• Tidak ada hasil yang ditemukan

Polimorfisme -173 G ke C gen macrophage migration inhibitory factor dengan kadar angiotensin II dan macrophage inhibitory factor sebagai faktor risiko sindrom nefrotik resisten steroid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Polimorfisme -173 G ke C gen macrophage migration inhibitory factor dengan kadar angiotensin II dan macrophage inhibitory factor sebagai faktor risiko sindrom nefrotik resisten steroid"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION INHIBITORY FACTOR DENGAN KADAR ANGIOTENSIN II DAN MACROPHAGE INHIBITORY FACTOR SEBAGAI FAKTOR RISIKO

SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

DISERTASI

OKE RINA RAMAYANI NIM 088102002

PROGRAM STUDI DOKTOR (S-3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION INHIBITORY FACTOR DENGAN KADAR ANGIOTENSIN II DAN MACROPHAGE INHIBITORY FACTOR SEBAGAI FAKTOR RISIKO

SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

DISERTASI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Doktor dalam

Program Studi Ilmu Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara di bawah Pimpinan

Rektor Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM),Sp.A(K) Untuk Dipertahankan Dihadapan Sidang Ujian Terbuka

Universitas Sumatera Utara

Oleh

Oke Rina Ramayani NIM 088102002

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Penelitian : Polimorfisme -173 G ke C gen macrophage migration inhibitory factor dengan kadar angiotensin II dan macrophage inhibitory factor sebagai faktor risiko sindrom nefrotik resisten steroid

Nama Mahasiswa : Oke Rina Ramayani No Induk Mahasiswa : 088102002

Program Studi : Doktor Ilmu Kedokteran

Menyetujui

Promotor

Prof. dr.H. Aznan Lelo, PhD,SpFK

Co Promotor

Prof. Dr.dr.H.Nanan Sekarwana,MARS,SpA(K)

Co Promotor

(4)

PROMOTOR

Prof. dr. H. Aznan Lelo,PhD,SpFK Guru Besar Tetap Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

KO-PROMOTOR

Prof. Dr.dr.H.Nanan Sekarwana,MARS,SpA(K) Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran

Bandung

KO-PROMOTOR

Dr. dr.Hj.Partini P.Trihono,MMPaed,SpA(K) Doktor Ilmu Kesehatan Anak

(5)

Telah diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 16 Desember 2013

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. dr. H. Aznan Lelo,PhD,SpFK

Anggota : Prof. Dr.dr.H.Nanan Sekarwana,MARS,SpA(K)

Dr.dr.Hj.Partini P.Trihono,MMPaed,SpA(K)

dr.H.Ahmad Hamim Sadewa, PhD

Prof.dr.H.Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH

Dr. dr. Rosita Juwita Sembiring, SpPK

(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : Oke Rina Ramayani

NIM : 088102002

Program Studi : Ilmu Kedokteran Jenis Karya : Disertasi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ( Non-exclusive Royalty Free Right) atas disertasi saya yang berjudul:

POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION INHIBITORY FACTOR DENGAN KADAR ANGIOTENSIN II DAN MACROPHAGE INHIBITORY FACTOR SEBAGAI FAKTOR RISIKO

SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola data bentuk database, merawat, dan mempublikasikan disertasi saya tanpa meminta izin dari saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya,

Dibuat di Medan

Pada tanggal 7 Januari 2014

Yang menyatakan

(7)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Hasil penelitian ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Oke Rina Ramayani NIM : 088102002

Materai 6000

(8)
(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Oke Rina Ramayani

Tempat/tanggal lahir : Medan, 1 Februari 1974

Agama : Islam

Nama ayah : Prof.Dr.H.Rusdidjas, SpA(K)

Nama ibu : Prof.Dr.H.Rafita Ramayati, SpA(K)

Nama anak :Rasyid Ridha

Putri Ramayuli

Riwayat pendidikan:

1. Lulus S1 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (1997)

2. Lulus Spesialis Anak Fakultas Kedokteran USU (2005)

Riwayat pekerjaan:

1. Dokter PTT Puskesmas Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang,

Sumatera Utara (tahun 1998 – 2000)

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara (tahun 2005-sekarang)

Organisasi:

1. Anggota Ikatan Dokter Indonesia/IDI

2. Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamu’alaikum Wr.Wb Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang sudah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta telah memberikan

kesempatan kepada promovendus sehingga mampu menyelesaikan

penulisan disertasi ini. Shalawat kepada suri tauladan manusia, Rasulullah

Muhammad SAW semoga kita mendapat syafaat Baginda kelak di hari

Kebangkitan. Promovendus menyadari penelitian dan penulisan disertasi ini

masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan

hati promovendus mengharapkan masukan yang berharga dari semua

pihak pada masa yang akan datang. Pada kesempatan ini pula

perkenankan promovendus menyatakan penghargaan dan ucapan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H,MSc(CTM),SpA(K); Dekan Fakultas Kedokteran USU,

Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar,SpPD,KGEH; Pembantu Dekan I,

Prof.dr.Guslihan Dasa Tjipta,SpA(K); Ketua Program Studi S-3 Kedokteran,

Prof.dr.Chairuddin P.Lubis, DTM&H, MSc, CTM, SpA(K); Sekretaris

Program Studi S-3, Prof.Dr.dr.Delfitri Munir,Sp.THT-KL; seluruh jajaran

yang telah memberi izin, dukungan serta motivasi kepada promovendus

untuk menyelesaikan Program Pascasarjana di USU.

Orang tua kandung promovendus: Ayahanda Prof.dr.H.Rusdidjas,

(11)

memberi kasih sayang, serta mendidik promovendus hingga saat ini.

Promovendus persembahkan gelar ini untuk keduanya disertai do’a ananda

agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.

Promotor dan kopromotor: Prof.dr.H.Aznan Lelo, PhD, SpFK,

Prof.Dr.dr.H.Nanan Sekarwana, MARS,SpA(K), dan Dr.dr.Hj. Partini P

Trihono, MMPaed,SpA(K) yang telah memberikan bimbingan ilmu kepada

promovendus dan dorongan semangat kerja keras untuk menyelesaikan

disertasi ini. Kepada ketiganya serta keluarga tersayang, promovendus

selalu berdo’a untuk kesehatan dan kebahagiaan dunia akhirat.

Selanjutnya, promovendus juga mengucapkan terima kasih dan

penghargaan setinggi-tingginya kepada tim penguji disertasi

Alm.Prof.dr.Iskandar Z.Lubis, SpA(K), Dr.Ahmad Hamim Sadewa, PhD,

Prof.dr.Harun Rasyid Lubis,SpPD-KGH, Dr.dr.Rosita Juwita Sembiring,

SpPK, dr.Putri Chairani Eyanoer, MS Epi, PhD serta seluruh staf pengajar

di lingkungan program S-3 Kedokteran FK USU.

Kepala Bagian Anak FK USU, Sekretaris Bagian Anak FK USU,

Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Anak dan seluruh staf pengajar di

lingkungan Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU, Ketua dan

pengurus IDAI, Cabang Sumatera Utara, yang telah memberi masukan dan

pengertian kepada promovendus untuk menyelesaikan disertasi ini

Seluruh pimpinan dan staf Lembaga Penelitian USU, Laboratorium

Terpadu FK USU, Laboratorium Biokimia FK UGM, Laboratorium Prodia,

RS H. Adam Malik, RS Columbia Asia, RS Malahayati, dan RS Santa

(12)

sakit, dan memberi izin fasilitas, sarana serta bantuan tenaga dalam

pelaksanaan penelitian.

Teman teman seperjuangan di bidang Nefrologi Anak terutama

Alm.dr.Dahler Bahrun, SpA(K), dr Syafruddin Haris SpA(K), dr Rosmayanti

Siregar,SpA, dr Afdal SpA, dr.Hertanti SpA, dr.Muhammad Nur,SpA,

promovendus ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas masukan

ilmu dan input pasien dari teman teman semua.

Teman-teman yang promovendus sayangi seperti Kak Bugis, Bang

Hendi, Kak Yuli, Kak Beqi, Bang Irfan, Bang Indra, Alm. Agustiar, Hema

Masyithah, Kak Mardiah, Maria Novalentina, Budi Lestari serta semua pihak

yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan

dalam terlaksananya penelitian serta penulisan disertasi ini.

Akhirnya, kepada Abanganda dr.Kiking Ritarwan,MKT,SpS(K),

drg.Andayani Prasulandari Trisnawiyasanti, Lulu Anindita Putri, Shafira

Pramesti Putri, Auryn Pradipta Ritarwan dan kedua buah hati promovendus:

Rasyid Ridha dan Putri Ramayuli, terima kasih atas kasih sayang dan

pengertian yang diberikan selama ini. Akhirnya promovendus berharap

semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Medan

(13)

ABSTRAK

Latar belakang: Penderita sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS)

cenderung berlanjut ke penyakit ginjal tahap akhir. Alel C -173 gen MIF (macrophage migration inhibitory factor) berkaitan dengan gangguan keseimbangan sitokin MIF dengan glukokortikoid, sehingga penderita SN resisten terhadap terapi steroid. Studi in vitro menunjukkan sitokin MIF diatur oleh angiotensin II. Induksi regulasi MIF oleh angiotensin II memengaruhi perkembangan hipertensi.

Tujuan: Hubungan alel C -173 gen MIF dengan keberadaan MIF

serum dan pengaturan oleh angiotensin II plasma pada individu SNRS belum diketahui.

Metode: Studi sekat lintang dilakukan pada 120 anak (steroid resisten,

steroid sensitif dan anak sehat) sejak November 2011 hingga September 2012. Data yang dikumpulkan meliputi pemeriksaan fisis, tekanan darah, rasio albumin kreatinin urin, alel G atau C -173 gen MIF, MIF serum, dan angiotensin II plasma.

Hasil: Frekuensi alel C tiga kali lebih tinggi pada SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat (OR 2,79;IK 95% 1,13 sampai 6,89). Kadar MIF serum lebih tinggi pada SNRS (median 31,9 kisaran 14,3 sampai 117,2 ng/mL) dibandingkan dengan kedua grup lain (p=0,04). Kelompok SNRS menunjukkan kadar angiotensin II plasma (median 22,7 kisaran 3,1 sampai 153,4 pg/mL) lebih tinggi dibandingkan dengan grup lain (p=0,01). Korelasi angiotensin II plasma dengan MIF serum adalah korelasi positif yang sangat lemah (rho = 0,27; p=0.003). Pada analisis multivariat ditemukan bahwa alel C, hipertensi sistolik, dan diastolik sebagai variabel yang bermakna terhadap risiko SNRS. Variabel angiotensin II plasma dan MIF serum memengaruhi secara nyata terhadap variabel hipertensi, apabila tidak dimasukkan ke dalam model, sehingga tetap dipakai sebagai model terbaik.

Simpulan: Frekuensi alel C, kadar angiotensin II plasma, dan MIF

serum lebih tinggi pada SNRS. Alel C, hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, kadar angiotensin II plasma dan MIF serum merupakan model terbaik untuk analisis model keberadaan resisten steroid.

(14)

ABSTRACT

Background: Steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS) patients

tend to progress to end-stage renal disease (ESRD). The MIF high producer -173 C allele has been associated with alterations in balance between MIF and glucocorticoids; resulting in NS patients resistant to steroid therapy. In vitro studies demonstrate cytokine MIF is regulated by angiotensin II. Induction of MIF by angiotensin II affects the development of hypertension.

Aim: Relationship MIF gene -173 C allele with the presence of serum MIF and plasma angiotensin II regulation for the individual SRNS is unknown.

Methods: A cross-sectional study was conducted with 120 consecutive

children consisting of three groups (steroid-resistant, steroid-sensitive, and well children) between November 2011 and September 2012. Data were collected consist of physical examinations, blood pressure, urinary albumin-creatinine ratio, allele of -173 gene MIF, serum MIF and plasma angiotensin II.

Results: The C allele was three times more frequent in SRNS than

SSNS and well children (OR 2.79 95% CI 1.13 to 6.89). Group SRNS had significantly higher serum MIF (median 31.9 (14.3 to 117.2) ng/mL) compared to the levels in other groups (p=0.04). Marked increases in median plasma angiotensin II was observed in group SRNS (median 22.7 (3.1 to 153.4) pg/mL) compared with other groups (p=0.01). Plasma angiotensin II concentrations were very weak positive correlated with serum MIF (rho= 0.27; p=0.003). Although multivariate analysis found that the C allele, systolic and diastolic hypertension,as significant variables on the risk of SRNS, but variable levels plasma angiotensin II and serum MIF significantly affect variable hypertension, if not incorporated into this models.

Conclusions: C allele polymorphism of the -173 MIF gene, plasma

angiotensin II and serum MIF concentrations, are higher in SRNS. The C allele, systolic and diastolic hypertension, levels of plasma angiotensin II and serum MIF are the best fit model for steroid-resistant analysis models.

Key words: steroid-resistant nephrotic syndrome, polymorphism -173

(15)

RINGKASAN

Sindroma nefrotik (SN) merupakan manifestasi glomerulopati yang sering dijumpai pada anak. Keadaan ini ditandai dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dan hiperkolesterolemia. Lebih kurang 85%-90% SN pada anak merupakan sindroma nefrotik sensitif steroid (SNSS), hanya 10%-15% merupakan sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS). Persentase kelompok ini relatif kecil namun dapat berkembang menjadi gagal ginjal tahap akhir dalam waktu 1-4 tahun, oleh karena itu prediksi terjadinya resisten steroid menjadi isu yang penting.

Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular berperan dalam membantu klinisi menentukan respon terapi steroid. Individu dengan polimorfisme G ke C -173 gen MIF memiliki risiko resisten terhadap terapi steroid. Banyak penelitian menyebutkan hal itu, tetapi belum jelas menerangkan apakah alel C sebagai faktor risiko, terkait dengan kadar MIF serum yang tinggi

Umumnya sitokin-sitokin proinflamasi ditekan oleh aksi anti inflamasi glukokortikoid. Sebaliknya pelepasan sitokin MIF dipicu oleh glukokortikoid dan bekerja antagonis. Konsekuensi klinis hal ini adalah efek glukokortikoid dapat dihambat oleh MIF apabila konsentrasi MIF serum meningkat dan menyebabkan kerusakan pada ginjal tetap berlanjut. Aksi antagonis MIF terhadap efek glukokortikoid diatur oleh angiotensin II secara lokal (intrarenal) maupun sistemik. Persistensi angiotensin II sistemik menyebabkan perkembangan hipertensi dan proteinuria, dan kerusakan ginjal progresif. Subjek SN dengan alel C gen -173 MIF memiliki risiko resisten terhadap steroid, namun apakah subjek ini juga mengalami peningkatan kadar angiotensin II plasma dan MIF serum sehingga resisten terhadap terapi steroid, belum diketahui.

.

(16)

dosis penuh prednison (2 mg/kg/hari). Data yang dikumpulkan melalui rekam medis meliputi: identitas subjek, anamnesis gejala pada awal masuk, ureum dan kreatinin darah, pengobatan yang diterima dan luaran. Data yang dikumpulkan pada saat studi meliputi pemeriksaan fisis (umur saat penelitian, berat dan tinggi badan, tekanan darah), proteinuria kuantitatif, genotip polimorfisme -173 G ke C gen MIF, kadar angiotensin II plasma dan MIF serum.

Frekuensi alel C tiga kali lebih tinggi pada SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat (OR 2,79;IK 95% 1,13 sampai 6,89). Kadar MIF serum lebih tinggi pada SNRS (median 31,9 kisaran 14,3 sampai 117,2 ng/mL) dibandingkan dengan kedua grup lain (p=0,04). Kelompok SNRS menunjukkan kadar angiotensin II plasma (median 22,7 kisaran 3,1 sampai 153,4 pg/mL) lebih tinggi dibandingkan dengan grup lain ( p=0,01). Korelasi angiotensin II plasma dengan MIF serum adalah korelasi positif yang sangat lemah (rho = 0,27; p = 0,003). Pada analisis multivariat ditemukan bahwa alel C, hipertensi sistolik, dan diastolik sebagai variabel yang bermakna terhadap risiko SNRS. Variabel angiotensin II plasma dan MIF serum memengaruhi secara nyata terhadap variabel hipertensi, apabila tidak dimasukkan ke dalam model, sehingga tetap dipakai sebagai model terbaik. Akhirnya, angiotensin II memengaruhi regulasi MIF, merupakan mekanisme yang berkontribusi terhadap perkembangan/pemeliharaan hipertensi.

Simpulan studi ini adalah frekuensi alel C, kadar angiotensin II plasma, dan MIF serum lebih tinggi pada SNRS. Alel C, hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, kadar angiotensin II plasma dan MIF serum merupakan model terbaik untuk analisis model keberadaan resisten steroid. Mengingat simpulan studi ini, maka analisis polimorfisme gen MIF dilakukan atas indikasi tertentu (SNRS yang disertai hipertensi) dan perlu dikembangkan obat anti-MIF/penghambat MIF sebagai terapi

(17)

SUMMARY

Nephrotic syndrome (NS) is a manifestation of glomerulopathy that often found in children. It is characterized by massive proteinuria, hypoalbuminemia, oedema and hypercholesterolemia. Approximately 85%-90% NS in children are steroid-sensitive nephrotic syndrome (SSNS), only 10%-15% patients are steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS). The percentage of this group is relatively small, but can progress to end stage renal failure within 1-4 years. Therefore, the prediction of steroid resistance is an important issue

The development of the study of cell and molecular biology play a role in helping clinicians determine the response to steroid therapy. Individuals with polymorphism G to C -173 MIF gene have a risk to steroid resistance.

.

Many studies mentioned about risk of resistance steroid in allele C -173 MIF gene but have not been clearly defined whether this allele as a risk factor associated with serum MIF levels.

Generally, many proinflammatory cytokines suppressed by anti-inflammatory action of glucocorticoids. This MIF cytokine is induced by glucocorticoids, and then acts to counter-regulate the inflammatory action of glucocorticoids. Higher MIF levels can inhibit the action glucocorticoids and regulated by angiotensin II, either locally or systemically. Persistence angiotensin II in systemic causes an increase in the development of hypertension and proteinuria, and could progressive to kidney damage. While MIF is central to determining chronicity in steroid resistance, data regarding serum MIF, plasma angiotensin II levels and hypertension regulation in SRNS are scarce.

(18)

creatinine, treatment received and luaran. Data collected during the study include physical examination (age at study, weight and height, blood pressure), quantitative proteinuria, genotyping polymorphisms -173 G to C MIF gene, plasma angiotensin II and serum MIF levels

The C allele was three times more frequent in SRNS than SSNS and well children (OR 2.79 95% CI 1.13 to 6.89). Group SRNS had significantly higher serum MIF (median 31.9 (14.3 to 117.2) ng/mL) compared to the levels in other groups (p=0.04). Marked increases in median plasma angiotensin II was observed in group SRNS (median 22.7 (3.1 to 153.4) pg/mL) compared with other groups (p=0.01). Plasma angiotensin II concentrations were very weak positive correlated with serum MIF (rho= 0.27; p=0.003).

.

Although multivariate analysis found that the C allele, systolic hypertension, and diastolic as significant variables on the risk of SNRS, but variable plasma angiotensin II and serum MIF significantly affect variable hypertension, if not incorporated into this models

The C allele polymorphism of -173 MIF gene, plasma angiotensin II and serum MIF concentrations, are higher in SRNS. Systolic and diastolic hypertension, C allele, levels of plasma angiotensin II and serum MIF are the best fit model for steroid-resistant analysis models.

. Finally, angiotensin II induced MIF regulation may represent a mechanism that contributes to the development/maintenance of hypertension.

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT………. ii

RINGKASAN……… iii

SUMMARY……… v

DAFTAR ISI ... ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH... xii

BAB I PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang... 1.2 Rumusan Masalah... 1.3 Tujuan Penelitian... 1.3.1. Tujuan umum... 1.3.2. Tujuan khusus…………... 1.4 Manfaat Penelitian... 1.4.1. Manfaat teori………... 1.4.2. Manfaat bagi masyarakat………. 1.4.3. Manfaat aplikatif ... 1.4.4. Manfaat bagi pengembangan ilmu dan penelitian... 1.5. Orisinalitas……… 1.6. Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual………….. 1 6 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Tinjauan Pustaka... 2.1.1. Sindroma Nefrotik, Sindroma Nefrotik Resisten Steroid……….... 2.1.2. Hipertensi sebagai Luaran Klinis SNRS…… 2.1.3. Genotip MIF dan Respon terhadap Glukokortikoid ……….. 2.1.4. Peran Angiotensin II Regulasi Tekanan Darah………. 2.1.5. Angiotensin II sebagai Regulator MIF... 2.1.6. MIF dan Sensitivitas Glukokortikoid... 2.1.7. Hubungan Peningkatan MIF dan Angiotensin II dengan Kerusakan Ginjal …. 2.2. Kerangka Pemikiran, dan Premis ... 2.3 Kerangka Konsep Penelitian………. 2.4 Hipotesis Penelitian ………. 9 9 11 13 18 21 25 30 32 36 37 BAB III METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Desain Penelitian... 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 3.3 Populasi Penelitian dan Justifikasi... 3.4 Subjek Penelitian dan Cara Pemilihan Subjek …. 3.5 Estimasi Besar Sampel ...

(20)

3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 3.6.1. Kriteria Inklusi untuk Kasus……… 3.6.2. Kriteria Inklusi untuk Grup Pembanding…… 3.6.3. Kriteria Eksklusi………. 3.7 Informed Consent dan Ethical Clearence... 3.8 Alur Kerja... 3.9 Data yang Dikumpulkan... 3.10 Pemeriksaan... 3.10.1. Pemeriksaan Antropometris……… 3.10.2. Pemeriksaan Fisis Tekanan Darah ………... 3.10.3. Pemeriksaan Proteinuria Kuantitatif……….. 3.10.4. Analisis Genotip Polimorfisme-173 G ke C

Gen MIF………. 3.10.5. Analisis Angiotensin II Plasma………. 3.10.6. Analisis MIF Serum………. 3.11 Identifikasi Variabel………. 3.12 Definisi Operasional……… 3.13 Pengolahan dan Analisis Data...

45 45 45 46 46 47 47 48 48 48 49 50 51 52 52 53 55

BAB IV HASIL PENELITIAN……….

4.1 Demografi Subjek Penelitian... 4.2 Distribusi dan Hubungan Alel C -173 Gen MIF Menurut Grup………. 4.3 Sebaran dan Hubungan Konsentrasi Angiotensin II Plasma dan MIF Serum Menurut Grup ………. 4.4 Korelasi Antara Angiotensin II dan MIF………. 4.5 Analisis Multivariat……… 4.6 Pengujian Hipotesis……….

56 56 58 61 62 63 66

BAB V PEMBAHASAN ……… 68

5.1 Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF Sebagai Faktor Risiko SNRS... 5.2 Kadar MIF Serum dan Antagonisme Steroid: Faktor Risiko SNRS ……….……… 5.3 Kadar Angiotensin II Plasma dan Hipertensi:

Faktor Risiko SNRS………. 5.4 Analisis Korelasi dan Multivariat Frekuensi Alel

MIF, Kadar Angiotensin II Plasma dan Kadar MIF Serum Secara Bersama sama dengan Hipertensi Terhadap Risiko SNRS……… 5.5 Hipertensi, Angiotensin II Sistemik dan Peranan

dalam Gangguan Struktur/Fungsi Ginjal………….. 5.6 Hubungan Sitokin MIF Terhadap Proteinuria

Menetap dan Gangguan Struktur/Fungsi Ginjal…. 5.7 Kelebihan dan Kelemahan Studi ...

68 72 74 76 80 82 84

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ………. 86

DAFTAR PUSTAKA... 88

(21)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Faktor Risiko Genetik Resisten Steroid pada SN………. 15 2. Asal Subjek Penelitian……… 56 3. Karakteristik Demografi Subjek Penelitian ……… 57 4. Perbedaan Frekuensi Hipertensi diantara Grup………… 57 5. Frekuensi Tata Laksana yang Diperoleh Subjek SN…… 58 6. Distribusi Antara Grup dan Frekuensi Alel………. 59 7. Hubungan Grup dengan Alel C -173 Gen MIF………….. 59 8. Kondisi Genotip Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF di

dalam Studi……….. 60

9. Hubungan Angiotensin II dan MIF Antara Grup ……….. 62 10. Analisis Bivariat Faktor Risiko Resisten Steroid pada

SN……….. 63

11. Model Pertama Keberadaan Resisten Steroid…………... 64 12. Model Kedua Keberadaan Resisten Steroid……….. 64 13. Nilai Kekuatan Interaksi Variabel Pada Model………….. 65 14. Perbandingan dengan Studi Lain tentang Frekuensi Alel

(22)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. Hubungan Glomerulopati dengan Hipertensi ... 13 2. Struktur Gen MIF Manusia... 16 3. Hubungan antara MIF, Glukokortikoid dan

Inflamasi……… 17

4. Struktur Tiga Dimensi MIF Manusia……… 25 5. Target Kerja Glukokortikoid dan MIF ……….. 28 6 Hubungan Peningkatan MIF dengan Kerusakan

Ginjal……… 31

7. Peranan Angiotensin II dalam Kerusakan

Ginjal……….. 32

8. Kerangka Konsep Penelitian………. 38 9. Cara Pemilihan Subjek Studi………. 42 10. Alur Kerja ………..…………... 47 11. Gambaran Elektroforesis Produk PCR Setelah

Digesti dengan Enzim Alu I dari Ketiga Genotip… 60 12 Boxplot Kadar Angiotensin II pada Setiap Grup…. 61 13. Boxplot Kadar MIF pada Setiap Grup……….. 61 14. Scatter Plot Kadar MIF dan Angiotensin II………. 62 15. Ilustrasi Keadaan Respon Individu Terhadap

Steroid Dihubungkan dengan SNP -173 G Ke C

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Tabel Tekanan Darah Anak Laki-laki... 102 2. Tabel Tekanan Darah Anak Perempuan………….. 103 3 Lembar Penjelasan Subjek/Orang Tua………. 104 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan... 106 5. Status Pemeriksaan... 107 6. Persetujuan Komite Etik……… 108

7. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan

Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF……….. 109 8. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan

Angiotensin II Plasma... 110 9. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan MIF

(24)

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

ACE = Angiotensin converting enzyme

ACEI = Angiotensin converting enzyme inhibitor

ADH = Anti diuretic hormone

Ang II = Angiotensin II AP-1 = Activator protein-1

ARB = Angiotensin receptor blocker

AT1 AT

R = Angiotensin II type 1 receptor 2

bp = base pair

R = Angiotensin II type 2 receptor

CD = Cluster of differentiation

CDC = Centers for Disease Control and Prevention

cPLA2 = cytoplasmic phospho lipase A2

CREB = cAMP response element binding protein

CVO = Circumventricular organ

DNA = Deoxyribosa Nucleic Acid

EDTA = Ethylen diamine tetra acetate

eGFR = estimated glomerular filtration rate

EIA = Enzyme immune assay

ELISA = Enzyme linked immunosorbent assay

ERK 1/2 = Extracelllular signal-regulated kinase 1/2

ESCAPE = Effect of strict blood pressure control and ACE inhibition on the progression of CRF in pediatric patients

HPA = Hypothalamic pituitary axis

HTD = Hipertensi diastolik HTS = Hipertensi sistolik

IFN = Interferon

IK 95% = Interval kepercayaan 95% IκB = Inhibitor of NF-κB

IL = Interleukin

(25)

MAPK = Mitogen activated protein kinase

MDR-1 = Multi drug resistance-1

MHC = Major histocompatibility complex

MIF = Macrophage migration inhibitory factor

mRNA = massengers ribosa nucleic acid

Na K ATP ase= Natrium kalium adenosine tryphosphatease

NCHS = National Center for Health Statistics

NF-κB = Nuclear factor-κB

NHBPEP = National High Blood Pressure Education Program

NKF-K/DOQI= National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative

NR3C1 = Nuclear receptor subfamily 3, group C, member 1

OR = Odds ratio

PCR-RFLP = Polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism

PGK = Penyakit ginjal kronik rpm = round per minute

SB = Simpangan baku SN = Sindroma nefrotik

SNP = Single nucleotide polymorphism

SNRS = Sindrom nefrotik resisten steroid SNSS = Sindrom nefrotik sensitif steroid SRAA = Sistim renin angiotensin aldosteron SSP = Susunan saraf pusat

TDS = Tekanan darah sistolik TDD = Tekanan darah diastolik

Th = Thelper

TLR = Toll-Like receptor

TNF α = Tumor necrosis factorα

UACR = Urinary albumine creatinine ratio

(26)

ABSTRAK

Latar belakang: Penderita sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS)

cenderung berlanjut ke penyakit ginjal tahap akhir. Alel C -173 gen MIF (macrophage migration inhibitory factor) berkaitan dengan gangguan keseimbangan sitokin MIF dengan glukokortikoid, sehingga penderita SN resisten terhadap terapi steroid. Studi in vitro menunjukkan sitokin MIF diatur oleh angiotensin II. Induksi regulasi MIF oleh angiotensin II memengaruhi perkembangan hipertensi.

Tujuan: Hubungan alel C -173 gen MIF dengan keberadaan MIF

serum dan pengaturan oleh angiotensin II plasma pada individu SNRS belum diketahui.

Metode: Studi sekat lintang dilakukan pada 120 anak (steroid resisten,

steroid sensitif dan anak sehat) sejak November 2011 hingga September 2012. Data yang dikumpulkan meliputi pemeriksaan fisis, tekanan darah, rasio albumin kreatinin urin, alel G atau C -173 gen MIF, MIF serum, dan angiotensin II plasma.

Hasil: Frekuensi alel C tiga kali lebih tinggi pada SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat (OR 2,79;IK 95% 1,13 sampai 6,89). Kadar MIF serum lebih tinggi pada SNRS (median 31,9 kisaran 14,3 sampai 117,2 ng/mL) dibandingkan dengan kedua grup lain (p=0,04). Kelompok SNRS menunjukkan kadar angiotensin II plasma (median 22,7 kisaran 3,1 sampai 153,4 pg/mL) lebih tinggi dibandingkan dengan grup lain (p=0,01). Korelasi angiotensin II plasma dengan MIF serum adalah korelasi positif yang sangat lemah (rho = 0,27; p=0.003). Pada analisis multivariat ditemukan bahwa alel C, hipertensi sistolik, dan diastolik sebagai variabel yang bermakna terhadap risiko SNRS. Variabel angiotensin II plasma dan MIF serum memengaruhi secara nyata terhadap variabel hipertensi, apabila tidak dimasukkan ke dalam model, sehingga tetap dipakai sebagai model terbaik.

Simpulan: Frekuensi alel C, kadar angiotensin II plasma, dan MIF

serum lebih tinggi pada SNRS. Alel C, hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, kadar angiotensin II plasma dan MIF serum merupakan model terbaik untuk analisis model keberadaan resisten steroid.

(27)

ABSTRACT

Background: Steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS) patients

tend to progress to end-stage renal disease (ESRD). The MIF high producer -173 C allele has been associated with alterations in balance between MIF and glucocorticoids; resulting in NS patients resistant to steroid therapy. In vitro studies demonstrate cytokine MIF is regulated by angiotensin II. Induction of MIF by angiotensin II affects the development of hypertension.

Aim: Relationship MIF gene -173 C allele with the presence of serum MIF and plasma angiotensin II regulation for the individual SRNS is unknown.

Methods: A cross-sectional study was conducted with 120 consecutive

children consisting of three groups (steroid-resistant, steroid-sensitive, and well children) between November 2011 and September 2012. Data were collected consist of physical examinations, blood pressure, urinary albumin-creatinine ratio, allele of -173 gene MIF, serum MIF and plasma angiotensin II.

Results: The C allele was three times more frequent in SRNS than

SSNS and well children (OR 2.79 95% CI 1.13 to 6.89). Group SRNS had significantly higher serum MIF (median 31.9 (14.3 to 117.2) ng/mL) compared to the levels in other groups (p=0.04). Marked increases in median plasma angiotensin II was observed in group SRNS (median 22.7 (3.1 to 153.4) pg/mL) compared with other groups (p=0.01). Plasma angiotensin II concentrations were very weak positive correlated with serum MIF (rho= 0.27; p=0.003). Although multivariate analysis found that the C allele, systolic and diastolic hypertension,as significant variables on the risk of SRNS, but variable levels plasma angiotensin II and serum MIF significantly affect variable hypertension, if not incorporated into this models.

Conclusions: C allele polymorphism of the -173 MIF gene, plasma

angiotensin II and serum MIF concentrations, are higher in SRNS. The C allele, systolic and diastolic hypertension, levels of plasma angiotensin II and serum MIF are the best fit model for steroid-resistant analysis models.

Key words: steroid-resistant nephrotic syndrome, polymorphism -173

(28)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindroma nefrotik (SN) merupakan manifestasi glomerulopati yang

sering dijumpai pada anak. Sindroma nefrotik merupakan keadaan klinis

yang ditandai dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dan

hiperkolesterolemia (Vogt dan Avner, 2007). Angka kejadian SN di

Amerika berkisar antara 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun (Eddy

dan Symons, 2003). Anak-anak keturunan Asia Selatan memiliki tingkat

insidens 7,4 per 100.000 anak per tahun dan anak ras lain mencapai 1,6

per 100.000 anak per tahun (McKinney et al., 2001). Di Indonesia,

insidens SN dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun pada anak berusia

kurang dari 14 tahun (Wirya, 1992). Data penyakit ginjal anak di

Indonesia yang dikumpulkan dari tujuh Pusat Pendidikan Dokter Spesialis

Anak memperlihatkan bahwa SN merupakan penyakit yang paling sering

dijumpai (35%) di poliklinik nefrologi (UKK Nefrologi, 2008).

Luaran klinis penyakit ini bergantung pada umur saat presentasi,

gambaran histopatologis, keberadaan hematuria dan hipertensi, gangguan

fungsi ginjal, dan respons terhadap terapi steroid (Bagga dan Mantan,

2005). Prognosis SN pada anak berkorelasi dengan spektrum respons

terapi steroid, yaitu mulai dari SN sensitif steroid (SNSS) hingga SN

resisten steroid (SNRS). Kira-kira 90% anak dengan SN idiopatik sensitif

(29)

terhadap steroid (Cattran, 2000). Insidens kasus SNRS pada anak

mencapai 0,3 per 100.000 anak per tahun (Mc Kinney et al., 2001).

SNRS merupakan penyebab tersering penyakit ginjal tahap akhir

pada anak. Walaupun persentase penderita anak dengan SNRS kecil,

grup ini berisiko mengalami komplikasi ekstrarenal dan berkembang

menjadi penyakit ginjal tahap akhir (Niaudet et al., 2004). Prediksi

terhadap kemungkinan menjadi resisten terhadap steroid menjadi amat

penting bagi seorang anak penderita SN agar terhindar dari penyakit ginjal

tahap akhir dan biaya pengobatan yang cukup mahal.

Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular membantu

klinisi dalam menentukan respon terapi. Gen ataupun petanda protein

menjadi tujuan kajian tentang respon steroid pada SN (Yi dan He, 2006).

Adapun faktor yang diduga berpengaruh terhadap respon terapi steroid

adalah jumlah reseptor glukokortikoid dan faktor genetik (Haack et al.,

1999). Individu dengan perubahan gen macrophage migration inhibitory

factor (MIF) nukleotida tunggal G ke C (single nucleotide G to C

polymorphism) pada posisi -173 berisiko resisten terhadap terapi steroid

oleh karena hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon

terhadap glukokortikoid eksogen. Hal ini menyebabkan individu dengan

polimorfisme G ke C rentan terhadap penyakit inflamasi yang seharusnya

dapat ditata laksana dengan steroid (Vivarelli et al., 2008; Aeberli et al.,

2006), dan berkaitan dengan perburukan fungsi ginjal (Vivarelli et al.,

2008). Polimorfisme secara fungsional berhubungan dengan ekspresi

(30)

secara in vivo (Donn et al., 2002). Walaupun demikian berbagai penelitian

di atas belum jelas menerangkan apakah polimorfisme -173 G ke C gen

MIF sebagai faktor risiko pada individu SNRS berhubungan dengan

peningkatan level MIF serum.

Macrophage migration inhibitory factor (MIF) merupakan suatu

sitokin yang bersifat pleiotrophic (suatu sitokin yang bekerja terhadap

berbagai jenis sel yang menimbulkan berbagai efek). Sumber utama MIF

berasal dari berbagai organ dan distribusinya hampir merata di seluruh

jaringan tubuh. Hal ini mendukung teori bahwa pelepasan MIF ke sirkulasi

darah terjadi dari penyimpanan MIF di intra sel (Lue, 2003). MIF tersimpan

pada sitoplasma sel dan pengeluarannya ke ekstrasel dirangsang oleh

berbagai faktor, misalnya oleh angiotensin II (Rice et al.,2003). Studi in

vitro menunjukkan bahwa pelepasan MIF dari intrasel diatur oleh

angiotensin II (Rice et al.,2003), tetapi penelitian in vivo tentang hal ini

belum ada.

Sumber utama MIF di ginjal berasal dari sel-sel glomerulus

terutama podosit dan sel-sel epitel tubulus (Hattori et al., 1999) Peranan

MIF dalam memicu kerusakan ginjal terjadi melalui dua cara yaitu

merangsang pembentukan banyak mediator inflamasi (IL-1B, TNF-α, IL-6, nitric oxide, reactive oxygen species) dan bekerja antagonis terhadap

glukokortikoid (Stosic et al., 2009). Apabila efek glukokortikoid tidak

bekerja pada sel-sel di ginjal, proses kerusakan ginjal akan berlanjut dan

ditandai dengan proteinuria menetap, walaupun setelah diberikan dosis

(31)

Efek MIF yang kedua ini menjadi dasar bagi penelitian

penyakit-penyakit yang menggunakan steroid sebagai terapi utama, termasuk juga

SN. Meskipun demikian, bukan berarti efek yang pertama tidak berperan

di dalam patogenesis SN karena efek yang pertama ini dipengaruhi oleh

gambaran/corak histopatologis penderita SN yang juga memunyai

peranan di dalam resistensi terapi steroid. Prosedur biopsi ginjal relatif

invasif pada anak-anak sedangkan pengukuran kadar MIF dalam darah

relatif kurang invasif sehingga dipakai untuk menerangkan peranannya

dalam antagonisme steroid.

Sitokin-sitokin proinflamasi, selain MIF, ditekan oleh aksi anti

inflamasi glukokortikoid. Sebaliknya, pelepasan sitokin MIF dipicu oleh

glukokortikoid dan selanjutnya, bekerja sebagai antagonis glukokortikoid

(Petrovsky et al., 2003; Lan,2008). Konsekuensi klinis hal ini adalah efek

glukokortikoid dapat dihambat oleh MIF apabila konsentrasi MIF serum

meningkat dan menyebabkan kerusakan pada ginjal tetap berlanjut.

Penelitian Yang et al.(1998) menemukan bahwa apabila efek MIF

dinetralkan secara imunologis,akan terjadi peningkatan kadar serum

kortikosteron endogen. Hal ini berkorelasi dengan perbaikan proteinuria,

dan perbaikan kerusakan histologis pada glomerulus. Apabila kadar MIF

serum terlalu meningkat (di atas 100 pg/mL), berarti telah terjadi

kerusakan ginjal yang berat. Hal ini dibuktikan oleh Bruchfeld et al.(2009)

bahwa kadar MIF serum pada penderita penyakit ginjal kronik derajat 3-5

(kerusakan ginjal berat) lebih tinggi secara bermakna dibandingkan

(32)

Glukokortikoid memicu pengeluaran MIF dari dalam sel dan

bersirkulasi di plasma. Apabila pengeluaran MIF telah terjadi maka ia

bekerja antagonis terhadap glukokortikoid. Aksi antagonis MIF terhadap

efek glukokortikoid diatur oleh angiotensin II (Gasparo et al., 2000),

Keberadaan angiotensin II di jaringan ginjal dipengaruhi oleh

pengambilan (uptake) angiotensin II dari sirkulasi ataupun dari

pembentukan lokal di jaringan ginjal. Kedua hal ini menyebabkan

peningkatan kadar angiotensin II di sirkulasi apabila terjadi atau

berlangsung secara terus menerus (van Kats et al., 2001).

Regulasi MIF oleh peningkatan angiotensin II menyebabkan

perkembangan hipertensi dan proteinuria (Rice et al., 2003; Busche et al.,

2001; Wolf et al., 2003). Hipertensi dan proteinuria pada penderita SNRS

memunyai peran penting dalam perburukan fungsi ginjal (Meer et al.,

2010).

Peranan MIF terhadap glukokortikoid ditunjukkan dengan model

tikus defisiensi MIF yang diperankan oleh tikus delesi gen MIF (MIFP ־ P/P

־ P). Sebaliknya, tikus transgenik memiliki kadar MIF yang berlebihan. Pada

tikus delesi gen MIF terjadi peningkatan sensitivitas glukokortikoid (Aeberli

et al., 2006a; Aeberli et al., 2006b).

Pada subjek manusia dengan alel C memiliki kadar MIF yang lebih

tinggi daripada subjek GG homozigot (Donn et al., 2002; De Benedetti et

al., 2003). Subjek penderita SN dengan alel C -173 gen MIF memiliki

risiko resisten terhadap steroid (Berdelli et al., 2005; Vivarelli et al., 2008).

(33)

II dan peningkatan kadar MIF sehingga resisten terhadap terapi steroid,

belum pernah diteliti (sepanjang pengetahuan peneliti). Oleh karena itu,

kami ingin meneliti tentang hubungan polimorfisme -173 G ke C gen MIF,

dengan peningkatan kadar angiotensin II plasma dan MIF serum secara

bersama-sama dengan hipertensi pada anak penderita SN resisten steroid

dibandingkan dengan penderita SN sensitif steroid dan anak sehat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1.2.1 Apakah frekuensi alel C -173 gen MIF lebih tinggi pada anak

SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat?

1.2.2 Apakah kadar angiotensin II plasma lebih tinggi pada anak SNRS

dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat?

1.2.3 Apakah kadar MIF serum lebih tinggi pada anak SNRS

dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat?

1.2.4 Apakah terdapat korelasi positif antara kadar MIF serum dan

kadar angiotensin II plasma?

1.2.5 Apakah frekuensi alel C -173 gen MIF, peningkatan kadar

angiotensin II plasma, dan MIF serum secara bersama-sama

(34)

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menentukan dasar hubungan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, dengan

kadar angiotensin II plasma, dan MIF serum terhadap respon steroid

sehingga pasien SNRS terhindar dari progresivitas ke arah gagal ginjal.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Menganalisis data frekuensi genotip polimorfisme -173 G ke C gen

MIF pada anak penderita SNRS, SNSS, dan anak sehat

1.3.2.2 Menganalisis sebaran kadar angiotensin II plasma pada anak

penderita SNRS, SNSS, dan anak sehat

1.3.2.3 Menganalisis sebaran kadar MIF serum pada anak penderita

SNRS, SNSS, dan anak sehat

1.3.2.4 Menganalisis korelasi kadar angiotensin II plasma dan MIF serum.

1.3.2.5 Menganalisis hubungan alel C -173 gen MIF, peningkatan kadar

angiotensin II plasma,dan kadar MIF serum secara bersama-sama

dengan hipertensi terhadap risiko SNRS

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna bagi dunia ilmu pengetahuan

dan kehidupan anak. Adapun manfaatnya sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat teori. Studi ini meningkatkan pemahaman dan

pengetahuan tentang patofisiologi SNRS sehingga membantu

(35)

1.4.2 Manfaat bagi masyarakat. Studi ini membantu perencanaan

strategi pengobatan lebih awal terhadap anak SNRS sehingga

dapat mengurangi komplikasi akibat pemberian steroid jangka

panjang.

1.4.3 Manfaat aplikatif. Studi ini membantu anak SNRS dalam

mendapatkan terapi agresif selain steroid.

1.4.4 Manfaat bagi pengembangan ilmu dan penelitian. Sebagai

rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan SN.

1.5 Orisinalitas

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, peneliti belum menemukan

penelitian tentang peran polimorfisme -173 G ke C gen MIF disertai

peningkatan kadar angiotensin II plasma dan MIF serum secara bersama

sama dengan hipertensi sebagai faktor risiko SNRS.

1.6 Potensi Hak atas Kekayaan Intelektual

Peranan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, peningkatan kadar

angiotensin II plasma, dan MIF serum secara bersama-sama dengan

hipertensi dapat membantu klinisi dalam penatalaksanaan anak SNRS

(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Sindroma Nefrotik, Sindroma Nefrotik Resisten Steroid

Sindroma nefrotik ditandai dengan gangguan selektif permeabilitas

kapiler glomerulus sehingga terjadi kehilangan protein melalui urin.

Proteinuria pada anak SN relatif selektif yang terdiri atas albumin dengan

kisaran nefrotik proteinuria mencapai 1000 mg/m2

Kejadian proteinuria merupakan kelainan dasar pada SN. Sebagian

besar proteinuria berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria

glomerular). Filter kapiler glomerulus terdiri atas tiga lapisan, yaitu endotel,

membran basalis, dan sel epitel (podosit) dengan foot processes serta slit

diafragma. Glomerulus memiliki muatan negatif (charge selective barrier)

akibat adanya residu asam sialat pada glikokaliks yang melapisi epitel dan

endotel, serta adanya proteoglikan heparan sulfat pada membran basalis.

Muatan negatif sangat berkurang pada penderita SN sehingga

kemampuan menahan protein yang bermuatan negatif berkurang pula.

Steroid dapat mengembalikan kandungan sialoprotein kembali normal

sehingga penderita SN mengalami remisi. Selain gangguan pada muatan

negatif, pendataran foot process (gangguan pada size selective barrier)

juga diduga menjadi sebab terjadinya kebocoran protein (Haycock, 2003; per hari atau rasio

protein kreatinin pada random (spot) urin mencapai 2 mg/mg (Bagga dan

(37)

Jalanko, 2003). Sel ini diduga mengalami perubahan morfologi selama

kejadian proteinuria.

Berbagai penelitian jangka panjang menunjukkan respon terhadap

pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis

dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Klasifikasi SN lebih

didasarkan pada respon klinik, yaitu SNSS dan SNRS. SN pada anak

85%-90% merupakan SNSS, hanya 10%-15% merupakan SNRS

(Niaudet, 1999), hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar populasi

anak penderita SN dapat terhindar dari prosedur invasif.

Kelompok SNRS adalah penderita yang tidak mengalami remisi

setelah diberikan terapi steroid dalam waktu empat minggu. Kelompok ini

terbagi atas dua kategori, yaitu resisten steroid primer dan resisten steroid

sekunder (Niaudet, 1999; Fydryk dan Querfeld, 2002). Persentase

kelompok ini relatif kecil, tetapi dapat berkembang menjadi gagal ginjal

tahap akhir dalam waktu 1-4 tahun. Oleh karena itu prediksi terjadinya

resisten steroid menjadi isu yang penting (Niaudet, 1993).

Banyak hal yang berkaitan dengan prediksi resisten steroid pada

anak, walaupun demikian secara garis besar dibagi atas karakteristik klinis

dan histologis. Para klinisi cenderung menggunakan karakteristik klinis

untuk prediksi tersebut, misalnya umur saat presentasi pertama kali,

keberadaan hematuria dan atau hipertensi.

Umur saat presentasi pertama kali di bawah usia 1 tahun, setelah

usia 6 tahun atau setelah pubertas memiliki kemungkinan menjadi resisten

(38)

dan sangat jarang terjadi di bawah 6 bulan (Haycock,2003). Puncak

insidens SNSS maupun SNRS adalah umur prasekolah, sebanyak 80%

berumur kurang dari 6 tahun dengan median umur 2,5 tahun untuk SNSS

dan 6 tahun untuk SNRS (Niaudet,1999).

Begitu juga faktor hematuria dan atau hipertensi dapat menjadi

prediksi resisten steroid, masing-masing 30% dan 50%. Keadaan

hipertensi ditemukan pada 13% hingga 20,7% pada SNSS dan meningkat

menjadi 27% sampai 51,4% (masing masing untuk tekanan darah diastolik

dan tekanan darah sistolik) pada SNRS (ISKDC.,1978). Hematuria

mikroskopik ditemukan pada 22,7% kasus SNSS dan meningkat menjadi

67% pada SNRS (Niaudet,1999).

Kadar rasio protein kreatinin urin menjadi dasar bagi klinisi dalam

menentukan respon atau tidak terhadap terapi steroid. Penelitian Partini,

(2007) menemukan pasien SNRS mengalami kadar rasio protein kreatinin

urin yang berbeda secara bermakna bila dibandingkan dengan anak

tanpa penyakit ginjal ataupun anak dengan SN remisi (p<0,0001). Hal ini

menunjukkan bahwa rasio protein kreatinin urin pada pasien SNRS dapat

digunakan sebagai pedoman klinis respon terapi steroid.

2.1.2 Hipertensi sebagai Luaran Klinis SNRS

Hipertensi merupakan salah satu karakteristik klinik sebagai

prediksi resistensi steroid. Kemungkinan terjadinya resistensi steroid pada

anak SN yang mengalami hipertensi adalah 50%-60% (ISKDC, 1981;

(39)

Pengaturan tekanan darah amat dipengaruhi oleh pengaturan

volume cairan ekstrasel. Peningkatan volume cairan ekstrasel akan

meningkatkan volume darah dan tekanan darah sehingga pemantauan

jumlah cairan ekstrasel dilakukan dengan pemantauan tekanan darah.

Hipertensi pada SN ini diakibatkan perubahan aktivitas vasopresor atau

volume intravaskular, sedangkan aktivitas plasma renin dapat menurun

atau meningkat. Pada penurunan aktivitas plasma renin biasanya terjadi

retensi natrium, peningkatan volume ekstraselular, penurunan laju filtrasi

glomerulus dan normotensi. Pada penderita dengan peningkatan aktivitas

plasma renin memunyai volume arteri plasma efektif yang rendah dan laju

filtrasi glomerulus yang normal. Edema intrarenal menyebabkan

penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat menyebabkan ekspansi

volume plasma. Terapi kortikosteroid merupakan penyebab utama

hipertensi kronik karena kortikosteroid dapat meningkatkan respon

vaskular terhadap norepinefrin dan angiotensin II. Penderita hipervolemia

yang mengalami penurunan aktivitas plasma renin, lebih sering

mengalami hipertensi akibat terapi kortikosteroid (Gruskin et al., 1999).

Sebaliknya pada penderita hipovolemia dapat juga terjadi hipertensi akibat

respon vasokonstriksi yang diperantarai oleh angiotensin (Gambar 1).

Respon peningkatan tekanan darah akibat angiotensin II ini dapat

diukur dengan kadar angiotensin II di plasma. Penelitian Vollard, et al.

(1999) menemukan bahwa solid phase immobilized epitope immunoassay

merupakan cara yang sensitif dan spesifik dalam pengukuran angiotensin

(40)
[image:40.595.102.493.96.547.2]

Gambar 1. Hubungan Glomerulopati dengan Hipertensi. Hipertensi dapat disebabkan oleh hipervolemia akibat retensi garam/air (perubahan volume) atau perubahan vasopresor oleh angiotensin II sekunder dari iskemia.

2.1.3 Genotip MIF dan Respon Terhadap Glukokortikoid

Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular berperan

dalam membantu klinisi menentukan respon terapi. Gen ataupun petanda

protein menjadi tujuan studi-studi respon terhadap steroid (Yi dan He,

2006). Faktor yang berpengaruh terhadap respon terapi steroid adalah vasokonstriksi

Glomerulopati

iskemia Ekskresi air dan garam menurun

Pengeluaran renin oleh jukstaglomerular app

Angiotensinogen Angiotensin I

Angiotensin II

Aldosteron

ADH Hipervolemia

Peningkatan tonus otot polos

Penghambatan Na K ATP ase 

peningkatan intrasel Na

Cardiac output meningkat

HIPERTENSI

Kerusakan arteriol

Peningkatan afterload

Kerusakan vaskular

(41)

jumlah dan afinitas reseptor glukokortikoid yang rendah (Haack et al.,

1999)

Efek biologis glukokortikoid terjadi melalui ikatan glukokortikoid

dengan reseptor glukokortikoid di membran sel. Ekspresi reseptor

glukokortikoid dijumpai pada berbagai jenis sel, termasuk di podosit (Yan

et al.,1999). Konfigurasi kompleks glukokortikoid dengan reseptor

berfungsi mempertahankan reseptor glukokortikoid punya afinitas tinggi

terhadap glukokortikoid (Barnes,2010).

Perubahan protein atau perubahan kuantitas reseptor

glukokortikoid menyebabkan resisten terhadap glukokortikoid.

Kebanyakan pasien anak dengan SN idiopatik memiliki jumlah reseptor

glukokortikoid yang banyak sehingga sensitif terhadap steroid, sedangkan

mereka yang mengalami nefritik nefrosis memiliki jumlah reseptor yang

sedikit sehingga resisten terhadap steroid (Yi dan He, 2006). Kandidat gen

di bawah ini umumnya bekerja dengan cara perubahan protein ataupun

perubahan kuantitas reseptor glukokortikoid (Tabel 1).

Apabila jumlah reseptor glukokortikoid berkurang ataupun afinitas

terhadap reseptor berkurang, respon individu terhadap steroid akan

berkurang. Begitu juga bila ada fosforilasi reseptor yang memengaruhi

sensitivitas terhadap glukokortikoid ataupun adanya peningkatan isoform

reseptor β glukokortikoid (Pujols et al., 2002) yang menyebabkan terhambatnya pengikatan glukokortikoid oleh reseptor α glukokortikoid dan menurunnya respon terhadap terapi steroid (Wikstrom, 2003;Towers et al.,

(42)

Tabel 1. Faktor Risiko Genetik Resisten Steroid pada SN

Gen Peneliti Jumlah peserta

ACE insersi dan delesi

Sasongko, et al., 2005 85 kasus/ 68 kontrol

IL-4 Tripathi, et al., 2008 Acharya, et al., 2005

35 kasus/115 kontrol 84 kasus/ 61 kontrol IL-12 B Jan, et al., 2008 79 kasus/ 87 kontrol

IL-13 Wei, et al., 2005 72 kasus/78 kontrol

Paraoxonase-1 Biyikli, et al., 2006 55 kasus/ 30 kontrol

MIF Berdelli, et al., 2005 Vivarelli, et al., 2008

214 kasus/103 kontrol 257 kasus/353 kontrol Apolipoprotein E Kim, et al., 2003

Bruschi, et al.,2003

190 kasus/132 kontrol 139 kasus/70 kontrol MDR-1 Funaki, et al., 2008

Stachowski, et al., 2000

14 pasien 39 pasien

NR3C1 Cho, et al., 2009 190 kasus/100 kontrol

Hal ini menunjukkan bahwa respon individu terhadap glukokortikoid

banyak dipengaruhi oleh kontrol gen atau perubahan struktur molekular

reseptor glukokortikoid. Pemberian glukokortikoid pada individu dengan

respon yang rendah akan meningkatkan efek samping pemakaian obat ini

bahkan risiko keparahan penyakit akan meningkat.

Posisi 5’ dari gen macrophage migration inhibitory factor (MIF)

mengandung elemen pengatur respon glukokortikoid (glucocorticoid

responsive element). Gen MIF pada genom manusia (Gambar 2) berlokasi

pada bagian long arm dari kromosom 22 (Arenberg dan Bucala, 2003;

(43)
[image:43.595.123.490.123.182.2]

Gambar 2. Struktur Gen MIF Manusia. Gen MIF mengandung tiga ekson pendek (107, 172, dan 66 pasangan basa) dan dua intron (188 dan 94 pasangan basa). Regio 5’ mempunyai dua polimorfisme yaitu pada posisi -794 dan -173 (Calandra dan Roger, 2003).

Individu dengan perubahan gen macrophage migration inhibitory

factor (MIF) nukleotida tunggal G ke C (single nucleotide G to C

polymorphism) pada posisi -173 memunyai risiko untuk resisten terhadap

terapi steroid. Hal ini menyebabkan individu dengan polimorfisme G ke C

rentan terhadap penyakit inflamasi yang seharusnya dapat ditata laksana

dengan steroid. Individu alel C dengan penyakit SN berisiko terjadinya

hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon terhadap

glukokortikoid eksogen oleh MIF (Vivarelli et al.,2008).Peningkatan kadar

MIF menghalangi efek glukokortikoid (Gambar 3) sehingga proses

antiinflamasi glukokokortikoid tidak bekerja (Aeberli et al., 2006a).

Gen MIF diekspresikan pada berbagai tipe sel dan diatur oleh

berbagai stimuli. Genotip MIF individual akan mengatur respons fisiologis

MIF dan selanjutnya, mengatur kemampuan MIF dalam antagonistik efek

glukokortikoid. Skrining genotif MIF pada saat awitan penyakit penting Hal ini

memengaruhi perkembangan penyakit SN menjadi resisten steroid dan

(44)

dalam mengidentifikasi pasien yang membutuhkan terapi agresif selain

steroid (Vivarelli et al., 2008).

[image:44.595.127.492.162.329.2]

1 2 3

Gambar 3. Hubungan antara MIF, Glukokortikoid dan Inflamasi. Gambar 3.1. Sitokin MIF mempengaruhi inflamasi begitu juga sebaliknya. 3.2. Glukokortikoid yang berasal dari adrenal maupun eksogen bekerja menghambat inflamasi, namun di sisi lain bekerja menginduksi MIF. 3.3. Efek MIF terhadap induksi glukokortikoid bekerja antagonis sehingga inflamasi terus berlangsung.

Aksi MIF dan efek terhadap glukokortikoid memberikan ide pada

berbagai penelitian untuk mencari variasi genetik MIF yang dapat

mempengaruhi ekspresi dan kegunaan fungsional. Glukokortikoid

endogen atau eksogen bekerja menghambat inflamasi, tetapi menginduksi

MIF, yang selanjutnya menghambat efek glukokortikoid. Antagonisme MIF

menghambat efek langsung MIF terhadap inflamasi dan kemudian,

menetralisasi antagonis glukokortikoid terhadap inflamasi (Morand, 2005).

Konsekuensinya adalah aktivitas MIF ini menjadi target potensial dalam

mengobati penyakit tersebut. Efek antagonis terhadap aksi glukokortikoid

memberikan efek yang menguntungkan terhadap netralisasi MIF bersama

(45)

Promoter MIF mengandung polimorfisme nukleotida tunggal G ke C

(single nucleotide G to C polymorphism) pada posisi -173. Studi Berdeli et

al., 2005 di Turki menemukan peran alel C merupakan faktor risiko terjadi

resisten steroid (OR= 3,6; 95 CI% 2,2 sampai 6,0). Penderita dengan

genotip CC menunjukkan umur yang lebih muda saat awitan proteinuria

dan berisiko lebih tinggi mengalami gangguan fungsi ginjal menetap

(OR=5,43, p=0,013). Penelitian lain oleh Vivarelli et al., 2008 menemukan

hubungan polimorfisme MIF dengan progresivitas menuju PGK tahap

akhir, ditunjukkan dengan analisis survival dalam 5 tahun sejak awitan

penyakit. Penderita SN dengan alel C mengalami luaran klinis yang lebih

jelek dibandingkan penderita SN dengan alel G .

Kedua penelitian tersebut di atas belum jelas menerangkan apakah

polimorfisme -173 G ke C gen MIF sebagai faktor risiko SNRS

berhubungan dengan level MIF serum. Polimorfisme secara fungsional

berhubungan dengan ekspresi MIF yang lebih tinggi secara in vitro dan

peningkatan level MIF serum secara in vivo (Donn et al., 2002). Penelitian

lain oleh De Benedetti,et al.(2003) pada penderita juvenil arthritis

menemukan kadar MIF serum lebih tinggi pada subjek yang memiliki alel

C (median 20,8 ng/ml) dibandingkan genotip GG (median 10,8 ng/ml)

(p=0.017), namun belum ada penelitian pada penderita SNRS.

2.1.4 Peran Angiotensin II Regulasi Tekanan Darah

Pengaturan tekanan darah di dalam tubuh dapat dibagi tiga bagian,

yaitu mekanisme cepat, jangka menengah, dan jangka panjang.

(46)

umpan balik baroreseptor, respons iskemik SSP, dan kemoreseptor.

Kombinasi ketiga mekanisme ini bekerja sangat kuat dan cepat dalam

mengatur tekanan darah. Selanjutnya, terdapat mekanisme kontrol

tekanan darah yang bersifat jangka menengah (dalam 30 menit sampai

dengan beberapa jam setelah pengaturan akut) yang diperankan oleh

mekanisme vasokonstriktor renin angiotensin; stres dan relaksasi

pembuluh darah; dan pergeseran cairan melalui dinding kapiler untuk

mengatur volume darah. Mekanisme kontrol tekanan darah yang bersifat

jangka panjang diperankan ginjal melalui mekanisme pengaturan volume

darah dan sistem renin angiotensin aldosteron (Guyton, 1991).

Dua hal utama yang mempengaruhi tekanan darah adalah curah

jantung dan tahanan sistemik vaskular. Keduanya diatur oleh kombinasi

mekanisme jangka pendek (termasuk intermediet) ataupun jangka

panjang. Mekanisme jangka pendek mengatur tahanan sistemik vaskular,

kapasitansi kardiovaskular, dan penampilan kardiak (frekuensi jantung

dan kontraksi). Pada mekanisme jangka panjang curah jantung diatur oleh

alir balik vena. Alir balik vena diatur oleh volume darah dan amat berkaitan

dengan volume cairan ekstrasel serta keseimbangan sodium (Navar dan

Hamm, 1999).

Regulasi jangka panjang tekanan darah berhubungan erat dengan

kemampuan ginjal dalam mengekskresikan sodium klorida untuk

mempertahankan balans sodium yang normal, volume cairan ekstrasel,

dan volume darah. Oleh karena itu, penyakit ginjal merupakan penyebab

(47)

akan terjadi interaksi umpan balik positif yang menyebabkan terjadinya

hipertensi progresif dan kerusakan ginjal lebih lanjut.

Peningkatan asupan sodium klorida pada orang normal

menyebabkan pengaturan mekanisme humoral, neural, dan parakrin

yang memengaruhi hemodinamik renal dan sistemik serta peningkatan

ekskresi sodium tanpa peningkatan tekanan darah. Apabila terjadi

penurunan ekskresi sodium, dapat menyebabkan peningkatan kronik

volume cairan ekstrasel dan volume darah sehingga terjadi hipertensi

(Navar dan Hamm,1999). Pengaturan ekskresi sodium dan air diperantarai

secara langsung dan tidak langsung oleh angiotensin II.

Pembentukan angiotensin II dimulai dari rangsangan terhadap

aktivasi pengeluaran renin yaitu apabila terjadi penurunan asupan sodium,

penurunan tekanan arterial, dan penurunan volume cairan ekstrasel

(Navar dan Hamm, 1999). Enzim renin ini akan memecah

angiotensinogen menjadi bentuk dekapeptida yang inaktif yaitu

angiotensin I selanjutnya diperantarai Angiotensin converting enzyme

(ACE) akan memecah angiotensin I menjadi angiotensin II suatu

oktapeptida yang aktif. Semua komponen SRAA tersebut membentuk

sistem endokrin bersirkulasi yang mengatur keseimbangan sodium dan

tekanan darah (Atlas et al., 2007; Carey et al., 2003).

Aksi angiotensin II dalam pengaturan cepat tekanan darah

diperankan oleh sifat vasokonstriksi langsung terhadap arteriol/vena

ataupun melalui aktivitas saraf simpatis (Hildebrant, 2007). Angiotensin II

(48)

menstimulasi sekresi hormon aldosteron oleh korteks adrenal yang juga

bekerja menurunkan ekskresi sodium dan air. Kedua efek ini cenderung

meningkatkan volume darah dan berperan penting dalam pengaturan

lambat tekanan darah (Victor, 2005). Angiotensin II juga memfasilitasi

aksi simpatis, yaitu melalui peningkatan norepinefrin dan katekolamin. Hal

ini menyebabkan peningkatan tahanan sistemik vaskular dan tekanan

darah (Paradis dan Schiffrin, 2009).

Efek peningkatan tekanan darah oleh angiotensin II ini, pada

jangka pendek berguna untuk proteksi kapilar renal dari kerusakan.

Sebaliknya, pada jangka panjang, keadaan ini menyebabkan

terganggunya aliran darah renal (renal blood flow), retensi garam dan air,

proteinuria dan penurunan laju filtrasi glomerulus (Kaplan, 2006).

2.1.5 Angiotensin II sebagai Regulator MIF

Angiotensin II merupakan suatu peptida dan dapat mencapai

/bekerja pada ginjal melalui tiga jalur, yaitu 1) melalui sirkulasi darah; 2)

melalui konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dari aliran darah

yang terjadi pada sel endotelial ginjal, dan 3) melalui pembentukan lokal

angiotensin II di dalam ginjal. Organ target angiotensin II terletak di

adrenal, ginjal, otak, pituitary gland, otot polos vaskular, dan sistem nervus

simpatis (Gasparo et al., 2000) sehingga angiotensin II selain bekerja

pada organnya sendiri (autocrine hormone) dan organ yang berdekatan

(paracrine hormone) juga bekerja pada organ-organ yang jauh melalui

(49)

Efek angiotensin II pada keadaan SNRS sering dihubungkan

dengan keadaan hipertensi. Hipertensi merupakan salah satu luaran klinis

yang berhubungan secara bermakna dengan PGK (Kaplan dan

Lieberman,1990), termasuk juga pada penderita SNRS (Otukesh et

al.,2009). Regulasi tekanan darah oleh angiotensin II sistemik pada

penderita SN diatur bukan hanya di perifer (renal), tetapi juga di susunan

saraf pusat (DiBona,2001;Camici,2007).

Vasokonstriksi arteriol aferen dan eferen (terutama arteriol eferen)

menyebabkan terjadi peningkatan tekanan kapiler glomerulus.

Peningkatan tekanan kapiler intraglomerular menyebabkan kerusakan

mekanis pada ketiga tipe sel glomerulus (podosit, sel endotel, dan sel

mesangial), yang akan meningkatkan ukuran radius pori membran

glomerulus. Hal ini mengganggu fungsi selektif membran glomerulus dan

meningkatkan protein pada filtrat glomerulus. Protein ini akan

diendositosis oleh sel epitel tubulus. Sebaliknya, peningkatan reabsorbsi

albumin di tubulus akan mengaktivasi angiotensin, sehingga terjadi suatu

vicious circle. Apabila hal ini berkepanjangan,akan terjadi kerusakan

nefron bahkan terjadi kerusakan ginjal/ glomerulosklerosis (Kaplan,2006;

Meer et al., 2010).

Infus angiotensin II secara kronik pada binatang percobaan dengan

nefrosis berat menunjukkan terjadi hipertensi, peningkatan permeabilitas

kapiler glomerulus, dan peningkatan albuminuria (Herizi et al., 1998).

(50)

Hal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, induksi infiltrasi

lekosit, dan hipertensi sistemik.

Selain sebagai mediator hemodinamik yang menyebabkan

hipertensi, angiotensin II juga menyebabkan pengambilan/rekrutmen dan

proliferasi sel mononuklear. Pengambilan dan proliferasi sel monosit

bersirkulasi menyebabkan penumpukan makrofag di jaringan. Pengaturan

akumulasi makrofag di jaringan ini diperankan oleh sitokin MIF (Lan,

2008). Hal ini menstimulasi migrasi sel sel imunokompeten (limfosit dan

makrofag) ke dalam interstisial ginjal (Ruster dan Wolf, 2006). Penarikan

sel-sel inflamasi ke glomerulus dan tubulointerstisium berperan penting

dalam proteinuria persisten dan hipertensi. Peningkatan level angiotensin

II dapat menyebabkan hipertensi dan berkontribusi terhadap progresivitas

penyakit ginjal dengan cara menstimulasi inflamasi dan fibrosis ginjal

(Wolf et al., 2003).

Angiotensin II memperantarai akumulasi makrofag dan sel T

melalui MIF (Rice et al., 2003). Model tikus percobaan dengan hipertensi

menunjukkan peningkatan ekspresi MIF (44,9% ± 22,6%) dan sebaliknya,

blokade angiotensin II dengan antagonis AT1R (Irbesartan) menunjukkan

penurunan ekspresi MIF pada glomerulus dan tubulus (2,8% ± 2,4%). Efek

angiotensin II pada AT2R umumnya bekerja kontradiksi dibandingkan efek

pada AT1R (Carey dan Siragy, 2003). Peningkatan ekspresi MIF

berkorelasi dengan peningkatan makrofag atau sel T. Hal ini mendukung

(51)

Produksi sistemik ataupun lokal angiotensin II dan MIF penting

dalam perkembangan kerusakan ginjal. Pembentukan lokal angiotensin II

oleh sel mesangial ataupun makrofag setelah suatu kerusakan ginjal

menyebabkan sekresi MIF dari sel epitel tubulus kemudian meningkatkan

aktivasi makrofag dan sel T yang akan meningkatkan kerusakan ginjal

lebih lanjut, sedangkan, angiotensin II sistemik lebih berperan dalam hal

kerusakan ginjal melalui efek hipertensi seperti yang ditunjukkan dalam

binatang coba dengan hipertensi (one clip Goldblatt hypertension). Hal ini

menyebabkan ekspresi MIF meningkat pada ginjal (Rice et al., 2003).

Walaupun studi genetik belum menemukan kaitan kausalitas antara

plasma angiotensin II dan sekuens asam amino pada model tikus

hipertensi (Hubner et al., 1999), namun angiotensin II berkaitan dengan

peningkatan aktivasi NFkB dan AP-1(Ruiz-Ortega et al., 2001). Kedua

kompleks protein yang merupakan faktor transkripsi ini, menjadi dasar

bagi para ilmuwan menerangkan peranan angiotensin II pada ekspresi

gen sitokin.

Ekspresi gen MIF pada manusia diatur oleh angiotensin II melalui

regio promoter. Lokasi ini mempunyai sekuensial ikatan DNA untuk faktor

transkripsi seperti NFkB dan AP-1. Induksi angiotensin II terhadap faktor

transkripsi menyebabkan peningkatan ekspresi MIF (Sun et al., 2004) dan

berperan pada perkembangan hipertensi (Busche et al.,2001).

Konsekuensi klinis hal ini adalah peningkatan angiotensin II memengaruhi

(52)

2.1.6 MIF dan Sensitivitas Glukokortikoid

Dekade terakhir ini para ahli menemukan peranan MIF sebagai

sitokin dalam kerusakan ginjal (Lan, 2008). Sumber utama MIF berasal

dari sel imun (limfosit, makrofag, monosit, eosinofil, netrofil dan sel mast)

dan sel nonimun (ginjal, kelenjar pituitary, liver, ovarium, testis, dan

keratinosit). Pada tahun 1989, MIF untuk pertama kalinya berhasil

dikloning dari limfosit T manusia dan berfungsi untuk mengatur fungsi

makrofag, imunitas limfosit, dan fungsi endokrin.

Efek biologis uta

Gambar

Gambar 1. Hubungan Glomerulopati dengan Hipertensi. Hipertensi dapat disebabkan oleh hipervolemia akibat retensi garam/air (perubahan volume) atau perubahan vasopresor oleh angiotensin II sekunder dari iskemia
Gambar 2. Struktur Gen MIF Manusia. Gen MIF mengandung tiga ekson pendek (107, 172, dan 66 pasangan basa) dan dua intron (188 dan 94 pasangan basa)
Gambar 3. Hubungan antara MIF, Glukokortikoid dan Inflamasi. Gambar 3.1. Sitokin MIF mempengaruhi inflamasi begitu juga sebaliknya
Gambar 4. Struktur tiga dimensi MIF manusia (nomor identifikasi model molekul:
+7

Referensi

Dokumen terkait

peran zakat BAZNAS Sumatera Selatan dalam meningkatkan kesejahteraan mustahik yang ada di pasar Kuto Palembang setelah mendapatkan pinjaman dana zakat dari BAZNAS

Dari hasil uji lanjut, aktivitas terbaik antibakteri Escherichia coli sediaan granul instan ekstrak sirih dan jahe terdapat pada formula I dengan potensi yang

Pada MT 2012, penyakit HDB di Nusa Tenggara Barat tersebar di Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, Mataram, dan Sumbawa pada 12 varietas padi,

Gültaş, D.(2008); Raimondo D’Aronco: İstanbul’daki Yapılarında Cephe Biçimlenişi ve Detayları, Yüksek lisans Tezi, Yıldız Teknik Üniversitesi, İstanbul.

Nama sekolah : SD NEGERI KRATON YOGYAKARTA Alamat : JL.. PATEHAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan self-efficacy antara kelompok siswa etnis Tionghoa dan Non Tionghoa

Hasil belajar merupakan masalah yang sering dihadapi guru dalam sebuah pembelajaran. Ranah hasil belajar meliputi ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Masalah

Segala ucapan syukur yang sebesar-sebesarnya kepada Tuhan Yesus yang Maha Kuasa yang telah memberikan kesempatan melanjut ke jenjang perkuliahan dan yang telah memberikan