• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA, HUBUNGAN SOSIAL, DAN KESEJAHTERAAN PEMULUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA, HUBUNGAN SOSIAL, DAN KESEJAHTERAAN PEMULUNG"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

(Kasus Pemukiman Pemulung di Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten)

Oleh: Aisyah Ameriani

A 14201032

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

(2)

RINGKASAN

AISYAH AMERIANI. ANALISIS KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA, HUBUNGAN SOSIAL, DAN KESEJAHTERAAN PEMULUNG. Kasus: Pemukiman Pemulung di Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. (Dibawah bimbingan SAID RUSLI)

Penelitian ini mengangkat fenomena pemulung, khususnya pemulung yang berada di Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pemulung, karakteristik kerja pemulung, hubungan sosial pemulung, hubungan diantara karakteristik pemulung, karakteristik kerja, dan hubungan sosial serta kesejahteraan pemulung.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei dengan kombinasi pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari responden dan informan. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara, dan pengamatan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumentasi Desa Kedaung. Responden dalam penelitian ini terdiri dari individu dan keluarga pemulung. Individu pemulung diambil secara acak sederhana

sebanyak 25 orang, sedangkan keluarga pemulung dicacah secara lengkap (23 keluarga). Informan diambil dari perwakilan pemulung, lapak, masyarakat, dan

pihak Desa Kedaung. Teknik analisis data kuantitatif menggunakan analisis tabulasi, sedangkan untuk data kualitatif disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan. Semua data diintepretasi sesuai dengan kepentingan untuk mencapai tujuan penelitian.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapat karakteristik-karakteristik tertentu yang mencirikan profesi pemulung. Profesi pemulung lebih banyak dilakoni oleh laki-laki yang berada pada usia angkatan kerja. Pada umumnya, pemulung berasal dari Jawa Tengah (Brebes). Mayoritas beragama Islam. Pendidikan pemulung termasuk

(3)

rendah. Keterbatasan pendidikan merupakan salah satu faktor alasan menjadi pemulung. Alasan lainnya adalah tidak ada modal dan bekal keterampilan serta tidak menemukan alternatif pekerjaan lain. Latar belakang pekerjaan sebelumnya adalah pada sektor informal. Diantara responden banyak yang tidak memiliki atau mengenal KTP musiman.

Dalam hal karakteristik kerja, pemulung rata-rata telah menjalani profesi ini selama 3,65 tahun, tinggal di lapak terakhir rata-rata selama 1 tahun, bermotivasi rendah, bekerja rata 26 hari (160 jam) dalam sebulan, jarak tempuh memulung rata-rata 5 kilometer per hari, barang-barang yang dipulung beragam dengan berat rata-rata-rata-rata 21,4 kilogram per hari, peralatan yang digunakan sederhana (ganco, karung, gerobak, peraturan antara sesama pemulung atau lapak berupa kesepahaman, frekuensi pulang ke daerah asal rata-rata satu atau dua kali per tahun dengan uang yang dikirimkan rata-rata Rp183.000,00 per tahun. Mengenai hubungan sosial pemulung, pada umumnya pemulung mampu berinteraksi dengan baik antara sesama pemulung dan dengan lapaknya. Namun interaksi mereka cenderung rendah dengan warga masyarakat dan pemerintah setempat (Pemerintah Desa Kedaung).

Hasil analisis memperlihatkan adanya kecenderungan hubungan antara jenis kelamin dengan lama menjadi pemulung, hari kerja, jam kerja, jarak tempuh, berat barang pulungan, dan penghasilan. Terdapat hubungan antara daerah asal dengan lama tinggal di lapak terakhir, dimana responden yang sedaerah dengan lapak cenderung tinggal lebih lama dengan lapaknya.

Hasil analisis menunjukkan pula adanya hubungan antara karakteristik pemulung dengan hubungan sosial pemulung, diantaranya terlihat dari adanya kecenderungan hubungan pada jenis kelamin dan interaksi pemulung dengan masyarakat sekitar; usia dengan interaksi pemulung dalam satu bedengan; penghasilan dengan interaksi antara

(4)

pemulung dengan lapaknya dan penghasilan dengan interaksi pemulung dengan masyarakat sekitar; daerah asal dengan interaksi pemulung dalam satu bedengan dan daerah asal dengan interaksi pemulung dengan lapak.

Antara karakteristik kerja pemulung dengan hubungan sosial pemulung juga terdapat kecenderungan hubungan, diantaranya terlihat dari hubungan antara lamanya pemulung tinggal di lapak terakhir dengan interaksi antara pemulung dengan masyarakat, lama tinggal di lapak terakhir dengan interaksi antara pemulung dengan lapak, lama menjadi pemulung dengan interaksi antara pemulung dalam satu bedengan, dan lama menjadi pemulung dengan interaksi antara pemulung dengan lapak. Secara umum, antara karakteristik pemulung, karakteristik kerja pemulung dengan hubungan sosial pemulung memiliki kecenderungan hubungan walaupun tidak semua variabel menunjukkan hubungan yang cukup konsisten.

Berkenaan dengan kesejahteraan, berdasarkan indikator kemiskinan BPS 2005, sebagian besar pemulung termasuk keluarga tidak miskin. Namun bila mengacu pada indikator kesejahteraan menurut BKKBN 2003, seluruh responden keluarga termasuk keluarga prasejahtera, sedangkan kesejahteraan menurut pandangan subjektif responden, sebagian besar dari mereka (73,9 %) merasa dirinya belum sejahtera. Pandangan subjektif pemulung ini bila dikaitkan dengan kedua indikator di atas (BPS dan BKKBN), maka yang cenderung terlihat sesuai dengan pandangan subjektif pemulung adalah indikator kesejahteraan menurut BKKBN. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa keluarga pemulung belum sejahtera.

(5)

ANALISIS KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA, HUBUNGAN SOSIAL, DAN KESEJAHTERAAN PEMULUNG (Kasus Pemukiman Pemulung di Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang,

Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten)

Oleh : Aisyah Ameriani

A14201032

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

(6)

Judul : ANALISIS KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA, HUBUNGAN SOSIAL, DAN KESEJAHTERAAN PEMULUNG

(Kasus Pemukiman Pemulung di Desa Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten)

Nama : Aisyah Ameriani NRP : A14201032

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Said Rusli, MA NIP. 130 345 011

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698

(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA, HUBUNGAN SOSIAL, DAN KESEJAHTERAAN PEMULUNG (KASUS PEMUKIMAN PEMULUNG DI DESA KEDAUNG, KECAMATAN PAMULANG, KABUPATEN TANGERANG, PROPINSI BANTEN)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, 4 Januari 2006

Aisyah Ameriani

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 07 Februari 1983. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan Bambang Rahardjono dan Dyah Ani Hastuti. Pada tahun 1988 – 1989, Penulis memulai pendidikan di TK PANDAWA Pamulang – Tangerang, kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang SD Negeri Kampung Bulak II Pamulang – Tangerang pada tahun 1989 dan 1995. Ditengah-tengah tahun 1990 – 1994, penulis sempat mengecap bangku sekolah di SD Negeri 016 Batam Timur. Setelah itu, penulis menempuh pendidikan di SLTP NEGERI I Pamulang pada tahun 1995 – 1998. Kemudian dilanjutkan dengan menempuh pendidikan di SMU NEGERI I Ciputat pada tahun 1998 – 2001. Pada tahun 2001, penulis diterima sebagai mahasiswi Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN.

Selama menjadi mahasiswi penulis pernah tergabung dalam beberapa organisasi dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Pertanian (2002 – 2003), anggota Keluarga Muslim Sosek (2002 – 2003), anggota IPB Crisis Centre (2003 – 2004) dan sekretaris DPM Fakultas Pertanian (2003 – 2004). Pada saat penulisan skripsi ini, penulis sedang magang di Community Development Indonesia sejak bulan Agustus 2005 hingga sekarang.

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, segala puji dan syukur terbesar hanya pada Allah SWT atas segala nikmat yang tak terkira. Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada Ir. Said Rusli, MA atas ketersediaan waktu dan kesabarannya dalam memberikan bimbingan dan arahan selama proses penulisan proposal, penelitian dan penulisan laporan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Satyawan Sunito, selaku dosen pembimbing akademik, Dr.Ir. Titik Sumarti MC, MSi dan Ir. Dwi Sadono, MS selaku dosen penguji utama dan dosen penguji wakil departemen.

Selain itu, skripsi ini tidak akan terwujud tanpa dukungan keluarga inti penulis, yaitu Mama yang rela menemani putrinya mengerjakan skripsi ini melalui kue-kue lezatnya, Papa dan Mas Riva yang telah banyak memberikan kritik dan masukan, terakhir kepada dua adikku, Dek Anizah dan Dek Iman. Melihat kalian adalah semangat bagi kakakmu ini. “Hope we always in Allah’s protection, keep istiqomah, and the last hope this happiness will be eternal forever.”

Kepada teman-teman masa-masa sekolah; Walid, Nur, Novi, mbak Yun, mbak Heni, mbak Niar, mbak Fera, Pipit, dan all crew kos Arsida 2; Mega, Emar, Rika, Yani, dan KPM’38; rekan-rekan Comdev Indonesia; dan Ibu-ibu Luar Batang Penjaringan, penulis ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas doa, dorongan dan semangatnya, bukan hanya pada saat penulisan skripsi ini berlangsung tetapi selama penulis mulai mengenal kalian. Terima kasih atas kehangatan persahabatan yang telah kalian berikan.

Terakhir, penulis ucapkan terima kasih kepada mbak Nisa dan mas Piyat di sekretariat KPM, seluruh warga masyarakat, pemulung, dan Kelurahan Desa Kedaung, serta kepada semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuannya yang sangat berharga kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan ... 7

1.4. Kegunaan ... 8

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka ... 9

1.1.1. Pengertian Sektor Informal ... 10

2.1.1.1. Ciri-ciri Sektor Informal ... 11

2.1.1.2. Faktor-faktor yang Mempercepat Perkembangan Sektor Informal ... 13

1.1.2. Karakteristik Pemulung ... 14 1.1.3. Karakteristik Kerja ... 17 1.1.4. Hubungan Sosial ... 25 1.1.5. Kesejahteraan ... 28 2.2. Kerangka Pemikiran ... 33 2.2.1. Hipotesis ... 36 2.2.2. Definisi Operasional ... 36

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian... 44

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

3.3. Teknik Pengambilan Data dan Penentuan Responden... 45

3.4. Teknik Analisis Data... 46

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA 4.1. Lokasi dan Keadaan Wilayah ... 47

4.2. Karakteristik Penduduk ... 48 4.3. Fasilitas Umum ... 50 4.3.1. Pengairan ... 50 4.3.2. Olahraga ... 50 4.3.3. Perekonomian ... 50 4.3.4. Pendidikan ... 51 4.3.5. Tempat Peribadatan ... 51 4.3.6. Kesehatan ... 51

BAB V KARAKTERISTIK PEMULUNG 5.1. Jenis Kelamin ... 53

5.2. Usia Pemulung ... 53

5.3. Daerah Asal ... 54

(11)

5.5. Jumlah Anggota Keluarga ... 57

5.6. Alasan Menjadi Pemulung ... 58

5.7. Riwayat Pekerjaan Pemulung ... 59

5.8. Kepemilikan KTP Musiman ... 60

5.9. Ikhtisar ... 61

BAB VI KARAKTERISTIK KERJA PEMULUNG 6.1. Lama Menjadi Pemulung ... 63

6.2. Lama Tinggal di Lapak Terakhir ... 64

6.3. Motivasi Kerja ... 64

6.4. Penghasilan dari Memulung ... 66

6.5. Hari Kerja dan Jam Kerja ... 66

6.6. Jarak Tempuh Memulung ... 68

6.7. Karakteristik Barang Pulungan ... 69

6.8. Berat Barang Pulungan ... 69

6.9. Peralatan yang Digunakan ... 70

6.10. Peraturan dalam Memulung ... 71

6.11. Frekuensi Pengiriman Uang ke Daerah Asal ... 71

6.12. Frekuensi Pulang ke Daerah Asal ... 73

6.13. Ikhtisar ... 73

BAB VII HUBUNGAN SOSIAL PEMULUNG 7.1. Hubungan Antar Pemulung dalam Satu Bedengan ... 75

7.2. Hubungan Pemulung dengan Lapak ... 78

7.3. Hubungan Pemulung dengan Masyarakat Sekitar ... 79

7.4. Hubungan Pemulung dengan Pemerintah Setempat ... 82

7.5. Ikhtisar ... 83

BAB VIII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PEMULUNG, KARAKTERISTIK KERJA DAN HUBUNGAN SOSIAL PEMULUNG 8.1. Hubungan Antara Karakteristik Pemulung dengan Karakteristik Kerja ... 84

8.2. Hubungan Antara Karakteristik Pemulung dengan Hubungan Sosial ... 92

8.3. Hubungan Antara Karakteristik Kerja dengan Hubungan Sosial ... 95

8.4. Ikhtisar ... 99

BAB IX KESEJAHTERAAN PEMULUNG 9.1. Penghasilan Total Keluarga Pemulung ... 101

9.2. Pengeluaran untuk Pangan ... 102

9.3. Kepemilikan Barang-barang Fasilitas Keluarga ... 104

9.4. Kesehatan Pemulung ... 104

9.5. Kesejahteraan Pemulung Menurut Indikator Kesejahteraan BKKBN ... 106

9.6. Kesejahteraan Pemulung Menurut Pandangan Subjektif ... 112

(12)

BAB X PEMBAHASAN: TINJAUAN TERHADAP

EKSISTENSI DAN PROSPEK KEHIDUPAN PEMULUNG

10.1. Eksistensi Pemulung ... 117

10.2. Prospek Kehidupan Pemulung ... 124

BAB XI KESIMPULAN DAN SARAN 11.1. Kesimpulan ... 127

11.2. Saran ... 129

DAFTAR PUSTAKA ... 131

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1 Perbedaan antara Sektor Formal dan Informal ... 12

Tabel 2 Susunan Penduduk Desa Kedaung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2005 ... 49

Tabel 3 Jumlah Pemulung Menurut Usia, Juli 2005 ... 54

Tabel 4 Jumlah Pemulung Menurut Daerah Asalnya, Juli 2005 ... 55

Tabel 5 Jumlah Pemulung Menurut Tingkat Pendidikan, Juli 2005 ... 56

Tabel 6 Distribusi Alasan Menjadi Pemulung, Juli 2005... 59

Tabel 7 Riwayat Pekerjaan Pemulung, Juli 2005 ... 60

Tabel 8 Jumlah Pemulung Menurut Kepemilikan KTP Musiman, Juli 2005 ... 60

Tabel 9 Jumlah Pemulung Menurut Lamanya Menjadi Pemulung, Juli 2005 ... 63

Tabel 10 Jumlah Pemulung Menurut Lama Tinggal di Lapak Terakhir, Juli 2005 ... 64

Tabel 11 Jumlah Pemulung Menurut Perasaannya Bekerja sebagai Pemulung, Juli 2005 ... 65

Tabel 12 Jumlah Pemulung Menurut Penghasilan Pemulung, Juli 2005 ... 66

Tabel 13 Jumlah Pemulung Menurut Hari Kerja dalam Sebulan, Juli 2005 ... 67

Tabel 14 Jumlah Pemulung Menurut Jam Kerja Pemulung dalam Sebulan, Juli 2005 ... 68

Tabel 15 Jumlah Pemulung Menurut Jarak Tempuh Memulung, Juli 2005 ... 69

Tabel 16 Jumlah Pemulung Menurut Berat Barang Pulungan yang Didapatkan, Juli 2005 ... 70

Tabel 17 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Pengiriman Uang ke Desa, Juli 2005 ... 72

(14)

Tabel 18 Jumlah Pemulung Menurut Jumlah Uang yang

Dikirim Pemulung per Tahun, Juli 2005 ... 72 Tabel 19 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Pulang ke

Daerah Asal dalam Setahun, Juli 2005 ... 73 Tabel 20 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Interaksi

Antar Pemulung, Juli 2005 ... 75 Tabel 21 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Musyawarah, Juli 2005 ... 76 Tabel 22 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Mendengarkan

Keluhan dan Memberikan Solusi Antar Pemulung, Juli 2005 ... 77 Tabel 23 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Interaksi

dengan Lapak, Juli 2005 ... 78 Tabel 24 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Interaksi

Pemulung dengan Masyarakat, Juli 2005 ... 80 Tabel 25 Jumlah Pemulung dalam Menanggapi Penerimaan

Masyarakat, Juli 2005 ... 82 Tabel 26 Jumlah Pemulung Menurut Frekuensi Interaksi

Pemulung dengan Pemerintah Setempat, Juli 2005 ... .82 Tabel 27 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan

Lama Menjadi Pemulung ... 84 Tabel 28 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan

Hari Kerja Pemulung dalam Sebulan ... 85 Tabel 29 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan

Jam Kerja Pemulung dalam Sebulan ... 85 Tabel 30 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Jarak

Tempuh Pemulung dalam Sehari ... 86 Tabel 31 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan Berat

Barang Pemulung dalam Sebulan ... 87 Tabel 32 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan

Penghasilan Pemulung dalam Sebulan ... 88 Tabel 33 Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan

Hari Kerja Pemulung dalam Sebulan ... 88 Tabel 34 Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan

(15)

Tabel 35 Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan Jarak

Tempuh Memulung dalam Sehari ... 89 Tabel 36 Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan

Penghasilan Pemulung dalam Sebulan ... 90 Tabel 37 Persentase Pemulung Menurut Daerah Asal dan

Lama Tinggal di Lapak Terakhir ... 91 Tabel 38 Persentase Pemulung Menurut Jenis Kelamin dan

Hubungan dengan Masyarakat Sekitar ... 92 Tabel 39 Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan

Interaksi antar Pemulung dalam Satu Bedengan ... 93 Tabel 40 Persentase Pemulung Menurut Daerah Asal dan Interaksi

Pemulung dalam Satu Bedengan ... 93 Tabel 41 Persentase Pemulung Menurut Daerah Asal dan Interaksi

Pemulung dan Lapak ... 94 Tabel 42 Persentase Pemulung Menurut Lama Tinggal dengan Lapak

Terakhir dan Interaksi Antara Pemulung dengan Masyarakat ... 95 Tabel 43 Persentase Pemulung Menurut Lama Tinggal dengan Lapak

Terakhir dan Interaksi Antara Pemulung dengan Lapak ... 96 Tabel 44 Persentase Pemulung Menurut Lama Menjadi Pemulung dan Interaksi

Antara Pemulung dengan dalam Satu Bedengan ... 97 Tabel 45 Persentase Pemulung Menurut Lama Menjadi Pemulung

dan Interaksi Antara Pemulung dengan Lapak ... 97 Tabel 46 Persentase Pemulung Menurut Penghasilan dalam Sebulan

dan Interaksi Antara Pemulung dengan Lapak ... 98 Tabel 47 Persentase Pemulung Menurut Penghasilan dalam Sebulan

dan Interaksi Antara Pemulung dengan Masyarakat ... 99 Tabel 48 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Penghasilan Total

Keluarga Pemulung dalam Sebulan, Juli 2005 ... 102 Tabel 49 Perbandingan Pengeluaran Pangan dengan Penghasilan

Total Keluarga, Juli 2005 ... 103 Tabel 50 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Kepemilikan

Barang-Barang Fasilitas Keluarga, Juli 2005 ... 104 Tabel 51 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut

(16)

Tabel 52 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Sumber Air Minum,

Juli 2005 ... 106

Tabel 53 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Frekuensi Makan Keluarga dalam Sehari, Juli 2005 ... 107

Tabel 54 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Konsumsi Lauk dalam Seminggu Terakhir, Juli 2005 ... 108

Tabel 55 Jumlah Keluarga Pemulung Menurut Sarana/ Petugas Kesehatan yang Digunakan, Juli 2005 ... 109

Tabel 56 Luas Lantai Tempat Tinggal Pemulung, Juli 2005 ... 110

Tabel 57 Kemampuan Membaca dan Menulis Anggota Keluarga, Juli 2005 ... 110

Tabel 58 Alasan Pemulung Belum Merasa Sejahtera, Juli 2005 ... 114

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 35

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman Lampiran 1. Peta Desa Kedaung ... 135

Lampiran 2. Kuesioner dan Panduan Wawancara ... 136

Lampiran 3. Hasil Wawancara ... 144

Lampiran 4. Peta Desa Kedaung dalam Kabupaten Tangerang ... 150

Lampiran 5. Perhitungan Reit Pertumbuhan Penduduk Desa Kedaung Tahun 2005 ... 151

Lampiran 6. Foto-foto Penelitian ... 152

Lampiran 7. Daftar Harga Beli dan Jual Barang Pulungan Versi Lapak Ibu Damis (11 Juli 2005) ... 154

Lampiran 8. Kriteria Keluarga Sejahtera ... 155

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan yang dilaksanakan Indonesia dengan sangat giat dan berkesinambungan telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat (rata-rata 7,7 persen setahun selama 1970 – 1977) dan telah berhasil dalam meningkatkan taraf hidup semua lapisan masyarakat, termasuk golongan berpendapatan rendah, sehingga kemiskinan absolut telah berkurang. Konsep pembangunan utama yang digunakan oleh pemerintah pada saat itu adalah konsep kutub pertumbuhan (growth pole). Konsep ini sangat menekankan investasi masif pada industri-industri padat modal di pusat-pusat urban (Wie, 1981). Berdasarkan pengalaman di banyak negara, industrialisasi merupakan suatu tahap yang harus dilewati karena hal ini menjamin kelangsungan proses pembangunan ekonomi jangka panjang dengan laju pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan yang menghasilkan pengingkatan pendapatan per kapita setiap tahun (Tambunan, 2001).

Dengan berkembangnya kutub pertumbuhan ini, pemerintahan di negara-negara berkembang berharap dapat menstimulasi dan menciptakan penyebaran pertumbuhan sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi wilayah yang lebih luas. Dengan mengedepankan pengembangan kota-kota besar utama, diharapkan tercapainya tingkat titik balik investasi pembangunan yang sangat tinggi yang mendukung pelayanan komersial, administrasi dan infrastruktur yang dibutuhkan industri-industri untuk bekerja secara efisien. Dengan kata lain, konsep ini merupakan mesin dari pembangunan. Bila dilihat secara umum, dengan adanya konsep ini, maka pada era tahun 1970 – 1980-an jumlah rata-rata penduduk miskin Indonesia mengalami

(19)

penurunan. Namun, bila melihat lebih dalam lagi, konsep ini justru semakin memperbesar jurang kemiskinan. Hal seperti ini terlihat semakin jelas pada masa-masa ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara berkembang lainnya yang juga menggunakan konsep ini, konsep ini dinilai mengalami kegagalan. Pertama, proses penetesan pertumbuhan (trickle down effect) dan penyebaran pertumbuhan (spread effect) yang ditimbulkan, umumnya tidak cukup mampu untuk menggerakkan perekonomian wilayah. Bahkan yang terjadi adalah adanya eksploitasi aset-aset pedesaan, baik itu bahan mentah, modal, tenaga-tenaga kerja maupun bakat entrepreneur dari pedesaan di sekelilingnya (Rustiadi, 2004).

Oleh karena itu, walaupun pertumbuhan ekonomi mengalami perubahan yang pesat, namun pertumbuhan tersebut tidak merata pada semua wilayah. Pembangunan hanya berhasil meningkatkan perkembangan kota sedangkan desa pada umumnya mengalami ketertinggalan pembangunan. Pada akhirnya, muncullah ketimpangan wilayah antara desa dengan kota dan secara global antara kawasan timur Indonesia dengan kawasan barat Indonesia. Ketimpangan ini akan menimbulkan berbagai macam masalah sosial. Masalah kecemburuan sosial dari wilayah-wilayah non kota atau luar Jawa semakin menyeruak. Mulai dari kerusuhan-kerusuhan di berbagai kota di Indonesia, penjarahan, pembakaran, bahkan sampai kepada pilihan suatu wilayah untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai banyak bermunculan. Selanjutnya, alasan yang kedua mengapa konsep growth pole ini dinilai gagal karena konsep ini terlalu menekankan investasi masif pada sektor industri. Oleh karena itu, yang menunjukkan perkembangan ekonomi hanyalah pada sektor industri sedangkan fakta lain menunjukkan adanya penurunan pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam pada sektor pertanian (Rustiadi, 2004). Padahal sektor pertanian adalah sektor utama mata pencaharian penduduk yang tinggal di perdesaan (World Development Report,

(20)

1982 dalam Jhingan, 2003). Hal ini mengakibatkan adanya perpindahan penduduk secara besar-besaran. Sebagian besar masyarakat agraris tersebut secara rasional pindah ke pusat-pusat pertumbuhan, yaitu ke kota.

Kebijaksanaan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan ekonomi yang lebih cenderung menyandarkan pada strategi pertumbuhan telah memberikan kesempatan yang lebih besar pada kegiatan-kegiatan sektor ekonomi formal atau modern untuk berkembang dan memberikan kontribusi yang terus meningkat pada Produk Domestik Bruto (PDB). Namun langkah dan strategi ini telah menimbulkan berbagai implikasi, salah satunya adalah masalah kesempatan kerja. Oleh karena itulah sejak tahun 1970, pemerintah mengambil kebijakan pengendalian kenaikan jumlah penduduk sebagai salah satu upaya secara implisit untuk mengurangi kenaikan supply tenaga kerja di pasar. Sayangnya, upaya ini tidak sepenuhnya berhasil (Wirakartakusumah, 1998).

Menurut laporan Far Eastern Economic Review tahun 1998, akibat krisis moneter yang melanda dunia khususnya di Indonesia, 90 persen perusahaan yang go public secara teknis mengalami bangkrut dan menghasilkan enam juta penganggur. Dilihat dari data statistik, angka pengangguran kian bertambah dari tahun ke tahun. Hal demikian terjadi akibat tidak tertampungnya angkatan kerja dan tidak berkembangnya bisnis yang menyerap banyak tenaga kerja. Apabila pada tahun 1998 terdapat 20 juta penganggur, maka tahun 2004 diperkirakan terdapat 40 juta penganggur terbuka. Angka tersebut bertambah satu juta setiap tahunnya. Di luar angka tersebut, diperkirakan masih terdapat 10 sampai dengan 50 juta pengangguran tertutup (Nainggolan, 2003).

Lebih lanjut, Tambunan (2001) menyatakan bahwa setelah krisis yang melanda ekonomi Indonesia, sektor industri manufaktur menunjukkan perkembangannya yang tidak begitu baik. Padahal industri manufaktur di Indonesia didominasi oleh industri

(21)

kecil dan industri rumah tangga. Memang laju pertumbuhan output-nya rata-rata pertahun cukup tinggi, namun sektor tersebut sangat tergantung pada impor. Padahal yang diharapkan adalah berkurangnya ketergantungan terhadap impor barang. Sementara ekspor manufaktur di Indonesia belum berjalan dengan baik. Inilah yang menjadi keraguan mengenai efektivitas strategi sektor industri. Hal yang menjadi hambatan dalam perkembangan sektor industri manufaktur adalah keterbatasan teknologi dan sumberdaya manusia. Padahal, kedua faktor ini merupakan aspek yang sangat penting dalam menentukan tingkat daya saing (keunggulan komparatif) sektor industri manufaktur suatu negara.

Teknologi yang dibutuhkan oleh negara yang memiliki jumlah penduduk besar adalah teknologi yang tepat guna dan padat karya. Namun, teknologi industri yang berkembang saat ini belum banyak yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Akibatnya terasa pada saat krisis, dimana banyak orang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Oleh karena itulah, mereka yang sebelumnya bekerja di sektor formal banyak yang pindah ke sektor informal. Sektor informal pun menjadi salah satu bagian dari strategi masyarakat untuk bertahan hidup (Wirakartakusumah, 1998), karena sektor ini mampu menciptakan lapangan usaha baru dan menciptakan pendapatan bagi pelakunya dan orang lain di kala pemerintah dan sektor swasta tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi kurang lebih 40 juta penganggur (Wibowo, 2002). Selain itu, menurut penelitian dari Desiar (2003), sektor informal mempunyai peranan yang cukup besar dalam menampung kelebihan angkatan kerja di sektor formal baik pada penduduk migran dan non migran.

Pemulung adalah salah satu contoh kegiatan sektor informal. Para pemulung melakukan pengumpulan barang bekas karena adanya permintaan dari industri-industri pendaur ulang bahan-bahan bekas. Adapun bahan-bahan bekas yang sering diminta

(22)

adalah plastik, kertas bekas, bahan bekas dari kaca, kaleng dan sebagainya. Dalam realitas di masyarakat, keberadaan pemulung dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, profesi pemulung ini mampu memberikan peluang kerja kepada pemulung itu sendiri ketika pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk mereka yang sangat membutuhkan pekerjaan. Keterbatasan akan pendidikan dan keterampilan, bukan menjadi hambatan bagi mereka untuk berusaha. Namun di sisi lain, keberadaan mereka dianggap mengganggu kebersihan, keindahan, ketertiban, kenyamanan, dan keamanan masyarakat. Seringkali mereka dipukuli atau diusir dari tempat mereka mencari nafkah, tanpa memberikan solusi yang terbaik bagi mereka (Chandrakirana & Sadoko 1994).

Kajian mengenai kehidupan pemulung ini berawal dari sebuah keprihatinan atas kehidupan pemulung yang pada umumnya hidup di kawasan yang kumuh dan menghadapi berbagai tindakan-tindakan yang dirasa tidak manusiawi. Namun mereka masih dapat bertahan dengan segala peluang dan hambatan yang ada. Bentuk hubungan kerja dan sosial yang terjadi diantara pemulung, lapak, masyarakat, dan pemerintah menarik untuk dikaji karena hubungan ini menjamin keberlangsungan berusaha dimana satu sama lainnya saling membutuhkan.

Dewasa ini, pada umumnya program-program yang berhubungan dengan kesejahteraan pemulung belum banyak dilakukan dan masih belum tepat pada sasaran kebutuhan. Tampak hal ini antara lain karena kurangnya informasi para pengambil kebijakan mengenai data-data kehidupan pemulung. Di Desa Kedaung sendiri terdapat beberapa program kesejahteraan, namun belum terdapat program khusus yang hanya ditujukan untuk masyarakat pemulung ataupun penelitian yang mengangkat tema mengenai pemulung.

(23)

1.2. Perumusan Masalah

Profesi pemulung banyak digeluti oleh mereka yang memiliki keterbatasan pendidikan dan keterampilan. Di saat pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja, profesi pemulung masih dapat hidup dengan segala keterbatasannya. Pada umumnya, mereka yang terjun di usaha ini tidak memiliki alternatif pekerjaan lain selain memulung. Alasannya tak lain karena keterbatasan sumberdaya manusianya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, dari segala keterbatasannya, profesi ini masih dapat bertahan bahkan tetap hidup di kala usaha-usaha lain mengalami kemunduran, terutama pada saat terjadi krisis moneter. Selain itu, penghasilan yang diterima oleh pemulung pun cukup besar jumlahnya walaupun hanya dengan menggunakan modal yang sangat terbatas ataupun tanpa modal tertentu.

Kehadiran pemulung memberikan “warna” tersendiri bagi perekonomian di Indonesia. Di satu sisi, kehadirannya dianggap telah menggangu keindahan, kenyamanan, dan ketertiban kota. Namun di sisi lain, pemulung turut membantu pihak Dinas Kebesihan setempat dalam mengurangi gunungan sampah di tempat pembuangan sampah (TPS) ataupun tempat pembuangan akhir (TPA). Fenomena pemulung makin marak belakangan ini, terutama di daerah perkotaan ataupun daerah yang dekat dengan pusat kota. Pada Desa Kedaung, terdapat lima permukiman pemulung dimana hampir seluruh penghuninya berasal dari Jawa Tengah. Dilihat dari keterhubungan pemukiman tersebut dengan pemukiman di sekitarnya, dimana pemukiman pemulung tersebut merupakan bagian dari Rukun Warga (RW) tertentu, agaknya keberadaan pemulung ini secara “de facto” telah diakui oleh masyarakat sekitar. Namun keberadaan pemulung ini masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah setempat, dalam hal ini Desa Kedaung. Hal ini terlihat dari belum adanya data-data ataupun program-program kesejahteraan yang terkait dengan pemulung tersebut.

(24)

Berdasarkan pemahaman di atas maka dapat diajukan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakteristik pemulung? 2. Bagaimanakah karakteristik kerja pemulung?

3. Bagaimanakah bentuk hubungan sosial antar pemulung itu sendiri, antara pemulung dengan lapaknya, masyarakat sekitar, dan pemerintah setempat?

4. Bagaimanakah hubungan antara karakteristik pemulung dengan karakteristik kerja dan hubungan sosial pemulung serta hubungan karakteristik kerja dengan hubungan sosial pemulung?

5. Bagaimanakah keadaan kesejahteraan pemulung?

1.3. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui karakteristik pemulung. 2. Memahami karakteristik kerja pemulung.

3. Menelaah bentuk hubungan sosial antara pemulung itu sendiri, antara pemulung dengan lapaknya, masyarakat sekitar, dan pemerintah setempat.

4. Menganalisis hubungan antara karakteristik pemulung dengan karakteristik kerja dan hubungan sosial pemulung serta hubungan antara karakteristik kerja dengan hubungan sosial.

(25)

1.4. Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pemerhati masalah sosial, yaitu para akademisi, pemerintah, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Para akademisi dapat menggunakan penelitian ini sebagai salah satu rujukan dalam mengenali “wajah“ masyarakat pemulung sehingga akan membantu menemukan solusi yang tepat, terkait dengan permasalahan pemulung. Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan tertentu serta membantu pemerintah dalam merumuskan program pemberdayaan masyarakat pemulung yang lebih sesuai dengan kebutuhan pemulung dan masyarakat. Selanjutnya, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat mengenali, menyadari, dan mengakui keberadaan pemulung. Kemudian, bagi LSM sebagai mitra yang biasa dekat dengan kaum “bawah”, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan dalam menyusun rancangan program untuk pemulung, baik dengan program berupa bantuan-bantuan materil ataupun immateril yang dapat meningkatkan kemandirian mereka dan menjembatani komunikasi antara pemulung dengan akademisi, pemerintah dan masyarakat luas.

(26)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1.Tinjauan Pustaka

Bila dirunut, pemulung sebagai bagian dari sektor infomal merupakan sebuah profesi yang tumbuh karena industri padat modal di kota tidak mampu “berbagi kue” kepada industri padat karya di pedesaan. Hal itu mengakibatkan kesempatan kerja di desa tidak berkembang dengan baik, bahkan cenderung mengalami ketertinggalan. Untuk memperbaiki nasibnya, banyak pendatang yang mencari kerja dan pada akhirnya mereka menetap di kota. Masuknya pendatang tersebut menyebabkan tingkat perpindahan penduduk di perkotaan semakin bertambah besar. Keadaan ini menurut Damanhuri (1983), menimbulkan struktur ekonomi perkotaan yang dualistik, yaitu sektor formal dan informal.

Belakangan ini telah disadari bahwa pemulung memiliki peranan penting dalam mengurangi tumpukan sampah di perkotaan. Namun, tidak dipungkiri bahwa dengan demikian bertambahlah kawasan-kawasan kumuh di perkotaan, yang kini dijadikan alasan bagi pemerintah untuk mengusir keberadaan mereka agar kota terlihat lebih indah. Pekerjaan memulung yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai pekerjaan yang inferior, ternyata memberikan penghasilan yang cukup baik bagi pemulung itu sendiri, para lapak, dan industri daur ulang, di saat sektor ekonomi formal tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, dalam bab ini akan diuraikan beberapa konsep yang digunakan untuk menganalisis permasalahan pemulung yang terdapat di lapangan. Beberapa konsep tersebut diantaranya yaitu konsep sektor informal, konsep pemulung, konsep kerja pemulung, konsep hubungan sosial, dan konsep kesejahteraan yang akan dipaparkan lebih jelas pada bagian-bagian berikut.

(27)

2.1.1 Pengertian Sektor Informal

Konsep mengenai sektor informal mulai diperbincangkan semenjak penelitian yang dilakukan oleh Keith Hart di Acra (Ghana) pada tahun 1971. Ia menyebut sektor informal ini sebagai kegiatan ekonomi periperal yang mana sektor ini menyediakan pelayanan pokok yang dibutuhkan dalam kehidupan kota. Menurut Hart, kesempatan dalam memperoleh penghasilan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sektor formal, sektor informal sah, dan sektor informal tidak sah. Namun karena sulitnya memberikan batasan antara sektor informal yang sah dengan yang tidak sah, maka banyak peneliti yang cenderung hanya menggunakan konsep sektor formal dan informal dalam memperoleh kesempatan bekerja (Hart, 1985).

Menurut Sethurahman (1985), sektor informal adalah unit-unit usaha yang berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang/jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan untuk diri sendiri. Dalam usahanya itu, ia dihadapkan pada berbagai kendala seperti modal fisik, pengetahuan dan keterampilan. Selanjutnya Sjahrir (1986), menyebut sektor informal sebagai unit kegiatan ekonomi yang skala usahanya dapat besar maupun kecil yang memberikan peluang pada setiap individu-individu untuk memaksimalisasi sumberdaya-sumberdaya dan tenaga kerja yang ada dengan biaya seminim mungkin.

Tampaknya tidak ada batasan yang pasti untuk mendefinisikan sektor informal, karena hal ini ternyata tergantung dari jenis pekerjaan yang dilakoninya. Namun secara umum, batasan mengenai sektor informal dapat dilihat dari ciri-ciri sektor informal berikut ini.

(28)

2.1.1.1. Ciri-ciri Sektor Informal

Untuk mempermudah mengenali bentuk wajah dari sektor informal, beberapa ahli membuat generalisasi pencirian dari sebuah sektor informal. Beberapa ciri sektor informal antara lain:

1. seperti yang dimiliki oleh setengah penganggur, yaitu pada umumnya pelaku bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain atau bekerja dengan dibantu anggota rumahtangga atau buruh tidak tetap, bekerja dengan jam kerja yang tidak teratur dan jumlah jam yang jauh dari kewajaran atau di atas kewajaran, melakukan bermacam-macam kegiatan yang tidak sesuai dengan pendidikan atau keahliannya (Wirosarjono, 1982 dalam Damanhuri, 1983),

2. skala usaha yang relatif kecil (dalam konteks ekonomi makro) dan kecenderungan beroperasi di luar sistem regulasi (Sethurahman, 1985),

3. belum tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan pemerintah,

4. modal, peralatan dan perlengkapan, maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian,

5. umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah dengan tempat tinggalnya,

6. tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang lebih besar,

7. umumnya dilakukan untuk melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah,

8. tidak membutuhkan keahlian khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap berbagai tingkat pendidikan ketenagakerjaan,

9. umumnya setiap satuan usaha memperkerjakan tenaga yang sedikit yang biasanya dari lingkungan hubungan kekeluargaan, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama,

(29)

10. belum mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan lain sebagainya (Sukesi, 2002), dan

11. sektor yang tidak terproteksi dan tidak memiliki hubungan kerja kontrak jangka panjang (Chandrakirana & Sadoko 1994).

Dalam memahami peluang dan keterbatasan dalam ekonomi sektor informal, diperlukan studi sektoral yang mencakup semua pelaku, baik formal maupun informal (Chandrakirana & Sadoko 1994). Tabel 1 mendeskripsikan perbedaan antara sektor formal dan informal menurut Gerry (1987) dalam Suwartika (2003).

Tabel 1 Perbedaan Antara Sektor Formal dan Informal

Karakteristik Sektor Formal Sektor Informal

1. Teknologi 2. Organisasi 3. Modal 4. Jam Kerja 5. Upah 6. Kesediaan 7. Harga 8. Kredit 9. Keuntungan

10. Hubungan dengan klien 11. Biaya tetap 12. Advertising 13. Pemanfataan barang-barang bekas 14. Modal tambahan 15. Perangkat pemerintahan 16. Ketergantungan terhadap dunia luar Capital intensive Birokratis Berlebih Teratur Normal: teratur Berkualitas Harga pas

Dari bank atau institusi yang sama dengan bank Tinggi Secara formal Besar Penting Tidak berguna Indispensible Besar

Besar: Khususnya untuk orientasi ekspor Labour intensive Hubungan kekeluargaan Sedikit Tidak teratur Tidak teratur Tidak berkualitas Cenderung bisa dinegosiasikan

Pribadi dan bukan bank Rendah

Secara pribadi

Kecil (dapat diabaikan) Kurang penting

Berguna Dispensible Hampir tidak ada Hampir tidak ada atau kecil

Sumber: Gerry (1987) dikutip oleh Suwartika (2003)

Dari bermacam-macam ciri yang telah disebutkan, pada dasarnya sektor informal itu tidak dapat terpisah dari sektor formal. Seperti kata pepatah Mead dan Morrison (1996) dalam Anderson (1998) bahwa sektor informal itu seperti gajah, kita tidak dapat mendefinisikannya secara tepat, tetapi kita tahu ketika kita melihatnya.

(30)

2.1.1.2. Faktor-faktor yang Mempercepat Perkembangan Sektor Informal

Belakangan ini sektor informal mulai bertambah pesat perkembangannya. Ia mampu memberikan alternatif sumber penghidupan selain yang disediakan oleh negara Ada beberapa alasan yang menjelaskan mengapa sektor informal ini semakin banyak diminati. Menurut penelitian yang dilakukan Anderson (1998), ada beberapa aspek yang mempengaruhi minat terhadap sektor ini, yaitu:

1. krisis ekonomi, menyebabkan supply tenaga kerja yang melimpah,

2. urbanisasi yang pada akhirnya berujung kepada meningkatnya jumlah tenaga kerja, 3. sektor informal berkembang seiring dengan permintaan barang dan jasa, terutama

barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh sektor formal,

4. kemudahan memasuki sektor informal. Beberapa alasan diantaranya (i) sektor informal tidak terlalu terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat legal; (ii) peraturan-peraturan dibuat sendiri oleh para pekerja sektor informal. Oleh karena itu, hanya membutuhkan sedikit persyaratan (bisa dalam bentuk uang, tenaga atau keterampilan) untuk dapat menjadi bagian dari sektor informal; (iii) tempat melakukan usaha jarang yang menetap; (iv) skala usaha yang dikembangkan relatif kecil dan ia mampu berdiri sendiri tanpa adanya bantuan dari pihak perbankan; dan (v) pajak yang diberikan lebih ringan jika dibandingkan dengan sektor formal.

Dari beberapa pemaparan di atas, kiranya dapat diambil garis besarnya bahwa sektor informal kian lama kian berkembang karena kondisi ekonomi yang sedang sulit. Sektor informal merupakan suatu penyelamat bagi mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan karena ia dengan mudahnya dapat masuk ke sektor tersebut ataupun ia menciptakan lapangan kerja baru (Chandrakirana & Sadoko 1994).

(31)

2.1.2.Karakteristik Pemulung

Pemahaman posisi pelaku-pelaku sektor informal dalam struktur yang lebih luas, hanya dapat diperoleh dengan menggali dinamika yang berlaku spesifik pada suatu bidang usaha tertentu (Chandrakirana & Sadoko 1994). Dalam hal ini, pelaku sektor informal yang dikaji adalah pemulung. Menurut Nelson (1991) dalam Pramuwito (1992), pemulung dibatasi sebagai seorang atau sekelompok manusia yang penghidupannya diperoleh dari mencari atau mengumpulkan barang-barang bekas yang telah terbuang di tempat pembuangan sampah sebagai “barang dagangan”.

Dinas Kebersihan Daerah Khusus Ibukota (DKI) (1990) dalam Simanjuntak (2002) memberikan kesepakatan cara pandang mengenai pemulung, yaitu:

1. Pemulung adalah bagian masyarakat atau Warga Negara Indonesia (WNI) yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

2. Pemulung adalah pelaku penting dalam proses daur ulang (recycling) sampah sebagai salah satu bagian dalam penanganan sampah perkotaan maupun pedesaan. 3. Pemulung adalah salah satu pemelihara lingkungan hidup yang menyerap sebagian

sampah untuk dapat diolah menjadi barang yang berguna bagi masyarakat.

4. Pemulung adalah orang yang bekerja memunguti dan mengumpulkan sampah dan memanfaatkan sampah-sampah tersebut untuk menambah penghasilan mereka.

Pada umumnya, profesi pemulung ini lebih banyak “digeluti” oleh masyarakat miskin. Hampir secara keseluruhan, para pemulung merupakan migran yang berasal dari pedesaan (Simanjuntak, 2002). Menurut Sjahrir (1995), sebagian besar migran meninggalkan desa di Jawa karena alasan ekonomi. Kesulitan ekonomi ini terjadi karena adanya tekanan kepadatan penduduk, kebijakan pertanian, dan situasi politik setempat. Dari semua itu, faktor utama yang mendorong migrasi ini adalah adanya

(32)

perubahan di sektor pertanian, yang terjadi sehubungan dengan kebijakan ekonomi dan politik yang diterapkan pada sektor tersebut. Program-program pertanian yang ditawarkan pemerintah pada awalnya ditujukan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Namun pada akhirnya justru memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pihak-pihak tertentu. Kekuasaan ini kemudian semakin memperlebar jurang kesenjangan antara penduduk kaya dan penduduk miskin (Collier 1978, Wiradi 1979, Hart 1986, Hart dan White 1989, dalam Sjahrir 1995). Reaksi penduduk miskin terhadap jurang kesenjangan yang tak lain merupakan polarisasi dari ekonomi, tampak dalam bentuk unjuk rasa, pembunuhan tokoh terkemuka, sabotase, ataupun sampai kepada pilihan meninggalkan desa.

Beberapa ahli berpendapat bahwa perpindahan pekerja dari desa ke kota hanya berdasarkan peruntungan saja. Pendatang dari desa pada umumnya menyadari bahwa kesempatan mereka untuk diterima pekerjaan di perkotaan kecil. Namun karena perbedaan tingkat upah absolut yang besar antara kota dengan desa membuat penduduk desa tergerak untuk melakukan migrasi ke kota (Gughler 1968, Harris dan Todaro 1970, Safa dan Du Toit 1975 dalam Sjahrir 1995). Pilihan yang terakhir ini membawa mereka ke perkotaan.

Terdapat dua teori yang menjelaskan mengenai hal ini. Todaro (1969) dalam Sjahrir (1995) menjelaskan bahwa ketika berada di kota, pekerja dengan keahlian yang rendah atau terbatas akan bekerja di sektor tradisional kota (urban traditional sector atau urban informal sector) terlebih dahulu sebelum akhirnya memperoleh pekerjaan yang tetap di sektor modern. Adapun berdasarkan penelitian dari Sjahrir (1995), ia menemukan bahwa pelaku migrasi (penduduk Bejer) yang pergi ke Jakarta segera mendapatkan pekerjaan tanpa harus melalui urban traditional sector atau urban informal sector.

(33)

Pilihan kerja sebagai pemulung merupakan alternatif utama bagi mereka para migran yang ingin bekerja namun tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai. Walaupun dipandang sebelah mata, profesi ini masih tetap diminati karena kemudahan akses para migran untuk diterima bekerja. Beberapa faktor lainnya adalah: 1) tidak memerlukan keahlian tertentu (Sjahrir, 1986). Hanya dengan modal tenaga,

para pekerja di sektor informal sudah dapat memberikan penghasilan tertentu. Sebagai contoh pekerjaan memulung. Menurut keterangan seorang pemulung karena sumberdaya manusianya rendah, usaha yang paling mudah mendapatkan uang adalah memulung. Pekerjaan tersebut tidak memerlukan pemikiran yang berat, asalkan saja tidak malu, dapat dipastikan mendapatkan uang (Permanasari, 2003). 2) tidak memerlukan persyaratan atas tingkat pendidikan tertentu. Menurut penelitian

dari Simanjuntak (2002), secara keseluruhan para pemulung di Bantar Gebang mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), yaitu sebesar 14,5 persen, tamat Sekolah Dasar (SD) sebesar 73,6 persen, tidak tamat SD sebesar 19,6 persen, dan sisanya tidak sekolah sebesar 4 persen. Pemulung di Luar Bantar Gebang paling banyak merupakan tamatan dari Sekolah Dasar yaitu sebesar 43,75 persen, tidak pernah sekolah 27 persen, tidak tamat SD 18, 75 persen, pemulung yang menyelesaikan SLTP 8,33 persen dan yang tamat Sekolah Menengah Umum (SMU) sebesar 2,0 persen. Penelitian ini menunjukkan bahwa mereka yang bekerja di sektor ini pada umumnya berpendidikan rendah. Dengan demikian dapat dipahami bila para pemulung sulit untuk diterima di sektor formal mengingat pendidikan mereka yang sangat rendah.

Pemaparan yang telah dijelaskan di muka merupakan bagian dari karakteristik yang melekat pada pemulung. Karakteristik pemulung lainnya dapat dilihat dari pemaparan penelitian Simanjuntak (2002) berikut ini. Pada umumnya, profesi pemulung

(34)

lebih banyak digeluti oleh laki-laki. Laki-laki menempati posisi yang terbesar yaitu sebanyak 93,6 persen, sedangkan sisanya 6,4 persen adalah pemulung wanita. Pemulung di luar Bantar Gebang pun didominasi oleh laki-laki yaitu sebesar 91,6 persen, sedangkan sisanya 8,33 persen adalah pemulung wanita. Dilihat dari segi usianya, para pemulung rata-rata termasuk pada angkatan kerja. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar usia pemulung di Bantar Gebang merupakan tenaga kerja usia produktif yang usianya kurang dari 40 tahun. Persentase terbesar (41,2 %) berada pada selang usia 21 sampai 30 tahun, kemudian diikuti pemulung dengan usia dibawah 20 tahun sebesar 35,6 persen, usia 31 sampai 40 tahun sebesar 18,4 persen dan sisanya adalah pemulung yang usianya 40 tahun ke atas sebesar 4,8 persen. Pada pemulung yang berada di luar Bantar Gebang, usia terbesar berada pada selang 31 sampai 40 tahun sebesar 33,3 persen, kemudian diikuti oleh pemulung dengan kelompok usia 21 sampai 30 tahun sebesar 31,25 persen. Usia pemulung di atas 40 tahun sebesar 22,9 persen dan sisanya pemulung dengan usia di bawah 20 tahun ke bawah sebesar 12,5 persen.

Dilihat dari kondisi tempat tinggalnya, biasanya pemulung tinggal dalam pemukiman (bedengan) yang disediakan oleh lapaknya. Mereka juga tidak mempunyai akses kepada beragam fasilitas pemerintah atau kalaupun ada prosesnya dipersulit dan mereka selalu dinomorduakan dalam pelayanan (Simanjuntak, 2002).

2.1.3.Karakteristik Kerja

Karakteristik adalah ciri-ciri khusus atau sesuatu yang mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991). Menurut Kartono (1981) kerja merupakan suatu aktivitas dasar yang memberikan isi dan makna pada kehidupan manusia, memberikan status, dan mengikat seseorang pada individu lain serta

(35)

masyarakat. Dengan demikian, karakteristik kerja adalah suatu ciri-ciri khusus yang melekat dengan aktivitas dasar manusia dalam melakukan sesuatu, untuk mendapatkan hal yang menjadi harapannya. Adapun karakteristik kerja pemulung dapat dilihat dari ciri-ciri sebuah sektor informal.

Di dalam jaringan daur ulang, terdapat pemulung, lapak, dan industri daur ulang sebagai pelaku dalam usaha daur ulang. Peranan pemulung adalah mengumpulkan barang-barang buangan dari berbagai lokasi pembuangan sampah di kota untuk mengawali proses penyalurannya ke tempat-tempat produksi. Dalam memulung, pemulung perlu memilih barang-barang yang memiliki nilai ekonomis serta mengetahui harganya masing-masing. Karena harga barang-barang terebut terus berubah-ubah, maka pemulung harus senantiasa memperbaharui pengetahuannya. Barang-barang buangan yang biasa dipulung adalah kardus, plastik, kaleng, besi, dan beling. Barang-barang tersebut nantinya akan diberikan kepada lapak (Chandrakirana & Sadoko, 1994).

Sebagian besar pemulung berkeliling mendatangi tempat-tempat pemukiman dan atau perkantoran. Mereka beroperasi melalui rute yang relatif tetap. Pembatasan wilayah operasi masing-masing pemulung sebenarnya tidak ada, namun terdapat kesepakatan untuk tidak saling melanggar teritorial masing-masing. Di daerah pemukiman yang padat penduduknya, mereka dapat menjelajahi hingga 1 kilometer dari lokasi lapak. Berdasarkan hasil survei Chandrakirana dan Sadoko (1994), rata-rata jarak yang mereka tempuh dengan berjalan kaki dalam satu hari adalah 3,5 kilometer.

Kembali kepada jaringan daur ulang, pihak berikutnya dalam jaringan ini adalah lapak. Lapak merupakan perantara tingkat pertama yang akan menyalurkan bahan-bahan daur ulang dalam jumlah yang lebih besar per jenis komoditi dan dalam kondisi yang relatif bersih, ke perantara tingkat berikutnya. Dalam melakukan sortasi terhadap bahan-bahan daur ulang, lapak mempekerjakan pegawai-pegawai khusus yang diupah

(36)

dengan jumlah rata-rata sebanyak 3 orang. Terkadang lapak mempekerjakan pegawai-pegawai secara tidak tetap pada waktu dibutuhkannya tenaga tambahan. Tenaga tidak tetap ini sering diambil dari anggota keluarga pemulung (Chandrakirana & Sadoko 1994).

Selanjutnya, dari lapak, barang-barang tersebut dibawanya ke pabrik melalui jasa pemasok. Dalam menjalankan fungsi perantaranya, pemasok harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh pabrik, khususnya menyangkut volume minimum yang harus disetorkan per bulan, kualitas barang yang dipasok, dan kontinuitas pengiriman. Jika persyaratan telah terpenuhi, pemasok mendapatkan pesanan dari pabrik. Pada beberapa lapak, ada yang tidak bersedia untuk menjual langsung ke pemasok. Para lapak menjual barang-barangnya ke bandar. Bandar merupakan pengumpul dengan satu jenis barang secara eksklusif, seperti bandar kertas, bandar besi dan bandar botol. Masing-masing bandar akan menjual ke pemasok atau langsung ke pembeli akhir dalam jaringan daur ulang (Chandrakirana & Sadoko 1994).

Konsumen di tingkat akhir biasanya merupakan para produsen yang memanfaatkan barang buangan sebagai bagian atau bahan baku utama produksinya. Konsumen ini adalah industri daur ulang. Inti dari industri daur ulang terletak pada proses pengumpulan dan penyaluran barang-barang buangan dari tempat persampahan ke tempat-tempat produksi. Peluang akumulasi terletak pada transaksi jual beli dalam proses penyaluran barang-barang buangan dari pemulung ke produsen. Dalam mata rantai transaksi-transaksi ini, penentu utama nilai tukar bahan daur ulang adalah pembeli akhir, yaitu produsen. Produsen inilah yang menentukan harga beli barang dari lapak besar/bandar, sedangkan harga beli dari pemulung ditentukan oleh lapak berdasarkan harga jual yang mereka terima dari bandar/lapak besar atau pemasok tersebut (Chandrakirana & Sadoko 1994).

(37)

Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa sektor informal memiliki struktur jaringan meskipun sederhana (Simanjuntak, 2002). Adanya jaringan ini menimbulkan suatu hubungan ketergantungan diantara pemulung, lapak, dan industri daur ulang. Ketergantungan antara setiap tingkatan pelaku informal dalam jaringan ini menyebabkan adanya faktor keuntungan bersama dalam jalinan hubungan kerja (Chandrakirana & Sadoko 1994).

Dalam hubungan kerja yang terbentuk pada pemulung dan lapaknya terdapat ciri dari hubungan patron-client (bapak-anak buah). Hubungan bapak-anak buah ini didefinisikan sebagai suatu ikatan yang terdiri dari dua pihak dimana individu yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi memanfaatkan pengaruh serta sumber-sumber yang dimilikinya guna memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang dalam status sosial yang lebih rendah (client atau anak buah). Sebagai bentuk balas jasa dari perlindungan dan keuntungan yang diberikan, client memberikan bentuk dukungannya dan bantuan yang bersifat umum, termasuk pula jasa-jasa pribadi terhadap patron atau bapak (Hayami dan Kikuci, 1981 dalam Sjahrir, 1995). Santoso (2004) menemukan bahwa para pemulung di Bantar Gebang yang kehidupannya ditanggung oleh lapak (ketua kelompok pemulung/bandar) memiliki penghasilan Rp600.000,00 per bulan. Hal ini belum ditambah dengan uang makan, rokok, biaya kesehatan, dan

lain-lain. Setiap hari, seorang pemulung mendapat uang makan dari lapak sekitar Rp20.000,00. Uang tersebut dibelikan nasi bungkus Rp2.500,00, biasanya dengan lauk

tempe dan sayur tiga kali sehari. Terdapat juga biaya rokok, obat, dan transportasi seperti ojek di sekitar lokasi sebesar Rp3.000,00 sampai dengan Rp5.000,00. Keseluruhan dari biaya tersebut menjadi tanggungan lapak. Selain itu, lapak biasanya membangun permukiman mini untuk kelompoknya masing-masing di dekat bedeng penampungan barang bekas. Dari semua fasilitas yang diberikan ini, para pemulung

(38)

memiliki kewajiban untuk menyetorkan barang olahan kepada pimpinan mereka (lapak) sebagai bentuk imbalan atas jasa para lapak. Penelitian lain menunjukkan sebagian besar pemulung di Bantar Gebang, sebanyak 92,4 persen responden memperoleh pendapatan dari pekerjaannya sebagai pengumpul antara Rp500.000,00 sampai Rp750.000,00 (Simanjuntak, 2002).

Direktorat Bina Migrasi Internal dan Urbanisasi pada akhir bulan Juni 2002 melakukan pengumpulan informasi penghasilan para pekerja sektor informal di kota Bandung dan hasilnya diperoleh gambaran bahwa para pemulung pada Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS), rata-rata mampu menyisihkan Rp200.000,00 s/d Rp300.000,00 per bulannya untuk dikirim kepada keluarga mereka di kampung. Dengan demikian, pemulung tidak saja menggunakan penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri namun mereka juga mampu membantu kerabat-kerabatnya yang masih berada di pedesaan.

Hubungan keterikatan antara berbagai tingkatan dalam jaringan daur ulang ini, selain dapat dilihat dalam konteks bisnis, ia dapat juga dilihat dalam konteks sosial. Pola hubungan sosial sekaligus bisnis ini membentuk suatu pola hubungan kerja. Seperti yang terlihat pada hubungan antara lapak dengan pemulung tetap atau pemasok dengan lapak langganan, hubungan mereka bukan hanya sebatas hubungan kerja melainkan hubungan yang mencakup pemberian nasehat dan bantuan moril atau uang untuk keperluan yang bersifat pribadi. Hubungan antar tingkatan dalam jaringan ini sering dilihat sebagai hubungan kekeluargaan. Bahkan kesetiaan lapak terhadap pemasoknya dijadikan salah satu tolok ukur dalam menilai kemapanan usaha sesama lapak. Hal ini menimbulkan suatu ketergantungan diantara masing-masing dari mereka. Ketergantungan ini menjamin adanya faktor keuntungan bersama dalam jalinan hubungan kerja (Chandrakirana & Sadoko, 1994). Namun tidak semua pemulung

(39)

mendapatkan kondisi yang cukup baik seperti yang dialami oleh pemulung yang telah disebutkan sebelumnya. Menurut penelitian yang dilakukan Permanasari (2003), di Surabaya, dalam satu hari seorang pemulung yang usianya relatif muda dan masih kuat berjalan, bisa mendapatkan penghasilan Rp10.000,00, namun bila sudah tua hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp7.000,00 untuk setiap 60 kilogram sampah (sekitar tiga karung) per harinya. Dengan kata lain dalam sebulan, pemulung di Surabaya mendapat penghasilan antara Rp210.000,00 sampai dengan Rp300.000,00.

Kondisi seperti itu menempatkan mereka termasuk sebagai kelompok miskin. Namun miskin disini terjadi bukan karena mereka malas. Pengamatan yang dilakukan oleh Permanasari (2003) menemukan bahwa pemulung di Surabaya ternyata bekerja setiap hari mulai dari pukul 03.00 wib. Oleh karena itulah, pemulung merupakan kelompok yang menjadi miskin bukan karena malas melainkan karena kemiskinan struktural dan terkait dengan kebijakan pemerintah yang tidak menghargai rakyat miskin di perkotaan.

Dalam hasil penelitian Chandrakirana dan Sadoko (1994), terdapat beberapa usaha yang dikelola mengalami kemajuan, baik pada skala usaha maupun pada pendapatannya. Namun pada beberapa orang lainnya, tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Sebagai contoh, seorang pemulung di Surabaya sudah bekerja sejak tahun 1959, namun sampai sekarang, ia merasa tak mengalami perubahan. Ia tetap saja seorang pemulung yang miskin. Menurutnya menjadi seorang pemulung bukanlah rencana hidup. Bagi mereka, kehidupan yang keras dan pendidikan yang terbatas membuat pilihan ini menjadi satu-satunya yang bisa dijalani. Oleh karena sumberdaya yang rendah dan tiadanya modal yang mencukupi, maka usaha yang paling enak tanpa mengeluarkan pikiran adalah memulung. Dengan hanya mengeluarkan tenaga, para pemulung akan mendapatkan uang (Permanasari, 2003). Kondisi seperti

(40)

inilah yang dikatakan oleh Saefuddin memiliki motivasi kerja yang rendah. Kerja hanya dipandang sebagai alat pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan (Saefuddin, 1986). Bila dikaitkan dengan teori motivasi yang diungkapkan oleh Maslow (1943) dalam Herujito (2001), maka kerja yang hanya dipandang sebagai alat pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan termasuk pada hierarki yang paling rendah dimana motif melakukan pekerjaan hanya untuk memenuhi kebutuhan primer saja. Sesuai dengan teori motivasi, hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow (1943) adalah sebagai berikut:

1. kebutuhan fisiologis, mencakup kebutuhan badani misalnya pangan, sandang, dan sebagainya;

2. kebutuhan rasa aman, baik secara fisik maupun psikis;

3. kebutuhan afiliasi, dimana manusia sebagai makhluk sosial ingin diterima menjadi anggota kelompok masyarakat tertentu dan ingin ikut aktif dalam berbagai kegiatan; 4. kebutuhan akan harga diri, dimana manusia selalu ingin dibutuhkan dan dihargai.

Harga diri ini bemanifestasi dalam prestasi dan kekuasaan;

5. kebutuhan aktualisasi diri, yaitu suatu kebutuhan untuk dapat mengembangkan keahliannya.

Menurut Kartono (1981), motivasi kerja adalah daya gerak yang mendorong seseorang untuk bekerja, baik dari luar dirinya maupun dari sisi usahanya untuk bekerja secara lebih baik dan efisien untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Motivasi kerja ini dapat juga berarti alasan atau dorongan dalam diri seseorang yang menyebabkan ia bertindak untuk mencapai tujuannya. Motivasi kerja tidak hanya berdasar pada kebutuhan ekonomis (uang) tetapi juga kebutuhan akan aktualisasi diri yaitu nilai sosial yang baik, perhatian dari orang-orang disekitarnya, dan kekaguman teman terhadap dirinya sendiri.

(41)

Namun motivasi kerja yang rendah jangan hanya dilihat dari segi individunya melainkan harus memperhatikan juga latar belakang nilai budaya dan lingkungan yang mempengaruhi individu tersebut atau dapat disebut masyarakat untuk cakupan yang lebih luas. Koentjaraningrat (1974) menjelaskan bahwa dalam mencapai tujuan pembangunan, maka bangsa Indonesia harus memiliki mentalitet pembangunan, diantaranya: (1) memiliki orientasi ke masa depan dengan merencanakan dan melihat masa depannya dengan hati-hati, teliti dan berhemat; (2) bangsa Indonesia harus memiliki hasrat untuk mengeksplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam dengan melakukan inovasi; (3) inovasi terhadap suatu teknologi penting untuk menciptakan teknologi yang sesuai dengan pengetahuan, nilai dan budaya masyarakat setempat. Teknologi tersebut hendaknya diciptakan dengan menggunakan usaha sendiri; (4) menilai tinggi orientasi ke arah prestasi dari karya; (5) mementingkan disiplin, tanggung jawab yang tinggi dan menjauhi nilai yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan karena hal demikian akan mematikan jiwa mandiri dan berdikari.

Ada beberapa faktor-faktor penghambat pembangunan di dalam negeri ini, salah satunya adalah mentalitas bangsa. Menurut Koentjaraningrat (1974), kelemahan mentalitet bangsa Indonesia untuk pembangunan yaitu: (1) nilai budaya yang tidak berorientasi terhadap prestasi melainkan hanya mengejar amal dari karya (diibaratkan sebagai orang sekolah yang hanya mengejar ijazah, bukan keterampilannya), (2) terlalu berorientasi kepada masa lampau yang dapat melemahkan motivasi untuk menabung dan hidup hemat, (3) menggantungkan diri pada nasib, (4) konsep konformitas yang dapat diartikan bahwa orang sebaiknya menjaga perasaan orang lain agar jangan dengan sengaja berusaha untuk menonjol di atas yang lain, (5) terlalu berorientasi kepada atasan, (6) sifat yang suka meremehkan mutu, (7) suka menerabas, (8) tidak percaya kepada diri sendiri, (9) tidak disiplin, dan (10) suka mengabaikan tanggung jawab.

(42)

Dari pemaparan di atas, maka garis besar yang dapat ditarik disini adalah aspek mentalitas termasuk didalamnya motivasi dan kemampuan serta lingkungan merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kerja seseorang.

2.1.4.Hubungan Sosial

Dalam setiap kehidupan manusia, hubungan sosial antara manusia selalu melekat pada setiap individunya. Menurut Zanden (1982), hubungan sosial adalah suatu proses langsung yang didorong atau dipengaruhi oleh seseorang kepada yang lainnya. Cara berperilaku seseorang ditentukan dari hubungan tersebut. Interaksi yang berlangsung cukup lama sehingga orang-orang saling berhubungan dan masing-masing diantara mereka memiliki harapan kepada yang lainnya, inilah yang disebut hubungan sosial. Kurth (1970) dalam Zanden (1982) menggolongkan hubungan sosial dalan tipe-tipe expressive ties, instrumental ties, dan expressive-instrumental continuum. Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga tipe hubungan sosial tersebut.

1. Expressive ties

Kebutuhan hidup manusia hanya dapat disadari dan bermakna setelah mereka berkumpul atau berinteraksi dengan yang lainnya. Kebutuhan tersebut terdiri dari rasa aman, cinta, penerimaan, pertemanan, dan rasa bermanfaat. Sebagai seorang manusia, kita tidak dapat hidup sendiri. Kepuasan yang diharapkan dari seseorang membutuhkan dukungan dari interaksi yang mana masing-masing pihak terlibat begitu dalam dalam hubungan tersebut. Masing-masing individu perlu menginvestasikan diri mereka dan dengan sepenuh hati mengabdikan diri untuk kelompok.

Hubungan sosial seperti ini disebut sebagai primary relationship. Hubungan ini biasanya terdapat pada hubungan keluarga, pertemanan, dan percintaan, yang mana akan dirasakan suasana keakraban yang begitu dekat.

(43)

2. Instrumental ties

Dalam ikatan jenis ini, bentuk penghargaan seseorang terhadap orang lain tidak menjadi hal yang penting. Seseorang membutuhkan orang lain hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan bahwa seseorang bekerjasama dengan musuhnya demi pencapaian tujuan tersebut. Hubungan seperti ini disebut sebagai secondary relationship.

3. Expressive-instrumental continuum

Walaupun beberapa ikatan ada yang lebih mendominasi dari ikatan lainnya, baik ekspresif maupun instrumental, namun terdapat pula ikatan yang bersifat kontinum. Sebagai contoh, dalam hubungan pertemanan. Hal yang ingin didapat dari hubungan ini tidak sekedar untuk mendapatkan rasa aman, kekeluargaan, dan cinta tetapi mereka juga mengharapkan adanya kemudahan dari pekerjaan mereka.

Hubungan sosial yang terbentuk lebih dari satu hubungan akan membentuk suatu network (jaringan kerja). Jaringan kerja adalah jaringan yang terbentuk dari adanya hubungan sosial, yang secara langsung maupun tidak langsung, memasuki dan mengikat individu tersebut dengan individu lainnya. Jaringan kerja ini memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ketika seseorang sedang berada dalam keadaan susah atau sakit, maka ia membutuhkan orang lain untuk mengatasi kesulitannya tersebut. Ia akan mencari orang-orang ahli yang dapat dipercaya untuk menyelesaikan masalahnya. Menurut hasil penelitian Granovetter (1973) dalam Zanden (1982), pencari pekerja cenderung mencari kerja melalui kenalannya dalam jaringan informal. Granovetter menemukan bahwa 39,1 persen pencari kerja menghubungi kenalannya seorang pekerja yang cukup berpengaruh, sehingga akan membuka peluang besar pencari kerja tersebut untuk diterima (tanpa perantara). Sebanyak 45,3 persen,

(44)

pencari kerja melalui satu perantara, 12,5 persen melalui dua perantara, dan 3,1 persen melalui lebih dari dua perantara.

Sjahrir (1995) mengemukakan bahwa jaringan kerja merupakan cara memelihara ketahanan ekonomi mereka sendiri. Jaringan kerja (network) ini didefinisikan sebagai bentuk hubungan antarindividu yang melampaui batas-batas geografis desa atau garis keturunan. Seorang individu yang tidak memiliki hubungan darah dapat dianggap keluarga karena adanya kedekatan jarak geografis. Begitu pula sebaliknya, seorang anggota keluarga bisa saja dianggap jauh karena terpisah secara sosial, ekonomi dan geografis untuk jangka waktu yang lama, atau karena adanya konflik.

Jaringan kerja yang terbentuk dapat berawal dari suatu ikatan kekerabatan. Sjahrir (1995) mengemukakan bahwa ikatan kekerabatan itu penting bagi kehidupan ekonomi dan penyesuaian diri mereka terhadap lingkungan sosial baru. Dikatakan penting bagi kehidupan ekonomi karena waktu pertama kali berangkat ke kota, kebanyakkan dari mereka (penduduk yang berasal dari pedesaan) dibantu keluarga atau tetangga yang sudah mengetahui dan memiliki pengalaman kerja di perkotaan. Oleh karena mereka yang baru merantau ini sangat bergantung terhadap kerabatnya, maka pilihan kerja pun banyak dipengaruhi oleh kerabatnya tersebut. Mereka cenderung memilih pekerjaan yang digeluti oleh kerabatnya.

Seperti yang telah disinggung di atas, selain penting bagi kehidupan ekonomi, sistem kekerabatan pun penting dalam penyesuaian terhadap lingkungan sosial yang baru. Kerabat mereka yang telah tinggal lebih dulu di kota akan memiliki banyak pengalaman mengenai cara bertahan hidup di perkotaan. Dengan demikian, kerabat ini dapat membantu mereka yang baru tiba dari desa dalam menyesuaikan diri terhadap situasi baru tersebut. Goncangan budaya seringkali terjadi bagi mereka yang baru datang ke perkotaan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan mengenai kepadatan

(45)

penduduk, luas daerah, dan beragamnya penduduk di perkotaan (Sjahrir, 1995). Ketika mereka dapat beradaptasi, maka mereka masih dapat bertahan untuk tinggal di perkotaan.

Ikatan kekerabatan seperti ini tidak hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai hubungan darah melainkan termasuk pula orang-orang yang berasal dari satu desa yang sama. Di kota, ikatan kekerabatan ini meluas meliputi mereka yang memiliki profesi yang sama ataupun kepentingan yang sama.

2.1.5.Kesejahteraan

Masyarakat selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan nilai-nilai yang belaku dalam lingkungannya. Kebutuhan yang diutamakan untuk dipenuhi adalah kebutuhan dasarnya. Menurut Sudjadi (2000), kebutuhan hidup minimum (KHM) berupa makan, sandang, rumah, kesehatan, pendidikan, tranportasi dan lain-lain. Seseorang yang dikatakan miskin bila orang tersebut hanya mampu memenuhi KHM, begitu pula sebaliknya Menurut Firdaus (2005) kesejahteraan adalah kondisi berimbangnya antara nilai dengan harga, berimbangnya pendapatan dengan pengeluaran, berimbangnya jumlah keuntungan dengan jumlah sedekah, zakat dan pajak. Dengan kesejahteraan ini, maka tujuan dari kesejahteraan yaitu mengeliminir kemiskinan dan mempertemukan masyarakat dengan kebutuhannya dapat tercapai.

Ada beberapa model kesejahteraan sosial. Menurut Elliot (1993) yang mengadaptasi pandangan Johnson (1986:h.16); Dolgoff dan Feildstein (1984); serta Falk (1984:h.13) dalam Adi (2004), pandangan kesejahteraan terdiri dari:

1. paradigma residual atau model kesejahteraan residual, yaitu paradigma yang sangat menekankan nilai-nilai individualisme dan kemerdekaan individu, sehingga kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat dianggap merupakan kensekuensi logis

Gambar

Tabel 18  Jumlah Pemulung Menurut Jumlah Uang yang
Tabel 35  Persentase Pemulung Menurut Usia Pemulung dan Jarak
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tabel  2  Susunan Penduduk Desa Kedaung Berdasarkan Kelompok Umur dan  Jenis Kelamin, 2005
+7

Referensi

Dokumen terkait

Urutan hasil uji korelasi antar aspek dengan kompetensi interpersonal pada remaja yang tidak memiliki saudara kandung ……….

A-1 STRES PADA CALON TKW YANG AKAN BEKERJA DI LUAR NEGERI1. A-2

(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Penghubung Simpul Jaringan dibantu oleh Sekretariat Jaringan IGN yang secara fungsional dilakukan oleh salah satu

Usaha preventif pada masa neonatus, bayi dan balita dapat dilakukan dengan memberi pujian dan respon terhadap segala usaha anak untuk mengeluarkan suara, serta memberi tanda

Berdasarkan prosesnya inovasi Smart Card yang berada di UPTD Terminal Purabaya-Bungurasih termasuk Sustaining innovation (inovasi terusan) merupakan proses inovasi yang

Seperti juga relasi satu kebanyak, relasi satu ke satu ini dapat dijelaskan dengan masing-masing kolom dalam tabel yang akan direlasikan hanya memiliki satu data saja tidak boleh

Pemahaman dan ketertarikan mitra dengan program ini dievaluasi dengan memberikan pertanyaan dalam bentuk quisioner (tabel 3). Quisiner terdiri dari 9 pertanyaan yang

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA DIALOG BAHASA INDONESIA MELALUI PENERAPAN MODEL RESPONS VERBAL DILENGKAPI DENGAN GAMBAR Studi Kuasi Eksperimen pada Kelas X SMA Al-Ma’arif