• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Dan Eksistensi Saudagar Laweyan Dalam Membangun Perekonomian Muslim. Perekonomian Muslim

commit to user d. Historiografi

C. Peran Dan Eksistensi Saudagar Laweyan Dalam Membangun Perekonomian Muslim. Perekonomian Muslim

Kampung Laweyan memiliki beberapa keistimewaan, terutama karena hadirnya kelompok pengusaha batik Jawa, yang mana identitas masyarakatnya memiliki gaya hidup yang berlainan dengan masyarakat Surakarta. Ciri-ciri sosial yang berlainan nampak pada kedudukan lapangan pekerjaan yang kelihatan terasing di dalam masyarakat Surakarta, dan pemisahan yang tajam antara ikatan kerja yang bersifat ekonomis dan yang bersifat non ekonomis. Mereka menyatu dalam sistem sosialnya sendiri, yang didasarkan atas orientasi kerja wiraswasta.

Oleh sebab ini, kampung Laweyan lebih menampakkan diri ke dalam ciri-ciri kampung dagang (Mlajadipura, 1984).

Selanjutnya, gagasan Geertz (1981) mengenai etos kerja pedagang Jawa, ditunjukkan adanya ikatan yang kuat antara unsur kerja duniawi dan rohani. Dalam hubungan ini, ia menafsirkan adanya keseimbangan antara mengejar kepentingan duniawi adalah suatu kebajikan di dalam ajaran Islam (H. M. Rosjidi, 1967).

Penafsiran ini justru banyak dijalankan oleh orang orang Islam reformis di kalangan Pedagang Islam terutama di kota-kota pantai Utara Jawa. Oleh karena itu, konsepsi Geertz, membenarkan adanya hubungan historis dan fungsional antara Islam dan perdagangan. Apabila pengamatan Geertz itu benar, maka bila dikaitkan dengan sejarah awal munculnya pengusaha batik di Laweyan, terdapat perbedaan segi segi pokok yang tidak dicakup oleh gagasan Geertz. Sejauh mengenai pengusaha Laweyan pada awal abad ini, mereka adalah saudagar Islam Abangan. Penduduk Laweyan dari generasi sebelum kemerdekaan, menyebutkan masyarakat setempat sebagai Islam Garingan (H. M. Rosjidi, 1967).

Penduduk Laweyan sebenarnya bukan orang Jawa yang asing dengan masyarakat lingkungannya karena perbedaan kultur, melainkan terasing karena identitas lapangan pekerjaan berbeda dengan kondisi umum komunitas yang lebih luas di sekitarnya. Dari hasil pengamatan, sebagian besar pengusaha yang tampil sebagai saudagar kaya selama seperempat pertama abad ini, cukup bangga dengan identitas nama ke-Jawaannya (H. M. Rosjidi, 1967).

Demikian pula saudagar santri yang sudah menunaikan ibadah haji,tidak pernah ada yang meninggalkan identitas nama Jawanya. Kebanggaan atas penampilan dari sebagian orang Jawa yang sukses dibidang ekonomi dan status sosial mereka, agaknya merupakan pencerminan dari falsafah hidup orang jawa: drajat, semat dan pangkat (status, kekayaan dan kedudukan).

Dalam komunitas pengusaha batik di Laweyan menunjukkan suatu ciri sosial yang membentuk sistem stratifikasi antara pengusaha besar dengan

commit to user

pengusaha kecil, antara buruh dengan majikan, dan antara buruh tetap dengan buruh harian. Struktur kekuasaan majikan berjalan paralel dengan struktur fungsionalnya sebagai ibu rumah tangga. Demikian sebaliknya, tenaga buruh sebagai bawahan di perusahaan sekaligus akan berfungsi sebagai pembantu rumah tangga majikan. Puncak struktur sosial dalam masyarakat Laweyan disebut keluarga majikan, secara turun temurun terdiri dari mbok mase sepuh (nenek), mas nganten sepuh (kakek), biasanya mereka orang tua dari pihak ibu. Selanjutnya adalah mbok mase (ibu rumah tangga), mas nganten (ayah sebagai kepala rumah tangga), mas rara (anak perempuan) dan mas nganten (anak laki-laki) atau sering dipanggil gus.

Status sosial di bawahnya yaitu kelompok besar para pekerja di perusahaan. Status sosial mereka ditentukan menurut kriteria keahlian kerja. Dalam kelompok pekerja, tukang cap menduduki tingkat teratas sebagai buruh ahli, mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari majikan dibanding kelompok pekerja lainnya. Kelompok tukang cap seringkali terjadi mobilitas vertikal yaitu naiknya status sosial dari pekerja perusahaan menjadi pengusaha menengah atau besar. Sedangkan kelompok pekerja dengan status sosial di bawahnya adalah kuli mbabar, kuli celep, pengubang (buruh batik) dan pembantu rumah tangga majikan.

Status mereka tergolong dalam kategori buruh inti. Kelompok di bawahnya adalah kuli mberet, kuli kerok dan kuli kemplong, mereka ini tergolong sebagai buruh tetap. Kemudian status sosial paling bawah adalah buruh harian yaitu pekerja kasar sebagai pembantu rumah tangga. Mereka tidak diikat oleh majikan, karena itu sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh majikan. Meskipun demikian hubungan antara ma jikan dan buruh bukan saja berdasarkan kepentingan ekonomi, melainkan lebih dari itu dengan meminjam istilah setempat sambung rasa sambung warga artinya terjalinnya ikatan persaudaraan antara buruh dan majikan.

Para saudagar Laweyan telah memperoleh apa yang dicita-citakan orang Jawa yaitu drajat. Walaupun kedudukan saudagar di tengah masyarakat Jawa, masih terasa asing terutama di dalam lapangan pekerjaannya, tetapi arti

kekayaan yang disandang dari kata saudagar itu sendiri, rupanya telah mengangkat status sosialnya sejajar dengan status priyayi bangsawan atau pegawai negeri. Hal ini sangat berbeda kasus di Kota Gede, di mana status sosial kebangsawanan dapat diperoleh dengan dibeli (Mitsuo Nakamura, 1983).

Menurut mereka, hanya dengan kerja keras, hemat dan disiplin tinggi kedudukan dan kekayaan itu akan diperoleh tanpa harus mengorbankan harga diri di bawah perintah orang lain. Tiga aspek yang menjadi pokok permasalahan, sosial, ekonomi dan kultural adalah variable-variabel ketergantungan yang saling terkait untuk memperjelas munculnya kelompok pengusaha itu ditengah-tengah masyarakat Solo.

Variabel ekonomi sangat berguna untuk mengetahui sejauh mana pertumbuhan ekonomi perusahaan milik tiap-tiap pengusaha. Sehingga memberi kemudahan untuk menganalisa kondisi keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan naiknya kekayaan mereka. Dengan begitu maka nilai kekayaan pengusaha yang diperoleh dari lapangan pekerjaannya biasa diklasifikasikan menurut kriteria jenis dan fungsinya. Demikian pula, variabel ekonomi sangat berguna untuk mengukur tinggi rendahnya nilai kekayaan para saudagar dengan memperbandingkan kekayaan masyarakat lain, di luar lapangan usaha ini. Misalnya dengan kekayaan para priyayi bangsawan istana.

Dengan memperbandingkan nilai kekayaan ini, akan diperoleh gambaran sejauh mana adanya keterkaitan status sosial mereka. Seperti yang telah ditunjukkan di depan, ternyata terdapat korelasi yang positif antara pertumbuhan ekonomi dengan naiknya status sosial orang Laweyan. Gelar yang mereka peroleh dari lingkungan Laweyan sendiri mbok mase dengan dari luar juragan, tidak menutup kemungkinan untuk mereka mensejajarkan diri status sosial mereka dengan priyayi istana. Dengan melihat perkembangan ini, maka bisa dipastikan bahwa keterkaitan antara aspek sosial dan ekonomi adalah variabel-variabel yang saling tergantung satu sama yang lain. Demikian pula untuk melihat kekayaan para pengusaha Laweyan sebagai simbol-simbol status, maka masalah persepsi kultural bisa dipakai sebagai variabel ketiga.

commit to user

Perubahan nilai kekayaan disana berubah sejak para pengrajin batik laweyan memperoleh kebebasan memproduksi motif batik halus dengan menggunakan metode “cap”. Setidaknya-tidaknya penemuan alat ini mempengaruhi tiga proses yang mempunyai arti sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi lokal laweyan :

a. Jatuhnya batik tulis halus produk istana yang di kerjakan oleh para abdi dalem kriya pengrajin batik

b. Penetrasi yang lebih dalam produk batik “sandang” dan “tejo” menggantikan batik klasik

c. Mengikatnya jumlah kain katun sebagai barang komoditi import, yang

memberikan keuntungan besar bagi pemerintah Kolonial Belanda (Soedarmono, 2006 :48).

Pertumbuhan ekonomi lokal di Laweyan menimbulkan asumsi dasar bahwa sejak awal abad ini Laweyan sedang berubah dari sistem ekonomi pasar (perdagangan lawe), menuju pada suatu sistem ekonomi firma. Dimana perdagangan dan industri batik dilakukan lewat serangkaian pranata sosial yang tak bersifat pribadi melainkan berlaku sistem organisasi dari berbagai pekerjaan yang bertalian dengan tujuan produksi dan distribusi batik (Geerts, 1973: 29).

Batik dan kekayaan, agaknya dijadikan simbol status pemiliknya yang memperoleh sebutan “saudagar” Laweyan. Oleh karena itu secara berlebih-lebihan mereka sengaja memamerkan kekayaan itu dimata masyarakat. Tetapi diluar dugaan orang banyak, tembok-tembok pagar yang tinggi dan kuat melingkari setiap bangunan rumah di Laweyan, berfungsi bukan hanya untuk melindungi kekayaan mereka dari orang jahat, melainkan juga menghindari keterlibatan orang luar mengetahui kepentingan ekonomi perusahaannya.

Mereka hidup dalam kemandiriannya yang senantiasa di kelilingi oleh kepentingan uang (harta) dan harga diri (persaingan). Sikap entrepreneur para pengusaha telah mempengaruhi sikap hidup yang ekonomis bagi saudagar-saudagar Laweyan. Sehingga dalam kehidupan mereka yang eksklusif, diperoleh kesan sebagai orang yang pelit, hanya mengutamakan kepentingan mereka sendiri.

Kemakmuran dan kekayaan orang-orang Laweyan dicatat dengan baik sebagai karakteristik perkampungan saudagar Jawa yang sukses. Sejarah ekonomi Laweyan antara tahun 1910 sampai tahun 1930 nampaknya terus menerus mengembangkan identitasnya ke dalam golongan masyarakat saudagar (De Kat Angelino, 1930).

Pertalian yang erat antara keunggulan ekonomi pengusaha kaya Laweyan dengan naiknya status sosial mereka. Walaupun dalam banyak hal mereka tidak bisa memperoleh kedudukan ke dalam pangkat bangsawan, tetapi pengaruh kekayaannya ditengah-tengah masyarakat sering diperhitungkan sama dengan status sosial pejabat tinggi kerajaan setempat. Banyak para bangsawan yang berhutang pada orang-orang kaya di Laweyan. Bahkan sebagian kekayaan Haji Samanhudi, diperoleh dari usaha meribakan uang dan di antara peminjam uang yang datang kepadanya terdapat orang-orang bangsawan (A.P.E Korver, 1985: 12)

Tentang naiknya status sosial ini, boleh dikatakan bahwa mayoritas pengusaha kaya di Laweyan sama sekali tidak tertarik terhadap prestise model kraton. Kiranya sudah menjadi kelaziman bagi orang kaya di kota Gede bisa memperoleh status sosial kebangsawanan dengan cara membeli. Tetapi tradisi itu tidak bisa disamakan dengan kasus di Laweyan yang tetap acuh tak acuh terhadap prestise aristocrat. Menurut cerita tutur penduduk setempat, renggangnya hubungan orang-orang Laweyan dengan kelompok bangsawan kerajaan itu sudah lama diwariskan leluhur mereka, sejak jaman Kartasura (Mitsuo Nakamura, 1983: 64).

Ibu-ibu rumah tangga di Laweyan (biasa disebut “mbok mase”) mengambil peranan 75% dalam proses produksi dan distribusi batik perusahaan keluarga. Akibatnya pengaruh dominasi ibu rumah tangga terasa lebih kuat dalam kebijakan ekonomi rumah tangga, bila dibandingkan peranan ayah sebagai kepala rumah tangga. Dalam kaitanya dengan ini persepsi idealnya wanita-wanita Laweyan tidak mau mengambil gaya hidup model bangsawan istana, terutama sikap antagonistis terhadap segala bentuk poligami. Di mata wanita-wanita laweyan, masalah ini dipandang sebagai penampilan yang menonjol dari gaya

commit to user

hidup wanita-wanita bangsawan yang lemah, tidak kreatif dan apatis karena menggantungkan hidup pada nasib atau takdir (Soedarmono, 2006: 71).

Sebenarnya keberhasilan dalam lapangan usaha dan naiknya status sosial karenakekayaan mereka, memberikan sumbangan paling besar bagi perkembangan sikap mental yang istemewa pada pengusaha kaya di Laweyan. Rasa percaya diri, hemat, tidak tertarik gaya hidup yang foya-foya dan tidak hila hormat, menjadi karakteristik kondisi umum gaya hidup saudagar Laweyan.

commit to user

53

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berpijak dari uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Daerah Laweyan, Surakarta dikenal sebagai salah satu sentra industri batik di Jawa Tengah. Kegiatan pembatikan pada mulanya masih mempergunakan peralatan yang sederhana, yaitu canting. Ragam hias batik yang dihasilkan pun masih meniru ragam hias dari kraton, demikian pula dengan pewarnaannya yang cenderung gelap dan mempergunakan bahan pewarna dari alam. Industri batik tradisional di Laweyan yang semakin maju, membuat para pengusaha berpikir untuk menciptakan peralatan membatik yang dapat menghasilkan batik lebih cepat daripada dengan menggunakan canting. Kemudian dibuatlah alat cap, di samping canting untuk memproduksi batik secara tradisional. Dari masa ke masa dunia perbatikan banyak mulai mengalami perubahan. Mulai dari ragam hias batiknya hingga peralatan dalam pembatikannya. Demikian pula dengan batik di Laweyan, Surakarta. Ragam hias batik Laweyan yang mulanya berupa ragam hias klasik lambat laun berkembang ke ragam hias yang dinamis/bergaya kontemporer. Pewarnaannya pun mulai menggunakan warna yang beraneka ragam. Hal tersebut tak lepas dari permintaan pasar dengan kondisi yang berubah-ubah. Seperti adanya pengaruh dari kegiatan kenegaraan, motif yang sedang musim, maupun karya dari seseorang yang banyak digemari. Perkembangan peralatan untuk membatik secara tradisional, yaitu dari canting ke cap, dan ketika zaman semakin modern ditemukan teknologi baru dalam usaha perbatikan, yaitu alat printing/sablon.

2. Organisasi Sarekat Islam (SI) bermula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan pada tahun 1911 di kota Solo oleh seorang saudagar batik bernama Haji Samanhudi. SDI yang berdasarkan koperasi dengan tujuan memajukan perdagangan pribumi dengan panji-panji Islam yang menaunginya.Perubahan nama menjadi Sarekat Islam, berawal dari saat perkumpulan SDI tersebut

commit to user

menyusun statuennya. Pada saat menyusun statuten tersebut Haji Samanhudi meminta bentuan seorang terpelajar yang bekerja pada sebuah perusahaan dagang di Surabaya, yakni Oemar Said Tjokroaminoto. Tjokroaminoto menyarankan agar perkumpulan tersebut tidak membatasi dirinya hanya untuk golongan pedagang saja, tetapi diperluas jangkauannya maka nama SDI diganti menjadi SI.Anggaran dasar SI di tetapkan tujuan organisasi sebagai berikut:1. memajukan perdagangan2. memberi pertolongan kepada anggota-anggota yang mengalami kesusahan3. memajukan kepentingan rohani dan jasmani bagi pribumi memajukan kehidupan keagamaan Islam SI merupakan organisasi yang menyentuh semua lapisan masyarakat pribumi.Perkembangan selanjutnya Central Sarekat Islam (CSI) di Surabaya pada 1915, berdasarkan sentral ini dimaksudkan untuk memajukan dan mambantu SI di dalam menjalankan dan memelihara hubungan serta kerjasama di antara mereka. Permintaan CSI untuk diakui sebagai organisasi berbadan hukum dikabulkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan surat keputusan tanggal 18 maret 1916.Pada tahun 1920, diadakan kembali konggres nasional ke tujuh di Madiun dan SI resmi berubah menjadi partai politik dengan sekaligus merubah nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).Kemudian pada tahun 1929 berubah lagui menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan pada tanggal 5 januari 1973 berubah kembali menjadi Sarekat Islam.

3. Saudagar laweyan berperan penting dalam memajukan perekonomian muslim laweyan. Sesungguhnya apa yang terjadi didalam pertumbuhan ekonomi pengusaha batik di Laweyan pada awal abad 20, adalah keunikan dalam sejarah daerah itu. Mereka tidak dapat disamakan dengan konsep Geertz, Castles dan Burger. Karena etos kerja pengusaha Laweyan tumbuh di dalam kondisi persaingan untuk memperoleh status yang sama dengan para abdi dalem pembatik dalam dinas Kerajaan. Agama Islam tidak dapat berkembang secara baik di sana ketika pertumbuhan ekonomi Laweyan mengalami pasang naik. Bahkan para pedagang Cina di Solo sebelum bangkit Serikat Islam memandang perlu menjalin hubungan dengan saudagar-saudagar Laweyan. Dengan mempertimbangkan begitu besar peranan

pengusaha Laweyan dalam menumbuhkan sektor ekonomi kota maka kehadiran mereka dalam masyarakat Solo, tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, trikhotomi Geertz, dalam melihat masyarakat Jawa atas pembagian abangan, santri dan priyayi dirasakan tidak cocok, terutama dalam masyarakat Solo. Sekiranya bila masih bisa disesuaikan dengan masyarakat di kota itu adalah, trikhotomi sosial berdasarkan struktur kelas: priyayi, pedagang/pengusaha dan wong cilik. Sementara abangan dan santri, adalah dikhotomi yang seharusnya terpisah dari pembagian di atas, karena klasifikasinya berdasarkan agama. Dengan mempertimbangkan perubahan arus modernisasi yang begitu cepat menguasai kota Solo, lewat berbagai media, tak pelak lagi Laweyan masih akan menghadapi masalah tentang identitasnya.

B. Implikasi

1. Teoritis

Dari hasil penelitian mengenai saudagar batik abad XX, dalam realitasnya, batik sudah menjadi pusat perhatian di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Di dalam struktur masyarakat Jawa dibagi menjadi tiga, yaitu priyayi, santri dan abangan. Golongan priyayi adalah golongan tertinggi diantara struktur masyarakat tersebut karena golongan priyayi terdiri dari golongan bangsawan-bangsawan kaya.

Yang kedua adalah golongan santri adalah sebutan bagi murid-murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Sedangkan golongan terakhir adalah golongan abangan, sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Akan tetapi pembagian struktur tersebut dirasakan tidak cocok dengan pembagian masyarakat Solo.

Salah satu kebudayaan Jawa yang cukup terkenal sampai sekarang adalah Batik. Pada jaman kerajaan batik masih menjadi barang yang cukup berharga. Dalam daerah kerajaan/ vorstenlanden batik hanya boleh digunakan oleh golongan priyayi atau orang-orang dari dalam kerajaan. Batik yang digunakan oleh para

commit to user

priyayi pada saat itu adalah batik tulis halus yang dibuat oleh para abdi dalem terpilih. Tidak sembarang orang yang dapat membuat batik tulis kraton.

Tahun 1900-an timbul keinginan pengusaha batik Laweyan, untuk menjual batik kepada rakyat biasa dengan harga yang terjangkau oleh mereka, karena dahulu masyarakat masih memakai kain tenun yang disebut kain lurik, sehingga pengusaha batik Laweyan memproduksi batik tulis dengan batik cap dan juga cara menyoganya dari bahan-bahan kimia, supaya lebih cepat proses pembuatannya, disamping itu juga harganya dapat dijangkau oleh rakyat biasa dan juga tidak meninggakan bentuk aslinya, akan tetapi alat yang untuk mengecap pada waktu itu masih menggunakan cap dari kayu, dengan motif-motif yang masih sangat sederhana sekali yaitu dengan bentuk yang besar-besar dan cecek-ceceknya (isen bulat kecil pada motif batik) pun tak dapat rapih dan halus.

Seiring perkembangan batik Laweyan, berkembang pula ekonomi masyarakat Laweyan. Perekonomian masyarakat Laweyan meningkat pesat, dan muncul saudagar-saudagar kaya di Laweyan. Dan keberadaan saudagar-saudagar di Laweyan tersebut, dapat mengangkat perekonomian dan derajat daerah tersebut. sehingga daerah tersebut dikenal dengan kampung saudagar.

2. Praktis

Penelitian ini dapat membantu pembaca, khususnya mahasiswa progam pendidikan sejarah memahami peranan saudagar batik Laweyan dalam perekonomian muslim, sehingga pembaca dapat memperoleh pengetahuan yang jelas tentang peranan saudagar batik Laweyan, khususnya dalam bidang ekonomi muslim. Ciri-ciri sosial yang berlainan nampak pada kedudukan lapangan pekerjaan yang kelihatan terasing di dalam masyarakat Surakarta, dan pemisahan yang tajam antara ikatan kerja yang bersifat ekonomis dan yang bersifat non ekonomis. Mereka menyatu dalam sistem sosialnya sendiri, yang didasarkan atas orientasi kerja wiraswasta. Oleh sebab ini, kampung Laweyan lebih menampakkan diri ke dalam ciri-ciri kampung dagang. Penduduk Laweyan sebenarnya bukan orang Jawa yang asing dengan masyarakat lingkungannya karena perbedaan kultur, melainkan terasing karena identitas lapangan

pekerjaan berbeda dengan kondisi umum komunitas yang lebih luas di sekitarnya. Oleh karena itu, penelitian ini dapat memberikan wawasan tentang saudagar batik Laweyan. Selain itu, hendaknya kita turut menggali dan mengembangkan budaya, khususnya budaya Jawa yang dalam istilah Jawa terkenal dengan sebutan Nguri-uri budaya Jawa.

C. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, saran-saran yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut:

1. Bagi Mahasiswa

Kepada para mahasiswa dan generasi muda Indonesia hendaknya dapat mengambil nilai-nilai keuletan dan semangat kerja yang ada pada para saudagar Laweyan. Meniru semangat kerja mereka yang berusaha untuk mencari kekayaan dan tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia luar.

2. Bagi Masyarakat

Masyarakat hendaknya dapat mengembangkan, menjaga, dan melestarikan budaya Jawa agar tidak punah. Agar dapat tetap di nikmati oleh anak cucu kita.

Dokumen terkait