BAB I PENDAHULUAN
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.6. MIF dan Sensitivitas Glukokortikoid
Dekade terakhir ini para ahli menemukan peranan MIF sebagai
sitokin dalam kerusakan ginjal (Lan, 2008). Sumber utama MIF berasal
dari sel imun (limfosit, makrofag, monosit, eosinofil, netrofil dan sel mast)
dan sel nonimun (ginjal, kelenjar pituitary, liver, ovarium, testis, dan
keratinosit). Pada tahun 1989, MIF untuk pertama kalinya berhasil
dikloning dari limfosit T manusia dan berfungsi untuk mengatur fungsi
makrofag, imunitas limfosit, dan fungsi endokrin.
Efek biologis utama MIF adalah immobilisasi sel sel fagosit
mononuklear (makrofag) sehingga makrofag menetap di jaringan
(Arenberg dan Bucala, 2003) dan memicu makrofag untuk pengaturan
sitokin pada sel-sel endotel (Cvetkovic dan Stosic, 2006). Selain memiliki
aktivitas sitokin (Rosengren et al.,1996;Aeberli, Leech dan Morand, 2006),
MIF juga memiliki aktivitas enzim yaitu tautomerase dan oksidoreduktase
(Gambar 4).
Gambar 4. Struktur tiga dimensi MIF manusia (nomor identifikasi model molekul: 15670). Struktur terdiri dari 3 monomer, dimana setiap monomer terdiri dari dua
rantai α yang dipisahkan oleh tiga rantai β. Terminal monomer terdiri dari terminal NH3 (satu rantai β) dan terminal COOH (dua rantai β). Jadi konfigurasi setiap
Efek lain MIF adalah mengatur kesensitivan terhadap
glukokortikoid. Hal ini menjadi dasar penelitian tentang MIF pada penyakit-
penyakit kronik dengan glukokortikoid sebagai terapi utama (Aeberli et al.,
2006; Arenberg dan Bucala, 2003). Glukokortikoid menginduksi sekresi
MIF pada dosis rendah/fisiologis. Sebaliknya, pada dosis tinggi
(konsentrasi glukokortikoid > 10-8
Peranan glukokortikoid terhadap respons imun selular
menyebabkan penghambatan efek MIF sehingga makrofag dilepaskan
dari jeratan di sekitar tempat pelepasan MIF dan jaringan setempat
terhindar dari kerusakan akibat penghancuran oleh makrofag. Sebaliknya,
apabila telah dilepaskan dari sitoplasma makrofag/monosit atau sel-sel
intrinsik nonimun maka MIF bekerja antagonis terhadap efek
glukokortikoid dalam menekan pembentukan sitokin makrofag in vitro,
misal TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 (Oppenheim, Ruscetti, dan Faltynek,2001). Keseluruhan sitokin ini akan memperantarai aktivasi dan pengambilan
lekosit dari sirkulasi ke jaringan sehingga terjadi kerusakan ginjal (Lan,
2008). Respons inflamasi dan pengaturan sitokin diatur bersama MIF dan
glukokortikoid (Calandra dan Roger, 2003; Aeberli et al., 2006).
M) sekresi MIF dihambat sehingga
mengikuti kurva bell shaped dose response (Lan, 2008).
Glukokortikoid mampu menghambat sitokin pro-inflamasi, kemokin,
molekul adhesi, dan enzim-enzim (Longui, 2007) melalui dua mekanisme
utama yaitu genomik dan nongenomik (Elie et al., 2012). Efek intrasel
glukokortikoid dimulai ketika glukokortikoid berdifusi pasif melalui
Kompleks glukokortikoid-reseptor bertranslokasi ke intisel dalam
membentuk interaksi dengan sekuens DNA spesifik. Apabila MIF
menghambat ikatan kompleks glukokortikoid dengan reseptor
glukokortikoid pada elemen respon glukokortikoid di intisel, kerja
glukokortikoid akan terhambat pula.
Sitokin MIF berperan dalam regulasi aktivitas imunosupresif dan
antiinflamasi glukokortikoid melalui inhibisi jalur NF-kB. Pada ketiadaan
MIF, glukokortikoid mencegah aktivasi NF-κB dengan cara meningkatkan ekspresi IκB yang mempertahankan NF-κB agar tetap inaktif di dalam sitosol (Ito,Chung dan Adcock,2006; Elly et al.,2012). Ekspresi berbagai
gen respon inflamasi diatur oleh NF-κB sehingga menyebabkan respon abnormal sel T (Zhao et al., 2005). Penggunaan glukokortikoid menekan
aktivasi NF-κB sehingga terjadi keseimbangan respon sel T (Grimbert et al., 2003).
Selanjutnya, aksi antagonis MIF terhadap efek antiinflamasi
glukokortikoid diperantarai dengan cara menghambat enzim mitogen
activated protein kinase (MAPK) phosphatase (Aeberli & Yang et al.,
2006). Enzim ini berperan dalam inaktivasi MAPK yang bertanggungjawab
dalam proliferasi sel dan merupakan target kerja dari glukokortikoid.
Mitogen activated protein kinase (MAPK) memunyai dua isoenzym, yaitu
ERK (extracelluler signal regulated kinase) 1 / 2 dan aktivitas biologis
pengaturan resistensi terhadap kortikosteroid (Aeberli et al., 2006; Lan,
2008; Cvetcovic & Stosic, 2006; Flaster et al., 2007). Defosforilasi dan
bahwa stimulasi terhadap angiotensin II akan menekan inaktivasi MAPK
(Gasparo et al., 2000). Mekanisme ini memengaruhi sensitifitas
glukokortikoid pada penderita resisten steroid.
Aksi MIF sebagai antagonis aktivitas imunosupresif glukokortikoid
secara lengkap dapat dilihat pada gambar 5 di bawah ini. Keseluruhan
mekanisme MIF dalam efek antagonis terhadap glukokortikoid merupakan
mekanisme utama MIF memperantarai kerusakan ginjal (Lan, 2008).
Gambar 5. Target Kerja Glukokortikoid dan MIF. Ikatan glukokortikoid dan reseptornya bekerja di intisel dengan berikatan pada glukokortikoid respon elemen. Penghambatan glukokortikoid terjadi apabila dijumpai 2 molekul utama di sitosol/inti yaitu NF-kB dan AP-1. Keduanya diaktivasi oleh MIF.
Peranan MIF mengatur produksi glukokortikoid ditunjukkan dengan
pemberian antibodi anti-MIF pada hewan percobaan. Antibodi anti-MIF
merupakan antibodi yang menetralkan efek MIF secara imunologis. Pada
model tikus percobaan yang diberikan pengobatan dengan antibodi anti- Glukokortikoid Ikatan reseptor glukokortikoid Glukokortikoid respon elemen MIF MAPK AP-1 NF-kB IkB MIF Sitosol Inti sel cPLA2
MIF menunjukkan peningkatan kadar serum kortikosteron endogen yang
lebih tinggi (sekitar 75 ng/mL) bila dibandingkan dengan kontrol (25
ng/mL) (p<0,05). Hal ini berkorelasi pula dengan perbaikan proteinuria,
serum kreatinin, dan perbaikan kerusakan histologis (Yang et al., 1998).
Konsentrasi basal serum MIF pada manusia berkisar antara 2-6
ng/mL. Hubungan sirkadian antara MIF dan kortisol pada subjek yang
normal menunjukkan bahwa level MIF mencapai puncak sewaktu pagi
(sekitar jam 08.00), sedangkan sitokin lain mencapai puncak sewaktu
malam hari. Apabila diberikan oral kortison asetat (25 mg), akan terjadi
peningkatan plasma MIF dalam jangka waktu 1-2 jam.
Hal ini menunjukkan glukokortikoid menginduksi sekresi MIF pada
dosis rendah. Sebaliknya, pada kondisi pemberian glukokortikoid dosis
tinggi (injeksi deksametason 1 mg/jam selama 4 jam) maka level plasma
MIF rendah dan bertahan tetap rendah selama 24 jam (Petrovsky et al.,
2003). Penelitian lain membandingkan level MIF serum pada pasien
penderita penyakit ginjal kronis dan pada orang dewasa normal (kontrol).
Hasilnya ditemukan bahwa median dan kisaran MIF serum pada pasien
penyakit ginjal kronis lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (676 [118-
8275] versus 433 [ 414-4707] pg/mL) (Bruchfeld et al., 2009).
Berbagai metode untuk terapi target MIF akan dan telah ditemukan,
walaupun demikian kegunaannya pada klinis terutama untuk penderita SN
masih terbatas. Walaupun struktur MIF telah lama dikenal, namun konsep
sitokin dan fungsi enzimatik MIF masih terus dikembangkan secara in vitro
Bernhagen,2006). Hal ini menunjukkan masih sulit memperoleh anti-MIF
yang murni.
Antibodi monoklonal maupun protein reseptor permukaan terhadap
MIF telah dibuat secara biokimiawi sebagai anti-MIF (Leng et al.,2003).
Oleh karena pendekatan metode untuk membuat anti MIF ini berbiaya
tinggi dan hanya dapat diberi secara parenteral maka dikembangkan juga
fungsi enzimatik MIF.
Metode penghambatan enzim tautomerase dan enzim
oksidoreduktase sebagai fungsi katalis MIF merupakan pilihan target
terapi antiinflamasi MIF (Dios et al., 2002;Philo et al., 2004). Struktur
homotrimer MIF memiliki kemiripan dengan enzim tautomerase yang
mengubah dopachrome (2 carboxy 2,3 dihydroindole 5,6 quinone) menjadi
5,6 dihydroxyindole 2 carboxylic acid (Rosengren et al., 1996). Enzim ini
dihambat menggunakan isothiocyanat (sulforaphane), yang juga
menyebabkan penghambatan aktivitas MIF. Selain itu, MIF juga
menunjukkan aktivitas enzim thiol-protein oksidoreduktase (Kleemann et
al., 1998). Struktur molekul sebagai inhibitor enzim redoks ini juga menjadi
alternatif terapi inhibisi MIF. Penemuan obat dengan menghambat enzim
tersebut, memiliki harga yang lebih murah, antigenisitas rendah dan dapat
diberi secara enteral maupun parenteral.
2.1.7 Hubungan Peningkatan MIF dan Angiotensin II dengan