• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.3. Genotip MIF dan Respon terhadap

Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular berperan

dalam membantu klinisi menentukan respon terapi. Gen ataupun petanda

protein menjadi tujuan studi-studi respon terhadap steroid (Yi dan He,

2006). Faktor yang berpengaruh terhadap respon terapi steroid adalah vasokonstriksi

Glomerulopati

iskemia Ekskresi air dan garam menurun

Pengeluaran renin oleh jukstaglomerular app Angiotensinogen Angiotensin I Angiotensin II Aldosteron ADH Hipervolemia Peningkatan tonus otot polos

Penghambatan Na K ATP ase  peningkatan intrasel Na Cardiac output meningkat HIPERTENSI Kerusakan arteriol Peningkatan afterload Kerusakan vaskular Nefrosklerosis

jumlah dan afinitas reseptor glukokortikoid yang rendah (Haack et al.,

1999)

Efek biologis glukokortikoid terjadi melalui ikatan glukokortikoid

dengan reseptor glukokortikoid di membran sel. Ekspresi reseptor

glukokortikoid dijumpai pada berbagai jenis sel, termasuk di podosit (Yan

et al.,1999). Konfigurasi kompleks glukokortikoid dengan reseptor

berfungsi mempertahankan reseptor glukokortikoid punya afinitas tinggi

terhadap glukokortikoid (Barnes,2010).

Perubahan protein atau perubahan kuantitas reseptor

glukokortikoid menyebabkan resisten terhadap glukokortikoid.

Kebanyakan pasien anak dengan SN idiopatik memiliki jumlah reseptor

glukokortikoid yang banyak sehingga sensitif terhadap steroid, sedangkan

mereka yang mengalami nefritik nefrosis memiliki jumlah reseptor yang

sedikit sehingga resisten terhadap steroid (Yi dan He, 2006). Kandidat gen

di bawah ini umumnya bekerja dengan cara perubahan protein ataupun

perubahan kuantitas reseptor glukokortikoid (Tabel 1).

Apabila jumlah reseptor glukokortikoid berkurang ataupun afinitas

terhadap reseptor berkurang, respon individu terhadap steroid akan

berkurang. Begitu juga bila ada fosforilasi reseptor yang memengaruhi

sensitivitas terhadap glukokortikoid ataupun adanya peningkatan isoform reseptor β glukokortikoid (Pujols et al., 2002) yang menyebabkan terhambatnya pengikatan glukokortikoid oleh reseptor α glukokortikoid dan menurunnya respon terhadap terapi steroid (Wikstrom, 2003;Towers et al.,

Tabel 1. Faktor Risiko Genetik Resisten Steroid pada SN

Gen Peneliti Jumlah peserta

ACE insersi dan delesi

Sasongko, et al., 2005 85 kasus/ 68 kontrol

IL-4 Tripathi, et al., 2008 Acharya, et al., 2005

35 kasus/115 kontrol 84 kasus/ 61 kontrol IL-12 B Jan, et al., 2008 79 kasus/ 87 kontrol

IL-13 Wei, et al., 2005 72 kasus/78 kontrol

Paraoxonase-1 Biyikli, et al., 2006 55 kasus/ 30 kontrol

MIF Berdelli, et al., 2005 Vivarelli, et al., 2008 214 kasus/103 kontrol 257 kasus/353 kontrol Apolipoprotein E Kim, et al., 2003 Bruschi, et al.,2003 190 kasus/132 kontrol 139 kasus/70 kontrol MDR-1 Funaki, et al., 2008 Stachowski, et al., 2000 14 pasien 39 pasien

NR3C1 Cho, et al., 2009 190 kasus/100 kontrol

Hal ini menunjukkan bahwa respon individu terhadap glukokortikoid

banyak dipengaruhi oleh kontrol gen atau perubahan struktur molekular

reseptor glukokortikoid. Pemberian glukokortikoid pada individu dengan

respon yang rendah akan meningkatkan efek samping pemakaian obat ini

bahkan risiko keparahan penyakit akan meningkat.

Posisi 5’ dari gen macrophage migration inhibitory factor (MIF)

mengandung elemen pengatur respon glukokortikoid (glucocorticoid

responsive element). Gen MIF pada genom manusia (Gambar 2) berlokasi

pada bagian long arm dari kromosom 22 (Arenberg dan Bucala, 2003;

Gambar 2. Struktur Gen MIF Manusia. Gen MIF mengandung tiga ekson pendek (107, 172, dan 66 pasangan basa) dan dua intron (188 dan 94 pasangan basa). Regio 5’ mempunyai dua polimorfisme yaitu pada posisi -794 dan -173 (Calandra dan Roger, 2003).

Individu dengan perubahan gen macrophage migration inhibitory

factor (MIF) nukleotida tunggal G ke C (single nucleotide G to C

polymorphism) pada posisi -173 memunyai risiko untuk resisten terhadap

terapi steroid. Hal ini menyebabkan individu dengan polimorfisme G ke C

rentan terhadap penyakit inflamasi yang seharusnya dapat ditata laksana

dengan steroid. Individu alel C dengan penyakit SN berisiko terjadinya

hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon terhadap

glukokortikoid eksogen oleh MIF (Vivarelli et al.,2008).Peningkatan kadar

MIF menghalangi efek glukokortikoid (Gambar 3) sehingga proses

antiinflamasi glukokokortikoid tidak bekerja (Aeberli et al., 2006a).

Gen MIF diekspresikan pada berbagai tipe sel dan diatur oleh

berbagai stimuli. Genotip MIF individual akan mengatur respons fisiologis

MIF dan selanjutnya, mengatur kemampuan MIF dalam antagonistik efek

glukokortikoid. Skrining genotif MIF pada saat awitan penyakit penting Hal ini

memengaruhi perkembangan penyakit SN menjadi resisten steroid dan

dalam mengidentifikasi pasien yang membutuhkan terapi agresif selain

steroid (Vivarelli et al., 2008).

1 2 3

Gambar 3. Hubungan antara MIF, Glukokortikoid dan Inflamasi. Gambar 3.1. Sitokin MIF mempengaruhi inflamasi begitu juga sebaliknya. 3.2. Glukokortikoid yang berasal dari adrenal maupun eksogen bekerja menghambat inflamasi, namun di sisi lain bekerja menginduksi MIF. 3.3. Efek MIF terhadap induksi glukokortikoid bekerja antagonis sehingga inflamasi terus berlangsung.

Aksi MIF dan efek terhadap glukokortikoid memberikan ide pada

berbagai penelitian untuk mencari variasi genetik MIF yang dapat

mempengaruhi ekspresi dan kegunaan fungsional. Glukokortikoid

endogen atau eksogen bekerja menghambat inflamasi, tetapi menginduksi

MIF, yang selanjutnya menghambat efek glukokortikoid. Antagonisme MIF

menghambat efek langsung MIF terhadap inflamasi dan kemudian,

menetralisasi antagonis glukokortikoid terhadap inflamasi (Morand, 2005).

Konsekuensinya adalah aktivitas MIF ini menjadi target potensial dalam

mengobati penyakit tersebut. Efek antagonis terhadap aksi glukokortikoid

memberikan efek yang menguntungkan terhadap netralisasi MIF bersama

Promoter MIF mengandung polimorfisme nukleotida tunggal G ke C

(single nucleotide G to C polymorphism) pada posisi -173. Studi Berdeli et

al., 2005 di Turki menemukan peran alel C merupakan faktor risiko terjadi

resisten steroid (OR= 3,6; 95 CI% 2,2 sampai 6,0). Penderita dengan

genotip CC menunjukkan umur yang lebih muda saat awitan proteinuria

dan berisiko lebih tinggi mengalami gangguan fungsi ginjal menetap

(OR=5,43, p=0,013). Penelitian lain oleh Vivarelli et al., 2008 menemukan

hubungan polimorfisme MIF dengan progresivitas menuju PGK tahap

akhir, ditunjukkan dengan analisis survival dalam 5 tahun sejak awitan

penyakit. Penderita SN dengan alel C mengalami luaran klinis yang lebih

jelek dibandingkan penderita SN dengan alel G .

Kedua penelitian tersebut di atas belum jelas menerangkan apakah

polimorfisme -173 G ke C gen MIF sebagai faktor risiko SNRS

berhubungan dengan level MIF serum. Polimorfisme secara fungsional

berhubungan dengan ekspresi MIF yang lebih tinggi secara in vitro dan

peningkatan level MIF serum secara in vivo (Donn et al., 2002). Penelitian

lain oleh De Benedetti,et al.(2003) pada penderita juvenil arthritis

menemukan kadar MIF serum lebih tinggi pada subjek yang memiliki alel

C (median 20,8 ng/ml) dibandingkan genotip GG (median 10,8 ng/ml)

(p=0.017), namun belum ada penelitian pada penderita SNRS.

Dokumen terkait