijakan pemerintah secara nyata yang langsung menangani fenomena pemulung yang semakin berkembang ini. Di Jakarta dulu memang ada pasukan kuning (pasukan pemulung yang diberi seragam dinas kebersihan), namun kini gaungnya tidak terdengar lagi. Selain itu program-program pemerintah yang diterapkan kepada pemulung, dimana lingkungan pemulung dianggap termasuk salah satu pemukiman kumuh, tak lepas dari Perda No. 11/1988 tentang keindahan, keamanan, kenyamanan, kebersihan, kebersihan, dan menciptakan ibukota yang tertib, aman, nyaman, bersih dan indah, dilarangnya membuat bangunan pada daerah hijau, trotoar atau daerah bantaran kali oleh Pemkot DKI dan Perda No. 1/1996 tentang kependudukan, yang pada intinya kedua Perda tersebut dimanfaatkan hanya untuk menindas masyarakat miskin dan melindungi pihak-pihak tertentu. Para aparat tahu bahwa banyak orang yang tinggal di pemukiman kumuh tidak mempunyai KTP setempat. Oleh karena itu, para aparat memanfaatkan hal ini untuk memeras mereka (Forum Keprihatinan, 2003) Namun kondisi ini terjadi pada wilayah DKI Jakarta. Di Kota Yogyakarta, pemulung seringkali diperlakukan sama seperti mereka yang berada di DKI Jakarta (Twikromo, 1999). Tetapi keadaan pemulung di Desa Kedaung masih lebih baik, karena keberadaan pemulung selama ini tidak pernah dipermasalahkan oleh pemerintah Desa Kedaung.

Terkait dengan program daur ulang, di Indonesia program ini telah dilaksanakan sejak tahun 1986. Program daur ulangnya baru mencapai 1,8 persen. Kondisi ini belum cukup untuk mengurangi laju pertumbuhan jumlah sampah yang diperkirakan akan menjadi lima kali lipat pada tahun 2020. Oleh karena itu penerapan teknologi pengolahan sampah perlu segera dimulai agar kerusakan lingkungan dapat diminimalisir semenjak dini. Selama ini teknologi pengolahan limbah sampah yang ada banyak yang belum mampu dan belum efisien dalam mengatasi jumlah sampah yang terus meningkat jumlahnya. Biasanya TPA menggunakan sistem open dumping (sampah ditumpuk bergunung-gunung). Sistem penanganan sampah seperti ini, dimana sampah yang menumpuk belum mengalami pemilahan, hal ini yang menjadi peluang bagi pemulung untuk mendapatkan penghasilan. Oleh karena itu, model sistem penanganan sampah yang baru sebaiknya memberikan ‘win-win solution’ baik bagi masyarakat, pemerintah, maupun pemulung. Dalam merencanakan sistem penanganan sampah yang baru, pemerintah sebaiknya juga memperhatikan kesejahteraan pihak-pihak yang hidup dari memanfaatkan sampah. Dengan demikian, sampah tetap memberikan kesempatan bekerja sekaligus penghasilan bagi pemanfaatnya. Selama ini terdapat banyak sistem penanganan sampah yang ditawarkan. Bapedal Jawa Timur menawakan suatu sistem penerapan Sanitary Landfill dalam pengelolaan sampah. Sanitary Landfill adalah:

’sistem pengelolaan sampah yang mengembangkan lahan cekungan dengan syarat tertentu, antara lain jenis dan porositas tanah. Dasar cekungan pada sistem ini dilapisi geotekstil. Lapisan yang menyerupai plastik ini menahan peresapan lindi ke tanah. Di atas lapisan ini, dibuat jaringan pipa yang akan mengalirkan lindi ke kolam penampungan. Lindi yang telah melalui instalasi pengolahan baru dapat dibuang ke sungai. Sistem ini juga mensyaratkan sampah diuruk dengan tanah setebal 15 cm tipa kali timbunan mencapai ketinggian 2 meter.’

Sistem Sanitary Landfill ini masih harus didukung oleh incenerator atau instalansi pembakaan sampah yang terkontrol minimal 1000o C. Dalam pelaksanaannya, sampah

tetap harus dipisahkan antara bahan organik dengan anorganik, selanjutnya antara bahan yang mudah tergradasi dengan yang sulit. Oleh karena itu, peranan segala lapisan masyarakat sangat dibutuhkan demi berjalannya sistem ini dengan baik. Proses pembuangan sampah dapat dimulai dari rumah. Setiap rumahtangga hendaknya mensortir barang yang organik dan anorganik. Bahan yang organik pun dapat dimanfaatkan oleh rumahtangga sebagai kompos ataupun biogas. Pandangan masyarakat terhadap sampah pun perlu berubah dari “sampah-sampah” menjadi “sampah-sumberdaya”. Hal ini telah dilakukan oleh pemulung dalam jaringan daur ulangnya (Bapedal-Jatim). Yang tak kalah pentingnya adalah turut mengintegrasikan pemulung dan lapak pada program ini. Sebagai ujung tombak dari usaha daur ulang, pemulung memiliki peranan yang penting untuk memisahkan sampah antara sampah organis dan anorganik, sebagai bagian terpenting dari pengolahan sampah.

Fenomena pemulung ini tampaknya akan terus berkembang. Industri daur ulang akan semakin mengembangkan sayapnya mengingat perkembangan masyarakat yang semakin modern, yaitu masyarakat yang memanfaatkan produk-produk hasil teknologi modern yang mana banyak menggunakan barang-barang yang sulit di daur ulang ditambah dengan jumlah penduduk yang semakin lama diperkirakan akan semakin meningkat. Selama masyarakat luas mengkonsumsi barang-barang yang dibutuhkan oleh industri daur ulang, seperti gelas, botol atau galon air mineral, kardus, kertas, gelas dan sebagainya, dan selama kesadaran masyarakat untuk memilah sampah pada taraf rumahtangga masih rendah, maka selama itulah akan ada sekumpulan orang yang mencari nafkah dengan memunguti sampah-sampah tersebut untuk ditukar dengan uang. Namun usaha ini bukanlah tak ada kendala, para tukang jual beli barang bekas yang sering mengitari kompleks adalah saingan utama bagi para pemulung sedangkan masalah sampah impor adalah kendala bagi lapak dan kendala ini memberikan dampak

secara langsung kepada besar penghasilan pemulung, karena hadirnya sampah-sampah impor yang biasanya lebih bersih kondisinya memiliki harga jual yang lebih mahal daripada harga sampah dalam negeri. Tidak sedikit pula lapak-lapak yang tutup karena hal ini. Oleh karena itu, masalah ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah khususnya pemerintah pusat untuk segera merumuskan kebijakan impor khususnya impor sampah agar dapat menyelamatkan sektor usaha kecil dalam jaringan daur ulang.

Dokumen terkait